1. Kelas Menengah PragmatisPemberdayaan Masyarakat dan
Wirausaha Jadi Pilihan
Kondisi ini dipotret sejumlah kalangan, mulai akademisi, pengamat, hingga pelaku usaha.
Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, kelas menengah peduli terhadap masalah di sekitar mereka, seperti rumah dan tempat kerja. Akan tetapi, kepedulian dan kekritisan mereka makin rendah ketika ruang lingkup masalah lebih luas, seperti kota dan nasional.
Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, Selasa (20/12), di Jakarta, menilai, kalangan kelas menengah enggan atau kurang peduli dengan urusan politik karena mereka kurang percaya pada politik. Kelas menengah dinilai kecewa terhadap perilaku politisi.
”Saya yakin, pada dasarnya, mereka ingin berpartisipasi dalam urusan politik untuk menjalankan usaha,” kata Komaruddin. Namun, kalangan kelas menengah kecewa terhadap layanan birokrasi yang sudah dimasuki kepentingan-kepentingan politisi.
”Saya yakin, pada dasarnya, mereka ingin berpartisipasi dalam urusan politik untuk menjalankan usaha,” kata Komaruddin. Namun, kalangan kelas menengah kecewa terhadap layanan birokrasi yang sudah dimasuki kepentingan-kepentingan politisi.
”Partai politik, termasuk politisi, yang seharusnya mengkritik dan membela rakyat, pada akhirnya berkolusi dalam kebijakan pemerintah dan birokrasi,” tutur Komaruddin.
Oleh karena itu, menurut Komaruddin, kalangan kelas menengah saat ini lebih bersikap mencari selamat. ”Mereka benar-benar berteriak kalau kepentingan mereka dirugikan,” katanya. Sebagai contoh, kalangan kelas menengah mengeluhkan masalah transportasi karena mobil mereka terkena macet.
Jika kepentingan mereka tidak dirugikan, menurut Komaruddin, kalangan kelas menengah pun hanya diam dan kurang peduli. Misalnya, ada kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua, kalangan kelas menengah berdiam saja. Terkait masalah pemerkosaan di angkot, misalnya, kelas menengah juga akan berdiam karena masalah itu seakan-akan berada di dunia lain.
Jika kepentingan mereka tidak dirugikan, menurut Komaruddin, kalangan kelas menengah pun hanya diam dan kurang peduli. Misalnya, ada kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua, kalangan kelas menengah berdiam saja. Terkait masalah pemerkosaan di angkot, misalnya, kelas menengah juga akan berdiam karena masalah itu seakan-akan berada di dunia lain.
Sosiolog dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Bambang Kusumo Prihandoko, mengungkapkan, kelas menengah Indonesia yang tumbuh menjadi kelompok apolitis sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia .
Menurut Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Didik Supriyanto, kelas menengahIndonesia mempunyai tingkat ketidakpercayaan yang tinggi terhadap elite politik yang berkuasa dan mengatur sumber daya ekonomi di negara ini. Akan tetapi, mereka juga secara politik tidak lagi punya cara untuk mengubah keadaan tersebut karena tidak lagi memercayai sistem pemilu.
Menurut Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Didik Supriyanto, kelas menengah
Ketua Umum Masyarakat Profesional Madani Ismed Hasan Putro mengakui, kelas menengah di Indonesia saat ini memang cenderung enggan terlibat dalam partai politik atau bersikap frontal terhadap pemerintah melalui demonstrasi atau media massa .
Keengganan kelas menengah masuk partai politik, menurut Ismed, tak terlepas dari buruknya citra partai politik yang lekat dengan perilaku korup dan transaksional.
”Namun, ini bukan berarti kelas menengah tidak peduli terhadap kehidupan bangsa. Komitmen membangun bangsa tidak harus melalui partai politik dan parlemen. Justru banyak kelompok kelas menengah saat ini yang secara konkret memberdayakan masyarakat melalui pendidikan dan berwiraswasta secara jujur,” kata Ismed.
Keengganan kelas menengah masuk partai politik, menurut Ismed, tak terlepas dari buruknya citra partai politik yang lekat dengan perilaku korup dan transaksional.
