KETERAMPILAN BERPIKIR DAN STRATEGI PEMECAHAN MASALAH (IMPLIKASINYA BAGI PROSES PENDIDIKAN)
Oleh : Afandi
A. Pendahuluan
Kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia berfikir. Berpikir merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan dengan pengetahuan tersebut proses berfikir dapat terus berlanjut guna memperoleh pengetahuan yang baru, dan proses itu tidak berhenti selama upaya pencarian pengetahuan terus dilakukan (Suharsaputra, 2004). Berfikir bukanlah kegiatan fisik namun merupakan kegiatan mental, bila seseorang secara mental sedang mengikatkan diri dengan sesuatu dan sesuatu itu terus berjalan dalam ingatannya, maka orang tersebut bisa dikatakan sedang berfikir. Oleh karena itu, dapat dikatakan kegiatan berpikir terkait dengan aktivitas mental yang merupakan manifestasi dari kegiatan pengindraan dan pengalaman yang membentuk sebuah gagasan konsep yang mendalam.
Sidharta (2005) menggambarkan aspek-aspek pikiran yang terlibat dalam kegiatan belajar bagaikan sebuah konser musik, bila permulaan belajar sudah negative attitude maka alunan musikpun akan jauh dari indah. Demikian halnya meskipun telah memiliki positive attitude, tetapi tidak ditunjang oleh keterampilan berpikir yang benar maka konser yang dihasilkan akan false. Hal ini menyiratkan bahwa keterampilan berpikir yang benar menjadi syarat utama dalam proses pemerolehan pengetahuan.
Dalam proses pemerolehan pengetahuan, berpikir dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan berfikir yang lebih mendalam tentang pengetahuan tersebut. Lalu setelah fondasi belajar kuat dan sinergi, maka tugas berikutnya adalah mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru dimana seseorang harus mengasimilasikan pengetahuan baru dan keahliannya dengan apa yang telah diketahuinya. Hal ini merupakan proses subyektif dalam melakukan interaksi antara informasi lama dengan informasi baru, kemudian melalui proses waktu seseorang membentuk pengetahuan baru selama kegiatan belajarnya. Kegiatan ini dapat membantu untuk memperluas wawasan dan menghaluskan pengetahuan barunya itu, sehingga tujuan terpenting dalam belajar yaitu menggunakan pengetahuan dengan cara bermakna akan tercapai. Berdasarkan fakta-fakta tersebut mendorong penulis memilih topic ” Keterampilan Berpikir dan Strategi Pemecahan Masalah (Implikasinya Bagi Proses Pendidikan)”
B. Keterampilan Berpikir
Berpikir adalah proses yang intens untuk memecahkan masalah, dengan menghubungkan satu hal dengan yang lain sehingga mendapatkan pemecahan. Oleh karena itu, dalam berpikir melibatkan kemampuan untuk membayangkan atau menyajikan objek-objek yang tidak ada secara fisik atau kejadian-kejadian yang tidak sedang berlangsung. Dijelaskan Costa (dalam Sidharta, 2005) bahwa dalam proses berpikir terjadi kegiatan yang kompleks, reflektif dan kreatif. Kemampuan berpikir dapat dikembangkan dan diperkaya dengan memperkaya pengalaman pengalaman yang bermakna.
Marzano (1992) menyebut keterampilan berpikir sebagai “Habits of Mind”. Habits of mind digunakan sebagai respons terhadap pertanyaan dan jawaban masalah yang tidak segera diketahui. Karena atribut kritis dari kecerdasan manusia bukan hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga mengetahui bagaimana mengamalkannya. Habit of mind berarti memiliki watak berperilaku secara cerdas ketika menghadapi masalah, atau terhadap jawaban yang tidak segera diketahui (Costa dalam Sidhartha, 2005). Ketika pengalaman manusia mengalami dikotomi, bingung menghadapi dilema, atau menghadapi ketidakpastian tindakan yang umum dilakukan adalah menggambarkannya dalam bentuk yang amat dipengaruhi pola kecerdasannya. Penggambaran tadi biasanya menjadi sangat luar biasa, dan sangat signifikan mempengaruhi dirinya. Perilaku ini jarang nampak pada orang yang mengisolasi diri, karena kecerdasan perilaku ini akan muncul bila digunakan dalam menghadapi situasi kompleks yang menuntut berperilaku jamak. Sebagai contoh bagaimana ketika kita sedang mendengarkan dengan penuh perhatian, seseorang menggunakan kemampuan flexibility, metakognisi, bahasa yang tepat dan juga pertanyaan-pertanyaan.
