Langsung ke konten utama

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM KEBUDAYAAN WAYANG

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM KEBUDAYAAN WAYANG

 
PENDAHULUAN

WAYANG adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In­donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem­perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.



Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Wayang?
2. Apakah Nilai – nilai Pendidikan Islam yang terkandung dlam kebudayaan wayang?

ANALISIS

Saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis multidimensi yang diakibatkan oleh krisis moral. Krisis multidimensi ini terjadi berkepanjangan karena moralitas bangsa Indonesia sebagian besar telah rusak, hal ini terlihat dari aktivitas pelanggaran hukum yang semakin merajalela. Krisis moral diduga berawal dari semakin jauhnya bangsa Indonesia terhadap kebudayaan yang ada dan semakin maraknya budaya-budaya asing yang kurang sesuai dengan budaya asli bangsa Indonesia. Masuknya budaya-budaya asing yang kurang sesuai ini terjadi dari lemahnya karakter bangsa Indonesia yang mengakibatkan daya saring terhadap budaya asing yang masuk ke Indonesia. Bahkan saat ini para penerus generasi bangsa merasa lebih senang bila menerapkan budaya-budaya asingdaripada budaya kita sendiri. Hal ini terlihat dari gaya berpakaian maupun gayadalam bertingkah laku.



Pertunjukkan wayang di Indonesia kurang disukai karena cara pengemasan pertunjukan wayang yang kurang menarik. Pertunjukkan wayang ditayangkan malam hari sampai menjelang subuh. Hal ini menyebabkan pertunjukan wayang lebih diminati oleh sebagian kecil masyarakat. Padahal banyak nilai-nilai luhur yang dapat dipelajari dari pertunjukan wayang. Bagi kebanyakan anak muda, image pertunjukan wayang bukanlah suatu trend yang patut diikuti. Hal ini menyebabkan anak-anak muda cenderung tidak memiliki ketertarikan pada seni pertunjukan wayang. Durasi pertunjukan wayang yang terlalu lama menyebabkan rasa bosan bagi penontonnya. Selain itu pertunjukkan wayang sering menggunakan bahasa daerah yang kental, sehingga hanya orang-orang tertentuyang dapat memahami isi cerita dari pertunjukan wayang.

Berdasarkan berbagai keterbatasan tersebut, maka langkah-langkah yang dapat diambil adalah dengan mengubah pengemasan pertunjukan wayang kulit tanpa merubah isi dan juga nilai-nilai ajaran di dalamnya. Kemasan yang dapat diubah adalah jam tayang pertunjukan, durasi pertunjukan, dan bahasa penyajiannya. Jam tayang pertunjukan dapat diganti menjadi lebih awal sehingga akan lebih banyak orang yang dapat menyaksikan pertunjukan wayang. Durasi pertunjukan juga dapat dikurangi tanpa mengurangi isi cerita dan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya sehingga penonton tidak akan cepat bosan selama pertunjukan berlangsung. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia sehingga bukan hanya orang Jawa yang dapat
mengerti jalan ceritanya. Selain itu, perpaduan seni dalam pertunjukan wayang kulit juga dapat dilakukan tanpa mengubah ajaran moral yang dapat diambil didalamnya. Masyarakat akan senang menyaksikan, sehingga masyarakat dapat menerima pendidikan moral dengan senang.


Dengan demikian pertunjukan wayang kulit dapat menjadi sarana untuk memberikan pendidikan moral yang menyenangkan, karena suasananya menghibur penonton. Selain memperoleh hiburan dengan seni yang dimainkan oleh dalang dengan wayang kulit serta lagu-lagu iringan oleh para sinden atau penyanyi lagu-lagu yang mengiringi kisah cerita dalam pewayangan, penonton juga mendapatkan pendidikan moral.

A.Sejarah Wayang

Ada dua pendapat mengenai asal – usul wayang. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.


Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe­wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo­nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur­nya.

Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In­dia, Walmiki.


Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawa­yang” dan `aringgit’ yang maksudnya adalah per­tunjukan wayang.

B. Kelahiran Wayang Kulit

Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis­toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone­sia halaman 987.3


Kata `wayang’ diduga berasal dari kata `wewa­yangan’, yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga masih belum ada.

Sejak saat itulah cerita – ­cerita Panji, yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.


Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.

Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.

