PENGOLAHAN HIDUP BERIMAN KATOLIK Mengikuti Yesus Kristus dalam Gereja Katolik Pendekatan Psikologi Spiritual / Psikologi Hidup Rohani SECARA PRAKTIS
PENTINGNYA PENGOLAHAN HIDUP
( disarikan oleh Rm. Ignas OFM )
Pengolahan hidup bagi kehidupan kita menyangkut hal yang mendasar. Serentak merupakan tugas untuk seumur hidup.
Pengolahan hidup bagi kehidupan kita menyangkut hal yang mendasar. Serentak merupakan tugas untuk seumur hidup.
Dengan PH diharapkan :
- mengenal diri secara mendalam baik sadar, pra sadar maupun bawah sadar.
- Menemukan titik berangkat bina diri. Hal ini perlu dikenali pembina dan anak bina
- Membangun relasi : jujur, terbuka , percaya
- Berjalan bersama (pembina dan anak bina) melewati peziarahan panggilan secara realistis sesuai hidup perjalanannya, buka idealisme yang semu.
- Dengan PH - terjamin ketekunan dan kesetiaan dalam hidup religius, tersedianya kunci dan sarana bagi pembinaan untuk masa depan.
A. Zaman dan pengaruhnya pada disposisi panggilan:
1. Tuhan masih menciptakan dunia agar berkembang dan bertumbuh : sosial politik, ekologi - ekosistem, sosio edukasi, sosio ekonomi, budaya, iptek, komunikasi, visi manusia , religi.
Terhadap pertumbuhan dan perkembangan ini lahirlah sikap-sikap:
o sebagai anawim Yahwe : terfokus , setia, ikut gerak Yesus
o Atheisme theoritis, dead of God Theology, atheis praktis
o Humanisme : komunisme, liberalisme, sosialisme
o Egoisme : egolatria, harga diri, primordialisme
o Hedonisme : konsumerisme, instan, materilisme.
2. Sikap - sikap seperti ini membentuk apa yang disebut: pijakan dan disposisi. Orang yang demikian memiliki horison nilai (sistem nilai yang sudah dibatinkan) dan disposisikan ( taraf kematangan dan kemerdekaan / kebebasan )
3. Pijakan (head and heart) dan disposisi (home and hands) merupakan situasi awal suatu formation / pembinaan. Suatu formatio untuk terjadinya : inkorporasi, internalisasi dan transformasi
4. Sikap - sikap yang tercermin dalam aliran itu bersama-sama membentuk apa yang disebut ARUS PLURALISME. Terhadap pluralisme ini, orang bersikap secara baru. Timbul di sini suatu pijakan dan disposisi baru sikap baru muncul dalam:
- Subyektivitasme : tafsir subyektif terhadap nilai obyektif
- Egoisme : memandang hidup semata - mata dari ego (realisasi diri). Kedua sikap / aliran ini menyebabkan pergeseran nilai , kelemahan & kerapuhan pribadi ;
- kekaburan sistem nilai: head
- keterpecahan batin: heart (hati mendua)
- Kecemasan, kegelisahan, tidak aman: not at home
- lesu terhadap Allah: hands (lemah kehendak)
B. Pembinaan / pengolahan yang tepat guna
1. Tawaran hidup Allah
Ø Kristus : pewahyuan yang paling sempurna
Ø Kitab Suci ( PL dan PB ) : salah satu bentuk pewahyuan hidup Allah
Ø Ajaran Gereja : bentuk pewahyuan yang kemudian
Tiga cara menghayati hidup Allah:
Ø spiritualitan kriatiani
Ø spiritualitas imamat
Ø spiritualitas hidup bakti
Ketiganya mewahyukan diri Allah, memancarkan paradigmanya masing-masing yakni kerajaan Allah seperti yang dipancarkan oleh tarekat dan menjadi identitas tarekat.
2. Tawaran hidup dunia:
Ø Unsur destruktif : menghancurkan
Ø Unsur kontruktif : membangun
Pengaruh Zaman : religius termasuk anak zaman membawa disposisi ( jenis tanah masing-masing )
3. Pernbinaan bertolak dari psiko - spiritual :
Ø memperhatikan unsur psikologi dan hukumnya
Ø memperhatikan unsur spiritualitas
Ø pembinaan yang menekankan dinamika internalisasi dan inkorporasi
Ø pembinaan terjadi bertahap : masa aspiran, postulat, novisiat, skolastikat/ yuniorat, dll
PENJELASAN LIMA ISI DINAMIS KEPRIBADIAN
( dikutip dari catatan belajar bersama Sr. Herwida, ADM )
1. SISTEM HIDUP RASA
AFEKSI: seluruh sistem dan struktur hidup rasa yang pada kenyataannya mempengaruhi pribadi.
Psiko-fisik: kenyataan yang dimiliki tubuh kita beserta daya-daya hidup yang terkandung di dalamnya.
1. Pancaindera
2. Sistem otak
3. Sistem kelenjar
4. Sistem syaraf
5. Sistem peredaran darah
6. Sistem pernafasan
7. System metabolisme pencernaan
Ketujuh hal tsb merupakan kemampuan bawaan.
Kemampuan bawaan tsb ada yang:
- berkecenderungan rasional ------> yang terbuka pada nilai (+)
- berkecenderungan emosional ----> penilaian intuitif / kebutuhan psikologis (-)
Kecenderungan emosioanal menjadikan kita sbg objek yang berpegang pada feeling perasaan ---> emosi --->kompulsi, yang mengakibatkan :
- gangguan ringan
- gangguan berat: histeri atau maniak
KETERANGAN
Kemampuan psiko - fisik sangat dipengaruhi daya - daya hidup : mernbentuk PEMBAWAAN
a) Kemampuan - kemampuan yang dibawa sejak lahir
b) Unsur kepribadian yang TAK DAPAT DIUBAH.
KECENDERUNGAN RATIONAL:
Suatu penilaian sekunder dan reflesif berdasarkan "apa yang berguna untuk saya"; menunjuk pada tujuan dan nilai-nilai yang ditentukan oleh saya..
Prosesnya : pertimbangan refleksif yang mempertimbangkan proses kecenderungan emosional / perbuatan yang telah dipikirkan lebih dahulu.
KECENDERUNGAN EMOSIONAL,
Suatu penilaian langsung terhadap obyek yang didasarkan pada Saya menyukai atau tidak menyukai ( yang lebih berperan taraf psiko fisik dan psiko sosial )
Suatu proses afektivitas yang mengikuti kriteria partial : “disini dan kini”
Prosesnya :
Persepsi - ingatan afektif →gambaran masa depan →penilaian intuitif --->; emosi → tindakan impulsi.
1. PERSEPSI: Pengamatan terhadap obyek. Mis: melihat tas yang bagus ; ada rasa tertarik, senang, saya hargai / inginkan - secara instingtif DIDORONG untuk membelinya. Aktivitas selanjutnya adalah
2. PENILAIAN INITUITIF: Praduga positif maupun negatif (masih soal ketertarikan) Misalnya : ibu dari pasar - senang (ada oleh - oleh).
Persepsi positif endapan sistem nilai yang kemudian menjadi - FEELING .
FEELING: kecenderungan tindakan terhadap sesuatu yang diintuisikan sebagai baik atau burak.
Hukum feeling menimbulkan naluri; tetapi tidak semua naluri harus diikuti ; perlu diperhitungkan nilai - nilai moral dan budaya.
NALURI: Berkaitan dengan perasaan ( ada pula dalam binatang ).
Ada unsur kemampuan - pembawaan intuitif dan reaksi.
Perasaan bersifat netral. ( bila orang tak mempunyai perasaan harus dibina )
IMPULSI: Energi yang keluar dari perasaan ; bisa berupa :
a) Libido, Drive ( dorongan. - dorongan ) yang tak disadari dan negatif.
b) Nafsu - nafsu : bersifat netral.
3. EMOSI: Ex - Movere digerakkan ke luar; sebagai suatu TENDENSI / KECENDERUNGAN yang dirasakan terhadap apa saja yang secara intuitif dinilai sebagai balk atau menjauhkan diri dari apa saja yang secara intuitif dinilai sebagai jelek ( unsur konatif ).
Dalam emosi ada 2 unsur:
· unsur statis ( disposisi yang menguntungkan atau tidak menguntungkan terhadap obyek.
· unsur dinamis ( dorongan terhadap yang disenangi dan penolakan terhadap apa yang tidak disenangi ).
Energi yang keluar dari emosi, nampak dalam tanda - tanda fisik : muka pucat, merah padam, gemetar dsb.
Emosi positif menjadi keutamaan.
KOMPULSI: Tidak mampu mengendalikan gejolak emosi dan perasaannya.
HISTERIA: Terjadi bila setiap kali tak dapat mengendalikan gejolak emosi dan perasaannya.
MANIAK: Terjadi bila orang ditunggangi oleh histerisnya menjadi gangguan berat. Maka kita perlu melatih Olah rasa, agar nilai-nilai Allah terwujud dalam diri kita yang terkena hukum Feeling tersebut.
Olah rasa: yang diolah perasaanya agar tidak sampai emosional. Apa yang sudah saya miliki menjadi disposisi afektif.
KEMATANGAN AFEKSI:
Ø mampu mengendalikan diri demi nilai.
Ø Tidak mengikuti hukum senang ( melakukan sesuatu bila senang, dan bila sedang tidak senang, enggan melakukannya; hal ini terkait dengan kelekatan pada pemenuhan kebutuhan psikologis.)
Ø Mampu mengintegrasikan perasaan - perasaannya dengan nilai-nilai kristiani.
Ø Mampu mencintai Allah, sesama dan diri sendiri secara benar ( proporsional)
AFEKSI BAWAH SADAR. Mulai terbentuk pada masa kecil, dari pembawaan – kemampuan dalam pengalaman membentuk KEBIASAAN - Mekanisme reaksi yang bawah sadar (otomatis tanpa dipikirkan)
AFEKSI NEGATIF: Terjadi karena
a. Pengalaman luka - luka batin waktu kecil.
b. Tak terpuaskan kebutuhan psikologis waktu kecil.
INGATAN: Gudang informasi mengenai berita-berita masa lampau yang bisa kita panggil kembali
INGATAN AFEKSI:
a. Suatu emosi yang sekali dialami, cenderung dengan lebih mudah dialami kembali; memainkan peranan penting dalam penilaian dan penafsiran terhadap realita.
b. Ingatan Afektif mempengaruhi persepsi dan bekerja dalam bawah sadar dan menggeneralisasi. (anak kecil pernah dipatuk ayam - menjadi takut pada semua jenis unggas )
c. Ingatan afektif menyangkut bayangan masa depan, disini ingatan dan imaginasi berkaitan (seseorang yang terus - menerus mengalami kekecewaan, tidak bisa dengan mudah membayangkan bahwa masa depannya berbeda sama sekali) ---> terbentuklah sikap EMOSI: Disposisi emosi yang disebabkan oleh pengendapan emosi. Setiap emosi dapat menjadi akar sikap emosi. Orang menghadapi situasi baru dengan cara berhubungan "yang sudah ditentukan" : merasa dibenci, tidak diterima/dikasihi. Lama-kelamaan menjadi kebiasaan: sikap sebagai pre disposisi yang menjadi tindakan. Sikap takut/penakut bila tidak diikuti tidak akan menjadi kebiasaan.
2. KEBUTUHAN - KEBUTUHAN PSIKOLOGIS
KEBUTUHAN:
1. Kecenderungan bawaan kepada tindakan yang berasal dari:
a. Defisit dari organisme : kebutuhan dirangsang menjadi aktif karena kekurangan fisik; waktu kecil ditinggalkan ayah / ibu merindukan figur ayah/ibu. Kurang diperhatikan --> membutuhkan/mencari.
b. Potensialitas natural (kemampuan kodrat) yang ada dalam din ranusia dan yang ingin dipenuhi / diwujudkan. Ada pre disposisi positif untuk bertindak (merawat, mengatur dsb.)
2. Kecenderungan ke arah perbuatan / yang mengandung ENERGI PSIKIS (tanpa ini kita tidak dapat merumuskan pemikiran apapun atau melakukan apapun); sungguh sangat berharga (energi untuk mencintai, mengetahui, menjalin hubungan, mengatasi kesulitan dsb.) Tidak menerima kebutuhan-kebutuhan berarti kita hidup tanpa energi..
3. Kebutuhan adalah kecenderungan dan belum merupakan tindakan, tetapi pengarahan preferential ( kebutuhan keakraban, membuat kita lebih menyukai hubungan - hubungan afektif, tetapi tidak menentukan - tidak mengandung sikap konkret).
Catatan : Kecakapan tehnis untuk mencari jalan ke luar perlu dipelajari.
4. Kebutuhan memiliki fleksibilitas yang besar:
- mengungkapkan diri dalam bentuk yang berbeda
- membiarkan diri dibentuk oleh situasi atau dipelajari.
- Bisa dibentuk melalui proses pengolahan kognitif (keinginan rational)
5. Kebutuhan tidak secara otomatis menentukan tindakan manusia. Antara kebutuhan dan tindakan ada ruang untuk mengambil kebutuhan.
6. Kebutuhan tidak hanya dibatasi pada "aspek kekurangan" tetapi merangkum juga ke arah perkembangan dan komunikasi.
JENIS - JENIS KEBUTUHAN PSIKOLOGIS
KEBUTUHAN - KEBUTUHAN PSIKOLOGIS YANG DISONAN: yang pada dirinya tidak sesuai dengan nilai panggilan.