”Namun, ini bukan berarti kelas menengah tidak peduli terhadap kehidupan bangsa. Komitmen membangun bangsa tidak harus melalui partai politik dan parlemen. Justru banyak kelompok kelas menengah saat ini yang secara konkret memberdayakan masyarakat melalui pendidikan dan berwiraswasta secara jujur,” kata Ismed.
Ismed meyakini, saat ini peran kelas menengah sangat besar terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan meskipun tidak tersiarkan oleh media massa yang memang cenderung hanya memberitakan sensasi politik di parlemen dan parpol.
”Membayar pajak secara benar, peduli terhadap lingkungan, dan membuka usaha yang menyerap tenaga kerja merupakan komitmen politik yang dilakukan kelas menengah,” ujar Ismed.
Wirausaha
Beberapa kalangan di kelas menengah memilih membangun usaha sebagai komitmen ikut membangun bangsa.
Hendy Setiono, pemilik waralaba Kebab Turki Baba Rafi, mengatakan, ia berusaha terus menembus pasar internasional. Hal itu bukan hal mudah. Tahun 2009, ia mencoba menembus pasar keMalaysia . Akan tetapi, karena hambatan regulasi, usahanya pun kandas. Meskipun demikian, ia tak patah semangat. Tahun ini, ia berusaha menjajaki pasar Filipina.
”Membayar pajak secara benar, peduli terhadap lingkungan, dan membuka usaha yang menyerap tenaga kerja merupakan komitmen politik yang dilakukan kelas menengah,” ujar Ismed.
Wirausaha
Beberapa kalangan di kelas menengah memilih membangun usaha sebagai komitmen ikut membangun bangsa.
Hendy Setiono, pemilik waralaba Kebab Turki Baba Rafi, mengatakan, ia berusaha terus menembus pasar internasional. Hal itu bukan hal mudah. Tahun 2009, ia mencoba menembus pasar ke
Menurut Hendy, pengusaha Indonesia tidak boleh menyerah di tengah kompetisi global. ”Jangan hanya terpaku pasar di dalam negeri. Pelebaran sayap ke luar negeri juga sangat penting,” ujarnya.
Di dalam negeri, Kebab Turki Baba Rafi sudah memiliki 750 outlet. Usaha tersebut dirintis Hendy sejak tahun 2003 saat ia masih kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya . Dengan modal awal Rp 4 juta, Hendy berusaha membuat gerobak yang menarik dan mencari bahan-bahan pendukung.
Sementara itu, Ida Bagus Sidharta Putra terus mengembangkan jaringan bisnis grup perhotelan dan pariwisata Santrian di Bali. Jaringan itu mempunyai tiga hotel, yaitu Griya Santrian, Puri Santrian, dan The Royal Santrian, dengan total karyawan 1.000 orang.
Sementara itu, Ida Bagus Sidharta Putra terus mengembangkan jaringan bisnis grup perhotelan dan pariwisata Santrian di Bali. Jaringan itu mempunyai tiga hotel, yaitu Griya Santrian, Puri Santrian, dan The Royal Santrian, dengan total karyawan 1.000 orang.
Melalui Yayasan Pembangunan Sanur, tempat Sidharta Putra duduk sebagai ketua umum, ia juga terus mengembangkan sekolah menengah pariwisata dan rutin menggelar kegiatan kepariwisataan, salah satunya Sanur Village Festival, setiap tahun. Secara mandiri, yayasan itu juga mengembangkan konsep pasar tradisional bersih dan terpadu yang berdaya guna bagi kawasan Sanur, yang dihuni tidak kurang dari 35.000 orang.
”Setiap kelas pasti punya rasa apolitis terhadap sesuatu di tengah persoalan yang semakin kompleks. Namun, rasa itu bisa hilang dan menjadi simpati jika cara penyampaian, sosialisasi, dan solusinya ditawarkan dengan tepat,” kata Sidharta Putra menanggapi anggapan bahwa kelas menengah kurang peduli terhadap kondisi sekitar.
