Langsung ke konten utama

DOSA POKOK,PEMERIKSAAN BATIN DENGAN NILAI-NILAI KRISTIANI DAN 8 SABDA BAHAGIA,10 PERINTAH ALLAH & 7 DOSA POKOK ,5 PERINTAH GEREJA

Apa itu Dosa-Dosa Pokok?
http://yesaya.indocell.net/1x1.gif
oleh: Romo William P. Saunders *
http://yesaya.indocell.net/1x1.gifMengapakah dosa-dosa pokok disebut dosa-dosa pokok?
~ seorang pembaca di Alexandria

Dosa-dosa pokok (= capital sins) adalah sumber segala dosa lainnya. Kata `capital' berasal dari kata Latin `caput' yang berarti `kepala'. Sesungguhnya, dalam membahas masalah ini, St Thomas Aquinas lebih suka mempergunakan kata “kebiasaan buruk” daripada “dosa”. Ia mengatakan, “Suatu kebiasaan buruk pokok adalah suatu kebiasaan buruk yang membangkitkan hasrat yang terlampau berlebihan sehingga demi memenuhi hasrat tersebut, orang akhirnya melakukan banyak dosa, yang dapat dikatakan kesemuanya berasal dari kebiasaan buruk yang satu itu sebagai sumber utamanya” (Summa Theologiae, II-II, 153, 4). Di sini St Thomas menekankan disposisi atau kebiasaan yang membuat orang cenderung untuk berbuat dosa. Sebab itu, dosa-dosa pokok atau kebiasaan-kebiasaan buruk pokok adalah sungguh “pokok” dan serius sebab merupakan sumber dari dosa-dosa aktual tertentu, entah dosa berat ataupun dosa ringan; pada gilirannya, pengulangan dosa-dosa aktual, khususnya dosa-dosa berat, menghantar pada kerusakan rohani orang yang hidupnya dikuasai oleh kebiasaan buruk ini.  

Menurut tradisi, yang termasuk dalam dosa-dosa pokok ini seperti dimaklumkan oleh Paus St Gegorius Agung, adalah: kesombongan, ketamakan, hawa nafsu, iri hati, kerakusan, kemarahan dan kemalasan. Menariknya, St Thomas memasukkan “besar kepala” dan bukan kesombongan, guna menegaskan bahwa kesombongan adalah sumber dari segala dosa lainnya tanpa kecuali. Kita sekarang akan memberikan perhatian secara ringkas pada masing-masing dosa pokok; definisi klasik dalam teologi moral berikut dikutip dari Father Dominic Prummer's Handbook of Moral Theology.

KESOMBONGAN adalah “hasrat yang berlebihan untuk menonjolkan keunggulan diri sendiri.” Kesombongan disebut “penuh” apabila orang begitu dikuasai olehnya hingga ia menolak untuk menundukkan akal budi dan kehendaknya pada Tuhan, serta taat pada perintah-perintah-Nya. Orang yang demikian menolak Tuhan dan mereka yang mewakili-Nya. Dalam arti tertentu, seorang dengan kesombongan penuh menjadikan dirinya sendiri tuhan.

Kesombongan dapat juga “tidak penuh”. Di sini orang tidak menolak Tuhan atau mereka yang lebih tinggi darinya; melainkan, ia sekedar menilai dirinya terlalu tinggi.

Sehubungan dengan kesombongan adalah “besar kepala”, di mana orang memiliki hasrat berlebihan untuk memamerkan keunggulannya dan menerima pujian. Tentu saja, setiap orang hendaknya berbangga akan apa yang telah dicapainya dan bersyukur kepada Tuhan atas kemampuan yang dianugerahkan-Nya sehingga dapat melakukan sesuatu dengan baik. Namun demikian, disposisi batin yang demikian berbeda dari orang yang dalam “ke-ego-annya” termotivasi untuk melakukan sesuatu hanya demi mendapatkan pujian dan penghargaan, atau senantiasa berbicara mengenai “aku melakukan ini” dan “aku melakukan itu” demi membuat orang-orang lain kagum dan menyampaikan pujian mereka.

Kesombongan merupakan suatu kebiasaan buruk yang sangat berbahaya, demikian kata St Thomas, sebab orang begitu rentan terhadap kesombongan sebagai akibat dari luka dosa asal. Kesombongan dapat dengan mudah masuk diam-diam dalam kehidupan kita, berkembang pesat tanpa kita ketahui, berakar, dan mencemari segala yang kita lakukan. St Yohanes Vianney mengajarkan, “Kesombongan membuat kita membenci mereka yang sama dengan kita karena mereka sama dengan kita; mereka yang di bawah kita karena khawatir mereka akan menyamai kita; mereka yang di atas kita karena mereka di atas kita.” Penyembuh rohani untuk kesombongan meliputi pemeriksaan batin secara rutin dan seksama, mengamalkan kerendahan hati dan merenungkan kerendahan hati serta pelayanan Kristus.