Para peneliti di bidang psikologi kognitif menemukan bahwa manusia, tidak seperti hewan lainnya, memiliki kemampuan mengontrol perilakunya, selain mereka memiliki kemampuan proses berpikir, dengan menggunakan habits of mind secara efektif. Riset tentang perilaku apa yang memperlihatkan seseorang sebagai problem solver yang efektif dan efisien, dilakukan oleh Feuerstein (1980), Glatthorm & Baron (1985), Stemberg (1985), Perkins (1985), dan Ennis (1985) terhadap berpikir efektif dan berperilaku cerdas menunjukkan bahwa ada karakteristik khas seorang pemikir efektif. Tidak harus seorang saintis, seniman, matematikawan, atau orang kaya yang menunjukkan perilaku seperti ini. Karakteristik pemikir efektif bisa juga ditemukan dari tukang bengkel, guru, pengusaha, pedagang kaki lima, dan orang tua serta semua orang yang menjalani kehidupan.
Terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan keterampilan berpikir, yang sebenarnya cukup berbeda; yaitu berpikir tingkat tinggi (high level thinking), berpikir kompleks (complex thinking), dan berpikir kritis (critical thinking). Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada proses-proses berpikir yang terjadi dalam short-term memory. Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, berpikir tingkat tinggi meliputi evaluasi, sintesis, dan analisis. Berpikir kompleks adalah proses kognitif yang melibatkan banyak tahapan atau bagian-bagian. Berpikir kritis merupakan salah satu jenis berpikir yang konvergen, yaitu menuju ke satu titik. Lawan dari berpikir kritis adalah berpikir kreatif, yaitu jenis berpikir divergen, yang bersifat menyebar dari suatu titik.
Sementara itu Johnson (2000), mengemukakan keterampilan berpikir dapat dibedakan menjadi 2 yakni berpikir kritis dan berpikir kreatif. Kedua jenis berpikir ini disebut juga sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis merupakan proses mental yang terorganisasi dengan baik dan berperan dalam proses mengambil keputusan untuk memecahkan masalah dengan menganalisis dan menginterpretasi data dalam kegiatan inkuiri ilmiah. Sedangkan berpikir kreatif adalah proses berpikir yang menghasilkan gagasan asli atau orisinal, konstruktif, dan menekankan pada aspek intuitif dan rasional.
Critical thinking terdiri dari: bersikap akurat dan mencari akurasi, jelas dan mencari kejelasan, bersikap terbuka, menahan diri dari sifat impulsif, mampu menempatkan diri ketika ada jaminan, bersikap sensitif dan tahu kemampuan pengetahuan temannya. Sementara Creative thinking terdiri dari: dapat melibatkan diri dalam tugas meskipun jawaban dan solusinya tidak segera nampak, melakukan usaha memaksimalkan kemampuan dan pengetahuannya, membuat, menggunakan dan memperbaiki standar evaluasi yang dibuatnya sendiri, menghasilkan cara baru dalam melihat lingkungan dan batasan yang berlaku di masyarakat.