C. Nilai-nilai Pendidikan yang terkandung Dalam Budaya Wayang

Lewat pertunjukkan wayang melalui tokoh serta ceritanya mempunyai peran dalam pembinaan dan pendidikan untuk membangun karakter bangsa.Karena wayang menjadi salah satu kekayaan tradisi bangsa Indonesia,sudah seharusnya dilestarikan dan dimanfaatkan dalam pembentukan budaya bangsa yang akan jadi potret orang Indonesia sampai kapanpun.
Nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam pewayangan selalu mengajak masyarakat untuk berbuat baik dan menhindari kejahatan,serta menanamkan kepada masyarakat semangat “amar ma’ruf nahi mungkar” atau istilah dalam pewayangan “memayu hayuning bebrayan agung”,sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing.

Dalam kisah pewayangan ini yang patut diteladani adalah peran tokoh Sri Rama dan Arjuna yang memilki sifat selalu mengedepankan kebenaran dan keadilan,dalam penampilanya rapi,penuh dengan senyum,tutur bahasanya halus,tingkah lakunya terukur dan tampak tidak berminat membuat orang susah terhadap siapapun.

Peran kepemimpinan tokoh A biasa yang juga patut diteladani,karena paada waktu ia menjadi penguasa di negeri Astina selalu mencintai dan memberi perhatian kepada rakyatnya,memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten,memiliki visioner dan integritas yang tinggi,sehingga ia dicintai dan dipercaya oleh pengikutnya.

Dalam menjalankan kepemimpinan hendaknya berlandaskan pada kepemimpinan “Hasta Brata” yang terdapat 8 (delapan) laku nilai-nilai watak kepemimpinan yang meniru sifat-sifat keutamaan alam semesta,yaitu:
1. Bumi yaitu seorang pemimpin harus setia memberi kebutuhan-kebutuhan hidup kepada siapa saja,sabar(bumi sebagai sumber kehidupan).
2. Air yaitu pemimpin harus selalu turun ke bawah(rakyat) untuk melihat dan memberi kesejukan serta tidak menempatkan diri lebih tinggi dan lebih rendah daripada siapapun,karena air bertabiat rata.
3. Angin yaitu pemimpin harus sanggup menghembus siapa saja tanpa pandang bulu dan tanpa pilih kasih.
4. Bulan yaitu pemimpin harus dapat menerangi siapapun yang sedang kegelapan sehingga dapat memberikan kesejahteraan,keindahan dan harapan.
5. Matahari yaitu pemimpin harus memberi petunjuk sebagai sumber kekuatan yang menghidupkan.
6. Samudra yaitu pemimpin harus memberi kasih sayang dan kebebasan tak terbatas,karena samudra luas dan tak bertepi.
7. Gunung yaitu pemimpin harus kukuh dan kuat untuk melindungi rakyatnya.
8. Api yaitu pemimpin harus mampu membakar dan memberi kehangatan(mampu memberantas kejahatan dan memberi kenikmatan).

Dengan harapan muatan tulisan diatas,dapat menyadarkan masyarakat akan pentingnya kearifan nilai-nilai budaya lokal dalam membangun sosok watak bangsa yang memiliki budaya unggul,baik keunggulan bidang spiritulitas,intelektualitas,disiplin dan ethos kerja,yang selanjutnya diharapkan dapat mendorong terwujudnya cita-cita reformasi untuk memenuhi harapan kita

Dalam dunia pewayangan kita juga mengenal beberapa hal diantaranya kata brahmana, ksatria, wisya, sudra. Dengan mengenal tingkat status sosial maka masing-masing tokoh bisa mengenal dirinya sebagai apa dan harus bagaimana dalam bersikap dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari dalam dunia pewayangan.

Misal Seorang Brahmana dalam membawakan diri harus :
a. Sumeh : ramah tamah terhadap siapapun dan selalu bermuka jernih. Murah senyum.
b. Sareh : tidak mudah emosi, semua diatasi dengan kebijaksanaan.
c. Waleh : selalu berterus terang dan tidak ada yang dirahasiakan.
d. Sumeleh : percaya kepada keadilan Tuhan. Berpegang pada siapa yang menanam dia yang akan menuai.
e. Aja remeh : tahu untuk tidak bertindak nistha, seperti menipu, maling, membunuh, main perempuan dan lain-lain.

Kastra Sudra dalam dunia pewayangan menggambarkan kawula alit yang penuh dengan kekurangan baik secara fisik maupun mental spiritual, sehingga mereka digambarkan dalam bentuk yang tidak sempurna. Misal seperti tokoh dibawah ini.