KETAMAKAN “adalah cinta yang berlebihan akan harta milik atau kekayaan.” Seorang, terdorong oleh keserakahan, sibuk mendapatkan dan mendapatkan terlebih banyak lagi harta kekayaan. Seorang yang tamak terikat bergitu rupa pada kekayaan dan harta milik sehingga pengumpulan dan penimbunan harta kekayaan menjadi tujuan utama hidup dan mendapatkan prioritas di atas orang maupun segala hal lainnya. Ada beberapa bentuk ketamakan: Sebagai contoh, sebagian orang tamak akan barang-barang materi, selalu ingin mendapatkan lebih banyak dan hanya memberikan kelebihannya, “sedikit tip”, sesuatu yang tak akan merugikan. Sebagian orang tamak akan waktu, hanya melakukan apa yang dengan suatu cara tertentu mendatangkan keuntungan bagi mereka. Sebagian orang tamak akan relasi, berteman demi status atau mempergunakan orang demi keuntungan diri sendiri. Orang dapat dengan mudah menjadi keras hati dan buta terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka yang kurang beruntung. Dipicu ketamakan, orang merasa dapat mencukupi diri sendiri, berpuas diri dan tidak membutuhkan Tuhan.

Guna memerangi ketamakan, orang harus banyak bersyukur dalam doa setiap hari atas begitu banyak berkat yang dinikmati, mencermati bagaimana baiknya berkat-berkat itu dipergunakan sebagai sarana untuk menolong mereka yang kurang beruntung dan senantiasa ingat bahwa ketika orang mati, semuanya akan ditinggalkan. Orang perlu merenungkan banyak pengajaran dan contoh-contoh dalam Kitab Suci di mana orang diingatkan agar waspada terhadap ketamakan. Tuhan kita mengatakan, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan” (Luk 12:15) dan perhatikan, “Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Mrk 10: 25). Secara khusus, orang perlu merenungkan teladan Yesus. St Yohanes Vianney mengajarkan, “Ketamakan adalah cinta berlebihan akan kekayaan dan akan hal-hal baik dalam hidup ini. Yesus Kristus, demi menyembuhkan kita dari ketamakan, dilahirkan dalam kemiskinan yang sangat, jauh dari segala kenyamanan. Ia memilih seorang Bunda yang miskin. Ia menghendaki dilahirkan sebagai Putra seorang tukang kayu yang sederhana.” Ya, apabila kita meninggal dan menghadapi penghakiman, kita akan berdiri di hadapan Tuhan kita dengan tangan-tangan kosong; yang terpenting pada saat itu ialah jiwa yang dipenuhi kasih kepada-Nya dan yang ditandai dengan perbuatan-perbuatan baik.

HAWA NAFSU adalah “hasrat yang berlebihan akan kenikmatan seksual.” Dikuasai hawa nafsu, orang secara egois mencari cara untuk memuaskan hasrat seksualnya. Ia mencari kenikmatan pribadi yang sekejap. Ia memandang orang lain lebih sebagai tubuh belaka daripada sebagai pribadi. Dosa-dosa yang berkembang dari hawa nafsu termasuk menikmati pikiran-pikiran yang tidak sopan, masturbasi, percabulan, perzinahan dan pornografi. St Bernardus dari Clairvaux mengajarkan, “Cinta berlebihan akan daging adalah kekejian, sebab di bawah rupa memuaskan tubuh, kita membunuh jiwa.” Pada akhirnya, hawa nafsu menghantar orang pada pemujaan kenikmatan seksual.

Hawa nafsu berbeda dari hasrat sehat suami isteri untuk saling mengungkapkan kasih mereka sebagai suami dan isteri dalam ikatan perkawinan. Kasih suami isteri dalam perkawinan adalah suatu tindakan saling memberi diri yang bebas, saling menghormati martabat suami dan isteri, yang meneguhkan janji pernikahan mereka dan terbuka terhadap kehidupan baru.

Sebab itu, demi memerangi hawa nafsu, orang hendaknya berdoa mohon keutamaan kemurnian, waspada terhadap kesempatan dosa (yang begitu banyak dalam dunia ini) dan memiliki visi yang jelas akan kebaikan seksualitas dirinya, perkawinan dan kasih suami isteri seperti dirancangkan oleh Tuhan. Apabila datang pemikiran-pemikiran atau hasrat-hasrat yang tidak sopan, dan orang dapat jatuh ke dalam dosa, para pembimbing rohani juga menyarankan orang kerap menerima Sakramen Tobat, menghindarkan diri dari bermalas-malasan dan segera mengalihkan perhatian. Sebagai contoh, suatu ketika, St Fransiskus dari Assisi begitu dikuasai oleh pemikiran-pemikiran yang tidak sopan, maka ia melemparkan diri ke dalam semak-semak mawar. (Mungkin ada baiknya kita menanam banyak semak-semak mawar di sekitar wilayah kita!)