”Setiap kelas pasti punya rasa apolitis terhadap sesuatu di tengah persoalan yang semakin kompleks. Namun, rasa itu bisa hilang dan menjadi simpati jika cara penyampaian, sosialisasi, dan solusinya ditawarkan dengan tepat,” kata Sidharta Putra menanggapi anggapan bahwa kelas menengah kurang peduli terhadap kondisi sekitar.
Perbankan ambil peluang
Pertumbuhan kelas menengah menarik sejumlah kalangan. Kalangan perbankan berusaha menggarap kelas menengah ini.
PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk membuka layanan nasabah prima atau prioritas sejak Oktober lalu untuk menggarap mereka. Direktur Utama BTN Iqbal Latanro beralasan, selama ini banyak nasabah BTN yang sangat loyal. Namun, simpanan uangnya ada di bank lain karena kebutuhan nasabah itu tidak bisa dilayani BTN.
Pertumbuhan kelas menengah menarik sejumlah kalangan. Kalangan perbankan berusaha menggarap kelas menengah ini.
PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk membuka layanan nasabah prima atau prioritas sejak Oktober lalu untuk menggarap mereka. Direktur Utama BTN Iqbal Latanro beralasan, selama ini banyak nasabah BTN yang sangat loyal. Namun, simpanan uangnya ada di bank lain karena kebutuhan nasabah itu tidak bisa dilayani BTN.
”Jadi, kami buat layanan perbankan prioritas supaya seluruh kebutuhannya kami yang mengelola,” kata Iqbal.
Bank lain seperti PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk juga terus menambah layanan nasabah prima. BRI kini memiliki 12 kantor layanan khusus prioritas, yang terbaru diMedan .
Bank lain seperti PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk juga terus menambah layanan nasabah prima. BRI kini memiliki 12 kantor layanan khusus prioritas, yang terbaru di
Menurut Sekretaris Perusahaan BRI Muhamad Ali, kantor khusus ini sengaja dibuat karena tidak hanya soal penghimpunan dananya, tetapi juga bisnis lain yang dilakukan nasabah kelas ini.(OSA/BEN/MAS/IDR/BIL/ENY/FAJ/FER/ANA)
2. KELAS MENENGAH UNTUK PERUBAHAN?
Terminologi kelas menengah bisa hanya sekadar menunjukkan golongan yang pola pengeluarannya atau pola konsumsinya berada pada range tertentu. Akan tetapi pembahasan tentang kelas menengah sering dikaitkan dengan posisi dan perannya dalam dinamika sosial ekonomi. Dengan demikian terminologi kelas menengah tidak digunakan secara monolitik dan bahkan mengalami perubahan dari masa ke masa.
Pada tahun delapanpuluhan, pembahasan kelas menengah merupakan analisa ekonomi-politik. Artinya, kelas sini dibahas dari perannya pada kepentingan ekonomi dan politiknya serta orientasinya dalam melakukan perubahan. Adalah populer pada waktu itu meletakan analisa pada orientasi kelas menengah dalam memperluas demokrasi sosial ekonomi. Kelas ini tumbuh dari tumbuhnya pekerjaan bersifat profesional yang lahir dari sektor non-pemerintah. Pada masa itu, bahkan sampai saat ini, kelas menengah diletakan dalam perspektif hubungannya dengan kebijakan negara.
Majalah the Economist melihat permasalahan makna kelas menengah dari perspektif pembangunan ekonomi. Disebutkan bahwa jumlah kelas menengah meningkat pesat dari 1,6 juta di tahun 2004 menjadi sekitar 50 juta pada tahun 2011, berdasarkan definisi pengeluaran per tahun 3000 dollar AS. Namun meningkatnya kelas menengah bukanlah mencerminkan tumbuhnya kelas profesional di
Perekonomian sektor informal menyumbang PDB lebih besar dari sektor formal. Padahal, dalam sektor informal orientasi pekerja adalah pengembangan diri pribadi individual (bukan pengembangan sistematik profesionalisme oleh organisasi), jaringannya bersifat lentur dan karena itu tidak mudah berkembang sebagai kekuatan kelompok kepentingan, dan banyak yang hidup dalam kondisi terus-menerus mencoba sekadar bertahan.