Nala Gareng, secara fisik dia diberi kekurangan: mata kero, sikil pencik, tangan ceko, irung menthol. Petruk (wudel bodhong, irung bangir, awak bungkuk), Bagong (pawakan cebol, lambe doble, irung pesek), Semar (secara fisik sama dengan Bagong), Bilung (orang kerdil, banyak borok, kudisan), Togog juga demikian adanya, semuanya ini menggambarkan kawula alit yang penuh dengan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan. Tokoh-tokoh inilah yang dapat melengkapi dunia pertunjukan wayang kulit sehingga semakin komplit dan dapat diterima disemua kalangan masyarakat. Dengan tokoh2 sudra inilah para dalang mampu memberikan kritik-kritik yang pedas terhadap tatanan masyarakat dan pemerintahan yang tidak sesuai dengan norma.

D. Pendapat Para Ahli Kebudayaan Tentang Nilai Pendidikan Dalam Kebudayaan Wayang

Menurut Amir (1997), nilai-nilai yang terdapat dalam wayang, oleh sejarahnya yang teramat panjang, merangkum nilai-nilai yang berasal dari system etika purba, Hinduisme/Budhisme, Islam, aliran-aliran kepercayaan/kebathinan dan lain-lain. Ajaran wayang purwa banyak mempengaruhi cara berpikir dan perilaku masyarakat penggemarnya (Jawa).

Seorang pemerhati wayang di Yogyakarta, Tjipto Haribowo memandang kesenian wayang kulit dapat dipakai sebagai sebuah media pembelajaran hidup mulai dari sensitivitas, sensibilitas, etika, demokratisasi, atau bahkan pembelajaran bagaimana hidup dalam suasana pluralisme (Rahman, 2008).

Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa maupun sebagai dasar negara/ideologi negara adalah sebuah kesadaran; artinya kita meyakini nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dengan penuh kesadaran. Ini juga berarti adanya kesadaran bahwa eksistensi kita sebagai bangsa dan negara yang sangat beragam ini adalah sebuah potensi, jika dikelola dengan baik dengan meng-implementasikan nilai-nilai Pancasila di berbagai bidang: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, hukum, sejarah, ekonomi, industri dan sebagainya maka niscaya akan membuat kita menjadi sebuah bangsa dan negara yang besar (Arifin, 2008).

KESIMPULAN

Secara lahiriah, kesenian wayang merupakan hiburan yang mengasyikkan baik ditinjau dari segi wujud maupun seni pakelirnya. Namun demikian dibalik seni pakeliran yang tersurat ini terkandung nilai adiluhur sebagai santapan rohani secara tersirat. Peranan seni dalam pewayangan merupakan unsur dominan. Akan tetapi apabila dikaji secara mendalam dapat ditelusuri nilai-nilai edukatif yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk pasemon atau perlambang. Oleh karena itu, kemampuan seseorang dalam melihat nilai-nilai tersebut tergantung juga dari cara menghayati dan mencerna bentuk-bentuk simbol atau lambang dalam pewayangan. Dalam lakon-lakon tertentu misalnya lakon yang diambil dari Serat Ramayana maupun Mahabarata sebenarnya dapat diambil pelajaran yang mengandung pendidikan. Peranan kesenian wayang sebagai sarana penunjang pendidikan kepribadian bangsa, rasanya perlu mendapat tinjauan secara khusus. Berdasarkan sejarahnya, kesenian wayang jelas lahir di bumi Indonesia.

Berbicara mengenai kesenian wayang dalam hubungannya dengan pendidikan kepribadian bangsa tidak dapat lepas dari tinjauan kesenian wayang itu sendiri dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan cirri khusus yang dapat membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Pancasila adalah norma yang mengatur tingkah laku dan perikehidupan bangsa.



Wayang merupakan suatu bentuk seni gabungan antara unsur seni seni rupa dengan menampilkan tokoh wayangnya yang diiringi dengan gending atau irama gamelan, diwarnai dialog (antarwacana), menyajikan lakon dan pitutur atau petunjuk hidup manusia dalam falsafah. Sehingga pertunjukan wayang kulit di daerah jawa dapat menjadi sarana hiburan sekaligus sebagai sarana pendidikan
yang dapat memperbaiki moralitas penduduk jawa dan bangsa Indonesia secara umum. Perbaikan moral merupakan faktor yang sangat penting untuk mengentaskan bangsa Indonesia dari krisis multidimensi yang berkepanjangan. Sehingga pertunjukan wayang kulit dapat menjadi solusi untuk memperbaiki kondisi bangsa Indonesia.

