Teologi: Franz Magnis Suseno dan Pemikirannya terhadap gere...: I. PENDAHULUAN Banyaknya tantangan dan hambatan bagi gereja dimasa sekarang ini dan menjadi sebuah fenomena yang h...
Franz Magnis Suseno dan Pemikirannya terhadap gereja dan masyarakat
I. PENDAHULUAN
Banyaknya tantangan dan hambatan bagi gereja dimasa sekarang ini dan menjadi sebuah fenomena yang harus ditilik dan dilihat secara serius terkhusus bagi perkembangan agama Kristen itu sendiri. Masalah-masalah sosial dalam gereja dan masyarakat harus dilihat tidak hanya dengan kacamata filsafat saja, namun dibutuhkan juga sebuah sudut pandang yang alkitabiah. Dalam pembahasan kali ini, penyaji akan memaparkan sesosok tokoh yang membawa perubahan baru yang memberikan banyak sumbangsih bagi perkembangan gereja khususnya di Indonesia pada era globalisasi.
II. PEMAPARAN
Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, SJ (nama asli: Franz Graf von Magnis atau nama lengkapnya Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis (lahir di Eckersdorf,Silesia, Jerman-Nazi (kini Bożków, Nowa Ruda, Polandia), 26 Mei 1936; umur 78 tahun) adalah seorang tokoh Katolik dan budayawan Indonesia. Ia berasal dari sebuah keluarga bangsawan. Magnis-Suseno juga dikenal sebagai seorang Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Sebagai seorang pastur Magnis-Suseno memiliki panggilan akrab Romo Magnis.
Magnis-Suseno datang ke Indonesia pada tahun 1961 pada usia 25 tahun untuk belajar filsafat dan teologi di Yogyakarta. Tiba di Indonesia, dia langsung mempelajari bahasa Jawa untuk membantunya berkomunikasi dengan warga setempat. Setelah ditahbiskan menjadi Pastor, ia ditugaskan untuk belajar filsafat di Jerman sampai memperoleh gelar doktor di bidang filsafat dengan disertasi mengenai Karl Marx. Sebelum menjadi warganegara Indonesia pada tahun 1977, Magnis-Suseno adalah seorang warga Jerman yang bernama Franz Graf von Magnis. Saat berganti kewarganegaraan, dia menambahkan 'Suseno' di belakang namanya.
Tulisan-tulisannya telah dipublikasikan dalam bentuk buku dan artikel. Buku "Etika Jawa" dituliskan setelah ia menjalani sabbatical year di Paroki Hati Kudus Yesus di Sukoharjo Jawa Tengah. Buku lain yang sangat berpengaruh adalah "Etika politik" yang menjadi acuan pokok bagi mahasiswa filsafat dan ilmu politik di Indonesia. Magnis dikenal kalangan ilmiah sebagai seorang cendekiawan yang cerdas dan bersahabat dengan semua orang tanpa pandang bulu. Banyak kandidat doktor yang merasa dibantu dalam menyelesaikan disertasinya. Franz Magnis mendapat gelar doktor kehormatan di bidang teologi dari Universitas Luzern, Swiss.