Juga penting menyebutkan konteks kebijakan ekonomi negara yang mempengaruhi aktivitas ekonomi formal maupun informal, yaitu bahwa sumber daya ekonomi negara tidak digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah jangka panjang, seperti pembangunan infrastruktur, pengembangan keahlian, perbaikan tata kelola ekonomi, dan sebagainya. Bukan sebuah “smart economy” yang siap menghadapi tantangan ke depan.
Jika diletakan dalam fakta bahwa tingkat penyerapan kerja sektor industri yang rendah, artinya terjadi ketimpangan yang semakin lebar antara kelas yang bisa meningkatkan konsumsi dan hidup dari basis perekonomian yang sempit dengan golongan pengangguran dan setengah pengangguran. Ironisnya, pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada konsumsi ini dibanggakan oleh pengelola negara sebagai prestasi ekonomi
Coba bayangkan jika pelaku ekonomi
Harian Kompas mengaitkan analisa kelas ekonomi dalam orientasi politiknya. Berdasarkan hasil survai yang dilakukan, disimpulkan bahwa kelas menengah bersifat apatis terhadap politik dan aktivisme perbaikan publik. Kesimpulan yang dapat ditarik dari
Dari sudut analisa seperti di atas, maka solusinya tidak bisa diharapkan dalam kebijakan negara. Solusi harus dicari dari organisasi masyarakat sendiri. Adalah tidak mungkin mengharap para politisi yang berkuasa akan memberikan kebijakan yang menumbuhkan tingkat kritis masyarakat. Organisasi non-pemerintah harus kreatif mencari metode-metode untuk pengembangan kultur kritis dan kapasitas melakukan aktivisme sosial.
Sebagai contoh, acara televisi harus ditekan agar tidak banyak menayangkan hiburan yang memelihara ketidakcerdasan dan menumbuhkan budaya ketidapedulian sosial. Sekolah atau organisasi masyarakat harus mengembangkan kemampuan kritis dan aktivisme kolektif. Tentu ada yang bisa didesak pada pemerintah, seperti alokasi dana yang lebih besar untuk pusat-pusat pengetahuan, festival budaya (termasuk film) yang menumbuhkan nilai humanisme, atau dukungan pada organisasi yang mempunyai kegiatan penumbuhan solidaritas sosial.
Kembali pada persoalan kelas menengah, kelas ini, seperti kelas lainnya, merupakan produk interaksi antara lembaga negara dan kegiatan berkesadaran dari organisasi non-pemerintah. Kelas ini tidak bisa dipandang sebagai variabel independen seperti kesimpulan yang ditarik secara salah tentang kelas menengah di Barat.
Siapakah kelas menengah yang mempunyai potensi sebagai agen perubahan di
Meuthia Ganie-Rochman
Sosiolog dan Dosen FISIP Universitas
3. Anomali Kelas Menengah Indonesia
Kelas Menengah di Indonesia adalah sebuah Anomali. Mengapa Demikian ?
Sebenarnya batasan antara kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah tidaklah terdefinisikan dengan jelas. Perbatasan antara ketiga kelas itu saling tumpang tindih. Ranah pendefinisian juga beragam, apakah pendefinisian kelas berdasarkan status ekonomi, status sosial, status pendidikan, atau status lainnya?. Tetapi pada umumnya yang paling banyak digunakan dan diterima adalah pendefinisian berdasarkan status ekonomi. Kelas menengah dicirikan dengan adanya kepemilikan akan sumber pendapatan finansial, tercukupi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan hiburan. Mereka memiliki rasa aman karena mempunyai stok finansial (tabungan, deposito, atau asset produktip lainnya). Kelas menengah ini berada dalam tahap pemenuhan akan “eksistensi diri”, mereka masih memiliki sisa-sisa idealism.
Kelas atas tidak ingin adanya perubahan, yang mereka inginkan adalah mempertahankan status quo. Perubahan berarti menghadapi sesuatu yang tidak pasti, dan ketidakpastian mengganggu kenyamanan mereka. Jika diperlukan, sumber daya yang dimiliki kelas atas ini akan digunakan untuk mempertahankan status quo.
Kelas bawah sangat menginginkan adanya perubahan, karena di dalam perubahan itu ada harapan, harapan akan hidup yang lebih baik. Tetapi kelas ini hanya memiliki keinginan dan harapan, tetapi tidak memiliki sumber daya untuk melakukannya.
