Spiritualitas Seorang Pelayan
Spiritualitas Atau Hidup Kerohanian/Kesalehan?
Tidak jarang spiritualitas di (salah) mengerti secara sempit sebagai “hidup kerohanian”, bahkan lebih sempit lagi sebagai “kesalehan”. Spiritualitas seharusnya lebih luas ketimbang itu. Ia adalah sesuatu yang menjadi minyak dari pelita kehidupan dan pelayanan kita. Yang tanpanya kehidupan dan pelayanan kita, khususnya sebagai pembina remaja, menjadi dingin dan hambar.
Lagipula konotasi “hidup kerohanian” maupun “kesalehan” terlanjur dibebani oleh pemahaman dualistik atas manusia bahkan atas kehidupan. Yaitu anggapan bahwa manusia dan kehidupan ini terbagi atas yang rohani dan yang jasmani. Yang rohani dipandang lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan yang jasmani. Yang rohani kekal dan ilahi, sedangkan yang jasmani fana. Pertentangan semacam ini selain tidak bermanfaat bagi pemahaman kita mengenai pelayanan bagi remaja, juga tidak benar, baik secara psikhologis maupun secara alkitabiah. Keduanya adalah suatu kesatuan yang utuh dalam manusia dan dalam kehidupannya.
Apakah Spiritualitas Itu?
Untuk memahami spiritualitas kita bisa meninjau kata spiritualitas itu sendiri. Ia berasal dari akar kata spare (Latin) yang berarti: menghembus, meniup, mengalir. Dari kata kerja spare terjadi bentukan kata bendanya, yaitu spiritus atau spirit. Konotasinya kemudian berkembang sangat luas: udara, hawa yang dihirup, nafas hidup, nyawa, roh, hati, sikap, perasaan, kesadaran diri, kebesaran hati, keberanian. Dalam Alkitab spirit dipahami dalam kata ruakh (Ibrani) dan pneuma (Yunani) yang secara pokok berarti: “nafas atau angin yang menggerakkan dan menghidupkan.”
Dalam terang ini, spiritualitas adalah sumber semangat untuk hidup di dunia ini dengan segala aspek dan cakupannya, baik secara pribadi, bersama sesama dan dalam relasi dengan Allah (“Motivasi, Visi & Misi Pembimbing Remaja, Seri Pembinaan Remaja – Buku 1, LPP Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa dan Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Tengah, Yogyakarya, 1997, h. 38).
Kita juga bisa memahami spiritualitas dengan bantuan berbagai definisi. Salah satu contohnya adalah apa yang terdapat dalam Spirituality in The Ecumenical Movement, dalam “Dictionary of The Ecumenical Movement”, WCC Publications, Geneva, 1991, h. 949:
(Spirituality is) … the endeavour to live in obedience to the gospel – in a word, in discipleship.–“Who do you say that I am?” (Matt. 16:15), Jesus asked his first disciples. The lived response to that question is the disciple’s spirituality.
Di situ spiritualitas dilihat sebagai upaya sungguh-sungguh untuk hidup sebagai murid Kristus. Dan itu berarti mencakupi segenap kepercayaan pada diri Yesus Kristus, serta persekutuan yang total dan hidup (dinamis) dengan-Nya.
Juga sangat membelajarkan apa yang dikatakan Henri J.M. Nouwen (“Creative Ministry”, Doubleday & Company Inc., New York, 1978, h. 113) tentang spiritualitas. Menurutnya sebuah kalimat yang menyarikan makna segenap pelayanan kristiani adalah kata-kata Yesus sehari sebelum kematian-Nya di kayu salib: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh. 15:13).
Apa yang diteladankan Yesus di sini haruslah mengkualifikasikan segenap pelayanan kristiani. Dan ini berarti bahwa spiritualitas pada dasarnya adalah upaya terus-menerus (baca: proses) untuk belajar dari dan meneladani Kristus.