Lebih lanjut Costa (dalam Suharsapurta, 2005) mengungkapkan bahwa keterampilan berpikir memerlukan banyak keahlian majemuk, sikap, pengalaman masa lalu dankecenderungan. Hal itu berarti bahwa kita menilai satu pola berpikir terhadap yang lainnya. Oleh karena itu hal tersebut menunjukkan bahwa harus memiliki pilihan pola mana yang akan digunakan pada waktu tertentu. Termasuk juga kemampuan apa yang diperlukan untuk mengatasi sesuatu di lain waktu, sehingga keterampilan berpikir dijabarkan sebagai berikut: (a) Value, pemilihan pola apa yang digunakan sebagai perilaku intelektual. (b) Inclination atau kecenderungan, perasaan, tendensi terhadap pola apa yang digunakan sebagai perilaku intelektual. (c) Sensitivity, tanggap terhadap suatu kemungkinan dan kecocokan penggunaan pola perilaku. (d) Capability, memiliki keahlian dasar dan kemampuan untuk memperagakan perilaku. (e) Commitment, secara konstan berupaya merefleksikan dan meningkatkan kinerja pola perilaku intelektual. Keterampilan berpikir dilakukan manusia ketika berperilaku untuk mengatasi masalah secara cerdas. Proses ini melibatkan banyak impuls yang berjalan disepanjang neurotransmitter berupa gelombang listrik. Sehingga kegiatan berpikir selalu dihubungkan dengan aktivitas berfikir di dalam otak.
Aktifitas berpikir sendiri sendiri sifatnya abstrak. Namun demikian dalam praktek sering kita jumpai bahwa tidak semua masalah dapat dipecahkan dengan secara abstrak. Dalam menghadapi masalah-masalah yang sangat pelik, kadang-kadang kita membutuhkan supaya persoalan yang kita hadapi menjadi lebih kongkrit. Sehubungan dengan ini memang ada beberapa tingkat berpikir:
1. Berpikir kongkret
Dalam tingkatan ini kegiatan berpikir masih memerlukan situasi-situasi yang nyata/kongkrit. Berpikir membutuhkan pengertian sedangkan pengertian yang diperlukan pada tingkat ini adalah pengertian yang kongkrit. Tingkat berpikir ini pada umumnya dimiliki oleh anak-anak kecil. Konsekuensi didaktif pelajaran hedaknya disajikan dengan peragaan langsung.
2. Berpikir skematis
Sebelumnya meningkat kepada bagian yang abstrak, memecahkan masalah dibantu dengan penyajian bahan-bahan, skema-skema. Coret-coret, diagram, symbol dan sebagainya. Walaupun pada tingkat ini kita tidak berhadapan dengan situasi nyata/kongkrit, tetapi dengan pertolongan bagan-bagan, corat-corat ini dapat memperhatikan hubungan persoalan yang satu dengan yang lain, dan terlihat pula masalah yang di hadapi sebagai keseluruhan. Dengan pertolongan bagan-bagan tersebut situasi yang dihadapi tidak benar-benar kongkrit, pun tidak benar-banar abstrak.
3. Berpikir abstrak
Kita berhadapan dengan situasi dan masalah yang tidak berujud akal pikiran kita bergerak bebas dalam alam abstrak. Baik situasi-situasi nyata maupun bagan-bagan/symbol-simbol/gambar-gambar skematis tidak membantunya. Namun demikian tidak berarti bahwa gejala pikiran berdiri sendiri, melainkan tanggapan, ingatan membantunya. Di samping itu kecerdasan piker sendirilah yang berperanan memecahkan masalah. Maka tingkat ini dikatakan tingkat berpikir yang tertinggi. Orang-orang dewasa biasanya telah memiliki kemampuan berpikir abstrak ini.
Kemampuan berpikir manusia selalu mengalami perkembangan sebagaimana diterangkan di atas. Pada anak-anak masih dalam tingkat kongkret. Makin maju perkembangan psikisnya kemampuan berpikir berkembang setapak demi setapak, meningkat pada hal-hal yang agak abstrak menuju ketingkat yang lebih skematis. Dari tingkat bagan makin lama makin berkembang kemampuan berpikirnya, dan dari sedikit berkembanglah kemampuan abstraksinya. Makin tinggi tingkat abstraksinya, hal-hal yang kongkrit makin ditinggalkan.