1) Rasa kecil - menghambat panggilan - membuat orang sulit beriman.
2) Agresi - menghambat aspek panggilan untuk mencintai.
3) Menghindari sensor / takut gagal - menghambat aspek panggilan - ketaatan dan ketulusan.
4) Eksibisi - menghambat aspek panggilan - kerendahan hati dan kesederhanaan kemiskinan - kemurnian.
5) Menghindari sakit - menghambat aspek panggilan - pengorbanan ( pekerjaan pekerjaan yang dianggap rendah)
6) Kepuasan seksual - menghambat aspek panggilan - kemurnian
7) Ingin diperhatikan - menghambat aspek panggilan - kemandirian. ( ketergantungan afeksi / kehangatan )
KEBUTUHAN KEBUTUHAN PSIKOLOGIS YANG AMBIVALEN / NETRAL: bisa sesuai dengan panggilan tetapi juga bisa disonan/tidak sesuai:
8. Mencapai hasil
+ mendorong untuk belajar atau berusaha sungguh-sungguh demi nilai-nilai panggilan / yang diperjuangkan
- demi harga diri/kepentingan diri (egois) - menghambat aspek hidup bakti / hidup bersama.
9. Memiliki:
+ mendorong untuk rasa memiliki, hal - hal yang dipercayakan kepada kita dalam karya / hidup bersama.
- demi diri sendiri (menyimpan milik bersama) - menghambat aspek kemiskinan
10. Keakraban:
+ mendorong kebersamaan, kerja sama, ramah dalam pergaulan dan hidup bersama, membawa suasana kehangatan.
- bila membawa kepada ketergantungan afeksi kepada seseorang, menghambat aspek kemurnian atau ketaatan.
11. Mandiri:
+ mendorong untuk mampu bertanggung jawab sendiri dalam perutusan dan berani mengambil resiko.
- bila kemandirian membawa kepada sikap terlalu mengikuti keinginan sendiri menghambat aspek hidup bersama / persaudaraan serta sulit taat.
12. Perubahan:
+ mendorong untuk menciptakan suasana baru, kreativitas.
- Menjadi cepat bosan dan jenuh dengan yang rutin; mau ramai-ramai, menghambat aspek ketaatan dan keheningan.
13. Ingin tahu:
+ mendorong untuk rempelajari hal - hal baru / pengetahuan.
- bila mau tahu semua bisa menghambat aspek relasi dengan sesama, penghargaan terhadap sesama dan kepercayaan terhadap sesama.
14. Tunduk - rasa hormat:
+ mendorong untuk menghormati dan menghargai mereka yang dituakan / senior, mengikuti dan menyesuaikan diri.
- karena begitu tunduknya sampai menjadi tergantung, menghambat aspek tanggung jawab dan mandiri.
15. Menguasai
+ mendorong untuk mengarahkan, menasehati dan mempengaruhi.
- bila pengaruhnya sampai membuat orang lain menjadi tergantung, atau memperalat orang lain, menghambat aspek relasi pribadi dan melanggar hukum kasih.
16. Bergairah
+ mendorong untuk bersemangat dalam perutusan maupun dalam hidup bersama (orangnya hidup - hidup)
- karena begitu energiknya sehingga hidupnya senantiasa bergejolak sehingga menghambat aspek keheningan atau kontemplatif.
17. Merawat
+ mendorong untuk memperhatikan sesama yang sakit, menderita, anak kecil atau yang terlantar.
- karena mau begitu memperhatikan, sehingga yang lain menggantungkan diri, atau karena dirinya ingin mendapat perhatian khusus pula ( ada pamrih ); dapat menghambat aspek kerasulan.
18. Bermain:
+ mendorong untuk menciptakan suasana segar dan humor serta menyenangkan.
- bila tidak tahu tempat lalu menjadi tidak serius, sehingga menghambat keseriusan hidup, ketekunan dan keheningan.
19. Dikenal
+ mendorong berusaha sungguh- sungguh dalam perutusan sehingga dikenal.
- bila memilih-milih perutusan yang memberi gengsi / pujian, menghambat aspek kerendahan hati .
20. Mengatur
+ mendorong untuk membuat semuanya teratur dan pada tempatnya.
- Bila dimanapun mau mengatur ( di rumah sendiri maupun di biara dianggap sama ), akar menimbulkan hambatan dalam relasi.
21. Kaunteraksi:
+ mendorong untuk berusaha terus-menerus mengatasi kesulitan atau pengalaman yang membuat frustrasi atau putus asa.
- bila menjadi tindakan untuk terus - menerus tampil beda, reaktif terhadap tatanan yang sudah ada.
3. SISTEM PEMBELAAN DIRI (DEFENSIF)
CATATAN PENGANTAR:
Analisa untuk melihat manusia dari DALAM, dengan mencoba memahami latar belakang yang mendorong manusia kepada CARA BERSIKAP DAN CARA MENGAMBIL KEPUTUSAN.
a. Bila manusia bertindak ia DIDORONG atau DITARIK oleh apa?
Manakah energi yang mendorongnya.
Hal ini berkaitan dengan ISI DIRI:
- kebutuhan psikologis
- sikap - sikap
- nilai - nilai
b. Bila manusia bertindak MENGAPA ia didorong atau ditarik oleh hal tertentu? Ini berkaitan dengan STRUKTUR DIRI :
1) Diri AktuaI: menunjuk pada APA YANG SENYATANYA ADA; apakah diketahui atau tidak? Dengan kebutuhan-kebutuhan psikologis yang ada dan sikap-sikap cara biasanya bertindak.
Terdiri dan 3 unsur:
a) Diri yang SADAR: diri yang nampak bagi dirinya sendiri. Pengenalan yang dimiliki seseorang atas dirinya sendiri (tindakan - tindakannya, segi positif yang disadari maupun segi negatifnya).
b) Diri LATEN: yang de fakto ada dalam diri tetapi tidak disadari ( ernosi, motivasi, kebutuhan psikologis, sikap emosional ) tetapi pengaruhnya nyata dalam hidup, yang menunjuk mekanisme BAWAH SADAR. Kenyataan ini barangkali dapat dilihat oleh orang lain.
c) Diri SOSIAL: diri sebagai pelaku sosial dan obyek sosial; pemahaman diri saya menurut pandangan orang lain.
2) DIRI IDEAL: apa yang DIINGINKAN seseorang; DUNIA KEINGINAN, cita-cita, kadang mimpi dan ilusi.
a) IDEAL DIRI: BERKAITAN DENGAN NILAI-NILAI atau cita-cita yang dipilih untuk diri sendiri; ideal atau menjadi apa sesuai dengan cita-citanya
b) IDEAL INSTITUSIONAL: pandangan, pemahaman seseorang tentang nilainilai atau citra-cita serta peran yang dituntut oleh " institusi sosial " (Ajaran Gereja, Kitab Suci, Spiritualitas tarekat dsb)
SIKAP-SIKAP
A. Suatu keadaan mental - predisposisi stabil untuk menjawab / menanggapi; terbentuk melalui PENGALAMAN dan mempunyai pengaruh DINAMIS atas kegiatan MENTAL DAN FISIK. (mempersiapkan orang pada tindakan tertentu, mempengaruhi tingkah laku, memberi PETUNJUK )
B. Dalam sikap ada 3 untuk : KOGNITIF (cara menangkap obyek sikap/ konseptual; AFEKTIF (perasaan tertarik atau menolak; inilah inti sikap yang nampak " menggejala"); KONATIF: DORONGAN KEPADA TINDAKAN (KECENDERUNGAN TINGKAH LAKU DIHADAPAN OBYEK).
C. FUNGSI SIKAP:
1. Fungsi utilitaristis : bila sikap tertentu diambil sejauh BERGUNA bagi diri sendiri, langsung atau tidak langsung (untuk mendapat hadiah atau balasan ; untuk menghindani hukuman ). Untuk menjalin hubungan baik dengan yang lain.
2. Fungsi defensif / pembelaan diri: memungkinkan kita mempunyai hubungan baik dengan diri sendiri. Masalahnya : mau menyesuaikan diri dengan diri sendiri’ khususnya bila mengalami dorongan-dorongan yang tidak dapat diterima. Fungsi defensif mau melindungi diri dari ancaman yang datang dari dalam (dilanjutkan : pembelaan diri).
3. Fungsi pengungkap nilai : menjadi sarana untuk menghayati lebih baik dan mengungkankan secara progresif nilai-nilai yang diyakini, dan itu menjadi ideal hidupnya.
4. Fungsi Kognitif : sikap tertentu diambil untuk memenuhi KEINGINAN UNTUK MEMAHAMI KENYATAAN (diri dan dunia). Kita membutuhkan kerangka pengertian agar dapat cepat menafsirkan yang terjadi. Sikap Kristiani: nilai-nilai Injil yang diterjemahkan dalam " kesiap-sediaan untuk menjawab" kenyataan yang ada.
PEMBELAAN DIRI: upaya untuk melindungi diri dari ancaman yang datang dari dalam diri / membela harga diri dari ancaman entah disadari maupun tidak disadari.
Ada kebutuhan dasariah untuk MENYELAMATKAN dengan mati-matian gambaran positif mengenai diri sendiri.
Dan demi menyelamatkan gambaran positif tersebut dipakai pelbagai macam mekanisrne pembelaan diri . Arah sikap pembelaan diri adalah menyembunyikan diri dari diri sendiri.
Asal dari sikap pembelaan diri: adalah dari dorongan - dorongan yang tidak dapat diterima yang ada dalam diri seseorang (konflik emosional); menghapus ketidak matangan yang tidak diterima dengan mengambil sikap berlawanan.
MEKANISME PEMBELAAN DIRI:
1. PENOLAKAN: (tidak disadari)
Muncul dalam gejala fisik : setiap kali harus tampil, muncul rasa mual atau perut mules. Setiap mau naik kendaraan pusing. Tidak: mau naik bis, sebelum naik sudah mual.
2. KOMPENSASI: (ada unsur membuang "sebel" - mencari penghiburan dari kekecewaan yang dialami “out let” ) Tidak mendapat perhatian di rumah mencari perhatian di rumah nenek ( dari komunitas ke luar komunitas ). Sedih dan menghibur diri dengan menyanyi ( penyaluran yang positif disebut sublimasi ).
3. PINDAH TEMPAT:
Gejolak - gejolak perasaan dipindahkan kepada obyek lain. Marah kepada pembina yang menjadi sasaran teman/ anjing/ tanaman. Rindu kepada orang tua dipindahkan kepada suster yang mirip ibu.
4. IDENTIFIKASI: dipakai untuk membela harga diri. “Mengapa mempersalahkan saya, inikan yang diajarkan pembina, inikan yang diajarkan Injil.” Merasa tidak mampu, lalu berusaha bergaul dengan mereka yang pandai, agar termasuk dalam kelompok tsb.
5. PARENTIFIKASI: begitu mencintai pemimpin karena mirip dengan ayah / ibunya.
6. RATIONALISASI:
Semakin pandai, semakin banyak rasionalisasi dan berargumen.
7. ISOLASI: menutup diri.
Ditegur di depan umum tidak menerima masuk kamar ( rasa kecil ditutupi ) --- membela kemandirian. Tidak datang rekreasi karena tidak senang dengan seseorang ---> yang diisolasikan adalah mindernya. Memotong / membelokkan pembicaraan karena topik pembicaraan menyinggung perasaan (membelai harga diri dan perasaan).
8. PROYEKSI:
A. Proyeksi tambahan (suplementary: 2 orang pribadi terlibat). Saya merasa takut > mengatakan pada orang lain: “kamu takut“. Menjalin kedekatan dengan pemimpin untuk menunjukkan kepada komunitas bahwa dirinya tidak minder.
B. Proyeksi pelengkap: (complementary : 3 orang pribadi terlibat).
Sr. A jatuh cinta/tertarik pada seserang menyampaikan kepada Sr. B. (pemimpin) bahwa Sr C sedang jatuh cinta.
A senang sekali makan durian --> menyampaikan kepada B bahwa C itu suka sekali durian.
9. PEMULASAN REAKSI: (disadari; ada unsur kebohongan; membuat orang munafik dan ABS). Bersikap ramah untuk menutupi kemarahannya. Tubuh kecil ---> memakai pakaian longgar untuk menutupi kecilnya. Merasa takut - lalu menyanyi untuk menutupi ketakutannya.
10. REGRESI: Kemunduran
Mengurung diri “ngambeg” karena tersinggung.
Marah dengan seseorang ---> lalu tidur banyak / makan banyak / menangis / menjadi rewel.
11. REPRESI: (tanpa sadar dan nampak dalam fisik).
Menekan perasaan cemas ---> bermain sapu tangan, menggigit kuku, menggaruk garuk kepala yang tidak gatal.
Merindukan orang tua / sahabat ---> tak terpenuhi (menekan perasaan) lalu menjadi "maag".
Menekan perasaan agresifnya, tekanan darahnya naik.
SUPRESI: (disadari)
Mau marah tidak jadi karena menyadari bahwa ini tidak baik.
12. TAK BERBUAT APA-APA (UNDOING): (TIDAK DISADARI)
Melihat darah ---> lalu pingsan.
Macam-macam fobia (perlu dicari penyebabnya) pelupa, ngantukan (tak meminati hidup dan tolak tugas).
4. KONFLIK - KETEGANGAN - PERGULATAN
KETEGANGAN
Meliputi: PERGULATAN DAN KONFLIK
PERGULATAN - Tarik menarik antara : Nilai > < Kebutuhan Psikologis
Disadari.melepaskan / merelakan Ada perjuangan sadar untuk mengatakan TIDAK pada hal-hal yang disenangi.
