HL Bukan Ambisi Menulis di Kompasiana
JUDUL di atas merupakan jawaban yang kerap saya sampaikan kepada penanya dalam berbagai pelatihan atau diskusi tentang menulis. Mereka tahu saya memiliki akun dan menulis di kompasiana. Jawaban ini, kerap pula, membuat mereka mengernyitkan kening.
Ada yang mengamati, HL dianggap sebagian orang sebagai mengandung prestise tersendiri. Tulisan yang diganjar HL oleh admin K kemudian mendapat nilai dan komen yang berjibun. Bahkan, kompasianer yang sangat kerap menerima HL mungkin disebut sebagai Queen of HL, Prince of HL, Pelanggan HL, dan seterusnya.
Saya tegaskan kepada para penanya, bahwa saya tidak pernah ambisi untuk meraih predikat HL dengan menulis di kompasiana, meski mungkin ada kompasianer yang berhasrat tinggi untuk urusan satu ini. Motivasi saya menulis ya menulis itu sendiri, yang saya harapkan akan meningkat kualitasnya sejalan bergulirnya waktu; adapun HL itu hanyalah konsekwensi.
Do your best, and you will deserve your best. (Lakukan yang terbaik, dan kau akan menerima yang terbaik.) Ungkapan ini telah lama saya praktikkan dalam menjalani hidup ini. Manusia harus berupaya sebaik-baiknya, agar (meski tanpa disadari) hasilnya amat boleh jadi akan baik juga. Selama ini, syukurlah, ungkapan ini berlaku untuk hidup saya.
Saya menulis setiap hari, dengan prioritas target media penerbitan tertentu, entah media, blog, maupun buku. Dalam bulan-bulan terakhir ini, misalnya, saya lebih fokus menggarap buku. (http://media.kompasiana.com/buku/2014/09/13/prioritas-target-dalam-menulis-674185.html). Jika kemudian saya kembali aktif ke kompasiana, itu karena ada waktu yang cukup untuk menulis di kompasiana. Ini sama saat saya juga memenuhi undangan redaktur harian atau majalah untuk menulis esei atau fiksi.
Dalam teori belajar bahasa (asing), ada dua jenis motivasi, yakni instrumental dan integratif. Motivasi instrumental itu motivasi spesifik untuk meraih sesuatu tujuan, meski sifatnya instan dan pragmatis. Sementara, motivasi integratif itu motivasi umum, menyeluruh, dasariah—bukan instan dan pragmatis. Belajar bahasa Inggris agar lulus tes profisiensi bahasa Inggris, ini termasuk motivasi instrumental, bukan motivasi integratif. Riset telah membuktikan, motivasi integratif jauh lebih purna daripada motivasi instrumental.
Dalam menulis, motivasinya lebih-kurang sama. Jika menulis di kompasiana hanya untuk berburu HL, seseorang telah menghayati motivasi instrumental. Seakan HL menjadi tujuan sangat penting. Namun, siapa yang menjamin dia tidak akan kecewa bila ganjaran HL tidak pernah diterimanya dari admin? Ini sama kalau orang berambisi bahwa artikel harus dimuat di koran, maka yakinlah bahwa dia akan kecewa saat artikelnya tidak dimuat.
Karena itu, sejak bergabung dengan kompasiana, saya tidak pernah berambisi untuk merebut HL. Menulis di kompasiana itu tetap belajar menulis, baik bentuk maupun isinya—bahkan saya menganggap kompasiana sebagai “rumah kreatif” saya (http://edukasi.kompasiana.com/2013/09/16/kompasianaku-rumah-kreatifku-592166.html.) Bahkan saya telah menyebut kompasiana sebagai “Kompasiana University” (http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/03/kompasiana-university-597147.html.) Saya berprinsip belajar sepanjang hayat!