Atau, kita tidak perlu memegangi salah satu atau beberapa definisi yang ada, tetapi berupaya sendiri untuk memahaminya dalam situasi pribadi kita masing-masing. Untuk itu kita perlu mengenali beberapa prinsipnya yang mendasar.
Beberapa Prinsip Dasar Spiritualitas Kristiani
· Spiritualitas Berawal dari Relasi dengan Tuhan
Spiritualitas orang percaya berawal dari dan berdasar pada relasi kita dengan Tuhan. Relasi itu sifatnya eksistensial dalam kehidupan manusia. Relasi yang hanya mungkin karena Allah terlebih dahulu menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui Yesus Kristus. Maka relasi itu bukan sekadar relasi yang formal sifatnya (dalam ibadah atau ketaatan pada ajaran/dogma misalnya), tetapi dalam kehidupan sesehari dengan segala aspeknya.
Maka dalam terang ini spiritualitas adalah relasi (pribadi) dengan Tuhan yang pada satu sisi adalah anugerah-Nya, serta pada sisi lain adalah tugas dan panggilan untuk tetap di dalam-Nya (Yoh. 15:1-8), dan hidup menuruti teladan-Nya. Untuk itu orang percaya tidak dapat dan tidak perlu melakukannya dengan kekuatan sendiri, melainkan dengan kuasa Roh Kudus yang berkenan hadir dalam kehidupan kita.
· Spiritualitas Mencakupi Keseluruhan Kehidupan Nyata
Kehidupan yang dimaksud ketika membicarakan spiritualitas adalah kehidupan sebagaimana kita pahami dengan kacamata kristiani, yang:
· bersumber pada, dianugerahkan dan dipelihara oleh Allah, untuk dimanfaatkan dan dinikmati manusia;
· adalah kehidupan baru (lihat misalnya Yoh. 3:5-8, II Kor. 5:17);
· utuh, tidak dipilah rohani-jasmani, nyata dan menyeluruh;
· harus tetap bertumbuh dan berbuah.
Maka spiritualitas kristiani adalah segenap upaya yang sinambung memaknai kehidupan ini sebagai hidup yang baru (mengoreksi diri), bertumbuh dan berbuah dalam segala aspeknya.
· Spiritualitas Menyangkut Kehidupan dalam Jemaat Tuhan
Relasi pribadi orang percaya dengan Tuhan tidak pernah berdiri sendiri, tetapi dalam rangka dan tidak dapat dilepaskan dari relasi antara Tuhan dengan semua orang beriman. Panggilan untuk percaya selalu bersamaan dengan panggilan untuk percaya bersama dan dalam persekutuan segenap orang beriman (ingat “Doa Bapa Kami”, bukan “Doa Bapa Saya”).
Spiritualitas dalam terang ini berarti bukan hanya terhisab dan terlibat dalam dinamika persekutuan jemaat, tetapi bagaimana kita sungguh-sungguh merupakan bagian (elemen) yang hidup dari persekutuan jemaat dan turut membangunnya dalam Kristus berdasarkan kasih (Mat. 5:38-48, Flp. 2:1-11).
· Spiritualitas Menyangkut Kehidupan dengan Sesama di Tengah Masyarakat/Dunia
Relasi pribadi maupun komunal dengan Tuhan, selalu mengarah kepada sesama dan masyarakat/dunia (lihat lagi Yoh. 15:1-8). Karena Allah menempatkan orang percaya dalam masyrakat dan dunianya bersama sesamanya untuk menyaksikan Injil Kerajaan Allah (Lukas 4:43), melalui segala segi kehidupannya. Contoh yang sangat indah di sini adalah spiritualitas jemaat perdana (Kis. 2:41-47).
Konsekuen dengan ini, maka spiritualitas kristiani harusnya berpihak kepada keadilan dan kebenaran sebagai inti dari Injil Kerajaan Allah (Ef. 5:8-9). Relasi dengan Allah, membuka kemungkinan untuk mengenal maksud Allah terhadap manusia dan dunia, yaitu agar kehidupan dalam keadilan dan kebenaran menjadi kenyataan.