Menurut Mayer (2000) proses atau jalannya berpikir itu pada pokoknya ada tiga langkah, yaitu:
1. Pembentukan pengertian. Pengertian, atau lebih tepatnya disebut pengertian logis dibentuk melalui tiga tingkatan, yaitu:
a. Menganalisis ciri-ciri dari sejumlah obyek yang sejenis
b. Membanding-bandingkan ciri tersebut untuk ditetemukan ciri-ciri mana yang sama, mana yang tidak sama, mana yang selalu ada dan mana yang tidak selalu ada
c. Mengabstraksikan, yaitu menyisihkan, membuang ciri-ciri yang tidak sesuai kemudian menangkap ciri-ciri yang sesuai
2. Pembentukan pendapat. Membentuk pendapat adalah meletakkan hubungan antara dua buah pengertian atau lebih. Pendapat yang dinyatakan dalam bahasa disebut kalimat, yang terdiri dari pokok kalimat atau subyek dan sebutan atau predikat. Selanjutnya pendapat dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu: (a). Pendapat positif, yaitu pendapat yang menyatakan keadaan sesuatu; (b). Pendapat negatif, yaitu pendapat yang menidakkan, yang secara tegas menerangkan tentang tidak adanya seuatu sifat pada sesuatu hal; (c). Pendapat modalitas atau kebarangkalian, yaitu pendapat yang menerangkan kebarangkalian, kemungkinan-kemungkinan sesuatu sifat pada sesuatu hal
3. Penarikan kesimpulan atau pembentukan keputusan. Keputusan adalah hasil perbuatan akal untuk membentuk pendapat baru berdasarkan pendapat-pendapat yang telah ada. Ada 3 macam keputusan, yaitu: (a). keputusan induktif yaitu keputusan yang diambil dari pendapat-pendapat khusus menuju ke satu pendapat umum; (b). keputusan deduktif, keputusan deduktif ditarik dari hal yang umum ke hal yang khusus , Jadi berlawanan dengan keputusan induktif; (c). keputusan analogis, keputusan analogis adalah keputusan yang diperoleh dengan jalan membandingkan atau menyesuaikan dengan pendapat-pendapat khusus yang telah ada
C. Berpikir dan Teori Belahan Otak
Menurut Semiawan (1994) otak manusia beratnya tidak lebih dari 1,5 kg namun menjadi pusat berpikir, berprilaku serta pusat emosi manusia yang mencerminkan dirinya, kebudayaan, kejiwaan serta bahasa dan ingatan. Segera setelah anak dilahirkan, gerakan-gerakannya yang semula belum berdeferensiasi berkembang menjadi pola yang preferensi untuk kiri dan kanan. Hampir setiap orang mempunyai sisi yang dominan. Pada umumnya orang lebih biasa menggunakan tangan kanan (berarti dominasi belahan otak kiri); tetapi ada orang-orang yang termasuk kidal (left–handed). Mereka lebih dikuasai oleh belahan otak kanan. Dihipotesiskan bahwa belahan otak kanan terutama berkaitan dengan fungsi -fungsi kreatif, sehingga terjadi “dichotomanua”, membagi-bagi semua fungsi mental menjadi fungsi belahan otak kanan dan kiri.
Adalah Prof Roger Sperry, penerima Nobel tahun 1981 melalui penelitian panjangnya bertahun-tahun, mengungkapkan hasil temuannya tentang gelombang otak, maka paradigma baru muncul dan berkembang. Hipotesisnya telah dibuktikannya sendiri bahwa setiap aktivitas yang berbeda memunculkan gelombang otak yang berbeda pula. Temuan ini sungguh-sungguh mengubah cara pandang tentang potensi dan kreativitas otak manusia. Hal yang mengejutkan, rata-rata otak membagi kegiatannya secara jelas ke dalam kegiatan “otak belahan kiri” (korteks kiri) dan kegiatan “otak belahan kanan” (korteks kanan). Saat korteks kanan sedang aktif, korteks kiri cenderung tenang atau istirahat, demikian sebaliknya.
Kegiatan yang paling mudah diamati tentang pergantian aktivitas otak adalah saat kita berjalan. Kaki kanan digerakkan oleh aktivitas otak belahan kiri, saat kaki kiri bergerak otak belahan kanan mengambil alih. Setiap otak memiliki keterampilan yang khas dalam urutan kerja yang sangat rapi. Penemuan ini menunjukan bahwa setiap orang memiliki banyak sekali keterampilan intelektual, berpikir, dan kreativitas yang belum digunakan sepenuhnya. Mengacu pada beberapa definisi bakat terdahulu, jelas bahwa bakat-bakat yang dipenuhi oleh potensi intelektual, keterampilan dan kreativitas masih dapat terus digali dari diri kita.
