Dinamika Sastra Pop Pesantren
Oleh: Linda S Priyatna
Sabtu, 30 Maret 2013
Oleh: Linda S Priyatna
Sabtu, 30 Maret 2013
Secara kualitatif, dinamika sastra pesantren bisa kita analisis.
Salah satunya adalah melalui pelbagai macam perubahan serta pergeseran corak
orientasi paradigmatik yang menjadi substansi dalam karya sastra yang
bersangkutan. Maka, bertambahlah 'spesies' baru, khazanah sastra pesantren
mutakhir; sastra pop pesantren dan sastra pesantren yang subversif. Keberadaan
dua spesies baru ini tidak hanya melengkapi dan menemani kanon sastra pesantren
yang sudah ada, tetapi juga di banyak sisi menyimpan suatu potensi dialektis
dan kritis baginya; intertextual clash (benturan intertekstual).
Sebagaimana
kita kenal dari jejak historisnya, sastra pesantren kita dikenal sebagai genre
sastra yang giat mengangkat tema-tema nilai esoterik keagamaan; Cinta
Illahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau
ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos).
Mayoritas
begitu kental dengan nuansa religius. Ini terlihat begitu jelas dalam
karya-karya sastrawan pesantren tahun 90-an Acep Zamzam Noor, D Zawawi Imron,
Zainal Arifin Toha, Jamal D Rahman, Abi-dah el-Khaeliqi, Kuswaidi Syafi'ie,
Faizi L. Kaelan dan sastrawan-sastrawan lain yang ruang kreasi mereka bertempat
di lingkungan geografis yang bernama pesantren.
Akibat
kentalnya nuansa tasawwuf, sastra pesantren sering di-identikan dengan sastra
sufistik atau sastra profetik (nubuwwah). Dengan kata lain, karakter sastra
sufistik telah menjadi kanon sastra (mainstream literature) dalam tradisi
kesusasteraan pesantren. Dengan Cinta Ilahiyyah dan spirit religius yang
menjadi grand theme, paradigma estetika utama dalam etos berkreasi, sastra
pesantren sebenarnya membawakan relevansi yang cukup signifikan terhadap
vitalitas tradisi keilmuan di pesantren itu sendiri; sastra pesantren menjadi
salah satu media alternatif bagi para apresian untuk mengenal dunia tasawwuf.
Dengan
apresiasi yang kontinyu, paling tidak sedikit demi sedikit nilai estetika dan
kearifan humanis-teologis yang inheren dalam karya sastra dapat membentuk suatu
sikap yang eklektik dalam beragama bagi para apresian, salah satunya dicirikan
dengan terbangunnya sinergitas pemahaman terhadap fiqih dan tasawwuf.
Dengan
kentalnya nuansa Cinta Illahiyah ini pula, lengkaplah sudah sastra pe-santren
sebagai subjek mayoritas dari keluarga besar sastra Indonesia yang mengusung
dan meng-eksplorasi simbol-simbol serta nilai religiusitas (Islam). Sekalipun
tentu saja, secara hakiki nilai-nilai sufistik dan profetik tidak bersifat
ekslusif untuk golongan tertentu, melainkan juga terbuka luas untuk kalangan
non-pesantren.
Dewasa
ini ada perkembangan yang cukup menarik; bahwa kalangan sastrawan pesantren
ternyata tidak hanya menjadikan ke-tasawwuf-an sebagai grand theme dalam etos
kreativitasnya; satu persatu mulai terlihat adanya keliaran, muntahan-muntahan
kegelisahan untuk merambah ke sisi-sisi lain. Sastra pesantren berada dalam
kegelisahan yang panas. Di sinilah saya melihat munculnya genre sastra
pesantren yang subversif.
Yang
paling ekstrim barangkali adalah novel Mairil (Pilar Media, Yogyakarta; 2005)
karangan Syarifuddin yang sedemikian berani mengangkat sisi gelap pesantren;
yakni abnormalitas perilaku seksual yang terjadi di pesantren (mairil;
homoseksual). Detail-detail ilustrasi peristiwa yang diangkat dari fakta itu
dina-rasikan sedemikian vulgar.
Boleh
dika-ta-kan novel ini subversif terhadap tradisi pesantren; bukankah
seksualitas dan cinta lawan jenis menjadi suatu hal yang (di) tabu (kan) di
pesantren? Faktanya; pembatasan pergaulan lawan jenis yang berlebihan merupakan
faktor uta-ma dari disorientasi seksual yang terjadi di pesantren. Meskipun
tidak bisa tidak, di sisi lain novel ini potensial menciptakan suatu bias
eksternal; dimana ia mengundang stigma buruk kalangan masyarakat terhadap
pesantren sebagai institusi pendidikan berbasis agama.
Sayangnya,
kritisitas novel Mairil ini tidak diimbangi dengan kebaruan corak dan wawasan
estetika. Prestasi dari novel Mairil adalah kualitas dokumenter (Faruk HT,
2000) dimana ia berhasil mendongkrak sisi tersembunyi pesantren sebagai suatu
sistem yang dinamis, dan bukan kualitas literer; kualitas stilistika, capaian
estetika sastrawinya masih cenderung nge-pop.
Namun,
inilah satu bentuk muntahan otokritik baru. Revolusioner terhadap kultur
pesantren yang mayoritas cenderung patriarkhal dan mono-referen (hanya terpaku
pada sistem referensi pemahaman tunggal). Secara implisit, dapat kita
interpretasikan bahwa kehadiran novel Mairil berusaha membuka cakrawala baru
pemahaman tentang cinta; bahwa Cinta Illahiyah -yang sufistik- tidak begitu saja
dengan gampang diraih secara instant.
Demi
kesuksesan dalam perjalanan mendaki tangga-tangga cinta, seorang insan mesti
sabar dalam melewati tahapan-tahapan dimensional dari Jalan Cinta. Bukankah Ibn
'Arabi, sang maestro sufi itu pernah memberikan formulasi tentang Jalan Cinta;
Cinta alami (cinta lawan jenis dan unifikasi makrokosmis), Cinta Ruhani, dan
Cinta Illahi. Dan Cinta Alami menempati posisi yang amat vital; bukankah Ibn
Arabi juga mampu menelurkan banyak karya lantaran motivasi psikologis yang kuat
dari Nidzam, seorang wanita Baghdad yang dicintainya?
Karenanya
jatuh cinta terhadap lawan jenis adalah manusiawi dan tak bisa ditinggalkan. Di
wilayah sosio-internal, novel Mairil kiranya layak untuk mendapat perhatian
dari kalangan elite pesantren. Suatu tantangan untuk berintrospeksi; bagaimana
merekontruksi dan merevisi kembali penataan lingkungan pergaulan (millieu)
antar lawan jenis, atau mulai mempertimbangkan pendidikan seksual yang efektif
dan proporsional bagi santri-santrinya. Secara kuantitatif, sastra pop
pesantren semakin menyemarakkan industri perbukuan. ***
Komentar
Posting Komentar