Dengan meniadakan ambisi untuk HL, saya nyaman-nyaman saja menulis di kompasiana. Menulis ya menulis, untuk berbagi dengan sesama, sama halnya saya juga berbagi ilmu menulis untuk kelas-kelas perkuliahan Creative Writing, Literature, dan Cultural Studies. Nah, jika kemudian saya mendapat ganjaran HL, itu sebuah konsekwensi belaka. Tentu, saya berterima kasih kepada admin, meski saya tidak tahu apakah kriteria yang digunakan admin dalam memilih artikel-artikel saya untuk diganjar HL.
Memang, saya pernah beberapa kali diganjar HL oleh admin: misalnya ketika saya menulis bahwa imajinasi lebih penting daripada pengetahuan (http://media.kompasiana.com/buku/2013/08/23/imajinasi-lebih-penting-daripada-pengetahuan-585715.html#5033178.); atau artikel tentang penulis tanpa liburan (http://edukasi.kompasiana.com/2013/08/27/penulis-tanpa-liburan-586691.html);atau puisi sufistik ‘Memoar Kitab Tua’ (http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2013/09/07/memoar-kitab-tua-589524.html.); atau artikel yang bertajuk ‘Wow, Penulis dengan Spirit Sumo’ (http://edukasi.kompasiana.com/2013/09/08/wow-penulis-dengan-spirit-sumo-589764.html.); atau artikel tentang jurus jitu mengingat nama (http://edukasi.kompasiana.com/2013/09/13/jurus-jitu-mengingat-nama-591461.html.). Namun, sekali lagi, saya tidak pernah berambisi untuk semua itu.
Mengapa saya tidak berambisi HL? Terus terang, saya tidak mau kecewa, hanya karena tidak meraih HL, atau membathin admin dengan prasangka ini-itu. Tidak! Hal ini akan mubasir. Sewaktu masih muda, saya pernah menulis ke jurnal atau media massa dengan motivasi instrumental, yakni agar dimuat dan mendapat honor. Jika tak dimuat, sangat kecewalah saya. Setelah sekian tahun diping-pong pengalaman, akhirnya saya mengubahnya menjadi motivasi integratif, intinya menulis sebaik-baiknya—jika dimuat, itu konsekwensi dari upaya yang terbaik.
Hasilnya? Kini saya lebih tenang, dan jumlah buku tulisan saya bertambah pula. Tahun 2014 ini saya menerbitkan buku “Jejak Budaya Meretas Peradaban’ (2014), memuat 41 tulisan, yang sebagian telah saya pasang di kompasiana. Saya juga menjadi penulis dan editor bersama Eko Prasetyo dan Suhartoko untuk buku “Boom Literasi: Menjawab Tragedi Nol Buku” (2014). Demikian pun, sebagaimana ditulis Thamrin Sonata (http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/09/11/ngobrol-di-ruang-manager-kompasiana-673764.html.), saya berharap bahwa buku saya tentang menulis akan diterbitkan oleh Elex Media Komputindo dalam waktu dekat ini.
Selain itu, tanpa disangka, mungkin ini berkah dan hikmahnya. Belakangan ini pesanan artikel datang dari jurnal, tabloid, atau koran—dan semuanya sudah saya penuhi. Saya juga mendapat undangan dalam safari literasi atau bedah buku “Boom Literasi: Menjawab Tragedi Nol Buku” (2014), di mana saya salah satu editornya. Demikian pun ada undangan lain untuk mendampingi komunitas-komunitas literasi dan forum menulis muda. Untuk semua ini, syukurlah, saya tidak berambisi untuk honornya.
Namun saya yakin, rezeki tak akan pergi ke mana. Dan mungkin inilah jawabannya: Ini ada dua undangan yang biasanya ada honornya, yakni menjadi narasumber sebuah seminar, dan trainer untuk pelatihan menulis. Tentang jumlahnya, tak perlu saya ungkap di sini, toh belum saya lakoni. Namun, berapapun jumlahnya, saya akan menerimanya sebagai konsekwensi atau berkah dari motivasi integratif saya dalam bidang penulisan.***
Surabaya, 17/9/2014
Komentar
Posting Komentar