KONFLIK
Tarik menarik antara dua kebutuhan Psikologis.
Berciri bawah sadar.
a. konflik dasar : 0-15 tahun
1. Percaya - tidak percaya.
2. Mandiri - ragu.
3. Inisiatif - Rasa bersalah.
4. Rajin - Rasa kecil.
b. Konflik dewasa :
5. Identitas - Kacau peranan.
6. Kehangatan - Menyendiri.
7. Murah hati - Egois.
8. Integritas diri - Putus asa.
PERGULATAN: PADA TARAF
I. KODRAT I
a. Mengejar nikmat
b. Konsumeristis >< Hidup Besama
c. Egois >< Demi sesama
d. Penting bagiku >< Penting bagi sesama.
II. INKARNATORIS
a) Lebih tertata
b) Pengabdianku untuk mewujudkan perigabdian pada Allah.
c) Ketaatanku untuk mewujudkan kehendak Allah.
III. ADI KODRATI
a) Mengalami pengamalan ambang " pergumulan".
b) Batu loncatan iman dari dari pikiran manusia kepada kehendak Allah.
c) Seperti Ibu Maria.
5. SISTEM NILAI
NILAI :
* Makna atau arti sejati dan hidup kita; dalam pengertian bahwa arti sejati ini mengatasi arti sementara; arti sejati memungkinkan orang memilih "arti" tersebut dan berani mengorbankan kedudukan, kebebasan, dsb.
* DIDEFINISKAN: "Ideal yang bertahan lama dan abstrak yang dimiliki seseorang mengenai
1. CARA BERTINGKAH LAKU IDEAL - NILAI INSTRUMENTAL.
2. TUJUAN AKIIIR YANG IDEAL DARI HIDUP - NILAI TERMINAL.
Nilai menarik pribadi untuk bertindak sedangkan Kebutuhan psikologis "mendorong " orang untuk memenuhinya.
Nilai berbeda dengan " norma " (apa yang harus dibuat supaya menjadi baik; menunjuk ukuran atau kriteria tertentu; untuk dapat diterima sebagai novis, calon memiliki kedewasaan pribadi dan Kristiani ).
Nilai menunjuk pada " bagaimana " berada - suatu " gaya hidup " tertentu. Misal : mampu bertanggung jawab; bertekun dalam hidup rohani.
Setiap pribadi harus mengambil sikap tentang makna yang harus diberikan pada hidupnya.
Mengambil keputusan :
- mau menjadi apa
- bagaimana mencapainya
Memilih " tujuan " untuk dicapai dan kriteria / tolok ukur perbuatannya.
UNSUR - UNSUR NILAI :
- Unsur kognitif ---> mempunyai nilai berarti mengetahui secara intelektual.
- Unsur afektif - konatif ---> nilai dialami sebagai sumber energi / dorongan untuk bertindak ; afeksi dalam arti KESIAP SEDIAAN UNTUK MENYALURKAN SELURUH ENERGI KEPADA SESUATU YANG DINILAI SENTRAL BAGI KITA.
Setiap pribadi mempunyai cita-cita pribadi (“filsafat hidup” ), setiap orang mempunyai tolok ukur tingkah laku ( ingin mengabdi Allah dan sesama, makes seluruh tindakan yang disadari menjadi wujud pengabdian).
Dalam diri manusia ada kecenderungan ke arah nilai dan membutuhkan nilai-nilai.
SISTEM
Nilai dalam bentuk Pengetahuan dan Disadari
PEMBATINAN
tanda - tandanya :
a. menjadi isi Hati nurani
b. menumbuhkan imperatif batin/ kesadaran moral
c. menimbulkan rasa salah bila dilanggar
d. mulai mendayai dan memberdayakan sekitarnya.
HIRARKI NILAI / TATA NILAI
Nilai sudah menjadi milik pribadi
Tata nilai obyektif berkaitan dengan sistem nilai :
Sesuatu yang diwahyukan seperti ini : tinggal manusia mau dan mampu atau tidak. Tata nilai obyektif tidak boleh diputar balikkan sehingga menjadi assiologis hidup.
Tata nilai obyektif berkaitan dengan :
A. NILAI ADI KODRATI :
Allah dengan seluruh sistem nilai perwahyuan : Kitab Suci, Ajaran Gereja, Tradisi. Spiritualitas Kristiani, Imamat, Hidup bakti dan Spiritualitas tarekat.
B. NILAI INKARNATORIS / INSTRUMENTAL ;
Semua nilai kodrati yang sejauh dengan sadar dipakai untuk mengungkapkan iman K.S. Sakramen )
Allah yang dijelmakan dalam dunia
a) sadar nilai : hidup Allah yang manakah yang mau dijelmakan
b) Motivasinya : mengungkapkan iman akan keselamatan Allah/motivasi diri
c) Terwujud dalam hidup konkret.
Misalnya : dengan sadar mau mewujudkan hidup Allah yang adalah kasih ikut serta dengan gerak Allah yang menghamba : miskin dsb.
C. NILAI KODRATI ;
Semua kebaikan yang terkandung dalam kodrat diciptakan Allah, berasal dari bawah yang timbal dari kesepakatan bersama.
1. Nilai Moral: terjadi melalui kesepakatan dalam hidup bersama, yang dirumuskan adalah hal-hal yang perlu an dibutuhkan. Nilai Moral menyangkut baik atau buruknya suatu tindakan ( Hak Azazi Manusia : hak - hak dasar dimana tanpa orang tak dapat disebut manusia; Hukum; Sopan santun, menghargai dsb. )
2. Nilai infra Moral - dibawahnya moral
a) Nilai Politik : memimpin , kekuasaan
b) Nilai ekonomi : hemat, menabung, kemiskinan, hidup sederhana
c) Nilai budaya : gotong royong, trampil menenun
d) Nilai kesenian - hasil seni
e) Nilai keindahan
f) Nilai pengetahuan - pengetahuan, teologi, filsafat
g) Pendidikan,
h) Sosial
i) Kebahagiaan
3. NILAI BIOLOGIS
Semua yang berkaitan dengan nilai hayati, yang perlu untuk hidup : makanan, minuman, istirahat, pernafasan, pakaian dsb.
Untuk mengolah hidup kita perlu mengenal nilai; muara nilai dan hirarki nilai. Hidup Allah mengendap lewat sisitem nilai, muara hidup Allah nampak dalam kualitas hidup manusia yang bernilai.
Hirarki nilai berkaitan dengan horison nilai ( cakrawala )
TINDAKAN / PERBUATAN MORAL ada 4 ciri :
1. Disposisi kebebasan ( dibuat dengan bebas ) :
a. Tak ada pesan sponsor.
b. Dibuat dengan tulus dan rela
c. Tidak ada yang menakut-nakuti / tanpa paksaan.
2. Motivasinya : dilakukan karena bernilai pada dirinya sendiri :
a. Berlaku umum / universal : misalnya membunuh itu jahat.
b. Obyektif : sama untuk saya maupun orang lain.
c. Berkaitan dengan martabat yang semakin dijunjung
d. Tanpa motivasi subyektif (menolong tanpa pilih-pilih)
3. Hasil dari pertimbangan dan keputusan pribadi ( muncul dan kesadaran nurani).
4. Bertanggung jawab :
a. Rela menanggung resiko dan konsekuensinya
b. Berani menanggung akibatnya
c. Mewartakan bahwa manusia semakin berkembang dalam membela martabat sejati manusia.
LANGKAH - LANGKAH OPERASIONAL DARI PENGOLAHAN HIDUP
LANGKAH I
(disarikan oleh Sr. M. Madeleine PBHK)
1. LANGKAH I : MASA KECIL ( 0 - 15 tahun ) ---> terbentuknya cacat pusaka dan disposisi dasar keutamaan.
A. ANAMNESIS : Mengenang dalam iman (menemukan jejak Allah dalam hidupku)
Mengenang peristiwa masa kecil. Bagaimana kenyataanya saya mengalami pribadi-pribadi yang ada di lingkungan / sekitar saya saat itu. Pengalaman sejauh yang masih diingat (pengalaman yang dilupakan menunjuk bahwa pengalaman itu dirasa tidak penting).
Anamnesis ini tentang :
a. sistem hidup rasa pribadi-pribadi tersebut
b. sistem nilai yang diterima dari pribadi-pribadi
c. ketegangan yang diterima dan pribadi-pribadi
d. kebutuhan psikologis
e. sistem pembelaan diri, watak, perangai, pembawaan mereka
f. nilai yang ditanamkan dalam lingkup sosio budaya.
B. REAKSI - REAKSI ATAS PENGALAMAN TERSEBUT.
Dengan tulus, jujur, terbuka terhadap Tuhan dan Pembina menemukan lima isi dinamis kepribadian (yang sudah mengendap).
a. Sistem hidup rasa : membuat inventaris rasa perasaan
b. Sistem kebutuhan psikologis : kecenderungan yang sering terulang.
c. Sistem pembelaan diri: mekanisme tindakan yang sering dipakai untuk menutupi kekurangan.
d. Sistem ketegangan : tanda bahwa seseorang mengalami pergulatan / konflik berasal dan peristiwa / pengalaman masa kecil yang menegangkan ; misalnya pengalaman tidak diterima, pengalaman ketakutan yang luar biasa. Dalam hal ini yang diperhatikan peristiwanya bukan konfliknya misal : pada saat saya dimarahi, dihukum, dipelototi, dikurung, jauh, tidak diberi makan.
e. Sistem nilai keutamaan - keutamaan yang dibiasakan/dilatihkan ( peristiwa -peristiwa inkarnatoris : misal rajin ke gereja, misdinar, baptis bayi.)
C. KONFLIK DASAR atau konflik utama yang selalu terulang-ulang melalui pengalaman suka dan duka, keberhasilan dan kegagalan.
Konflik dasar akan menumbuhkan atmosfir batin yang memunculkan / membentuk HIDUP AFEKSI DASAR.
a. Perasaan yang dominan
b. Kerinduan-kerinduannya : misalnya karena tertekan pada masa kecil, maka rindu membutuhkan kasih sayang. Karena terlaia dimanja dan diperhatikan, maka menjadi DOMINAN dan muncul kelekatan.
1. LANGKAH I : MASA KECIL ( 0 - 15 tahun ) ---> terbentuknya cacat pusaka dan disposisi dasar keutamaan.
A. ANAMNESIS : Mengenang dalam iman (menemukan jejak Allah dalam hidupku)
Mengenang peristiwa masa kecil. Bagaimana kenyataanya saya mengalami pribadi-pribadi yang ada di lingkungan / sekitar saya saat itu. Pengalaman sejauh yang masih diingat (pengalaman yang dilupakan menunjuk bahwa pengalaman itu dirasa tidak penting).
Anamnesis ini tentang :
a. sistem hidup rasa pribadi-pribadi tersebut
b. sistem nilai yang diterima dari pribadi-pribadi
c. ketegangan yang diterima dan pribadi-pribadi
d. kebutuhan psikologis
e. sistem pembelaan diri, watak, perangai, pembawaan mereka
f. nilai yang ditanamkan dalam lingkup sosio budaya.
B. REAKSI - REAKSI ATAS PENGALAMAN TERSEBUT.
Dengan tulus, jujur, terbuka terhadap Tuhan dan Pembina menemukan lima isi dinamis kepribadian (yang sudah mengendap).
a. Sistem hidup rasa : membuat inventaris rasa perasaan
b. Sistem kebutuhan psikologis : kecenderungan yang sering terulang.
c. Sistem pembelaan diri: mekanisme tindakan yang sering dipakai untuk menutupi kekurangan.
d. Sistem ketegangan : tanda bahwa seseorang mengalami pergulatan / konflik berasal dan peristiwa / pengalaman masa kecil yang menegangkan ; misalnya pengalaman tidak diterima, pengalaman ketakutan yang luar biasa. Dalam hal ini yang diperhatikan peristiwanya bukan konfliknya misal : pada saat saya dimarahi, dihukum, dipelototi, dikurung, jauh, tidak diberi makan.
e. Sistem nilai keutamaan - keutamaan yang dibiasakan/dilatihkan ( peristiwa -peristiwa inkarnatoris : misal rajin ke gereja, misdinar, baptis bayi.)
C. KONFLIK DASAR atau konflik utama yang selalu terulang-ulang melalui pengalaman suka dan duka, keberhasilan dan kegagalan.
Konflik dasar akan menumbuhkan atmosfir batin yang memunculkan / membentuk HIDUP AFEKSI DASAR.
a. Perasaan yang dominan
b. Kerinduan-kerinduannya : misalnya karena tertekan pada masa kecil, maka rindu membutuhkan kasih sayang. Karena terlaia dimanja dan diperhatikan, maka menjadi DOMINAN dan muncul kelekatan.
D. Melihat hidup afeksi dasar :yang berupa perasaan - perasaan dominan entah kalau kebutuhan psikologis dipuaskan atau tidak. Bisa juga berupa perasaan dominan akibat adanya trauma, pengalaman pahit, orang tua yang keras, suka menghukum. Kadang - kadang juga disertai dengan gejal fisik tertentu seperti sulit tidur, lari dan rumah, sakit, takut pada figur pemimpin dsb. Perasaan - perasaan yang dominan itu dengan sendirinya juga disertai kerinduan - kerinduannya , seperti misalnya kalau perasaan yang dominan tertekan di masa kecil, maka disertai kerinduan untuk mendapatkan rasa aman dan perhatian atau kasih sayang dsb.