Dengan membudayanya pertunjukan wayang kulit di Indonesia khususnya Tanah Jawa akan berdampak pada:
1. Melestarikan budaya Jawa sebagai budaya daerah yang menopang kuatnya budaya nasional.
2. Dapat menyaring budaya-budaya asing yang masuk, yang mana budaya asing yang baik artinya yang sesuai dengan budaya kita, kita terima dan yang tidak sesuai tidak kita terima.
3. Melindungi generasi Indonesia agar tidak terkontaminasi dengan budaya asing yang kurang baik.
4. Memperbaiki perilaku bangsa Indonesia karena pertunjukan wayang selalu berisi tentang ajaran-ajaran kehidupan yang benar sesuai dengan nurani.
5. Rasa cinta dan bangga terhadap tanah air dan bangsa akan semakin meningkat dibenak generasi Indonesia pada khususnya dan masyarakat indonesia pada umumnya, sehingga akan berdampak pada lancarnya pembangunan Indonesia menjadi negara yang lebih baik.

http://ekodariyanto.wordpress.com/2012/03/20/nilai-nilai-pendidikan-dalam-kebudayaan-wayang/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RINGKASAN CERITA ANOMAN DUTA (SANG UTUSAN )

RINGKASAN CERITA ANOMAN DUTA (SANG UTUSAN ) Prabu Dasamuka menyerahkan Dewi Sinta yang diculiknya, di bawah pengawasan Dewi Trijata di Taman Argasoka, kemenakannya. Sementara Regawa alias Rama terus mencari istrinya yang hilang. Ia sudah mendapat petunjuk dari Jatayu bahwa Sinta diculik raja Alengka bernama Prabu Dasamuka. Perjalan Rama ke Alengka disertai Laksamana, adiknya, dan Prabu Sugriwa serta seluruh bala tentara Kerajaan Guwakiskenda. Setelah membangun perkemahan di daerah Mangliawan, Ramawijaya mengutus Anoman untuk menjadi duta, menemui Dewi Sinta di Keraton Alengka. Hal ini membuat iri Anggada, sehingga terjadi perkelahian dengan Anoman. Rama kemudian menyadarkan Anggada, bahwa nanti akan ada tugas penting lainnya bagi Anggada. Perjalanan Anoman ke Alengka ternyata penuh hambatan. Mulanya ia berjumpa dengan Dewi Sayempraba, salah seorang istri Prabu Dasamuka. Anoman dirayu, dan diberi hidangan buah-buahan beracun. Akibatnya Anoman menjadi buta. Untunglah ia ditol

DOWNLOAD KUMPULAN MP3 GENDING JAWA DAN LAGU JAWA

 Download Kumpulan MP3 Gending Jawa dan Lagu Jawa DOWNLOAD KUMPULAN MP3 GENDING JAWA DAN LAGU JAWA MP3 GENDHING JAWA http://piwulangjawi.blogspot.com/p/mp3-gending-jawi.html GENDHING-GENDHING JAWA DALAM FORMAT MP3  DIPERSILAHKAN KEPADA STRISNO BUDAYA JAWA UNTUK MENGUNDUH ANEKA GENDHING JAWA KLASIK I : 001.  BENDRONGAN – PUCUNG RUBUH – GANDRUNG MANIS – DANDANGGULA BANJET – ASMARADANA JAKALOLA.mp3 002.  BW. GAMBUH LGM. LELO LEDHUNG – LDR. SARAYUDA – LAGU ONDHE-ONDHE Pl. Br.mp3 003.  BW. LEBDAJIWA – KUTUT MANGGUNG Pl. Br.mp3 004.  BW. MUSTIKENGRAT – GENDHING CANDRA -LDR. SRI HASCARYA – LDR. WESMASTER Sl.9.mp3 005.  BW. SEKAR AGENG SUDIRAWARNA – UDAN BASUKI – LIPUSARI – GAMBUH Sl. Mny.mp3 006.  BW. SUDIRAWARNA – GENDHING WIDASARI – LDR. LIPUR SARI Sl. Mny.mp3 007.  GENDHING BANDILORI – LDR. ELING-ELING – KTW. PRANA ASMARA – SLEPEG MAWA PALARAN Pl. Br.mp3 008.  GENDHING BONANG SLEBRAK PL.5.mp3 009.  GENDHING BUDHENG-BUDHENG – LDR. SARAYUDA Pl.6.mp3 010.  GENDHING