Di sinilah harapan terhadap kelas menengah berperan sebagai agen perubahan. Kebutuhan mereka akan “eksistensi diri” menyebabkan kelas menengah ini masih menginginkan adanya perubahan, dan juga memiliki sumber daya untuk melakukannya, baik secara finansial, pendidikan, koneksi dan jaringan.
Tetapi kelas menengah Indonesia adalah sebuah anomali. Kelas menengah di Negara lain terbentuk secara mandiri dari hasil perjuangan, melalui kerja keras dan displin diri yang keras. Mereka terbentuk secara mandiri dan independen. Kelas menengah Indonesia tidak demikian adanya. Mereka dibentuk bukan terbentuk, tidak mengakar ke bawah tetapi menggantung ke atas. Mereka bahkan ikut dalam persekongkolan kelas atas untuk menguras harta Negara. Banyak diantara mereka menjadi kelas menengah karena memiliki kesempatan korupsi seperti Gayus, atau melakukan penipuan seperti penyedotan pulsa. Ada juga karena persekongkolan jahat seperti Inong Melinda Dee.
Maka kelas menengah Indonesia sibuk mengantre untuk membeli Ipad terbaru keluaran Apple, atau belanja ke Singapura, atau sibuk mengantre tiket untuk menonton konser Justin Bieber, menonton Harry Potter. Tiap malam mereka hang-out di kafe-kafe asik ber-BBM-ria, atau nonton bareng pertandingan sepak bola di kafe Mu di Sarinah. Topik pembicaraan mereka adalah tentang HP terbaru, film terbaru, merek parfum terbaru, konsernya MLTR (Michael Learn To Rock). Makanan mereka Spagheti dan pizza. Jangan berharap akan ada teriakan akan perubahan dari mereka, kecuali teriakan “gol,gol,gol”, atau “hiiiiiiii…..huuhuuhuuuu …..”, atau “ hhhoooorrrreeeeeee……”
Tak ada yang bisa diharapkan dari kelas menengah Indonesia .
4. KELAS MENENGAH MEMANG PAYAH?
Mereka memiliki rasa aman karena mempunyai stok finansial (tabungan, deposito, atau asset produktif lainnya). Kelas menengah ini berada dalam tahap pemenuhan akan “eksistensi diri”, mereka masih memiliki idealisme.
Sehingga, untuk sebagian, ada harapan terhadap kelas menengah sebagai agen perubahan. Kebutuhan mereka akan “eksistensi diri” menyebabkan kelas menengah ini masih menginginkan adanya perubahan, dan juga memiliki sumber daya untuk melakukannya, baik secara finansial, pendidikan, koneksi dan jaringan.
Melejitnya jumlah kelas menengah berdampak positif pada perdagangan kulakan, eceran serta sektor jasa lain, seperti transportasi dan telekomunikasi. Pertumbuhan yang paling terasa terjadi pada sektor perdagangan kulakan dan eceran.
Dua sektor itu menikmati investasi asing sebesar 19,4% pada 2010. Padahal, setahun sebelumnya, porsi masuknya investasi asing di sektor ini hanya 1,5% dari total investasi yang masuk. Besarnya minat investor masuk ke sektor perdagangan eceran dan kulakan tidak terlepas karena semakin membaiknya tingkat ekonomi masyarakat kelas menengah.
Dengan pendapatan yang lebih besar, kini masyarakat kelas menengah bisa mengalokasikan anggaran belanja yang lebih besar. Kaum kelas menengah kini lebih banyak membelanjakan uangnya untuk makanan dan perawatan tubuh. Tren belanja untuk produk konsumsi cepat habis atau fast moving consumers goods.
Tetapi para analis menyebut kelas menengah
Kelas menengah
Banyak di antara mereka menjadi kelas menengah karena memiliki kesempatan korupsi seperti Gayus, atau melakukan penipuan seperti penyedotan pulsa.
Akibatnya, kelas menengah menjadi sumber kegelisahan rakyat di bawah. Ah, kelas menengah kita memang payah. [berbagai sumber]
Komentar
Posting Komentar