KESIMPULAN HIDUP AFEKSI DASAR ;
a) Orang mengalami Defisit afeksi (kurang dicintai, kurang perhatian dan keakraban ).
b) Orang mengalami Over afeksi ( kelebihan cinta , perhatian yang berlebihan )
c) Orang mengalami perhatian yang wajar / biasa - biasa ( tidak papas dan tidak dingin.)
d) Orang mengalami pengalaman pahit.
Semuanya akan menentukan pembentukan cacat pusaka maupun disposisi dasar keutamaan pada diri subyek.
E. KESIMPULAN HIDUP AFEKSI DASAR DAN DISPOSISI DASAR KEUTAMAAN MENIMBULKAN CACAT PUSAKA..
Cacat Pusaka yang biasanya berupa kebutuhan psikologis utama yang sentral , dominan dan disonan sebagai pemecahan satu-satunya bila mengalami konflik atau krisis.
• Sentral : kebutuhan psikologis tersebut menghabiskan cukup banyak energi hidup dan afeksi untuk memenuhinya.
• Dominan : kebutuhan psikologis tersebut senantiasa memotivasi pribadi secara kuat entah secara sadar atau bawah sadar.
• Disonan kebutuhan spikologis tersebut bertentangan dengan nilai panggilan.
a) Pegalaman Defisit afeksi : yaitu tidak mengalami kasih sayang di masa kecil karena berbagai alasan seperti keluarga retak, kesulitan ekonomi sehingga tidak punya waktu untuk anak → cacat pusaka :
Ø Terkait dengan penolakan terhadap din sendiri, orang tua dan situasi cacat pusaka : RASA KECIL
Ø Terkait dengan kekaburan sistem nilai ---> menumbuhkan cacat pusaka TIDAK YAKIN DIRI.
b) Pengalaman over afeksi: yaitu mereka yang dimasa kecil dimanja.
Ø Terkait dengan kelekatan akan kehangatan cacat pusaka : SUCCORANCE " ingin diperhatikan " ( yang beimuara pada kenikmatan daging, kenikmatan seksual dan ingin senantiasa diperhatikan, orang tidak tahan sepi, harus ada orang kuat yang mendampingi)
Ø Terkait dengan pemuliaan diri / harga diri ---> cacat pusaka : INGIN DITERIMA, DIAKUI, DIORANGKAN. Yang dapat nampak dalam reaksi mudah tersinggung, mudah marah, mudah mendiamkan karena merasa tidak diterima.
c) Pengalaman biasa - biasa dalam hidup afeksi dasar, normal dan wajar. Melihat sistem kebutuhan psikologis yang sudah diinventarisasi dan memperhatikan " SATU " yang bertumbuh : menjadi sentral, dominan dan desonan.
Misalnya : Orang merasa berharga melalui penampilan dan prestasi kerjanya, menimbulkan cacat pusaka " INGIN DIPERHATIKAN ", INGIN DITERIMA dsb.
d. Pengalaman pahit : Misalnya tinggal bersama ayah dan ibu tin yang kejam, orang tua sendiri keras dan kasar atau trauma berat dimasa kecil. Pengalam pahit yang terns menerus dan sepanjang hidup dirundung malang akan menimbulkan cacat pusaka tertentu.
Ø Pengalaman pahit yang terkait dengan ketakutan akan menimbulakan FOBIA (rasa takut berlebihan yang tak beralasan )
Ø Pengalaman pahit yang terkait dengan kebencian dan kemarahan menimbulkan KOMPULSI - orang tidak mampu mengendalikan emosi
Ø Pengalaman pahit yang mencekarn perasaan menimbulkan OBSESI - perfeksionis; dikejar-kejar pekerjaan.
Ø Kebiasaan - kebiasaan buruk tertentu ( stereotype )— membentuk cara hidup tertentu ( misalnya anti sosial/ tak mau bergaul; IDEFIX : POKOKNYA, tidak bisa diganggu gugat.
Cacat pusaka : sumber gangguan itu terkait dengan kebutuhan spikologis apa? Misalnya Obsesi pefeksionis ( mencapai hasil ) yang menjadi cacat pusaka : INGIN DITERIMA.
F. DISPOSISI DASAR KEUTAMAAN : seluruh sistem nilai yang pada kenyataannya sudah dibatinkan dimasa kecil dan sudah menjadi kerangka pertimbangan buruk dan baik .
a. Melihat dan menemukan manakah sistem nilai yang mengendap dan menjadi HORIZON NILAI .
Tanda - tanda menjadi horizin nilai adalah ;
- menjadi isi hati nurani
- mendayai hidup sehari - hari
- menumbuhkan rasa salah bila tidak dilakukan.
b. Bila ini ditemukan, inilah DISPOSISI DASAR KEUTAMAAN.
LANGKAH KE II
( Sr. M. Madeleine PBHK )
Langkah kedua : Kita melihat permainan- permainan dalam hidup ( pola kerja roh buruk/ topeng ) yang menghambat hidup di hadirat Allah.
Menemukan perwatakan dan perangai defensif sebagai warna pribadi yang menghambat pembatinan nilai yang sering disebut inkonsistensi sentral.
Data hidup yang perlu diamati adalah data seluruh hidup sejak umur 16 tahun sampai sekarang.
1. Menemukan isi pembelaan diri :
Membuat inventariasasi kebutuhan psikologis yang masih kuat dan data 16 tahun sampai sekarang.
Seluruh kebutuhan psikologis yang hingga hari ini masih difungsikan untuk memotivasi sikap-sikap dan yang desonan/ tidak sesuai dengan nilai panggilan.
2. Melihar proses pembelaan diri :
Dengan bertanya bagaimana fungsi kebutuhan - kebutuhan psikologis yang kuat tersebut di hadapan cacat pusaka. Kebutuhan psikologis ini difungsikan untuk membela cacat pusaka, secara sadar atau bawah sadar, karena itu membuat orang tidak konsisten di hadapan nilai-nilai yang ingin dipeluk dan dihayati dalam hidup. Misalnya : karena tidak diakui / tidak diterima; cenderung mencari perhatian-> suatu bentuk rationalisasi; Mengapa saya cenderung berakrab - akrab, tidak tahan sepi, mencari orang untuk omong-omong, atau can bunyi - bunyian? . Keakraban → memproyeksikan kebutuhan untuk diterima ( sebagai cacat pusaka). Misalnya Pamer ( eksibisi ) kalau ada orang yang mangacuhkan ( tidak menerima saya ) pamer dipakai untuk menutupi/ membela kebutuhan ingin diterima berfungsi sebagai pemulasan reaksi dsb.
Kebiasaan membela cacat pusaka dengan seperangkat mekanisme pembelaan diri, berupa isi dan proses ini, lama-lama akan mengendap dalam bentuk perwatakan dan perangai yang defensif.
3. Istilah pembawaan, perwatakan, perangai, sikap dan sifat.
• pembawaan : Unsur dari kepribadian yang terbentuk atas dasar asas pembawaan. Terbentuk oleh faktor heriditer / unsur gen dan kemampuan seseorang yang dibawa sejaklahir : maka tak dapat diubah.
Misalnya : kemampuan otak : pandai, bodoh, idiot, dull dsb.
Cacat bawaan : cebol, penyakit gila, kriting dsb.
• Perwatakan : unsur kepribadian yang terbetuk melalui proses interiorisasi entah sadar ataupun bawah sadar berhadapan dengan tantangan situasi karena orang mempunyai pembawaan tertentu.
Misalnya : ada orang yang tahu disiplin karena orang tua membiasakan hidup teratur. Disiplin ini tidak diturunkan tetapi dipelajari dan kebiasaan.
• Perangai : Reaksi spontan, emosional, rational, aktual, labil, dihaGapan tantangan hidup karena orang sudah mempunyai perwatakan tertentu. Sangat tergantung pada gejolak sesaat - orang melihatnya sebatgai karakter.
• Contoh : introvert, ekstrovert, melankolis, diingatkan pembimbing - marah, Tak mau berkerja; perangai perfeksionis kalau ada teman tidak tertib sudah marah, mudah tersinggung, cengeng, mudah kecewa, otoriter, ceria dsb.
• Sikap defensif : perangai yang mulai meniadi kebiasaan dan mengendap Contoh : orang muGah marah, orang mudah tersinggung.
• Sifat : Sikap yang sudah menjadi cara hidup/ kebiasaan.
Misalnya : orang yang sikapnya suka marah sifatnya : pemarah, periang, pemurah, dsb.
4. Menemukan perwatakan defensif :
Melihat kebutuhan psikologis yang paling dominan, sentral dalam peimainan defensif. Akibatnya terjadi kecendcrungan untuk memenuhi kebutuhan psikologis yang sentral dan dominan padahal kurang sesuai dengan nilai panggilan, lama kelamaan membentuk gaya hidup tertentu yang tidak sesuai dengna panggilan.
5. Melihat perangai defensif :
Merefleksikan reaksi - reaksi spontan, emosional, aktual dihadapan hidup yang menantang. Kalau kebutuhan psikologis yang sentral dan desonan tidak dipenuhi atau kurang dipenuhi, orang bereaksi secara emosional. Rakasi spontan membentuk kebutuhan spikologis yang sekunder dan akan melahirkan perangai defensif. Lama kelamaan menumbuhkan gaya hidup emosional, berupa reaksi spontan yang terkadang bertentangan dengan hukum kasih seperti mendendam, sulit mengampuni dsb. Ciri perangai : labil, berubah-ubah tergantung kebutuhan psikologis sentral mana yang sedang memotivasi dalam emmbangun relasi sosial. Kadang ada cap : cengeng, pemalu, tak tabu malu, pemarah, sulit mengampuni, kasar, dsb.
6. Melihat kemungkinan adanya gejala fisik yang terkait.
Apabila kebutuhan psikologis yang sentral, dominan, desonan tidak terpenuhi padahal sangat kuat memotivasi orang secara bawah sadar, maka dapat muncul reaksi-reaksi fisik yang sering digolongkan dalam gejala psikosomatis, neurosis atau malah gangguan kepribadian.
Psikomomatis : muncul gejala fisik ; misalnya :
Ø ada kegelisahan / marah disimpan > radang dan sakit maag, sariawan
Ø setiap kali ada masalah tidak bisa makan atau sebaiknya makan banyak -sakit gemuk, kurus.
Ø Gatal-gatal, migran, tak bisa tidur, sesak nafas, darah tinggi.
Neurose :
• Kompulsif : tak dapat mengendalikan gejolak :
Misalnya : mudah marah, cengeng, mudah tersinggung, ngarnbeg dsb.
• Ritual : kebiasaan buruk ; misalnya : cuci rambut setiap hari. Setiap kali melihat wastafel selalu cuci tangan dsb.
• Ilusi : idealisme semu : mimpi di siang bolong, hidup dalam fantasi dan lamunan. Menganggap ada sesuatu benda, padahal tidak ada apa-apa; misalnya berjalan sendiri seperti ada orang yang membuntutinya, padahla tidak ada apa-apa.
• Delusi : barang ada tapi dilihat secara keliru. Misalnya : bajunya sendiri digantung → dilihat seperti orang akan mencekik, pohon pisang dikira hantu dsb.
Fobia : ketakutan yang tidak logis : takut ulat, tskut ketinggian, takut gelap, takut guntur, takut mata melotot dsb.
Obsesi : Motivasi bawah sadar sehingga membentuk kecemasan. Misalnya obsesi perfeksionis ; bawah sadar - ingin sempurna, maka jika pekerjaan belum selesai ia tidak dapat makan, tidak bisa tidur, selalu dikejar-kejar pekerjaan.
Langkah kedua : Kita melihat permainan- permainan dalam hidup ( pola kerja roh buruk/ topeng ) yang menghambat hidup di hadirat Allah.
Menemukan perwatakan dan perangai defensif sebagai warna pribadi yang menghambat pembatinan nilai yang sering disebut inkonsistensi sentral.
Data hidup yang perlu diamati adalah data seluruh hidup sejak umur 16 tahun sampai sekarang.
1. Menemukan isi pembelaan diri :
Membuat inventariasasi kebutuhan psikologis yang masih kuat dan data 16 tahun sampai sekarang.
Seluruh kebutuhan psikologis yang hingga hari ini masih difungsikan untuk memotivasi sikap-sikap dan yang desonan/ tidak sesuai dengan nilai panggilan.
2. Melihar proses pembelaan diri :
Dengan bertanya bagaimana fungsi kebutuhan - kebutuhan psikologis yang kuat tersebut di hadapan cacat pusaka. Kebutuhan psikologis ini difungsikan untuk membela cacat pusaka, secara sadar atau bawah sadar, karena itu membuat orang tidak konsisten di hadapan nilai-nilai yang ingin dipeluk dan dihayati dalam hidup. Misalnya : karena tidak diakui / tidak diterima; cenderung mencari perhatian-> suatu bentuk rationalisasi; Mengapa saya cenderung berakrab - akrab, tidak tahan sepi, mencari orang untuk omong-omong, atau can bunyi - bunyian? . Keakraban → memproyeksikan kebutuhan untuk diterima ( sebagai cacat pusaka). Misalnya Pamer ( eksibisi ) kalau ada orang yang mangacuhkan ( tidak menerima saya ) pamer dipakai untuk menutupi/ membela kebutuhan ingin diterima berfungsi sebagai pemulasan reaksi dsb.