· Spiritualitas Seorang Pelayan
Seorang pelayan bukanlah sekadar seorang pekerja. Seorang pekerja adalah seseorang yang harus melaksanakan tugas atau kewajibannya. Memang dalam terang ini seorang pelayan adalah juga seorang pekerja, yang harus melakukan tugas dan kewajibannya, bahkan dengan sebaik-baiknya (profesionalitas). Dan itu terjadi dalam terang apa yang dikatakan Paulus: “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita. ”(Kol. 3:17)
Segala sesuatu yang kita lakukan dengan kata dan perbuatan, –jelas termasuk pelaksanaan tugas kita sebagai pejabat gerejawi atau pegiat (aktivis) dalam salah satu badan pelayanan,– harus terjadi dalam Nama Tuhan Yesus, dalam keterpautan dan ketaatan kita kepada-Nya, serta dalam meneladani-Nya. Itu berarti bahwa sebagai seorang pelayan, kita terpanggil untuk terus merefleksikan pelaksanaan tugas kita sebagai pejabat gerejawi atau pegiat.
· Maka pelayanan kita haruslah:
· tidak sekadar memenuhi janji untuk melayani, melainkan terus membarui motivasi pelayanan;
· lebih lebar ketimbang mengikuti aturan dan prosedur, dan dan tidak hanya puas dengan itu, tetapi terus menajamkan
· sensitivitas kita terhadap pelayan itu sendiri maupun terhadap mereka yang kita layani;
· lebih dalam ketimbang sekadar mengembangkan ketrampilan (profesionalitas), melainkan mengupayakannya seraya terus membulatkan komitmen;
lebih jauh ketimbang sekadSpiritualitas Seorang Pelayan
Spiritualitas Atau Hidup Kerohanian/Kesalehan?
Tidak jarang spiritualitas di (salah) mengerti secara sempit sebagai “hidup kerohanian”, bahkan lebih sempit lagi sebagai “kesalehan”. Spiritualitas seharusnya lebih luas ketimbang itu. Ia adalah sesuatu yang menjadi minyak dari pelita kehidupan dan pelayanan kita. Yang tanpanya kehidupan dan pelayanan kita, khususnya sebagai pembina remaja, menjadi dingin dan hambar.
Lagipula konotasi “hidup kerohanian” maupun “kesalehan” terlanjur dibebani oleh pemahaman dualistik atas manusia bahkan atas kehidupan. Yaitu anggapan bahwa manusia dan kehidupan ini terbagi atas yang rohani dan yang jasmani. Yang rohani dipandang lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan yang jasmani. Yang rohani kekal dan ilahi, sedangkan yang jasmani fana. Pertentangan semacam ini selain tidak bermanfaat bagi pemahaman kita mengenai pelayanan bagi remaja, juga tidak benar, baik secara psikhologis maupun secara alkitabiah. Keduanya adalah suatu kesatuan yang utuh dalam manusia dan dalam kehidupannya.
Apakah Spiritualitas Itu?
Untuk memahami spiritualitas kita bisa meninjau kata spiritualitas itu sendiri. Ia berasal dari akar kata spare (Latin) yang berarti: menghembus, meniup, mengalir. Dari kata kerja spare terjadi bentukan kata bendanya, yaitu spiritus atau spirit. Konotasinya kemudian berkembang sangat luas: udara, hawa yang dihirup, nafas hidup, nyawa, roh, hati, sikap, perasaan, kesadaran diri, kebesaran hati, keberanian. Dalam Alkitab spirit dipahami dalam kata ruakh (Ibrani) dan pneuma (Yunani) yang secara pokok berarti: “nafas atau angin yang menggerakkan dan menghidupkan.”
Dalam terang ini, spiritualitas adalah sumber semangat untuk hidup di dunia ini dengan segala aspek dan cakupannya, baik secara pribadi, bersama sesama dan dalam relasi dengan Allah (“Motivasi, Visi & Misi Pembimbing Remaja, Seri Pembinaan Remaja – Buku 1, LPP Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa dan Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Tengah, Yogyakarya, 1997, h. 38).