IRI HATI adalah “kesedihan atas hal-hal baik yang dinikmati orang lain, yang dianggap membahayakan diri sendiri oleh sebab hal-hal baik tersebut memudarkan keunggulan atau kemasyhuran diri.” Iri hati memperanakkan kebencian, gosip, pelecehan dan kedengkian terhadap sesama. Seorang yang iri hati tidak saja dengki atas kebaikan dalam diri orang lain - bakat, penampilan, harta milik, profesi atau popularitas - tetapi ia juga bergembira dan bahkan bersukacita atas kesulitan atau kemalangan yang dihadapi orang lain. Iri adalah dosa yang keji sebab ia masuk diam-diam ke dalam persahabatan-persahabatan yang akrab, bahkan antara pasangan-pasangan yang saling mengasihi. Beberapa orang kudus besar, seperti St Bernadette, banyak menderita karena iri hati dari sesama anggota komunitas religiusnya sendiri. Penyembuhan iri hati meliputi mengamalkan kerendahan hati, bersyukur atas hal-hal baik dalam diri sendiri, dan merenungkan konsekuensi dari iri hati, baik rusaknya persahabatan maupun penghukuman ilahi.

KERAKUSAN adalah “hasrat yang berlebihan akan makanan dan minuman.” Kerakusan berbahaya bagi kesehatan mental maupun fisik, dan kerap kali menyembunyikan bahkan masalah rohani yang lebih dalam. Orang perlu melatih keutamaan penguasaan diri guna mencegah kerakusan. Juga, orang hendaknya ingat akan konsekuensi fisik atas penyalahgunaan makanan dan minuman; misalnya, minum berlebihan dapat menghantar orang pada kecanduan alkohol. Akhirnya, orang hendaknya senantiasa ingat akan mereka yang kurang beruntung dan yang menderita akibat kekurangan makanan dan minuman yang layak. Sama sekali tidak ada alasan untuk membuang-buang makanan, dan mereka yang melakukannya juga bersalah karena kerakusan - mengambil makanan sebanyak-banyaknya, lalu tidak memakannya habis, dan membuangnya secara percuma di sampah.

KEMARAHAN adalah “hasrat yang berlebihan untuk membalas dendam.” (Patut dicatat bahwa “kemarahan yang salah” ini berbeda dari “kemarahan yang benar,” di mana orang marah karena ketidakadilan di dunia atau bahkan dalam situasi-situasi pribadi, dan mencari cara untuk menanggulangi masalah serta memulihkan keadilan.) Kemarahan pertama-tama melanggar belas kasih sebab orang cenderung untuk bertindak dan berkata-kata sedemikian rupa, yang dapat melukai orang lain. Sebagai contoh, kata-kata yang dilontarkan dalam kemarahan, entah itu kata-kata kasar atau pernyataan yang menyakitkan mengenai orang lain, dapat menembus hingga ke lubuk hati orang. Kedua, kemarahan terkadang melanggar keadilan sebab orang bertindak di luar batas dalam menangani suatu masalah dan berusaha membalas dendam. St Thomas Aquinas mengajukan enam dampak sebagai akibat kebiasaan buruk kemarahan: kejengkelan, kekacauan mental, suara bicara yang memekakkan telinga, kutuk, makian dan pertikaian. Agar mawas diri terhadap kemarahan, orang harus setia pada keutamaan keadilan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan; menguasai diri dalam menangani suatu masalah; dan mengikuti teladan Kristus. St Katarina dari Siena mengatakan, “Tak ada dosa ataupun kesalahan yang dapat membuat orang mencicipi neraka sedemikian rupa dalam hidup ini seperti kemarahan dan ketidaksabaran.”

KEMALASAN adalah “kemurungan ketika berhadapan dengan hal-hal rohani” (St Thomas Aquinas). Kemalasan yang dimaksud di sini bukan sekedar kemalasan, tetapi teristimewa kemalasan rohani. Dosa-dosa yang berkembang dari kebiasaan buruk kemalasan ini meliputi suam-suam kuku terhadap perintah-perintah Allah, menyimpang pada apa yang dilarang dan memperkerap kesempatan dosa, pengecut dan berputusasa akan keselamatan. Penyembuh kemalasan adalah ingat akan ganjaran abadi yang dijanjikan, pula ingat akan hukuman atas dosa. Uskup Agung Fulton Sheen mengajarkan, “Kemalasan adalah suatu penyakit kehendak yang mengakibatkan kita melalaikan kewajiban. Kemalasan dapat berupa kemalasan jasmani maupun kemalasan rohani. Kemalasan jasmani ketika ia mewujudnyatakan dirinya dalam bermalas-malasan, menunda-nunda, berpangku tangan, acuh tak acuh dan kejemuan. Kemalasan rohani apabila ia mewujudnyatakan dirinya dalam ketidakpedulian untuk memperbaiki karakternya, keengganan terhadap hal-hal rohani, berdevosi dalam tempo sesingkatnya, suam-suam kuku dan gagal menanamkan keutamaan baru” (Victory over Vice, hal. 73).

