PRO DIAKON:
sejarah,tugas-tugas, kompetensi dan hal-hal di seputarnya
MENGAPA KITA PERLU SELALU MENGUCAPKAN TERIMA KASIH DAN MENDOAKAN PRODIAKON
Dalam pertemuan di suatu wilayah antara Ketua-Ketua Lingkungan dengan Ketua Wilayah terungkap, betapa peranan Prodiakon sangat dibutuhkan umat, namun juga betapa sulit suatu lingkungan untuk merekrut seseorang untuk menjadi prodiakon, karena dari suatu alasan ke alasan lainnya. Kasus-kasus lain terungkap seperti kurangnya partisipasi mudika dengan lingkungan dan bapak-bapak muda dengan lingkungan karena berbagai alasan dengan alasan beda usia terlalu jauh, yang tua kurang mampu mengikuti jaman dan lain sebagainya. Tentu saja kesemuanya itu disadari benar oleh para ketua lingkungan, bahwa karena kemampuan Ketua Lingkungan maupun pengurus terbatas maka tentu tidak semua orang puas. Dalam rapat pengurus lingkungan terbatas, Bapak Penasehat mengajukan usulan perlunya umat mengetahui benar peran dan tanggungjawab prodiakon, maka usulan tersebut saya patuhi dengan menampilkan judul di atas, untuk ini saya mengambil informasi-informasi dari internet.
Istilah Prodiakon :
Prodiakon berasal dari kata “pro” (bahasa Latin) yang artinya “demi untuk” dan “diakon” (bahasa Yunani: diakonos, diakonein) yang artinya “melayani” atau “membuat pelayanan”. Secara harafiah, prodiakon berarti demi kepentingan atau selaku pelayan Gereja.
Sejarah Terbentuknya Pro Diakon Paroki
Bertambahnya jumlah umat katolik di Indonesia yang begitu pesat dari tahun ke tahun tidak sebanding dengan jumlah imam, sangat dirasakan saat perayaan ekaristi pada hari minggu, baik untuk membagikan komuni kepada umat maupun untuk kegiatan-kegiatan liturgi lainnya. Memperhatikan dan mencermati keadaan demikian, maka tahun 1966 Bapa Mgr. Yustinus Kardinal Darmayuwana (pada waktu itu Uskup Agung Semarang) mengajukan permohonan ijin ke Roma melalui Lembaga Propaganda Fide yaitu Konggregasi untuk Penyebaran Iman, agar Uskup diperkenankan menunjuk beberapa pelayan awam yang dinilai pantas untuk membantu Imam membagikan komuni baik di dalam maupun di luar Perayaan Ekaristi. Lembaga Vatikan tersebut menanggapi secara positif permohonan itu dan memberi ijin ad experimentum (=untuk percobaan) selama 1 (satu) tahun, dan apabila dirasa perlu dan berjalan dengan baik ijin dapat diperpanjang. Dalam perjalanan waktu dirasakan bahwa para pembantu imam ini semakin besar peranannya, sehingga Propaganda Fide memberi ijin untuk melanjutkan bentuk pelayanan ini dan hal tersebut berlaku hingga sekarang.
Pada mulanya para awam yang dipilih dan bersedia membantu imam ini dinamakan “Diakon Awam”. Kata “diakon” bukan jabatan mulia, melainkan jabatan yanghina. Tetapi justru para rasul, mengambil kata diakonos an selanjutnya mempunyai arti yang mulia.
Diakon diangkat menjadi suatu jabatan yang mulia, karena yang dilayani adalah Tubuh Kristus, oleh karena itu “Diakon Awam” adalah awam yang menerima tugas dari Uskup, bukan “expotestate ordinis” atau “jurisdictionis” (berkat kuasa tahbisan atau hukum), melainkan berkat anugerah istimewa gereja melalui Konggregasi Propaganda Fide.
Akhir tahun 1983, nama “Diakon Awam” diganti menjadi “Diakon Paroki”, karena dirasakan bahwa istilah “Diakon Awam” kurang tepat. Pengertian “diakon” lebih tepat dikenakan kepada seseorang yang telah ditahbiskan (=tertahbis) dan karena tahbisannya itu ia bukan lagi seorang “awam”. Dia termasuk klerus. Dalam istilah “Diakon Paroki” kecuali kata “Awam” dihilangkan, juga jangkauan tugasnya dirinci jelas. Diakon Paroki bukan Diakon Tertahbis, tetapi diharapkan dapat menjalankan tugas yang sebenarnya menjadi tugas Diakon Tertahbis. Kalau Diakon Tertahbis bersifaf kekal dan universal, maka diakon paroki bersifat sementara dalam menjalankan tugasnya dan bertugas dalam lingkup paroki tertentu. Masa tugas umumnya tiga tahun dan dapat diperpanjang.