Hal ini memberikan harapan besar dan makna sangat dalam, yakni kita tidak pernah menduga bahwa ternyata kita bukannya tidak berbakat menggambar atau tidak berbakat matematika. Yang terjadi adalah kita tidak memberi kesempatan pada kedua belahan otak untuk menggali diri dan unjuk maksimal. Orang cenderung bukannya menggali dan memaksimalkan fungsi perbedaan kegiatan otak belahan kanan dan kiri, namun justru membatasi. Diketahui bahwa otak belahan kiri melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan logika, analisis, kuantitatif, fakta, rencana, organisasi, detail/perinci, sekuensial.
Tugas otak belahan kanan berhubungan dengan sifat keseluruhan, intuitif, sintesis, integrasi, emosi, interpersonal, perasaan, kinestetik. Pembagian aktivitas ini melahirkan label bahwa seniman berotak kanan sedangkan ilmuwan adalah orang-orang otak kiri. Maka manusia pun seolah terbagi dikotomis, orang otak kiri dan orang otak kanan. Singkat cerita, perpaduan daya imajinasi dan hal lain yang dilakukan belahan kanan, serta kemampuan matematika, berpikir sistematis dan hal lain yang dilaksanakan belahan kiri, membawa dirinya pada sebuah temuan spektakuler yang maha dahsyat.
Bakat, tidak semata-mata hasil ciptaan yang mencuat secara seragam pada kesempatan berbeda, tidak pula yang hanya digambarkan oleh atribut profesi dan pekerjaan. Bakat adalah penggalian terus-menerus dan pemanfaatan seluruh kapasitas otak secara bertanggung jawab untuk mewujudnyatakan berbagai hal yang tidak itu-itu saja, atau sesuatu yang sudah telanjur dicap sebagai bakat yang terbatas. Artinya, tidak ada orang yang tidak berbakat untuk hal tertentu, karena kita semua memiliki otak belahan kiri dan kanan.
Terdapat individu-individu yang pemikirannya lebih dipengaruhi oleh otak kanan dan terdapat juga individu-individu yang pemikirannya lebih dipengaruhi oleh otak kiri. Gaya pemikiran otak kanan adalah lebih bebas, lebih menyeluruh (holistik), intuisi, subjektif, sintesis dan abstrak. Gaya pemikiran otak kiri pula lebih kepada logik, rasional, analitik, objektif, berturutan dan spesifik. Ilmu yang mudah dilihat banyak menggunakan otak kiri contohnya ialah ilmu matematik dan ilmu yang berkaitan dengan otak kanan ialah ilmu seni musik, sastra dan lukisan. Walau bagaimanapun, terdapat juga ilmu-ilmu yang menggabungkan pemikiran otak kiri dan kanan seperti ilmu-ilmu sains fisik, kimia, astronomi dan biologi.
D. Sistem Limbik sebagai Pengendali Proses Berpikir
Sebuah pertanyaan dasar bagi para ilmuan saat ini tentang proses berpikir, adalah apa yang menyebabkan seseorang marah, sedih, senang, dan mampu mengingat masa lalu adalah bagaimana kerja otak dan bagian mana yang bekerja. Walaupun hasil masih jauh tetapi ada gambaran suatu bagian peta dari bagian-bagian otak yang menghasilkan emosi dan berperan sebagai bank memori. Peta-peta tersebut didapat dari studi terhadap orang atau hewan yang mengalami kerusakan otak (Campbell et al., 2004).
Emosi dan memori muncul di dalam sistem limbik, suatu unit fungsional dari beberapa pusat pengintegrasi dan jalur-jalur neuron penghubung di dalam otak depan. Sistem limbik sendiri meliputi thalamus, hippothalamus dan bagian dalam dari otak besar. Dua di antaranya, amygdala dan hippocampus, berfungsi bersama dengan korteks prefrontal dalam memproses dan memanggil kembali (rerrieve) memori.