Ketujuh dosa pokok, atau kebiasaan buruk pokok, adalah nyata. Tiap-tiap umat Kristiani wajib menyadari betapa rentan dirinya terhadap kebiasaan-kebiasaan buruk ini sebagai akibat dari dosa asal. Namun demikian, dengan rahmat Tuhan, yang dianugerahkan teristimewa melalui Sakramen Ekaristi Kudus dan Sakramen Tobat, dengan mentaati perintah-perintah Tuhan, dan mengamalkan keutamaan-keutamaan, umat Kristiani akan tinggal di jalan kekudusan. Seperti disabdakan Yesus, “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48).


* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
http://yesaya.indocell.net/1x1.gif
sumber : “Straight Answers: What Are Capital Sins?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
http://yesaya.indocell.net/1x1.gif
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
7 Dosa Pokok versus 3 Akar Dosa
http://www.indocell.net/yesaya/pustaka4/1x1.gif


Pater John, dalam Katekismus diajarkan ada tujuh dosa pokok, yaitu: kesombongan, ketamakan, kedengkian, kemurkaan, percabulan, kerakusan, kelambanan atau kejemuan. Dalam klasifikasi Pater hanya ada tiga. Mohon penjelasan.


Pertanyaan di atas menggambarkan betapa sungguh kayanya iman Katolik kita; melampaui kemampuan kita untuk memahaminya; selalu ada lagi yang perlu kita pelajari. Itulah sebabnya mengapa konsep “akar dosa” dapat dilihat, dijelaskan dan dipahami dari bermacam perspektif yang berbeda, seperti sebutir berlian yang memancarkan keindahannya melalui beragam segi permukaannya yang berbeda. Apa yang tampak sebagai kontradiksi antara penggolongan akar dosa menjadi tujuh atau tiga, perlu dipahami secara demikian.


Menyambut Kekayaan Rohani

Sebelum saya menjelaskan, saya hendak mengilustrasikan point ini dengan suatu topik yang berbeda. Katekismus seringkali mengacu kembali pada gagasan-gagasan kunci. Sebagai misal, dalam #45 diajarkan kepada kita tujuan keberadaan manusia: “Manusia diciptakan supaya hidup dalam persatuan dengan Allah, di mana ia menemukan kebahagiaannya.” Kalimat sederhana itu bagai sebuah bom atom; kecil, namun dayanya dahsyat. Tetapi kemudian, dalam #1721, Katekismus memberikan suatu penjelasan yang tampaknya berbeda mengenai tujuan keberadaan manusia: “Allah memanggil kita ke dalam keberadaan, supaya kita mengenal Dia, melayani Dia, mengasihi Dia dan dengan demikian masuk ke dalam Firdaus.” Sungguh adakah suatu kontradiksi di sini? Dalam kata-kata, ya; dalam makna dari kata-kata itu, tidak. Realita tujuan kita sebagai manusia merupakan sesuatu yang begitu mengagumkan, mendalam dan meliputi beragam segi hingga dapat dijabarkan dalam beribu cara, sebagaimana halnya banyak aspek-aspek lain dari wahyu ilahi. Apabila kita mulai mempergunakan intelejensi kita untuk mempelajari makna terlebih mendalam dari iman kita, patutlah kita mencamkan ini dalam benak. Jika tidak, kita dapat menjadi terlalu terpancang pada rumusan-rumusan tertentu, sehingga kehilangan pointnya. Sepanjang sejarah Gereja, keterpancangan macam demikian telah menghasilkan buah-buah yang teramat pahit - bidaah, skisma, fitnah, hukuman mati, dan pemberontakan, hanyalah sebagian kecil di antaranya.


Tujuh dari Tiga

Sekarang, kembali ke akar dosa. Bagian dalam Katekismus yang membicarakan tujuh dosa pokok yang engkau sebutkan dalam pertanyaanmu, tengah membahas konsep kebiasaan buruk. Kebiasaan buruk adalah lawan dari kebajikan atau keutamaan. Sementara keutamaan adalah pola perilaku habitual [= kebiasaan] yang selaras dengan kehendak Allah dan tujuan hidup kita, kebiasaan buruk adalah pola perilaku habitual [= kebiasaan] yang bertentangan dengan tujuan tersebut. Katekismus menjelaskan bahwa, “Pengulangan perbuatan-perbuatan jahat yang sama mengakibatkan kebiasaan buruk… Mereka dinamakan dosa-dosa pokok, karena mengakibatkan dosa-dosa lain dan kebiasaan-kebiasaan buruk yang lain.” Menggolongkan kebiasaan buruk dengan menghubungkannya dengan dosa-dosa pokok berasal dari tradisi Katolik kita, dan bahkan merefleksikan etika filsafat sebagaimana diajarkan oleh Plato dan Aristoteles. Kebiasaan-kebiasaan buruk ini disebut “pokok” sebab memunculkan begitu banyak dosa-dosa lain (“caput” dalam bahasa Latin berarti “kepala” atau sumber). Jika aku membiarkan diri dikuasai amarah, misalnya, aku dapat melakukan balas dendam dengan membunuh. Jika aku iri akan kedudukan seorang di kantor, aku dapat memfitnahnya supaya pimpinan memecatnya. Pembunuhan atau fitnah merupakan akibat dari dosa lain, yakni dosa pokok.