Kebiasaan membela cacat pusaka dengan seperangkat mekanisme pembelaan diri, berupa isi dan proses ini, lama-lama akan mengendap dalam bentuk perwatakan dan perangai yang defensif.
3. Istilah pembawaan, perwatakan, perangai, sikap dan sifat.
• pembawaan : Unsur dari kepribadian yang terbentuk atas dasar asas pembawaan. Terbentuk oleh faktor heriditer / unsur gen dan kemampuan seseorang yang dibawa sejaklahir : maka tak dapat diubah.
Misalnya : kemampuan otak : pandai, bodoh, idiot, dull dsb.
Cacat bawaan : cebol, penyakit gila, kriting dsb.
• Perwatakan : unsur kepribadian yang terbetuk melalui proses interiorisasi entah sadar ataupun bawah sadar berhadapan dengan tantangan situasi karena orang mempunyai pembawaan tertentu.
Misalnya : ada orang yang tahu disiplin karena orang tua membiasakan hidup teratur. Disiplin ini tidak diturunkan tetapi dipelajari dan kebiasaan.
• Perangai : Reaksi spontan, emosional, rational, aktual, labil, dihaGapan tantangan hidup karena orang sudah mempunyai perwatakan tertentu. Sangat tergantung pada gejolak sesaat - orang melihatnya sebatgai karakter.
• Contoh : introvert, ekstrovert, melankolis, diingatkan pembimbing - marah, Tak mau berkerja; perangai perfeksionis kalau ada teman tidak tertib sudah marah, mudah tersinggung, cengeng, mudah kecewa, otoriter, ceria dsb.
• Sikap defensif : perangai yang mulai meniadi kebiasaan dan mengendap Contoh : orang muGah marah, orang mudah tersinggung.
• Sifat : Sikap yang sudah menjadi cara hidup/ kebiasaan.
Misalnya : orang yang sikapnya suka marah sifatnya : pemarah, periang, pemurah, dsb.
4. Menemukan perwatakan defensif :
Melihat kebutuhan psikologis yang paling dominan, sentral dalam peimainan defensif. Akibatnya terjadi kecendcrungan untuk memenuhi kebutuhan psikologis yang sentral dan dominan padahal kurang sesuai dengan nilai panggilan, lama kelamaan membentuk gaya hidup tertentu yang tidak sesuai dengna panggilan.
5. Melihat perangai defensif :
Merefleksikan reaksi - reaksi spontan, emosional, aktual dihadapan hidup yang menantang. Kalau kebutuhan psikologis yang sentral dan desonan tidak dipenuhi atau kurang dipenuhi, orang bereaksi secara emosional. Rakasi spontan membentuk kebutuhan spikologis yang sekunder dan akan melahirkan perangai defensif. Lama kelamaan menumbuhkan gaya hidup emosional, berupa reaksi spontan yang terkadang bertentangan dengan hukum kasih seperti mendendam, sulit mengampuni dsb. Ciri perangai : labil, berubah-ubah tergantung kebutuhan psikologis sentral mana yang sedang memotivasi dalam emmbangun relasi sosial. Kadang ada cap : cengeng, pemalu, tak tabu malu, pemarah, sulit mengampuni, kasar, dsb.
6. Melihat kemungkinan adanya gejala fisik yang terkait.
Apabila kebutuhan psikologis yang sentral, dominan, desonan tidak terpenuhi padahal sangat kuat memotivasi orang secara bawah sadar, maka dapat muncul reaksi-reaksi fisik yang sering digolongkan dalam gejala psikosomatis, neurosis atau malah gangguan kepribadian.
Psikomomatis : muncul gejala fisik ; misalnya :
Ø ada kegelisahan / marah disimpan > radang dan sakit maag, sariawan
Ø setiap kali ada masalah tidak bisa makan atau sebaiknya makan banyak -sakit gemuk, kurus.
Ø Gatal-gatal, migran, tak bisa tidur, sesak nafas, darah tinggi.
Neurose :
• Kompulsif : tak dapat mengendalikan gejolak :
Misalnya : mudah marah, cengeng, mudah tersinggung, ngarnbeg dsb.
• Ritual : kebiasaan buruk ; misalnya : cuci rambut setiap hari. Setiap kali melihat wastafel selalu cuci tangan dsb.
• Ilusi : idealisme semu : mimpi di siang bolong, hidup dalam fantasi dan lamunan. Menganggap ada sesuatu benda, padahal tidak ada apa-apa; misalnya berjalan sendiri seperti ada orang yang membuntutinya, padahla tidak ada apa-apa.
• Delusi : barang ada tapi dilihat secara keliru. Misalnya : bajunya sendiri digantung → dilihat seperti orang akan mencekik, pohon pisang dikira hantu dsb.
Fobia : ketakutan yang tidak logis : takut ulat, tskut ketinggian, takut gelap, takut guntur, takut mata melotot dsb.
Obsesi : Motivasi bawah sadar sehingga membentuk kecemasan. Misalnya obsesi perfeksionis ; bawah sadar - ingin sempurna, maka jika pekerjaan belum selesai ia tidak dapat makan, tidak bisa tidur, selalu dikejar-kejar pekerjaan.
LANGKAH KE III
( disarikan oleh Sr. Agustina Arniyatun BKK )
Melihat kerohanian sebagai dimensi harapan dalam hidup karena menjadi pembentuk DIRI IDEAL dalam Panggilan.
1. Melihat kembali langkah I :
Disposisi dasar keutamaan. Merupakan seluruh sistem nilai yang pada kenyataanya sudah dibatinkan dimasa kecil, dan sudah menjadi kerangka pertimbangan baik - buruk atau sudah menjadi sistem nuraninya. Bila hal tersebut dihubungkan dengan nilai-nilai religius dan kristiani, maka menjadi sistem kerohanian pribadi. misalnya :
- memliki kesiap sediaan membantu sesama
- dapat mendengarkan orang lain
- rajin berdoa
- jujur
- tanggung jawab
- terbuka dsb
Penemuan disposisi dasar keutamaan dalam din pribadi, akan sangat membantu melihat karya Roh Kudus dimasa kecil. Kita sering tidak menyadari bahwa Tuhan mendidik kita sejak kecil melalui pengalaman yang tidak selalu mengenakkan namun mengarahkan hidup kita sesuai dengan kehendaknya. (Ibr. 12 ; 1 - 17 )
Bahan refleksi :
Apakah dlam diniku sudah bertumbuh disposisi dasar keutamaan? ( Lihat sejarah keselamatan anda pada bagian nilai-nilai : adi kodrati, inkarnatoris, kodrati )
2) Kita sebagai pribadi yang telah dipermandikan dan telah memilih panggilan hidup sebagai calon religius dalam suatu Tarekat, apakah sudah mulai membatinkan wahyu Kristus yang obyektif ?
Wahyu obyektif :
- Yesus Kristus
- Nilai-nilai Injili ( K.S )
- Ajaran Gereja
- Semangat Pendiri Tarekat
- Spiritualitas Tarekat
- Studi dan pendalaman
Disposisi dasar keutamaan terbuka terhadap nilai wahyu Ilahi dan seluruh sistem pewahyuannya (Spiritualitas) Obyektif dan terbuka terhadap Roh Kudus.
Hidup Allah yang secara obyektif ditawarkan pada manusia dalam din Kristus sebagai jalan kebenaran dan hidup.
Tawaran - tawaran wahyu Kristus yang obyektif yang terwujud dalam spiritualitas Kristiani, Spiritualitas Hidup Bakti; Spi. Imamat; Spi. Ordo / Tarekat; Spi keluarga.
Ini berciri obyektif, berupa pewahyuan/ pengetahuan bisa diselidiki , dipelajari. Bisa menjadi kerohanian bila terjadi internalisasi. Lewat proses internalisasi - proses pengendapan yang terdiri dari beberapa proses. Proses tersebut adalah :
1) Tahap kompromi.
Motivasi mendua, mencari jalan tengah, nilai >< egois ( Allah >< Mamon). Cintanya pada Allah belum total dan radikal, masih setengah-setengah. Imannya kompromis, kurang teguh.
Contoh :
- Sedang berdoa pikirannya kemana-mana / piknik.
- Sudah memilih hidup sebagai religius, masih menjalin relai dengan pacar
- Sudah menjadi postulan masih pilih-pilih teman, pekerjaan, makanan. Bila tidak sesuai dengan pilihannya marah.
2) Tahap Complience. Nampak menghayati nilai tapi dengan pamrih. Motivasi demi pemenuhan kebutuhan psikologis, menghayati nilai supaya diterima, mengikuti kehendak ayah, ibu, teman, pembimbing agar disenangi/ diterima. Melakukan segal;a sesuatu karena takut dihukum, takut ditolak dsb. Contoh ; - bekerja rajin agar dipuji. - rajin berdoa agar boleh masuk novis. - tekun refleksi agar boleh kaul kekal. - rajin mambantu teman agar dikatakan orang baik dsb.
3) Tahap indentifikasi : Sudah menemukan pola-pola penghayatan hidup beriman ada yang telah disertai penghayatan tapi ada juga yang hanya meniru-niru ( rneniru pola hidup orang lain ) Imannya bersifat ritual: berdoa hanya melakukan ritus-ritus dan hanya sekedar melakukan kewajiban. (tidak ada motivasi yang otentik). Identifikasi bila disertai dengan internalisasi membawa pribadi ke pembatinan nilai - nilai. Menerima nilai dengan terbuka hati, menghayati dan mengubah diri.
Contoh :
- Postulan menerima pelajaran Kitab Suci, terbuka untuk menerima nilai-nilai iman yang ditawarkan, dengan merenungkan dan sungguh-sungguh melatih diri -- sikap hidupnya mulai berubah yaitu dengan sadar mau mendengarkan orang lain dan memiliki ketaatan serta semangat berdoanya berkembang.
- Meneladan Yesus yang tidak menghakimi namun mencintai
- Gal. 2 : 20 : Aku hidup namun bukan aku sendiri yang hidup ( St Paulus )
4) Tahap internalisasi : Keterbukaan dalam menerima nilai-nilai dan menghayatinya serta mendorongnya untuk mengubah diri dan semakin bersedia untuk diubah oleh nilai tersebut demi cintanya kepada Kristus. ( Proses transformasi diri secara teosentris ) Motivasi murni untuk kemuliaan Tuhan bukan untuk kebutuhan psikologis atau yang lain. Nilai-nilai spiritualitas mulai membentuk horizon nilai dengan 3 ciri :
- sudah menjadi isi hati nurani - sudah menumbuhkan kekuatan batin. Empowering
- mendayai hidupnya dari dalam - Menimbulkan rasa salah bila tidak dilakukan.
Contoh : - Setiap bangun tidur secara pribadi membuat tanda salib dan berdoa kepada Tuhan, bersyukur atas berkat keselamatan. - Setiap hari mengikuti ekaristi kudus walaupun dalam situasi apa raja.
- Orang semakin mampu mensyukuri hidup ini walau kadang lewat peristiwa yang tidak enak tapi dapat melihat hal positif didalamnya.
LANGKAH KE TIGA itu tahap melihat kerohanian pribadi sebagai dimensi harapan dalam hidup karena menjadi pembentuk DIRI - IDEAL dalam panggilan.
1. Membuat inventarisasi sistim nilai subyektif yang sudah mulai dibatinkan dalam hidup. Pembatinan tidak hanya berarti tahu atau menjadi pengetahuan seperti dogma kitab suci, tetapi yang sudah menjadi semanqat hidup, darah daging dan kerangka pertimbangan baik - buruk dalam hidup kita jadi sudah menjadi sistem Hati nurani. Yang perlu diinventarisasi disini adalah seluruh sistem nilai yang sudah kita batinkan, bukan yang sudah kita ketahui, artinya yang sudah selalu menjadi pusat perhatian dan kerohanian hidup sehari - hari. Bidang nilai yang dilihat dapat meliputi : - nilai Kodrati - nilai adikodrati - nilai inkarnatoris - nilai Religius - nilai moral. Dengan membuat ini, sebetulnya kita membuat rangkuman atau sintesa tentang kebatinan aktual kita. Inilah yang disebut / dimaksud dengan sistem nilai subyektif pengarah hidup, jadi berupa finalitas konkrit yang sudah menjadi eksistensial. Kerohanian pribadi ini secara struktural terdiri atas tiga bagian yaitu :
1) Ideal Institusional
2) Ideal Diri
3) Ideal Diri Dalam Situasi.
2. Memilah-milah mana yang termasuk IDEAL INSTITUSIONAL tentang Kristus, Semangat Injil, Kitab suci, Ajaran Gereja, Spiritualitas Kristiani, Semangat Pendiri, Apa saja yang sudah mengendap dan studi pribadi, pendalaman atau bacaan rohani. Seberapa jauh kita membatinkan nilai-nilai Institusional, sedalam itu juga kita mempunyai arah identifikasi Identifikasi din yang dibentuk oleh pembatinan nilai-nilai Institusional ini disebut: IDEAL INSTITUSIONAL. Ideal Institusional : nilai yang mengendap melalui pendalaman pribadi. Gambaran Allah yang saya alarni dalam hidup. Sudah ada pengendapan mengenai wahyu Allah. Sudah membatinkan nilai Yesus Kristus, Tarekat, Gereja. Contoh : - Yesus Kristus juru selamatku. - Yesus pembimbing langkahku. - Allah hadir dalam setiap peristiwa hidupku. Wahyu Kristus Obyektif: berpusat pada Yesus Kristus - Kitab Suci - nilai-nilai Injili - Ajaran Gereja: a.l. - Konstitusi Vat. II, 5 perintah Gereja - Spiritualitas tarekat - Studi dan pendalaman Iman.