Sistem limbik berperan dalam emosi maupun memori tatkala bau tertentu membawanya kembali memori harum sebagai pengalaman emosi masa lalu. Mungkin kita pernah mengalami ketika mencium bau tertentu tiba-tiba kita teringat sesuatu yang terjadi saat kita kanak-kanak. Signal dari hidung memasuki otak kita melalui lobus olfaktorius yang juga merupakan bagian dari sistem limbik. Berbagai memori sensori (penglihatan, sentuhan, rasa, atau suara) ketika tiba pada pusat-pusat lainnya pada bagian korteks merupakan memori yang penting untuk belajar, dapat disimpan dan dipanggil kembali (Campbell et al dalam Rustaman, 2002).
Seperti dalam komputer yang meniru model pemrosesan informasi dalam otak, di dalam otak kita kenal ada memori jangka pendek dan memori jangka panjang. Selain itu juga memori kerja. Memori jangka pendek berasal dari aktivitas elektrik dari potensial aksi untuk diteruskan ke pusat memori. Memori jangka panjang diperlukan untuk memanggil kembali informasi yang sudah disimpan melalui memori kerja. Di sini melibatkan sinapsis yaitu perubahan struktur dan perubahan kimiawi. Proses berpikir mengikuti jalur sebagai berikut.
Jalurnya menjadi lengkap dan informasinya direkam dalam memori jangka panjang ketika signal kembali ke pusat penglihatan di bagian korteks otak. Amygdala tampaknya bertindak sebagai suatu tipe filter atau penyaring memori, seperti menentukan informasi apa yang akan disimpan dan yang tidak. Amygdala juga melabel informasi untuk disimpan atau direkam dengan cara mencobanya pada suatu momen peristiwa atau momen emosi. Misalnya nomor telepon sebaiknya dilabel dengan perasaan sebelum direlay ke pusat memori jangka panjang. Hal itu dapat menjelaskan mengapa kita mengingat informasi lebih baik apabila kita secara khusus merasa tertarik terhadap hal tersebut atau tatkala diasosiasikan dengan suatu emosi yang intens atau peristiwa yang tidak biasa.
Hippocampus yang merupakan bagian korteks serebral tampaknya merupakan sebuah pusat memori jangka panjang yang besar. Perubahan-perubahan kimiawi pada sinapsis (hubungan antarneuron) dalam hippocampus menyimpan paling sedikit beberapa tipe informasi selama berminggu-minggu sebelum merelaynya ke bagian lain dari korteks. Korteks prefrontal yang terletak berbatasan dengan korteks lobus frontal (dahi) tampaknya menjadi pusat memori kerja (working memory). Korteks prefrontal tersebut dapat mengakses dengan baik memori jangka panjang dalam menggunakan memori untuk memodifikasi perilaku.
Ditekankan oleh Raven & Johnson (1996) bahwa komponen utama dari sistem limbik adalah hippocampus dan amygdala. Hippocampus penting dalam pembentukan dan merecall memori, sedangkan amygdala menghasilkan emosional response. Umpamanya seseorang yang pernah punya pengalaman kurang menyenangkan dalam belajar sains pada masa kanak-kanak, seperti dihukum dengan berjemur di bawah terik matahari karena jawabannya yang berdasarkan pengamatan seksama terhadap gejala alam tidak sesuai pendapat guru atau tulisan di dalam buku ajar. Perasaan tidak suka tersebut dapat muncul lagi ketika dia mencium bau serupa seperti ketika dia mengalami pada masa kanak-kanak, dan secara spontan juga seluruh kenangan nya terulang kembali seperti film yang diputar ulang. Kesan kurang menyenangkan seringkali terekam dalam memori dan muncul pada saat tidur yang berada pada ambang antara dua periode tidur lelap.
Batang otak mengandung sekumpulan neuron yang menyebar yang dikenal sebagai reticular formation (RF). Salah satu bagian dari RF yaitu the reticular activating system (RAS) mengendalikan kesadaran dan kewaspadaan (Tortora & Anagnostakos dalam Rustaman, 2002). RAS ini disuplai oleh jalur-jalur sensoris yang memonitor informasi yang datang ke otak dan mengidentifikasi stimuli yang penting. RAS mengendalikan keadaan tidur maupun terjaga. Tidur dengan keadaan lampu mati (gelap) lebih mudah, karena RAS tidak mendapat stimuli berupa cahaya. Selama tidur otak terus bekerja, tetapi dapat dibedakan dalam tidur lelap dan REM (rapid eye movement). Selama REM orang yang mengalaminya sukar dibangunkan.