Akan tetapi, ketika berbicara mengenai “akar dosa”, para penulis rohani melihat ke dalam kecondongan-kecondongan yang berakar kuat pada cinta diri yang telah kita warisi karena dosa asal. Inilah kecondongan-kecondongan untuk mencari kebahagiaan di luar persatuan dengan Allah. Kecondongan-kecondongan itu pada hakekatnya bukanlah kebiasaan buruk, sebab tidak terjadi sebagai akibat dari dosa-dosa pribadi yang diulang. Melainkan, kecondongan-kecondongan itu merupakan bahan baku dari mana kebiasaan buruk muncul. Kita dapat memperbaiki kebiasaan-kebiasaan buruk dengan membina keutamaan-keutamaan, tetapi kita tak pernah dapat sepenuhnya memberantas (“mencabut”) kecondongan-kecondongan kita pada cinta diri. Kecondongan-kecondongan itu tetap ada dan kita harus melawannya.

Sesungguhnya, kebiasaan-kebiasaan buruk pokok berasal dari kecondongan-kecondongan cinta diri itu, akar-akar dosa itu. Kerakusan (kelekatan kuat pada kesukaan akan makanan dan minuman), kelambanan (kelekatan kuat pada kenyamanan dan kemudahan), dan percabulan (kelekatan kuat pada kenikmatan seksual) tumbuh dari akar dosa sensualitas. Masing-masing mencari kebahagiaan melalui barang atau pengalaman jasmani. Kedengkian (ketidaksenangan atas keberhasilan atau kemujuran orang lain) dan ketamakan (keinginan untuk memiliki apa yang menjadi milik sah orang lain) dapat berasal dari kesia-siaan (mencari kepuasan diri dari pengakuan dan pujian orang lain), jika alasan ketidaksenanganku pada orang lain, misalnya, adalah karena ia mendapatkan lebih banyak perhatian dari yang aku dapatkan. Tetapi, kedengkian dan ketamakan dapat juga berasal dari kesombongan (mencari kepuasan diri dalam keunggulan dan keberhasilan diri sendiri), jika alasan untuk menginginkan kedudukan orang lain, misalnya, adalah karena aku ingin menegaskan keunggulanku atasnya. Terlebih rumit lagi, ketamakan dapat juga merupakan manifestasi dari sensualitas: aku serakah, misalnya, sekedar sebab aku ingin menikmati hidup dan bukannya harus bekerja keras sepanjang waktu. Hakekat yang menjebak dari ketamakan ini merupakan satu alasan St Paulus mengingatkan kita bahwa “akar segala kejahatan ialah cinta uang” (1 Timotius 6:10).

Sekarang, jika kalian belum bingung (dan di sini kita sekedar mengais permukaan teologis: Summa Theologiae oleh St Thomas Aquinas memuat daftar lebih dari seratus kebiasaan buruk dan keutamaan, dan juga, berakhir dengan penelusuran kembali SETIAP kebiasaan buruk dan dosa pada kesombongan), kalian mungkin telah mengerti mengapa banyak penulis rohani mendorong kita untuk memusatkan perhatian pada ketiga akar dosa. Jika kita sekedar memusatkan perhatian pada memberantas kebiasaan-kebiasaan buruk itu sendiri, kita dapat dengan mudah mematahkan cabang-cabang dari rumput bebal cinta diri, daripada mengerat batangnya sedikit demi sedikit.

Akan tetapi, pada akhirnya, alasan utama dari upaya mengelompokkan tipe-tipe dosa (kebiasaan-kebiasaan buruk) yang berbeda dan kecondongan- kecondongan tak teratur yang memunculkan akar dosa adalah untuk membantu kita bekerja secara cerdas dalam upaya kita untuk meneladani Kristus dengan lebih sempurna. Untuk tujuan itu, masing-masing kita bebas untuk menggunakan pengelompokan manapun yang paling membantu kita.   


Damai Kristus, P John Bartunek, LC


sumber : “Root sin classifications… which one is right?” by Father John Bartunek, LC; Copyright © 2009 Catholic Spiritual Direction; http://rcspiritualdirection.com/blog
http://www.indocell.net/yesaya/pustaka4/1x1.gif
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net atas ijin Catholic Spiritual Direction”