Dalam rapat Konsultores Keuskupan Agung Semarang pada tanggal 5-6 Agustus 1985 di Girisonta Bapa Mgr. Kardinal Yulius Darmaatmaja Sj memutuskan bahwa istilah “Diakon Paroki” diubah menjadi “Prodiakon Paroki”. Istilah Prodiakon Paroki berarti seseorang yang menjalankan tugas diakon dalam lingkup paroki. Prodiakon Paroki berarti seseorang yang menjalankan tugas diakon dalam lingkup paroki. Prodiakon Paroki diangkat oleh Uskup atas usul Pastor Paroki untuk menerimakan komuni, memimpin upacara pemakaman, dan lain-lain. Dalam menjalankan tugasnya, Prodiakon Paroki tergantung pada pastor paroki. Dalam perkembangan waktu nampak jelas bahwa kehadiran Prodiakon Paroki sangat diperlukan oleh gereja dan dapat diterima oleh umat dengan baik.
Tugas –Tugas dan Syarat Prodiakon Serta Implementasinya
Prodiakon dua tugas utama yaitu:
1. Membantu menerimakan komuni, baik di dalam perayaan Ekaristi maupun di luar perayaan Ekaristi; termasuk didalamnya liturgi sabda dan pengiriman komuni kepada orang sakit atau orang di penjara.
2. Melaksanakan tugas yang diberikan pastor paroki seperti memimpin ibadat sabda, memberikan homili, memimpin doa wilayah/lingkungan juga memimpin liturgi pemakaman. Dua hal terakhir bisa juga dilakukan oleh seksi liturgi di lingkungan di beberapa paroki, tergantung dari wewenang pastor paroki setempat.
Gereja menetapkan beberapa syarat, antara lain:
Ø Memiliki nama baik, sebagai pribadi maupun keluarga.
Ia merupakan bapak/ibu yang baik. Apabila belum menikah, memiliki perilaku baik. Bilamana ditemui suatu kesulitan dalam hidup rumah tangganya yang bisa menjadi batu sandungan umat, sebaiknya ybs non-aktif terlebih dahulu atau berhenti. Pastor paroki dan pemuka umat dapat menyarankannya.
Ø Diterima oleh umat
Bisa diterima karena perilakunya baik, kemampuannya memadai, dedikasi yang tinggi, berwibawa dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan dan kepribadian yang baik. Uskup akan mendengarkan usulan umat dan saran pastor paroki.
Ø Mempunyai penampilan yang layak.
Seorang prodiakon pria dan wanita harus dapat membawakan diri secara baik dalam liturgi dan hidup sehari-hari. Pelatihan untuk pertumbuhan iman dan karakter terus menerus dibutuhkan.
Implementasinya :
Sebagai pelayan, seorang prodiakon memiliki kompetensi kepribadian yang liturgis, devotif dan terampil dengan beberapa ciri. Pertama, ia memiliki hidup iman yang baik dan sehat. Kedua, ia berkepribadian yang sehat, dewasa, dan berkehidupan afeksi-emosi yang seimbang. Ketiga, ia memiliki pengetahuan dan ketrampilan liturgi dan peribadatan yang memadai. Keempat, ia memiliki semangat kerja sama yang baik dan dedikasi yang tinggi.Kelima, ia selalu mencintai panggilannya sebagai awam dan mencintai keluarganya. Baik prodiakon wanita dan pria memiliki batasan dalam wewenangnya. Setiap prodiakon diangkat oleh uskup atas usulan pastor paroki. Prodiakon bertugas dalam satu periode misalnya 3 (tiga) tahun yang dapat diperpanjang atau diperpendek. Mereka hanya diijinkan melayani di wilayah paroki tempat tinggalnya, sehingga bila ia pindah tempat tidakotomatis menjadi prodiakon di paroki barunya. Tuntutan spiritualitas prodiakon baik wanita dan pria pun juga sama, mengingat tugas pelayanan mereka adalah bagian dari ibadat dan menuntut kehidupa spiritualitas yang baik. Sehingga diharapkan keluarga prodiakon juga menjadi teladan bagi keluarga kristiani lainnya. Kehidupan doa pribadi dan doa keluarga menjadi semangat pelayanan prodiakon. Demikian juga keterlibatan prodiakon dalam kegiatan kampung dan masyarakat dapat menjadi kesaksian iman Kristiani ditengah masyarakat yang pluralis. Tidak ada manusia sempurna untuk bisa menjadi prodiakon, tetapi dengan menjalani hidup di bawah pimpinan Roh Kudus kita semua bisa menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Berbagai Pendapat Tentang Prodiakon
Saya tertarik dengan tulisan resensi seorang awam terhadap buku yang diterbitkan Penerbit Kanisius. Semoga resensi ini dapat memberikan bekal dalam memahami prodiakon.