Kita juga bisa memahami spiritualitas dengan bantuan berbagai definisi. Salah satu contohnya adalah apa yang terdapat dalam Spirituality in The Ecumenical Movement, dalam “Dictionary of The Ecumenical Movement”, WCC Publications, Geneva, 1991, h. 949:
(Spirituality is) … the endeavour to live in obedience to the gospel – in a word, in discipleship.–“Who do you say that I am?” (Matt. 16:15), Jesus asked his first disciples. The lived response to that question is the disciple’s spirituality.
Di situ spiritualitas dilihat sebagai upaya sungguh-sungguh untuk hidup sebagai murid Kristus. Dan itu berarti mencakupi segenap kepercayaan pada diri Yesus Kristus, serta persekutuan yang total dan hidup (dinamis) dengan-Nya.
Juga sangat membelajarkan apa yang dikatakan Henri J.M. Nouwen (“Creative Ministry”, Doubleday & Company Inc., New York, 1978, h. 113) tentang spiritualitas. Menurutnya sebuah kalimat yang menyarikan makna segenap pelayanan kristiani adalah kata-kata Yesus sehari sebelum kematian-Nya di kayu salib: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh. 15:13).
Apa yang diteladankan Yesus di sini haruslah mengkualifikasikan segenap pelayanan kristiani. Dan ini berarti bahwa spiritualitas pada dasarnya adalah upaya terus-menerus (baca: proses) untuk belajar dari dan meneladani Kristus.
Atau, kita tidak perlu memegangi salah satu atau beberapa definisi yang ada, tetapi berupaya sendiri untuk memahaminya dalam situasi pribadi kita masing-masing. Untuk itu kita perlu mengenali beberapa prinsipnya yang mendasar.
Beberapa Prinsip Dasar Spiritualitas Kristiani
· Spiritualitas Berawal dari Relasi dengan Tuhan
Spiritualitas orang percaya berawal dari dan berdasar pada relasi kita dengan Tuhan. Relasi itu sifatnya eksistensial dalam kehidupan manusia. Relasi yang hanya mungkin karena Allah terlebih dahulu menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui Yesus Kristus. Maka relasi itu bukan sekadar relasi yang formal sifatnya (dalam ibadah atau ketaatan pada ajaran/dogma misalnya), tetapi dalam kehidupan sesehari dengan segala aspeknya.
Maka dalam terang ini spiritualitas adalah relasi (pribadi) dengan Tuhan yang pada satu sisi adalah anugerah-Nya, serta pada sisi lain adalah tugas dan panggilan untuk tetap di dalam-Nya (Yoh. 15:1-8), dan hidup menuruti teladan-Nya. Untuk itu orang percaya tidak dapat dan tidak perlu melakukannya dengan kekuatan sendiri, melainkan dengan kuasa Roh Kudus yang berkenan hadir dalam kehidupan kita.
· Spiritualitas Mencakupi Keseluruhan Kehidupan Nyata
Kehidupan yang dimaksud ketika membicarakan spiritualitas adalah kehidupan sebagaimana kita pahami dengan kacamata kristiani, yang:
· bersumber pada, dianugerahkan dan dipelihara oleh Allah, untuk dimanfaatkan dan dinikmati manusia;
· adalah kehidupan baru (lihat misalnya Yoh. 3:5-8, II Kor. 5:17);
· utuh, tidak dipilah rohani-jasmani, nyata dan menyeluruh;
· harus tetap bertumbuh dan berbuah.
Maka spiritualitas kristiani adalah segenap upaya yang sinambung memaknai kehidupan ini sebagai hidup yang baru (mengoreksi diri), bertumbuh dan berbuah dalam segala aspeknya.