7 Dosa Pokok
http://www.holytrinitycarmel.com/f/themes/m/images/b.gif


http://www.holytrinitycarmel.com/f/themes/m/images/b.gif
PEMERIKSAAN BATIN DENGAN NILAI-NILAI KRISTIANI DAN 8 SABDA BAHAGIA
Pemeriksaan batin adalah langkah yang dilakukan oleh umat kristiani untuk semakin melihat ke dalam dirinya, sehingga dia akan semakin menyadari apakah pikiran, perkataan dan perbuatannya telah benar-benar sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Kristus atau justru melawan perintah Kristus. Dalam tulisan tentang pengakuan dosa bagian empat di atas –silakan klik, telah diterangkan bagaimana kita dapat memeriksa batin kita berdasarkan 10 perintah Allah. Jika 10 perintah Allah memberikan kita pemeriksaan batin dari sisi apa yang tidak boleh atau jangan dilakukan, maka pemeriksaan batin berdasarkan nilai-nilai Kristiani serta 8 Sabda Bahagia menguak sisi yang positif atau apa yang seharusnya dilakukan.
Walaupun dikemukakan dengan sisi positif, namun pemeriksaan batin berdasarkan 8 Sabda Bahagia dan nilai-nilai Kristiani juga dapat membuka kesadaran kita bahwa kita sungguh sering tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai umat Kristen. Gagal melakukan perbuatan baik juga merupakan kegagalan menerapkan hukum kasih, seperti yang kita doakan dalam awal Misa Kudus, “Saya mengaku, kepada Allah Yang Mahakuasa, dan kepada Saudara sekalian, bahwa saya telah berdosa, dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian (and in what I have failed to do).” Mari sekarang kita melihat pemeriksaan batin berdasarkan nilai-nilai Kristiani dan juga 8 Sabda Bahagia.
Kasih: Jika kasih adalah menginginkan yang terbaik untuk pihak yang dikasihi, maka: Apakah aku telah menerapkan hukum kasih ini kepada Tuhan? Dan kepada sesama sebagai perwujudan kasihku kepada Tuhan?
Sukacita: Apakah aku mempunyai sukacita dalam melakukan tugas-tugasku? Apakah aku telah memberi dengan sukacita? Apakah aku telah menjalankan tugas-tugasku dengan sukacita? Apakah aku melakukan doa dan segala penyembahanku kepada Tuhan dengan sukacita? Apakah aku juga membawa sukacita kepada sesama, terutama anggota keluarga dan teman-temanku?
Damai sejahtera (Mat 5:9  Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah): Apakah perkataan, perkataan dan kehadiranku membawa damai sejahtera bagi sesama di dalam keluarga dan komunitas? Apakah di dalam sengketa/pertikaian, aku dapat berperan untuk membawa damai sejahtera? Apakah aku mempunyai damai sejahtera di dalam hatiku? Apakah aku tidak menyimpan dendam kepada Tuhan, diri sendiri, maupun sesama?
Kesabaran: Apakah aku sabar dalam menanggung segala sesuatu, termasuk pada saat mengalami sakit penyakit, kehilangan orang yang kukasihi, permasalahan yang kuhadapi dalam keluarga dan tempat kerja?
Kemurahan (Mat 5:7  Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan): Apakah aku telah dengan sepantasnya memberi waktu kepada orang tua, anak-anak, suami, istri? Apakah aku telah memberikan sumbangan materi, waktu, tenaga kepada orang lain, Gereja, masyarakat? Apakah aku sudah bermurah hati menolong orang yang sungguh membutuhkan pertolongan? Apakah aku sudah memberi, tanpa pamrih? Apakah aku sudah memberi melampaui apa yang disyaratkan?
Kebaikan: Apakah aku telah menjadi suami/ istri yang baik yang memperhatikan kebutuhan pasanganku, anak yang baik dan memperhatikan kebutuhan orang tua, orang tua yang baik memperhatikan kebutuhan anak-anak, sahabat yang baik, pemimpin yang baik? Apakah aku sudah melakukan dan mengusahakan yang terbaik dalam segala sesuatu yang menjadi tugas dan kewajibanku? Apakah aku sudah menjadi pelayan bagi orang-orang yang dipercayakan Tuhan kepadaku?
Kesetiaan: Apakah aku setia kepada Tuhan dan Gereja-Nya? Apakah aku setia dalam kehidupan doaku? Setia membaca firman-Nya dan merenungkannya? Apakah aku setia dalam panggilan hidupku: sebagai suami, istri, sebagai orang tua, sebagai rohaniwan/ rohaniwati?
Kelemahlembutan (Mat 5:5  Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi): Apakah aku berhati-hati dalam  perkataan, sehingga tidak menyakitkan orang lain? Apakah aku tidak bergurau secara berlebihan sehingga dapat menyakitkan orang lain? Apakah aku tetap lemah lembut ketika dituduh maupun dimarahi oleh orang lain?
Penguasaan diri: Apakah aku tidak membiarkan diriku terjebak dalam sesuatu yang berlebihan, seperti makanan, hiburan, belanja, bermain dll? Apakah aku dapat menahan kemarahan? Apakah aku dapat menahan diri untuk tidak membicarakan kesalahan orang lain, dan tidak membuka rahasia orang lain?
Kejujuran:  Apakah aku mengatakan sesuatu dengan jujur dan tidak melebih-lebihkan? Apakah aku berani berterus terang dan tidak menyembunyikan kebenaran? Apakah aku bersikap jujur terhadap keuangan yang dipercayakan oleh orang lain kepadaku?
Kemurnian (Mat 5:8  Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah): Apakah aku menjaga kemurnian di dalam pikiran, perkataan dan perbuatan? Apakah aku menjaga diriku sungguh-sungguh agar tidak terjerumus dalam pornografi? Apakah aku mampu menolak gurauan-gurauan yang tidak pantas dan menjurus ke arah pornografi? Apakah aku mempunyai ketulusan hati dan tidak berprasangka buruk pada orang lain?
Kerendahan hati (Mat 5:3 Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga): Apakah aku tidak menyombongkan bakat, kekayaan atau kondisi fisik? Apakah aku mau menyadari bahwa segala hal yang baik yang kumiliki berasal dari Tuhan? Apakah aku tidak terikat kepada segala yang kumiliki? Sudahkah aku menjadi pengelola yang baik atas segala milik yang Tuhan percayakan kepadaku, dan menggunakannya untuk kemuliaan Tuhan?
Mat 5:4  Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur: Apakah aku senantiasa bertobat/ berduka cita karena dosa-dosaku? Apakah aku mempunyai perhatian terhadap pertobatan orang lain? Apakah aku mau berdoa silih untuk mereka yang telah menganiaya Kristus dan Gereja? Apakah aku mempunyai empati terhadap penderitaan orang lain?
Mat 5:6  Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan: Apakah aku sudah dengan sungguh-sungguh mencari kebenaran? Sejauh mana aku telah berusaha mempelajari ajaran iman Katolik? Apakah aku rajin mempelajari Kitab Suci dan buku- buku rohani Katolik lainnya?
Mat 5:10  Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga: Apakah aku tetap dapat menerima dengan lapang hati, jika diperlakukan yang tidak pantas karena aku adalah umat Kristiani? Apakah aku dengan keteguhan hati memilih melakukan ajaran Kristus dan Gereja-Nya, walaupun itu bertentangan dengan ajaran dunia, dan dapat dipandang ‘aneh’ oleh dunia?