Keberadaan prodiakon di paroki-paroki agaknya kini semakin diperhitungkan, baik oleh hierarki Gereja maupun oleh umat awam. Mereka bukan lagi ‘pajangan’ di panti imam, atau ‘pak turut’ yang cuma menunggu dhawuh pastor paroki. Dalam peristiwa-peristiwa tertentu keberadaan mereka sungguh dibutuhkan oleh umat, ketika pada saat yang sama pastor paroki kewalahan melayani umat yang dari hari ke hari semakin membengkak. Di Jawa tidak jarang seorang pastor harus menggembalakan lebih dari 4000 orang. Dengan adanya prodiakon paroki, maka kini para pastor ngabehi, tetapi malah bisa jadi pastor mbagehi(berbagi tugas). Itu idealnya.
Menurut peresensi paling tidak ada tiga jenis prodiakon paroki, jenis pertama adalah mereka yang memang merasa ‘terpanggil’ untuk jadi pelayan umat. Jenis ini biasanya di samping rajin bertugas, juga rajin mengembangkan diri untuk menambah wawasan (banyak membaca buku dan majalah rohani), tidak segan-segan bertanya kepada pastor atau seniornya.Jenis kedua adalah mereka yang mencari status. Mereka bangga disebut prodiakon, bisa pakai alba, bisa duduk di panti imam, dihormati oleh umat, tetapi sering mangkir kalau diberi tugas dan biasanya tidak tulus saat melayani umat. Dan jenis ketiga adalah mereka yang ‘terpaksa’ jadi prodiakon karena di lingkungannya tidak ada yang sanggup.
Meski sudah dipersiapkan, dibina, diberi arahan, bahkan ditatar segala, tidak semua prodiakon langsung siap terjun di medan bakti. Ada ‘momok’ yang masih ditakuti, yakni jika disuruh memberi homili. Tak sedikit prodiakon dan prodiakones (perempuan) yang mandi keringat saat harus memberi homili.
Lain lagi pendapat seorang prodiakon dari paroki St. Don Bosco, Jakarta, mengingat tugasnya sangat mulia yaitu membawa tubuh Kristus sendiri untuk melayani kebutuhan iman dari seseorang yang sakit atau di penjara, maka komitmen beliau adalah bukan beliau yang mengajukan syarat, tetapi beliaulah yang harus menyesuaikan syarat.
Pendapat ibu-ibu yang suaminya menjadi prodiakon :
Suami yang aktif sebagai prodiakon memberi perubahan yang berarti pada keluarga. Sebab selama menjadi prodiakon, suami belajar bertutur kata dan bertindak lebih hati-hati dalam kehidupan sehari-hari,” tambah Ibu Imelda Indrawati, yang bertugas sebagai Ketua Wilayah di daerah Tanjung Duren – Jakarta Barat.
Nada yang sama diamini oleh Ibu Marlina. “Keteladanan prodiakon ini merupakan pendidikan kristiani yang efektif bagi istri dan anak-anak, sehingga keluarga pun menjadi garam dan terang di tengah lingkungan dan masyarakat,” lanjut Ibu Marlina, yang aktif sebagai ketekis.
Bahkan diyakini oleh pasangan Prodiakon Lukas Paratono bahwa kesembuhan istrinya tidak lepas dari pengabdiannya selama ini kepada Tuhan sebagai Prodiakon. “Sebelum aktif sebagai prodiakon, suami sering sakit-sakitan karena penyakit jantungnya kerap kambuh, tetapi sejak ia aktif dan sibuk dengan tugas-tugas prodiakon, penyakit jantungnya tidak pernah kambuh lagi,” tutur pasangan Lukas penuh syukur.
Makna Prodiakon Bagi Kita
Tugas prodiakon sedemikian mulia, beliau membawa Tubuh Kristus sendiri untuk hadir ditengah orang yang tidak mampu ke gereja karena ssuatu hal misalkan sakit, pikun, buta, tidak ada keluarga yang dekat atau mengalami cobaan berat terpaksa hidup di penjara. Tugas mulia lainnya adalah beliau harus selalu hadir saat salah satu umat mempersiapkan diri menghadap Tuhan, memimpin ibadat dan lain sebagainya. Tugas mulia yang diemban dengan rela ini pantaslah kita resapkan dalam hati setiap umat, sehingga kita perlu selalu bersyukur kepada Tuhan, dan berterima kasih kepada beliau dan juga mendoakan untuk beliau.
Widdi Usada, 18 Februari 2011
Sumber Informasi :
1. Komisi Liturgi Keuskupan Malang, Februari 2010
2. Paroki St. Yohanes DonBosco, Jl. Taman Sunter Indah, Jakarta
3. Seminar Prodiakon Bersama Komisi Liturgi KAJ, 15 Juli 2007
4. Resensi buku berjudul Membeberkan jatidiri Prodiakon, peresensi : B. Sarjono
Komentar
Posting Komentar