· Spiritualitas Menyangkut Kehidupan dalam Jemaat Tuhan
Relasi pribadi orang percaya dengan Tuhan tidak pernah berdiri sendiri, tetapi dalam rangka dan tidak dapat dilepaskan dari relasi antara Tuhan dengan semua orang beriman. Panggilan untuk percaya selalu bersamaan dengan panggilan untuk percaya bersama dan dalam persekutuan segenap orang beriman (ingat “Doa Bapa Kami”, bukan “Doa Bapa Saya”).
Spiritualitas dalam terang ini berarti bukan hanya terhisab dan terlibat dalam dinamika persekutuan jemaat, tetapi bagaimana kita sungguh-sungguh merupakan bagian (elemen) yang hidup dari persekutuan jemaat dan turut membangunnya dalam Kristus berdasarkan kasih (Mat. 5:38-48, Flp. 2:1-11).
· Spiritualitas Menyangkut Kehidupan dengan Sesama di Tengah Masyarakat/Dunia
Relasi pribadi maupun komunal dengan Tuhan, selalu mengarah kepada sesama dan masyarakat/dunia (lihat lagi Yoh. 15:1-8). Karena Allah menempatkan orang percaya dalam masyrakat dan dunianya bersama sesamanya untuk menyaksikan Injil Kerajaan Allah (Lukas 4:43), melalui segala segi kehidupannya. Contoh yang sangat indah di sini adalah spiritualitas jemaat perdana (Kis. 2:41-47).
Konsekuen dengan ini, maka spiritualitas kristiani harusnya berpihak kepada keadilan dan kebenaran sebagai inti dari Injil Kerajaan Allah (Ef. 5:8-9). Relasi dengan Allah, membuka kemungkinan untuk mengenal maksud Allah terhadap manusia dan dunia, yaitu agar kehidupan dalam keadilan dan kebenaran menjadi kenyataan.
· Spiritualitas Seorang Pelayan
Seorang pelayan bukanlah sekadar seorang pekerja. Seorang pekerja adalah seseorang yang harus melaksanakan tugas atau kewajibannya. Memang dalam terang ini seorang pelayan adalah juga seorang pekerja, yang harus melakukan tugas dan kewajibannya, bahkan dengan sebaik-baiknya (profesionalitas). Dan itu terjadi dalam terang apa yang dikatakan Paulus: “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita. ”(Kol. 3:17)
Segala sesuatu yang kita lakukan dengan kata dan perbuatan, –jelas termasuk pelaksanaan tugas kita sebagai pejabat gerejawi atau pegiat (aktivis) dalam salah satu badan pelayanan,– harus terjadi dalam Nama Tuhan Yesus, dalam keterpautan dan ketaatan kita kepada-Nya, serta dalam meneladani-Nya. Itu berarti bahwa sebagai seorang pelayan, kita terpanggil untuk terus merefleksikan pelaksanaan tugas kita sebagai pejabat gerejawi atau pegiat.
· Maka pelayanan kita haruslah:
· tidak sekadar memenuhi janji untuk melayani, melainkan terus membarui motivasi pelayanan;
· lebih lebar ketimbang mengikuti aturan dan prosedur, dan dan tidak hanya puas dengan itu, tetapi terus menajamkan
· sensitivitas kita terhadap pelayan itu sendiri maupun terhadap mereka yang kita layani;
· lebih dalam ketimbang sekadar mengembangkan ketrampilan (profesionalitas), melainkan mengupayakannya seraya terus membulatkan komitmen;
· lebih jauh ketimbang sekadar melaksanakan apa yang harus dilakukan, tetapi terus mengembangkan kreativitas.