10 PERINTAH ALLAH & 7 DOSA POKOK


1. 10 Sepuluh Perintah Allah

Ke-10 perintah Allah disusun atas dasar kedua hukum kasih yang diajarkan oleh Tuhan Yesus (Mat 22:34-40; Mrk 12:28-34; Luk 10:25-28) yaitu: kasih kepada Allah (perintah 1-3) dan kasih kepada sesama (perintah 4-10). Urutan ke-10 perintah Allah tidak diberikan atas dasar kebetulan, tetapi menurut St. Thomas Aquinas, memang ada alasannya tergantung dari tingkatan prioritasnya:
Perintah 1-3: Kasih kepada Allah
1. Karena hanya ada Satu Allah, maka hanya Dia yang patut disembah oleh manusia. Karena itu, Allah melarang manusia membuat patung berhala untuk disembah sebagai allah lain (perintah pertama).
2. Berhubungan dengan Tuhan, yang ada di dalam hati/ pikiran manusia, adalah nama-Nya yang kudus. Nama Tuhan harus dihormati sehingga tidak boleh disebut dengan sia- sia (kedua).
3. Tuhan menetapkan satu hari dari ketujuh hari sebagai peringatan akan Diri-Nya, dan hari ini harus dikuduskan (ketiga).
Perintah 4-10: Kasih kepada sesama seperti kasih kepada diri sendiri
4. Di antara sesama, yang terutama adalah orang tua, yang melahirkan dan memelihara keturunannya. Tuhan memberikan kuasa kepada para orang tua untuk menjadi wakil Tuhan, dalam membimbing dan mengkoreksi anak- anak mereka. Karena itu, anak- anak harus menghormati orang tua (keempat).
5. Kehidupan diri sendiri dan sesama harus dihargai (kelima).
6. Tubuh harus dihormati, demikian juga dengan kemampuannya untuk menyalurkan kehidupan (keenam).
7. Harta milik sesama harus dihormati (ketujuh).
8. Nama baik sesama harus dihormati (kedelapan).
9. Untuk menjaga hak- hak sesama, terutama hak- haknya sebagai keluarga (kesembilan).
10. Hak sesama atas harta miliknya harus dihargai (kesepuluh).

2. Tujuh Dosa pokok

Katekismus mengajarkan tentang ketujuh dosa pokok sebagai berikut:
KGK 1866 Kebiasaan buruk dapat digolongkan menurut kebajikan yang merupakan lawannya, atau juga dapat dihubungkan dengan dosa-dosa pokok yang dibedakan dalam pengalaman Kristen menurut ajaran Santo Yohanes Kasianus dan Santo Gregorius Agung (Bdk. mor 31,45). Mereka dinamakan dosa-dosa pokok, karena mengakibatkan dosa-dosa lain dan kebiasaan-kebiasaan buruk yang lain. Dosa-dosa pokok adalah kesombongan, ketamakan, kedengkian, kemurkaan, percabulan, kerakusan, kelambanan, atau kejemuan [acedia].
Ketujuh dosa pokok tersebut tidak secara langsung berhubungan dengan kasih, namun berhubungan langsung dengan sifat- sifat kelemahan manusia. Walaupun tidak disebutkan urutannya persis dalam Kitab Suci, namun Kitab Suci menyebutkan secara langsung ataupun tidak langsung, ketujuh dosa tersebut. Ketujuh dosa pokok itu adalah untuk dilawan dari ketujuh kebajikan pokok (Kesombongan dengan kerendahan hati; ketamakan dengan kemurahan hati; iri hati/dengki dengan kasih; kemarahan dengan kebaikan; nafsu dengan pengendalian diri, kerakusan dengan kesederhanaan/ke- bersahaja-an, kemalasan dengan kerajinan).
Dengan demikian kita melihat bahwa walaupun nampaknya tidak berhubungan langsung dengan ke-10 perintah Allah, namun terdapat kemiripan antara ke-7 dosa pokok dan ke-10 perintah Allah. Misalnya dosa pokok percabulan berhubungan dengan perintah ke-6 dan 9; dosa pokok ketamakan dengan perintah ke-7 dan 10, dst. Menurut hemat saya, Gereja Katolik mengajarkan kedua hal ini (10 perintah Allah dan 7 dosa pokok) untuk melihat dosa dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut pandang Allah (melalui perintah-Nya), dan dari sudut pandang manusia. Harapannya adalah dengan mengenali keduanya, manusia dapat memeriksa batinnya dengan lebih baik, sehingga dapat mengakui segala dosanya dan berusaha memperbaikinya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Lima Perintah Gereja