3. Memilah - milah mana yang termasuk IDEAL DIRI yang masih berupa kerinduan? harapan? cita-cita yang mulai terwujudkan dan hari kehari. Ideal diri ini terjadi melalui proses inisiasi dan inkorporasi. Dalam inisiasi seseorang berkenalan dengan seperngkat nilai institusional dan Gereja, dan tarekat yang dipilih, namun is sendiri telah memiliki kekhususan dan pengarahan dalam pertumbuhannya sebagai pribadi. Ideal diri : sangat penting dalam menanggapi panggilan hidup, karena kelau seseorang tidal( memiliki Ideal diri, orang akan mengalami kekaburan sebagai pribadi, lalu : menjadi lesu, masa depan suram, tak ada semangat, tak ada gairah hidup selain hukurn senang, daya juang lemah, tak tabu atau tak ada yang diperjuangkan. Ideal diri masih berupa: keinginan, kerinduan, harapan yang sudah mulai diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Ideal diri terjadi melalui proses inisiasi dan inkorporasi. Contoh : - Saya ingin memaafkan teman yang menghina saya. - Saya ingin berlatih apa saja dengan tekun dan setia. - Saya ingin meningkatkan hidup rohani saya. - Saya rindu membina persaudaraan kristiani. - Saya rindu dapat berdoa dengan sungguh-sungguh. - Saya berharap dapat melihat kehadiran Yesus dalam sesama. - Saya berharap dapat belajar menghayati Sabda Tuhan dalam hidup. - Saya ingin mengenal semangat Tarekat dengan sungguh-sungguh.
4. Melihat Ideal diri dalam situasi dengan menanyakan apakah ada kesesuaian antara Ideal Institusional dan ideal diri. Bila tidak sesuai berarti ada masalah atau kesulitan, khususnya dalam proses inisiasi dan inkorporasi dalam suatu tarekat yang dipilih. Bila sesuai nampak mampu mewujudkan dalam hidup konkrit sehari-hari. Mulai ada ketekunan, mulai berupaya, mengusahakan sesuatu, mulai terlibat , mulai setia. Contoh : - Berupaya memperdalam hidup doa setiap hari - Berupaya mengikuti pelajaran dengan sungguh-sungguh - Berjuang menghayati semangat tarekat - Belajar bersyukur atas semua anugerah-Nya - Tekun melatih diri untuk berdoa
5. KONFLIK SOSIAL: Melihat kenyataan panggilan yang sudah mulai ditekuni dari hari kehari dan bagaimana kita dalam menjawab panggilan serta berani menjadi saksi- Nya. Mulai berani meluruskan, mengoreksi walau kadang ditolak/ tidak disenangi/ tidak dimengerti. Contoh : - Menyapa teman yang tidak jujur - Menjalani hidup panggilan dengan sungguh-sungguh, dikatakan sok alim oleh teman - Berdoa sebelum makan dimuka umum, walaupun tidak disenangi sesamanya.
Melihat kerohanian sebagai dimensi harapan dalam hidup karena menjadi pembentuk DIRI IDEAL dalam Panggilan.
1. Melihat kembali langkah I :
Disposisi dasar keutamaan. Merupakan seluruh sistem nilai yang pada kenyataanya sudah dibatinkan dimasa kecil, dan sudah menjadi kerangka pertimbangan baik - buruk atau sudah menjadi sistem nuraninya. Bila hal tersebut dihubungkan dengan nilai-nilai religius dan kristiani, maka menjadi sistem kerohanian pribadi. misalnya :
- memliki kesiap sediaan membantu sesama
- dapat mendengarkan orang lain
- rajin berdoa
- jujur
- tanggung jawab
- terbuka dsb
Penemuan disposisi dasar keutamaan dalam din pribadi, akan sangat membantu melihat karya Roh Kudus dimasa kecil. Kita sering tidak menyadari bahwa Tuhan mendidik kita sejak kecil melalui pengalaman yang tidak selalu mengenakkan namun mengarahkan hidup kita sesuai dengan kehendaknya. (Ibr. 12 ; 1 - 17 )
Bahan refleksi :
Apakah dlam diniku sudah bertumbuh disposisi dasar keutamaan? ( Lihat sejarah keselamatan anda pada bagian nilai-nilai : adi kodrati, inkarnatoris, kodrati )
2) Kita sebagai pribadi yang telah dipermandikan dan telah memilih panggilan hidup sebagai calon religius dalam suatu Tarekat, apakah sudah mulai membatinkan wahyu Kristus yang obyektif ?
Wahyu obyektif :
- Yesus Kristus
- Nilai-nilai Injili ( K.S )
- Ajaran Gereja
- Semangat Pendiri Tarekat
- Spiritualitas Tarekat
- Studi dan pendalaman
Disposisi dasar keutamaan terbuka terhadap nilai wahyu Ilahi dan seluruh sistem pewahyuannya (Spiritualitas) Obyektif dan terbuka terhadap Roh Kudus.
Hidup Allah yang secara obyektif ditawarkan pada manusia dalam din Kristus sebagai jalan kebenaran dan hidup.
Tawaran - tawaran wahyu Kristus yang obyektif yang terwujud dalam spiritualitas Kristiani, Spiritualitas Hidup Bakti; Spi. Imamat; Spi. Ordo / Tarekat; Spi keluarga.
Ini berciri obyektif, berupa pewahyuan/ pengetahuan bisa diselidiki , dipelajari. Bisa menjadi kerohanian bila terjadi internalisasi. Lewat proses internalisasi - proses pengendapan yang terdiri dari beberapa proses. Proses tersebut adalah :
1) Tahap kompromi.
Motivasi mendua, mencari jalan tengah, nilai >< egois ( Allah >< Mamon). Cintanya pada Allah belum total dan radikal, masih setengah-setengah. Imannya kompromis, kurang teguh.
Contoh :
- Sedang berdoa pikirannya kemana-mana / piknik.
- Sudah memilih hidup sebagai religius, masih menjalin relai dengan pacar
- Sudah menjadi postulan masih pilih-pilih teman, pekerjaan, makanan. Bila tidak sesuai dengan pilihannya marah.
2) Tahap Complience. Nampak menghayati nilai tapi dengan pamrih. Motivasi demi pemenuhan kebutuhan psikologis, menghayati nilai supaya diterima, mengikuti kehendak ayah, ibu, teman, pembimbing agar disenangi/ diterima. Melakukan segal;a sesuatu karena takut dihukum, takut ditolak dsb. Contoh ; - bekerja rajin agar dipuji. - rajin berdoa agar boleh masuk novis. - tekun refleksi agar boleh kaul kekal. - rajin mambantu teman agar dikatakan orang baik dsb.
3) Tahap indentifikasi : Sudah menemukan pola-pola penghayatan hidup beriman ada yang telah disertai penghayatan tapi ada juga yang hanya meniru-niru ( rneniru pola hidup orang lain ) Imannya bersifat ritual: berdoa hanya melakukan ritus-ritus dan hanya sekedar melakukan kewajiban. (tidak ada motivasi yang otentik). Identifikasi bila disertai dengan internalisasi membawa pribadi ke pembatinan nilai - nilai. Menerima nilai dengan terbuka hati, menghayati dan mengubah diri.
Contoh :
- Postulan menerima pelajaran Kitab Suci, terbuka untuk menerima nilai-nilai iman yang ditawarkan, dengan merenungkan dan sungguh-sungguh melatih diri -- sikap hidupnya mulai berubah yaitu dengan sadar mau mendengarkan orang lain dan memiliki ketaatan serta semangat berdoanya berkembang.
- Meneladan Yesus yang tidak menghakimi namun mencintai
- Gal. 2 : 20 : Aku hidup namun bukan aku sendiri yang hidup ( St Paulus )
4) Tahap internalisasi : Keterbukaan dalam menerima nilai-nilai dan menghayatinya serta mendorongnya untuk mengubah diri dan semakin bersedia untuk diubah oleh nilai tersebut demi cintanya kepada Kristus. ( Proses transformasi diri secara teosentris ) Motivasi murni untuk kemuliaan Tuhan bukan untuk kebutuhan psikologis atau yang lain. Nilai-nilai spiritualitas mulai membentuk horizon nilai dengan 3 ciri :
- sudah menjadi isi hati nurani - sudah menumbuhkan kekuatan batin. Empowering
- mendayai hidupnya dari dalam - Menimbulkan rasa salah bila tidak dilakukan.
Contoh : - Setiap bangun tidur secara pribadi membuat tanda salib dan berdoa kepada Tuhan, bersyukur atas berkat keselamatan. - Setiap hari mengikuti ekaristi kudus walaupun dalam situasi apa raja.
- Orang semakin mampu mensyukuri hidup ini walau kadang lewat peristiwa yang tidak enak tapi dapat melihat hal positif didalamnya.
LANGKAH KE TIGA itu tahap melihat kerohanian pribadi sebagai dimensi harapan dalam hidup karena menjadi pembentuk DIRI - IDEAL dalam panggilan.
1. Membuat inventarisasi sistim nilai subyektif yang sudah mulai dibatinkan dalam hidup. Pembatinan tidak hanya berarti tahu atau menjadi pengetahuan seperti dogma kitab suci, tetapi yang sudah menjadi semanqat hidup, darah daging dan kerangka pertimbangan baik - buruk dalam hidup kita jadi sudah menjadi sistem Hati nurani. Yang perlu diinventarisasi disini adalah seluruh sistem nilai yang sudah kita batinkan, bukan yang sudah kita ketahui, artinya yang sudah selalu menjadi pusat perhatian dan kerohanian hidup sehari - hari. Bidang nilai yang dilihat dapat meliputi : - nilai Kodrati - nilai adikodrati - nilai inkarnatoris - nilai Religius - nilai moral. Dengan membuat ini, sebetulnya kita membuat rangkuman atau sintesa tentang kebatinan aktual kita. Inilah yang disebut / dimaksud dengan sistem nilai subyektif pengarah hidup, jadi berupa finalitas konkrit yang sudah menjadi eksistensial. Kerohanian pribadi ini secara struktural terdiri atas tiga bagian yaitu :
1) Ideal Institusional
2) Ideal Diri
3) Ideal Diri Dalam Situasi.
2. Memilah-milah mana yang termasuk IDEAL INSTITUSIONAL tentang Kristus, Semangat Injil, Kitab suci, Ajaran Gereja, Spiritualitas Kristiani, Semangat Pendiri, Apa saja yang sudah mengendap dan studi pribadi, pendalaman atau bacaan rohani. Seberapa jauh kita membatinkan nilai-nilai Institusional, sedalam itu juga kita mempunyai arah identifikasi Identifikasi din yang dibentuk oleh pembatinan nilai-nilai Institusional ini disebut: IDEAL INSTITUSIONAL. Ideal Institusional : nilai yang mengendap melalui pendalaman pribadi. Gambaran Allah yang saya alarni dalam hidup. Sudah ada pengendapan mengenai wahyu Allah. Sudah membatinkan nilai Yesus Kristus, Tarekat, Gereja. Contoh : - Yesus Kristus juru selamatku. - Yesus pembimbing langkahku. - Allah hadir dalam setiap peristiwa hidupku. Wahyu Kristus Obyektif: berpusat pada Yesus Kristus - Kitab Suci - nilai-nilai Injili - Ajaran Gereja: a.l. - Konstitusi Vat. II, 5 perintah Gereja - Spiritualitas tarekat - Studi dan pendalaman Iman.
3. Memilah - milah mana yang termasuk IDEAL DIRI yang masih berupa kerinduan? harapan? cita-cita yang mulai terwujudkan dan hari kehari. Ideal diri ini terjadi melalui proses inisiasi dan inkorporasi. Dalam inisiasi seseorang berkenalan dengan seperngkat nilai institusional dan Gereja, dan tarekat yang dipilih, namun is sendiri telah memiliki kekhususan dan pengarahan dalam pertumbuhannya sebagai pribadi. Ideal diri : sangat penting dalam menanggapi panggilan hidup, karena kelau seseorang tidal( memiliki Ideal diri, orang akan mengalami kekaburan sebagai pribadi, lalu : menjadi lesu, masa depan suram, tak ada semangat, tak ada gairah hidup selain hukurn senang, daya juang lemah, tak tabu atau tak ada yang diperjuangkan. Ideal diri masih berupa: keinginan, kerinduan, harapan yang sudah mulai diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Ideal diri terjadi melalui proses inisiasi dan inkorporasi. Contoh : - Saya ingin memaafkan teman yang menghina saya. - Saya ingin berlatih apa saja dengan tekun dan setia. - Saya ingin meningkatkan hidup rohani saya. - Saya rindu membina persaudaraan kristiani. - Saya rindu dapat berdoa dengan sungguh-sungguh. - Saya berharap dapat melihat kehadiran Yesus dalam sesama. - Saya berharap dapat belajar menghayati Sabda Tuhan dalam hidup. - Saya ingin mengenal semangat Tarekat dengan sungguh-sungguh.