2.2 Karya Tulisnya
Sekitar 18 buku serta lebih dari 200 karangan populer dan ilmiah sudah ditulisnya, terutama di bidang etika, filsafat politik, dan filsafat Jawa. Antara lain, Berfilsafat Dari Konteksyang diterbitkan oleh Gramedia tahun 1991, didalam buku ini terdapat kedudukan filsafat maupun etika dalam kehidupan masyarakat. Karangan yang lain adalah Wayang dan Panggilan Manusia yang diterbitkan oleh Gramedia tahun 1991, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis yang diterbitkan oleh Kanisius tahun 1992, Filsafat Kebudayaan-Politik; Butir-Butir Pemikiran Kritis yang diterbitkan oleh Gramedia tahun 1992, Mencari Sosok Demokrasi yang diterbitkan oleh Gramedia tahun 1995, dan 13 Tokoh Etika yang diterbitkan oleh Kanisius tahun 1997.[2]
2.3 Latar Belakang dan Pokok Pemikiran
Franz Magnis Suseno seorang yang menekuni berbagai bidang pengetahuan terutama di bidang filsafat banyak mempelajari dari tokoh-tokoh barat. Ia dalam hal pemikiran tentang etika berpandangan bahwa etika bisa mencapai puncaknya yang luhur dalam humanisme-nya, karena etika secara konsekuen mengakui dan menghendaki kesamaan derajat semua orang.[3]
Etika mengajarkan bahwa terhadap siapapun hendaknya bersikap baik hati, dengan tidak memandang warna kulit, suku, budaya, dan agama. Wanita berhak atas perlakuan sama dengan pria, buruh harus dihormati hak-haknya, musuh berhak atas belas kasih dan pengampunan. Dengan kerangka berfikir seperti itu, moralitas manusia menemukan kesadaran akan hak-hak asasi setiap orang sebagai manusia. Dan Franz merumuskan cita-cita negara sedunia dan persaudaraan universal.[4]
Secara politik-pun ia mempunyai pandangan dan gagasan bahwa kekuasaan digunakan untuk menegakkan keadilan dan menciptakan ketentraman serta kesejahteraan rakyat. Dalam mempertahankan kekuasaan dan berpolitik itu harus tetap menjunjung pada nilai-nilai moralitas berpolitik. Kekuasaan dipandang sebagai wadah untuk memenuhi dan menciptakan ketentraman, kesejahteraan, dan keadilan kepada rakyat di sekelilingnya. Kekuasaan harus mempunyai legitimasi religius. Implikasi terpenting legitimasi religius ialah bahwa penguasa dalam menjalankan kekuasaannya berada di atas penilaian moral. Dalam hal bernegara ia menekankan harus ada tiga sakaguru filsafat negara.
Pertama, keyakinan yang pada hakekatnya bersifat religius, dalam konteks ini negara tidak berhak untuk menuntut ketaatan mutlak, manusia harus lebih taat kepada Allah dari pada manusia. Kedua, negara dalam menjalankan tugasnya terikat pada norma-norma etis dan ide keadilan adalah yang paling dasar. Ketiga, kekuasaan negara harus berjalan melalui jalur-jalur suatu sistem hukum.[5]
Kekuasaan pada pokoknya hanya benar dan baik sejauh berjalan dalam batas-batas hukum, sedangkan hukum sendiri harus menunjang tujuan negara yaitu mengusahakan kesejahteraan umum dan bukan kepentingan pribadi penguasa sendiri atau kelompok tertentu. Yang boleh disebut penguasa bukanlah segenap orang yang duduk di atas tahta, melainkan hanyalah penguasa yang memerintah demi kesejahteraan masyarakat umum, bukan demi kepentingan sendiri. Penguasa sah menduduki jabatannya berdasarkan suatu perjanjian dengan rakyat. Dalam perjanjian itu rakyat di satu pihak berjanji akan taat kepada penguasa, di lain pihak penguasa berjanji bahwa ia akan mempergunakan kekuasaannya demi tujuan yang sebenar-benarnya yaitu untuk mengusahakan kepentingan masyarakat atau kesejahteraan umum. Dengan konsep seperti ini penguasa melihat rakyatnya sebagai manusia, tidak melihat manusia sebagai hewan dan budak yang hanya untuk mencapai tujuan dan kepentingan pribadinya.[6]
1. Manusia diciptakan oleh Allah menurut citra-Nya
Menurut pandangan Franz manusia diciptakan menurut citra Allah yang berarti; pertama, manusia tidak dapat dimengerti dari dirinya sendiri saja. Dalam segala hal yang ada pada manusia berasal dari Allah dan hanya berada dalam eksistensi-Nya, karena ia tetap ditunjang oleh kehendak Allah. Maka hanya ada satu yang berhak untuk menuntut sesuatu dengan mutlak dari manusia yaitu Allah. Kedua, manusia diciptakan oleh Allah berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain. Hanya manusia yang diciptakan oeh Allah yang mempunyai akal budi dan kemauan, suara hati dan kebebasan, agar dapat dan harus mempertanggungjawabkan kehidupannya.