1. Rayakan hari raya yang disamakan dengan hari Minggu.
2. Ikutilah perayaan Ekaristi pada hari Minggu dan pada hari raya yang diwajibkan; dan janganlah melakukan pekerjaan yang dilarang pada hari itu.
3. Berrpuasa dan berpantanglah pada hari yang ditentukan.
4. Mengaku dosalah sekurang-kurangnya sekali setahun.
5. Menyambut Tubuh Tuhan pada Masa Paskah.
Sumber : Puji Syukur no 7
Nihil Obstat : Dr. A.M Sutrisnaatmaka, M.S.F
Imprimatur : BI Pujaraharja


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RINGKASAN CERITA ANOMAN DUTA (SANG UTUSAN )

RINGKASAN CERITA ANOMAN DUTA (SANG UTUSAN ) Prabu Dasamuka menyerahkan Dewi Sinta yang diculiknya, di bawah pengawasan Dewi Trijata di Taman Argasoka, kemenakannya. Sementara Regawa alias Rama terus mencari istrinya yang hilang. Ia sudah mendapat petunjuk dari Jatayu bahwa Sinta diculik raja Alengka bernama Prabu Dasamuka. Perjalan Rama ke Alengka disertai Laksamana, adiknya, dan Prabu Sugriwa serta seluruh bala tentara Kerajaan Guwakiskenda. Setelah membangun perkemahan di daerah Mangliawan, Ramawijaya mengutus Anoman untuk menjadi duta, menemui Dewi Sinta di Keraton Alengka. Hal ini membuat iri Anggada, sehingga terjadi perkelahian dengan Anoman. Rama kemudian menyadarkan Anggada, bahwa nanti akan ada tugas penting lainnya bagi Anggada. Perjalanan Anoman ke Alengka ternyata penuh hambatan. Mulanya ia berjumpa dengan Dewi Sayempraba, salah seorang istri Prabu Dasamuka. Anoman dirayu, dan diberi hidangan buah-buahan beracun. Akibatnya Anoman menjadi buta. Untunglah ia ditol

DOWNLOAD KUMPULAN MP3 GENDING JAWA DAN LAGU JAWA

 Download Kumpulan MP3 Gending Jawa dan Lagu Jawa DOWNLOAD KUMPULAN MP3 GENDING JAWA DAN LAGU JAWA MP3 GENDHING JAWA http://piwulangjawi.blogspot.com/p/mp3-gending-jawi.html GENDHING-GENDHING JAWA DALAM FORMAT MP3  DIPERSILAHKAN KEPADA STRISNO BUDAYA JAWA UNTUK MENGUNDUH ANEKA GENDHING JAWA KLASIK I : 001.  BENDRONGAN – PUCUNG RUBUH – GANDRUNG MANIS – DANDANGGULA BANJET – ASMARADANA JAKALOLA.mp3 002.  BW. GAMBUH LGM. LELO LEDHUNG – LDR. SARAYUDA – LAGU ONDHE-ONDHE Pl. Br.mp3 003.  BW. LEBDAJIWA – KUTUT MANGGUNG Pl. Br.mp3 004.  BW. MUSTIKENGRAT – GENDHING CANDRA -LDR. SRI HASCARYA – LDR. WESMASTER Sl.9.mp3 005.  BW. SEKAR AGENG SUDIRAWARNA – UDAN BASUKI – LIPUSARI – GAMBUH Sl. Mny.mp3 006.  BW. SUDIRAWARNA – GENDHING WIDASARI – LDR. LIPUR SARI Sl. Mny.mp3 007.  GENDHING BANDILORI – LDR. ELING-ELING – KTW. PRANA ASMARA – SLEPEG MAWA PALARAN Pl. Br.mp3 008.  GENDHING BONANG SLEBRAK PL.5.mp3 009.  GENDHING BUDHENG-BUDHENG – LDR. SARAYUDA Pl.6.mp3 010.  GENDHING