4. Melihat Ideal diri dalam situasi dengan menanyakan apakah ada kesesuaian antara Ideal Institusional dan ideal diri. Bila tidak sesuai berarti ada masalah atau kesulitan, khususnya dalam proses inisiasi dan inkorporasi dalam suatu tarekat yang dipilih. Bila sesuai nampak mampu mewujudkan dalam hidup konkrit sehari-hari. Mulai ada ketekunan, mulai berupaya, mengusahakan sesuatu, mulai terlibat , mulai setia. Contoh : - Berupaya memperdalam hidup doa setiap hari - Berupaya mengikuti pelajaran dengan sungguh-sungguh - Berjuang menghayati semangat tarekat - Belajar bersyukur atas semua anugerah-Nya - Tekun melatih diri untuk berdoa
5. KONFLIK SOSIAL: Melihat kenyataan panggilan yang sudah mulai ditekuni dari hari kehari dan bagaimana kita dalam menjawab panggilan serta berani menjadi saksi- Nya. Mulai berani meluruskan, mengoreksi walau kadang ditolak/ tidak disenangi/ tidak dimengerti. Contoh : - Menyapa teman yang tidak jujur - Menjalani hidup panggilan dengan sungguh-sungguh, dikatakan sok alim oleh teman - Berdoa sebelum makan dimuka umum, walaupun tidak disenangi sesamanya.
LANGKAH KE IV
(disarikan oleh Sr. M. Yulia AK)
Melihat gaya hidup dan kesaksian yang konsisten atau tidak konsisten dengan inengamati konsistensi psikologis, inkonsistensi sosial, inkonsistensi psikologis, konsistensi defensif dan konsistensi sosial dalam bidang hidup rohani, hidup bersama dan hidup apostolik. Dalam langkah kedua, kita melihat permainan defensif yang membentuk watak dan perangai defensif serta gejal fisik yang menyertai yang berasal dari cacat pusaka. Dalam langkah ketiga , melihat kerohanian pribadi, watak dan perangi subur untuk panggilan yang berasal dari disposisi dasar keutamaan. Terjadilah pergumulan antara watak dan perangai defensif dihadapakan pada watak dan perangi subur untuk panggilan melahirkan 2 sikap dalam pribadi seseorang. Sikap yang menjawab Allah - mengutamakan Allah adalah sikap yang sesuai dengan panggilan > disebut KONSISTEN. Sedangkan sikap yang menolak Allah - memilih kedosaan adalah sikap yang tidak sesuai dengan panggilan disebut INKONSISTENSI
SIKAP ini dapat dilihat dalam hidup eksistensial setiap hari :
• dalam hidup rohani
• dalam hidup bersama
• dalam hidup apostolik
1. KONSISTENSI PSIKOLOGIS adalah keadaan tidak berdaya di hadapan nilai-nilai panggilan karena masih sangat kuat dipengaruhi oleh kelekatan yang tidak teratur, watak dan perangai defensif, atau karena ada gangguan kepribadian.
Contoh :
Dalam hidup rohani :
• Berniat berdoa tetapi ngantuk
• Mengimani bahwa Kristus selalu menyertai tetapi masih takut gelap.
• Kristus saat ini menjadi sahabat dan pendamping hidup, tetapi belum dapat membangun relasi dengan-Nya
• Beriman, tetapi sering putus asa karena situasi keluarga.
Dalam hidup bersama :
• Berniat akan ramah dengan siapapun, tetapi ketika berjumpa teman yang tidak cocok, menghindar dan mencari jalan lain.
• Berniat mejalin semangat persaudaraan dan keterbukaan dalam hidup bersama, tetapi mudah tersinggung.
• Berniat mengatakan kebenaran tetapi tidak terjadi karena tidak berani dan takut resiko.
Dalam hidup karya
• Senang melayani orang yang membutuhkan, tapi cenderung untuk lekat dengan yang dilayani, karena kebutuhan keakraban.
• Berniat untuk melaksanakan pekerjaan dengan sebaik - baiknya, tetapi ketika mendapat tugas yang tidak disukai masih menggerutu.
• Mau melayani teman yang sedang sakit, tapi ketika melayani tidak sabar dan mudah marsh.
• Ingin membantu teman dalam pekerjaan, tapi takut tidak diterima.
2. Inkonsistensi sosial
Inkonsistensi sosial adalah kesengajaan melanggar nilai-nilai panggilan, tahu bahwa bertentangan, tetapi tidak peduli dan tetap dilariggar, maka dapat merupakan dosa-dosa pribadi.
Dalam hidup rohani
- Sengaja tidak berdoa menuruti perasaan malas
- Sengaja tidak mengikuti perayaan Ekaristi, karena ingin bangun siang, dan merasa bosan.
- Sengaja tidak membaca bacaan rohani tetapi membaca bacaan yang dapat untuk menghibur diri/ mencari senang.
Dalam hidup bersama :
- Memelihara rasa kecil ( sebetulnya bisa tetapi karena rasa kecil maka tidak mau ketika diminta menyumbangkan acara.)
- Dengan sengaja mencari popularitas dengan mendominasi teman, menguasai teman.
- Dengan sengaja masih menjalin relasi dengan pacarnya, walaupun sudah menjadi postulan.
- Membicarakan kekurangan teman karena tidak senang dan iri hati.
Dalam hidup karya
- Tidak melaksanakan tugas pribadi karena malas.
- Sengaja bangun siang karena menuruti rasa kantuk.
- Sengaja tidak bertanggung jawab di dalam tugas karena tidak menyukai pekerjaan itu.
3. Inkonsistensi psikologis.
Inkonsistensi psikologis adalah kemunafikan dalam hidup panggilan.
Contoh ;
Dalam hidup rohani :
- Nampaknya rajin berdoa ternyata agar dapat menyenangkan pembina.
- Rajin mernbaca bacaan rohani agar dinilai seorang suci.
- Melarang membicarakan kekurangan orang lain, menganjurkan omongan yang rohani saja karena khawatir kelemahannya juga akan diketahui atau diungkit kembali.
Dalam hidup bersama:
- Tampaknya ramah bila berhadapan dengan seorang tamu, tetapi kalau sudah tidak ada, membicarakan kekurangannya.
- Nampaknya baik menerima semua teman, hanya agar dinilai baik oleh pimpinan.
- Pura-pura menasehati teman agar dinilai sebagai seorang yang bijaksana.
Dalam hidup karya:
- Nampaknya rajin bekerja, tapi hanya untuk menyenangkan pembina
- Nampaknya bersedia mengerjakan pekerjaan apa saja, tapi supaya diperkenankan menerima busana biara.
- Nampak rajin belajar supaya mendapat pujian.
4. Konsistensi defensif :
Konsistensi defensif adalan kebiasaan - kebiasaan buruk yang mulai menjadi cara hidup, seperti suka memberontak, kalau diajak omong tidak mendengarkan, dsb.
Contoh :
Dalam hidup rohani :
- Setiap kali ada kecenderungan mengantuk bila membaca buku-buku rohani.
- Ada kecenderungan bermain di dalam doa/ mengikuti Ekaristi.
- Selalu terlambat dalam acara doa komunitas
- Setiap kali berdoa hanya membayangkan masa lalu/ melamun.
Dalam hidup bersama :
- Sangat suka membicarakan kelemahan orang lain
- Marah bila ditegur, mendiamkan teman, memukul meja, suka memberontak
- Tdak mau mendengarkan pelajaran yang tidak disukai, acuh tak acuh, cuek.
Dalam hidup karya :
- Mudah tersinggung apabila diingatkan dalam pekerjaan karena kurang teliti.
- Malas melakukan pekerjaan karena mengikuti hukum senang.
- Semaunya sendiri dalarn melakukan pekerjaan, pilih-pilih yang disukai saja.
- Selalu menggerutu bila mendapat tugas yang tidak disukainya.
5. Konsistensi sosial :
Konsistensi sosial adalah kesaksian hidup inkarnatoris, jadi kesaksian hidup yang dengan sadar mewujudkan hidup Allah sendiri. Berciri inkarnatoris karena mengandung tiga kriteria bahwa hidup Allah yang mau diwujudkan, disadari, dan betul-betul terwujud dalam hidup, tidak hanya dalam kerinduan saja.
Contoh ;
Dalam hidup rohani ;
Dalam hidup Konsistensi sosial adalah kesaksian hidup inkarnatoris, jadi kesaksian hidup yang dengan sadar mewujudkan hidup Allah sendiri. Berciri inkarnatoris karena mengandung tiga kriteria bahwa hidup Allah yang mau diwujudkan, disadari, dan betul-betul terwujud dalam hidup, tidak hanya dalam kerinduan saja.
Contoh
Dalam hidup rohani :
- Menyadari dan melaksanakan doa dengan baik karena sadar bahwa didalam doa dapat menjalin relasi dengan Tuhan.
- Mengikuti perayaan ekaristi karena merasa sungguh membutuhkan untuk bersatu dengan Tuhan.
- Berdoa offisi dengan sungguh-sungguh dan dihayati.
- Membaca bacaan rohani sebagai kekuatan dalam hidup panggilan
- Melaksanakan sabda Tuhan dari apa yang direnungkan dari dalam Injil.
Dalam hidup bersama:
- Bersikap ramah pada teman, sebagai ungkapan rasa syukur bahwa dia juga telah dicintai Tuhan.
- Menyapa teman tanpa pilih-pilih terlebih teman yang diasingkan, karena menyadari diapun dicintai Tuhan.
F Mendengarkan masukan dan teguran teman dengan senang hati untuk mengambangkan diri
- Mudah mengampuni dan menerima kelemahan teman karena menyadari bahwa dirinya juga diampuni dan diterima Allah.
Dalam hidup karya:
- Meiaksanakan tugas harian dengan sungguh-sungguh dan mempersembahkan itu pada Tuhan
- Belajar dengan tekun karena ingin mewujudkan rahmat yang telah diberikan Tuhan baginya.
- Mengembangkan bakat untuk mensyukuri talenta yang diberikan oleh Tuhan.
- Mempersembahkan segala pekerjaan harian untuk ujud tertentu pada Tuhan.
Melihat gaya hidup dan kesaksian yang konsisten atau tidak konsisten dengan inengamati konsistensi psikologis, inkonsistensi sosial, inkonsistensi psikologis, konsistensi defensif dan konsistensi sosial dalam bidang hidup rohani, hidup bersama dan hidup apostolik. Dalam langkah kedua, kita melihat permainan defensif yang membentuk watak dan perangai defensif serta gejal fisik yang menyertai yang berasal dari cacat pusaka. Dalam langkah ketiga , melihat kerohanian pribadi, watak dan perangi subur untuk panggilan yang berasal dari disposisi dasar keutamaan. Terjadilah pergumulan antara watak dan perangai defensif dihadapakan pada watak dan perangi subur untuk panggilan melahirkan 2 sikap dalam pribadi seseorang. Sikap yang menjawab Allah - mengutamakan Allah adalah sikap yang sesuai dengan panggilan > disebut KONSISTEN. Sedangkan sikap yang menolak Allah - memilih kedosaan adalah sikap yang tidak sesuai dengan panggilan disebut INKONSISTENSI
SIKAP ini dapat dilihat dalam hidup eksistensial setiap hari :
• dalam hidup rohani
• dalam hidup bersama
• dalam hidup apostolik
1. KONSISTENSI PSIKOLOGIS adalah keadaan tidak berdaya di hadapan nilai-nilai panggilan karena masih sangat kuat dipengaruhi oleh kelekatan yang tidak teratur, watak dan perangai defensif, atau karena ada gangguan kepribadian.
Contoh :
Dalam hidup rohani :
• Berniat berdoa tetapi ngantuk
• Mengimani bahwa Kristus selalu menyertai tetapi masih takut gelap.
• Kristus saat ini menjadi sahabat dan pendamping hidup, tetapi belum dapat membangun relasi dengan-Nya
• Beriman, tetapi sering putus asa karena situasi keluarga.
Dalam hidup bersama :
• Berniat akan ramah dengan siapapun, tetapi ketika berjumpa teman yang tidak cocok, menghindar dan mencari jalan lain.
• Berniat mejalin semangat persaudaraan dan keterbukaan dalam hidup bersama, tetapi mudah tersinggung.
• Berniat mengatakan kebenaran tetapi tidak terjadi karena tidak berani dan takut resiko.
Dalam hidup karya
• Senang melayani orang yang membutuhkan, tapi cenderung untuk lekat dengan yang dilayani, karena kebutuhan keakraban.
• Berniat untuk melaksanakan pekerjaan dengan sebaik - baiknya, tetapi ketika mendapat tugas yang tidak disukai masih menggerutu.
• Mau melayani teman yang sedang sakit, tapi ketika melayani tidak sabar dan mudah marsh.
• Ingin membantu teman dalam pekerjaan, tapi takut tidak diterima.
2. Inkonsistensi sosial
Inkonsistensi sosial adalah kesengajaan melanggar nilai-nilai panggilan, tahu bahwa bertentangan, tetapi tidak peduli dan tetap dilariggar, maka dapat merupakan dosa-dosa pribadi.
Dalam hidup rohani
- Sengaja tidak berdoa menuruti perasaan malas
- Sengaja tidak mengikuti perayaan Ekaristi, karena ingin bangun siang, dan merasa bosan.
- Sengaja tidak membaca bacaan rohani tetapi membaca bacaan yang dapat untuk menghibur diri/ mencari senang.
Dalam hidup bersama :
- Memelihara rasa kecil ( sebetulnya bisa tetapi karena rasa kecil maka tidak mau ketika diminta menyumbangkan acara.)
- Dengan sengaja mencari popularitas dengan mendominasi teman, menguasai teman.
- Dengan sengaja masih menjalin relasi dengan pacarnya, walaupun sudah menjadi postulan.
- Membicarakan kekurangan teman karena tidak senang dan iri hati.
Dalam hidup karya
- Tidak melaksanakan tugas pribadi karena malas.
- Sengaja bangun siang karena menuruti rasa kantuk.