Spiritualitas Seorang Pelayan Dalam Praktek
Bagaimanakah lalu spiritualitas kita sebagai pelayan harus kita praktekkan? Dalam rangka ini Henri J.M. Nouwen menunjukkan 3 (tiga) dimensi spiritualitas:
· perjumpaan dengan Allah dalam doa
· perjumpaan dengan sesama dalam kehidupan
· perjumpaan dengan diri sendiri dalam keheningan (kontemplasi/meditasi)
Ketiganya tidak terpisahkan, karena cinta kepada Tuhan mewujud dalam cinta kepada sesama seperti cinta kepada diri sendiri. Ketiganya merupakan totalitas keberadaan manusia di hadapan Allah (“Menggapai Kematangan Hidup Rohani”, Kanisius, Yogyakarta, 1987, h. 15).
Maka akhirnya terserah kepada kita bagaimana harus mengembangkan dan menerapkan disiplin spiritualitas kita masing-masing. Sebab tidak ada metode yang baku atau yang terbaik. Bahkan kita perlu saling belajar dan berbagi, demi menemukan spiritualitas kita sendiri. Untuk yang terakhir ini mungkin metode “sharing” yang diusulkan Pdt.”Widi Artanto di bawah ini dapat membantu kita.
BAGAIMANA
|
KAPAN
|
DI MANA
|
DAMPAK
|
Apa saja yang dilakukan: misalnya hanya berdoa, atau masih ada yang lain?
|
Apakah setiap hari, atau beberapa kali setiap hari, waktunya (pagi/siang/malam), dalam kesempatan apa saya?
|
Di tempat khusus (dimana?) Atau ditempat lain?
|
Apakah ada manfaat atau pengaruh dalam hidup sesehari? Apa itu?
|
(Spiritualitas Kristiani, dalam “Spiritualitas: Suatu Permenungan Ulang Tentang Dasar Spiritualitas Gereja dan Perwujudan Aktualnya”, Bulletin LPP Sinode Nomor 28, LPP Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa dan Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Tengah, Yogyakarya, 2003, h. 31)
Pdt. Purboyo W. Susilaradeya
· ar melaksanakan apa yang harus dilakukan, tetapi terus mengembangkan kreativitas.
Spiritualitas Seorang Pelayan Dalam Praktek
Bagaimanakah lalu spiritualitas kita sebagai pelayan harus kita praktekkan? Dalam rangka ini Henri J.M. Nouwen menunjukkan 3 (tiga) dimensi spiritualitas:
· perjumpaan dengan Allah dalam doa
· perjumpaan dengan sesama dalam kehidupan
· perjumpaan dengan diri sendiri dalam keheningan (kontemplasi/meditasi)
Ketiganya tidak terpisahkan, karena cinta kepada Tuhan mewujud dalam cinta kepada sesama seperti cinta kepada diri sendiri. Ketiganya merupakan totalitas keberadaan manusia di hadapan Allah (“Menggapai Kematangan Hidup Rohani”, Kanisius, Yogyakarta, 1987, h. 15).
Maka akhirnya terserah kepada kita bagaimana harus mengembangkan dan menerapkan disiplin spiritualitas kita masing-masing. Sebab tidak ada metode yang baku atau yang terbaik. Bahkan kita perlu saling belajar dan berbagi, demi menemukan spiritualitas kita sendiri. Untuk yang terakhir ini mungkin metode “sharing” yang diusulkan Pdt.”Widi Artanto di bawah ini dapat membantu kita.
BAGAIMANA
|
KAPAN
|
DI MANA
|
DAMPAK
|
Apa saja yang dilakukan: misalnya hanya berdoa, atau masih ada yang lain?
|
Apakah setiap hari, atau beberapa kali setiap hari, waktunya (pagi/siang/malam), dalam kesempatan apa saya?
|
Di tempat khusus (dimana?) Atau ditempat lain?
|
Apakah ada manfaat atau pengaruh dalam hidup sesehari? Apa itu?
|
(Spiritualitas Kristiani, dalam “Spiritualitas: Suatu Permenungan Ulang Tentang Dasar Spiritualitas Gereja dan Perwujudan Aktualnya”, Bulletin LPP Sinode Nomor 28, LPP Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa dan Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Tengah, Yogyakarya, 2003, h. 31)
Pdt. Purboyo W. Susilaradeya
Komentar
Posting Komentar