2. Manusia tempat salah dan dosa
Karena manusia dapat bertanggungjawab, ia juga dapat bersikap tidak tanggungjawab. Artinya, manusia dapat berdosa apabila tidak melakukan sikap tanggungjawabnya.
3. Manusia diselamatkan oleh Allah karena sifat rahim-Nya
Manusia diberi petunjuk dan diselamatkan dari kesesatan itu karena sifat kerahiman Allah terhadap manusia. Kasih sayang Allah adalah kenyataan paling hakiki dalam kehidupan manusia.
2.4 Pergumulan yang dihadapi di dalam gereja dan masyarakat.
Jika melihat dari sudut pandang F.M Suseno, ia lebih condong melihat kearah mana gereja harus memperbaharui diri supaya siap menghadapi tantangan ditengah-tengah masyarakat majemuk. Ia juga banyak menyoroti tentang gereja bagi orang miskin. Hal ini menjadi pergumulan dalam dirinya sehingga terpanggil untuk menggumuli masalah ini dalam gereja.
Suseno lebih banyak berkaca kepada kejadian yang telah berlalu untuk menggambarkan nasib gereja ke depan. Misalnya dalam sebuah pengantar di bukunya “Menjadi Saksi Kristus ditengah-tengah Masyarakat yang Majemuk” sebagaimana tantangan yang akan dihadapi oleh gereja atau umat Kristiani di Indonesia pada abad 21 yang paling utama adalah masalah system global seperti:[8]
1. Sekularisasi dan pluralisme
Yang dimaksud sekularisasi oleh Suseno adalah semacam kelelahan terhadap kegiatan religious. Artinya orang tidak lagi membutuhkan agama sebab agama dianggap “membosankan” sebab manusia itu sendiri mampu bertindak tanpa agama sebab gereja “tidak memberikan banyak” kepada umatnya. Orang lebih senang menonton talk show di TV ketimbang mendengarkan khotbah yang membosankan.
Hal ini akan erat kaitannya dengan pluralisme penghayatan keumatan, dimana keterlibatan dalam kehidupan paroki yang menghasilkan “Birokrasi paroki” yang membangun batasan antara umat dengan pengurus-pengurus gereja. Kemudian ada lagi yang menghayati gereja sebagai “spiritual service station” dimana paroki local tidak berarti banyak.
2. Religiositas baru
Berbagai macam tawaran spiritual dan spiritualistic akan meramaikan pasaran dunia dengan lahirnya agama-agama baru dari India misalnya Hare Krishna, kemudian kepercayaan kepada UFO (unidentified flying object) atau piring terbang. Kemudian “Gereja Satanik” dan berbagai kedukunan baru.
3. Hubungan lebih mantab dengan Islam
Ini adalah tantangan keimanan dari luar, masa depan Kristen yang ada di Indonesia ini tergantung bagaimana membangun hubungan yang cukup baik dengan saudara-saudara Muslim. Diperkirakan bahwa 80% konflik yang terjadi pada kedua agama ini karena salah paham, prasangka, apriori, rasa curiga, dsb, dan hanya 20% masalah objektif. Untuk itu, komunikasi yang baik sangat perlu itengah-tengah masyarakat mayoritas-minoritas.
Tantangan yang selanjutnya adalah budaya kekerasan, senderung menutup diri dalam lingkungan primordial, reaksi-reaksi komunalistik dalam arti bahwa begitu ada masalah, misalnya perkelahian yang melibatkan komunitas tanpa menghiraukan yang salah dan yang benar. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa abad mendatang akan ditandai oleh gelombang-gelombang primordialisme oleh tendensi komunalistik yang mengancam Negara, dan membuat manusia tertutup terhadap kemanusiaan universal.