- Sengaja tidak bertanggung jawab di dalam tugas karena tidak menyukai pekerjaan itu.
3. Inkonsistensi psikologis.
Inkonsistensi psikologis adalah kemunafikan dalam hidup panggilan.
Contoh ;
Dalam hidup rohani :
- Nampaknya rajin berdoa ternyata agar dapat menyenangkan pembina.
- Rajin mernbaca bacaan rohani agar dinilai seorang suci.
- Melarang membicarakan kekurangan orang lain, menganjurkan omongan yang rohani saja karena khawatir kelemahannya juga akan diketahui atau diungkit kembali.
Dalam hidup bersama:
- Tampaknya ramah bila berhadapan dengan seorang tamu, tetapi kalau sudah tidak ada, membicarakan kekurangannya.
- Nampaknya baik menerima semua teman, hanya agar dinilai baik oleh pimpinan.
- Pura-pura menasehati teman agar dinilai sebagai seorang yang bijaksana.
Dalam hidup karya:
- Nampaknya rajin bekerja, tapi hanya untuk menyenangkan pembina
- Nampaknya bersedia mengerjakan pekerjaan apa saja, tapi supaya diperkenankan menerima busana biara.
- Nampak rajin belajar supaya mendapat pujian.
4. Konsistensi defensif :
Konsistensi defensif adalan kebiasaan - kebiasaan buruk yang mulai menjadi cara hidup, seperti suka memberontak, kalau diajak omong tidak mendengarkan, dsb.
Contoh :
Dalam hidup rohani :
- Setiap kali ada kecenderungan mengantuk bila membaca buku-buku rohani.
- Ada kecenderungan bermain di dalam doa/ mengikuti Ekaristi.
- Selalu terlambat dalam acara doa komunitas
- Setiap kali berdoa hanya membayangkan masa lalu/ melamun.
Dalam hidup bersama :
- Sangat suka membicarakan kelemahan orang lain
- Marah bila ditegur, mendiamkan teman, memukul meja, suka memberontak
- Tdak mau mendengarkan pelajaran yang tidak disukai, acuh tak acuh, cuek.
Dalam hidup karya :
- Mudah tersinggung apabila diingatkan dalam pekerjaan karena kurang teliti.
- Malas melakukan pekerjaan karena mengikuti hukum senang.
- Semaunya sendiri dalarn melakukan pekerjaan, pilih-pilih yang disukai saja.
- Selalu menggerutu bila mendapat tugas yang tidak disukainya.
5. Konsistensi sosial :
Konsistensi sosial adalah kesaksian hidup inkarnatoris, jadi kesaksian hidup yang dengan sadar mewujudkan hidup Allah sendiri. Berciri inkarnatoris karena mengandung tiga kriteria bahwa hidup Allah yang mau diwujudkan, disadari, dan betul-betul terwujud dalam hidup, tidak hanya dalam kerinduan saja.
Contoh ;
Dalam hidup rohani ;
Dalam hidup Konsistensi sosial adalah kesaksian hidup inkarnatoris, jadi kesaksian hidup yang dengan sadar mewujudkan hidup Allah sendiri. Berciri inkarnatoris karena mengandung tiga kriteria bahwa hidup Allah yang mau diwujudkan, disadari, dan betul-betul terwujud dalam hidup, tidak hanya dalam kerinduan saja.
Contoh
Dalam hidup rohani :
- Menyadari dan melaksanakan doa dengan baik karena sadar bahwa didalam doa dapat menjalin relasi dengan Tuhan.
- Mengikuti perayaan ekaristi karena merasa sungguh membutuhkan untuk bersatu dengan Tuhan.
- Berdoa offisi dengan sungguh-sungguh dan dihayati.
- Membaca bacaan rohani sebagai kekuatan dalam hidup panggilan
- Melaksanakan sabda Tuhan dari apa yang direnungkan dari dalam Injil.
Dalam hidup bersama:
- Bersikap ramah pada teman, sebagai ungkapan rasa syukur bahwa dia juga telah dicintai Tuhan.
- Menyapa teman tanpa pilih-pilih terlebih teman yang diasingkan, karena menyadari diapun dicintai Tuhan.
F Mendengarkan masukan dan teguran teman dengan senang hati untuk mengambangkan diri
- Mudah mengampuni dan menerima kelemahan teman karena menyadari bahwa dirinya juga diampuni dan diterima Allah.
Dalam hidup karya:
- Meiaksanakan tugas harian dengan sungguh-sungguh dan mempersembahkan itu pada Tuhan
- Belajar dengan tekun karena ingin mewujudkan rahmat yang telah diberikan Tuhan baginya.
- Mengembangkan bakat untuk mensyukuri talenta yang diberikan oleh Tuhan.
- Mempersembahkan segala pekerjaan harian untuk ujud tertentu pada Tuhan.
LANGKAH KE V
( disarikan oleh Br. Damianus FC )
LANGKAH V :
melihat segi-segi hidup yang rapuh (vulnerable) dan yang mendukung panggilan (germinatif) sambil menimbang-nimbang apakah bobot kualitas germinatif lebih tinggi dibandingkan dengan aspek vulnerable yang ada.
1. Unsur-unsur ini menjadi sifat dari hasil pergumulan diri ideal ( langkah III) dengan diri aktual . Dengan kata lain diri aktual harian kita / keberadaan kita sehari - hari yang sesungguhnya itu bersifat germinatif atau vulnerable.
2. Arti vulnerable adalah diri rapuh / lemah/ mudah pecah. Diri aktual kita/ dalam kondisi rapuh apabila tindakan-tindakan kita cenderung ke arah dosa, ke arah tidak konsisten entah dalam doa, hidup bersama maupun hidup karya. Din yang rapuh melemahkan kelompok , membuat mandeg atau mundur. Orang berkubang dalam kelemahan dan kedosaan. Buat niat - dilanggar torus menerus, cenderung menundanunda.
3. Sebaliknya hidup yang bersifat germinatif - hidup yang subur, yang mekar, berbuah atau beranak - pinak. Kalau religius tentu saja bukan membuahkan anak-anak baru, tetapi membuahkan keutamaan-keutamaan. Karena hidupnya semakin konsisten ia semakin bertekun, setia dalam hal kecil, semakin mantap, hidupnya semakin terarah, terbuka terhadap nilai-nilai inkarnatoris. Karena rasa dekat dengan Tuhan hatinya setia, relasi dengan teman bersemangat. Terhadap teguran dan kritikan dihadapinya dengan tekun dan tabah karena sadar akan nilainya, ia rela bertekun dst.
4. Bagaimana kita menetapkan diri dalam prevalensi dimensi hidup ?
Pergumulan diri ideal dan aktual itu begitu dinamis dan tarik - menarik sehingga membangun struktur kepribadian dengan dimensi- dimensinya. Kalau tarikannya yang kuat ke nilai adikodrati maka orang berada dalam dimensi satu ( D - I ), kalau ke arah nilai - nilai inkarnatoris berarti orang berada dalam dimensi dua ( D - II ), kalau terarah ke nilai kodrati berarti orang berada dalam dimensi tiga ( D - III).
Dimana saya ??
Dimensi I ( putih luar - dalam, abu-abu semakin putih, luar bersinar di dalam bara api ). Orang berada dalam dimensi I kalau secara sadar selalu terarah kepada Allah, dia paling bertanggung jawab, dia paling sadar dan mulai bebas terarah kepada Allah. Dialah yang mampu bertransendensi diri teosentris. ( keutamaan ilahi ). Sebaliknya orang yang dengan sadar dengan bebas dan sadar akan tanggung jawab menolak Allah, itu dosa.
Dimensi II ( kebaikan sejati, kebaikan semu→ dosa tidak, suci tidak )
Terjadi karena ada pergulatan diri ideal dan diri aktual yang bawah sadar. Berciri antara sadar dan bawah sadar. Sejauh disadari melakukan→ kebaikan sejati dimotivasi adikodrati); yang tidak disadari → melakukan kebaikan semu (dimotivasi oleh kebutuhan psikologis dst.) Orang yang berada dalam dimensi II adalah orang yang terarah ke sadar tetapi juga ke bawah sadar. Yang sadar terbuka terhadap nilai-nilai dan ditarik oleh Allah, sedangkan bawah sadarnya ditarik oleh hidup emosional, didominasi oleh watak dan perangai defensif. Dengan olah rasa dan olah diri, orang akan mulai terbuka akan nilai-nilai hidup Allah ---- nilai-nilai inkarnatoris.
Dimensi III. ( normal - tidak normal ) keduanya berada di bawah sadar.
Orang berada dalam dimensi III digerakkan oleh bawah sadarnya. Kalau dewasa - normal horizonnya kodrati ( tidak beriman ), kalau tidak dewasa akan terjadi keretakan pribadi : entah gangguan ringan, entah neorosis ataupun psikosis.
Gangguan ---- mulai ringan - patologi :
- Ringan - gangguan ringan --> masalah emosional yang mengganggu (bentuk psikosomatis ringan)
- Lebih berat : disertai neurose : - emosional berpengaruh pada syaraf dalam bentuk: kompulsi, obsesi, ritual, fobia.
- Kelainan: ringan, sedang, berat.
- Keretakan: gila.
LANGKAH V :
melihat segi-segi hidup yang rapuh (vulnerable) dan yang mendukung panggilan (germinatif) sambil menimbang-nimbang apakah bobot kualitas germinatif lebih tinggi dibandingkan dengan aspek vulnerable yang ada.
1. Unsur-unsur ini menjadi sifat dari hasil pergumulan diri ideal ( langkah III) dengan diri aktual . Dengan kata lain diri aktual harian kita / keberadaan kita sehari - hari yang sesungguhnya itu bersifat germinatif atau vulnerable.
2. Arti vulnerable adalah diri rapuh / lemah/ mudah pecah. Diri aktual kita/ dalam kondisi rapuh apabila tindakan-tindakan kita cenderung ke arah dosa, ke arah tidak konsisten entah dalam doa, hidup bersama maupun hidup karya. Din yang rapuh melemahkan kelompok , membuat mandeg atau mundur. Orang berkubang dalam kelemahan dan kedosaan. Buat niat - dilanggar torus menerus, cenderung menundanunda.
3. Sebaliknya hidup yang bersifat germinatif - hidup yang subur, yang mekar, berbuah atau beranak - pinak. Kalau religius tentu saja bukan membuahkan anak-anak baru, tetapi membuahkan keutamaan-keutamaan. Karena hidupnya semakin konsisten ia semakin bertekun, setia dalam hal kecil, semakin mantap, hidupnya semakin terarah, terbuka terhadap nilai-nilai inkarnatoris. Karena rasa dekat dengan Tuhan hatinya setia, relasi dengan teman bersemangat. Terhadap teguran dan kritikan dihadapinya dengan tekun dan tabah karena sadar akan nilainya, ia rela bertekun dst.
4. Bagaimana kita menetapkan diri dalam prevalensi dimensi hidup ?
Pergumulan diri ideal dan aktual itu begitu dinamis dan tarik - menarik sehingga membangun struktur kepribadian dengan dimensi- dimensinya. Kalau tarikannya yang kuat ke nilai adikodrati maka orang berada dalam dimensi satu ( D - I ), kalau ke arah nilai - nilai inkarnatoris berarti orang berada dalam dimensi dua ( D - II ), kalau terarah ke nilai kodrati berarti orang berada dalam dimensi tiga ( D - III).
Dimana saya ??
Dimensi I ( putih luar - dalam, abu-abu semakin putih, luar bersinar di dalam bara api ). Orang berada dalam dimensi I kalau secara sadar selalu terarah kepada Allah, dia paling bertanggung jawab, dia paling sadar dan mulai bebas terarah kepada Allah. Dialah yang mampu bertransendensi diri teosentris. ( keutamaan ilahi ). Sebaliknya orang yang dengan sadar dengan bebas dan sadar akan tanggung jawab menolak Allah, itu dosa.
Dimensi II ( kebaikan sejati, kebaikan semu→ dosa tidak, suci tidak )
Terjadi karena ada pergulatan diri ideal dan diri aktual yang bawah sadar. Berciri antara sadar dan bawah sadar. Sejauh disadari melakukan→ kebaikan sejati dimotivasi adikodrati); yang tidak disadari → melakukan kebaikan semu (dimotivasi oleh kebutuhan psikologis dst.) Orang yang berada dalam dimensi II adalah orang yang terarah ke sadar tetapi juga ke bawah sadar. Yang sadar terbuka terhadap nilai-nilai dan ditarik oleh Allah, sedangkan bawah sadarnya ditarik oleh hidup emosional, didominasi oleh watak dan perangai defensif. Dengan olah rasa dan olah diri, orang akan mulai terbuka akan nilai-nilai hidup Allah ---- nilai-nilai inkarnatoris.
Dimensi III. ( normal - tidak normal ) keduanya berada di bawah sadar.
Orang berada dalam dimensi III digerakkan oleh bawah sadarnya. Kalau dewasa - normal horizonnya kodrati ( tidak beriman ), kalau tidak dewasa akan terjadi keretakan pribadi : entah gangguan ringan, entah neorosis ataupun psikosis.
Gangguan ---- mulai ringan - patologi :
- Ringan - gangguan ringan --> masalah emosional yang mengganggu (bentuk psikosomatis ringan)
- Lebih berat : disertai neurose : - emosional berpengaruh pada syaraf dalam bentuk: kompulsi, obsesi, ritual, fobia.
- Kelainan: ringan, sedang, berat.
- Keretakan: gila.
Komentar
Posting Komentar