5. Kekerasan sosial
Negara Indonesia adalah Negara sosial (yang mendasari UUD 45) bahwa seluruh bangsa sexara solider berusaha menjamin agar anggotanya tak ada yang hancur karena kemiskinan. Namun semuanya terbalik. Akibat dari kemiskinan, maka berkembanglah suatu sikap dasar“selamatkan dirimu sendiri dan lupakan yang lain” hingga pada akhirnya kekerasan sosial akan bertambah. Orang menjadi lelah memperhatikan penderitaan orang miskin, kena bencana alam, dan lain-lain. Mereka yang punya akan membangun benteng dan membiarkan yang lain di luar benteng tersebut.
Dan kemudian semua gejala itu akan berpengaruh bagi gereja masa kini. Adapun tanggung jawab gereja dalam masalah perkembangan ini adalah dengan melihat letak keahlian gereja dengan menerapkan sabda Allah pada kehidupan manusia dan masyarakat serta mengajukan prinsip-prinsip pembimbing dengan membimbing manusia dalam situasi historis konkret dengan merumuskan tanggung jawab manusia dalam mewujudkan kehidupan masyarakat, tidak eksklusif, dan tindakan profetis. [11]
III. ANALISA
Setelah kami membahas latar belakang pemikiran F.M Suseno, maka kami mencoba memberikan analisa untuk melihat sampai sejauh mana gereja mampu berdiri ditengah-tengah dunia yang bergejolak.
1. Meskipun adanya lima masalah sistem global yang akan mengancam keberadaan gereja ditengah-tengah masyarakat, namun Suseno tidak memberikan perlawanan yang secara fisik. Akan tetapi dia memberikan perlawanan dengan sikap memperkuat resistensi dan semangat iman.
2. Mengandalkan komunitas umat sebagai sumber kekuatan, serta
3. Mendahulukan kaum miskin dan lemah adalah ciri khas gereja modern.
DAFTAR PUSTAKA
Suseno, Magnis, (1993), Beriman Dalam Masyarakat: Butiran-Butiran Teologi Kontekstual,Kanisius, Yogyakarta.
______, (1979), Etika Dasar; Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Jakarta.
______, (1998), 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad XIX, Kanisius, Jakarta.
______, (2000), Kuasa dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
______, Jaya Suprana, dkk, (1997), Membangun Kualitas Bangsa, Kanisius, Jakarta.
______, (2004) “Menjadi Saksi Kristus ditengah-tengah Masyarakat yang Majemuk”, Obor, Jakarta.
http://kbbi.web.id/Primordialisme.
[2] Franz Magnis Suseno, Jaya Suprana, dkk., Membangun Kualitas Bangsa (Jakarta: Kanisius, 1997), 14.
[3] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar; Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Jakarta: Kanisius, 1979), 132.
[4] Lihat Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad XIX(Jakarta: Kanisius,1998), dia menanggapi dan memberikan komentar dan gagasan gagasan etika dari 13 Tokoh Etika.
[8] Franz Magnis-Suseno, “Menjadi Saksi Kristus ditengah-tengah Masyarakat yang Majemuk” (Jakarta: Obor, 2004), 96-101.
[9] primordialisme/pri·mor·di·al·is·me/ n perasaan kesukuan yg berlebihan: ia melihat beberapa kelompok masyarakat masih menganalisis permasalahan yang dihadapi dari sudut -- dan nilai ajaran lain. Lihat http://kbbi.web.id/Primordialisme
[10] komunalisme/ko·mu·nal·is·me/ n paham atau ideologi yg mementingkan kelompok atau kebersamaan di dl kelompok: penggunaan simbol-simbol agar tidak menimbulkan – lihat http://kbbi.web.id/komunalisme
[11] F.M Suseno, Beriman Dalam Masyarakat: Butiran-Butiran Teologi Kontekstual,(Yogyakarta: Kanisius, 1993), 47-50.
Komentar
Posting Komentar