E. Strategi Pemecahan Masalah
Masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon akan tetapi tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui si pelaku. Masalah yang berbeda membutuhkan cara pemecahan masalah yang berbeda, bahkan mungkin urutan yang berbeda. Menurut Polya (1985) pemecahan masalah sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak segera dapat dicapai. Pemecahan masalah dapat juga diartikan sebagai penemuan langkah-langkah untuk mengatasi kesenjangan (gap) yang ada. Sedangkan kegiatan pemecahan masalah itu sendiri merupakan kegiatan manusia dalam menerapkan konsep-konsep dan aturan-aturan yang diperoleh sebelumnya (Dahar, 1989).
Dari sejumlah pengertian pemecahan masalah tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pemecahan masalah merupakan usaha nyata dalam rangka mencari jalan keluar atau ide berkenaan dengan tujuan yang ingin dicapai. Pemecahan masalah ini adalah suatu proses kompleks yang menuntut seseorang untuk mengkoordinasikan pengalaman, pengetahuan, pemahaman, dan intuisi dalam rangka memenuhi tuntutan dari suatu situasi. Sedangkan proses pemecahan masalah merupakan kerja memecahkan masalah, dalam hal ini proses menerima tantangan yang memerlukan kerja keras untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dalam istilah sederhana, masalah adalah suatu perjalanan seseorang untuk mencapai solusi yang diawali dari sebuah situasi tertentu.
Menurut Charles dan Lester (dalam Kaur Berinderjeet, 2008), ada tiga faktor yang mempengaruhi proses pemecahan masalah dari seseorang.
1. Faktor pengalaman, baik lingkungan maupun personal seperti usia, isi pengetahuan (ilmu), pengetahuan tentang strategi penyelesaian, pengetahuan tentang konteks masalah dan isi masalah.
2. Faktor afektif, misalnya minat, motivasi, tekanan, kecemasan, toleransi terhadap ambiguitas, ketahanan dan kesabaran.
3. Faktor kognitif, seperti kemampuan membaca, kemampuan berwawasan (spatial ability), kemampuan menganalisa, ketrampilan menghitung, dan sebagainya.
Proses pemecahan masalah biasanya diawali dari memahami masalah (problem) itu sendiri, dan biasanya berupa dalam kata-kata baik secara lisan ataupun tertulis. Tahapan pertama dari proses pemecahan masalah adalah pendefinisian masalah. Apabila masalah tidak cukup jelas didefinisikan maka tahapan-tahapan berikut sulit untuk dijalankan. Bahkan apabila dipaksakan, kemungkinan besar penyelesaian yang tepat tidak akan diperoleh.
Secara umum proses pemecahan masalah dapat dilakukan dengan empat tahapan utama yaitu :
1. Memahami dan mendefinisikan masalah. Bagian ini merupakan bagian yang sangat penting karena menjadi awal dari seluruh proses pemecahan masalah. Tujuan pada bagian ini adalah memahami masalah dengan baik dan menghilangkan bagian-bagian yang dirasa kurang penting.
2. Membuat rencana untuk pemecahan masalah. Pada bagian ini ada dua kegiatan penting yaitu: mencari berbagai cara penyelesaian yang mungkin diterapkan dan membuat rencana pemecahan masalah. Melaksanakan penyelesaian masalah. Penyelesaian suatu masalah biasanya tidak hanya satu tapi mungkin bisa beberapa macam. Jadi banyak sekali cara penyelesaian yang bisa kita kembangkan. Masing-masing mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Dari sekian banyak penyelesaian ini kita harus memilih satu yang berdasarkan persyaratan tertentu merupakan cara yang paling baik untuk menyelesaikan permasalahan. Setelah terpilih, maka kita dapat membuat rencana kasar (outline) penyelesaian masalah dan membagi masalah dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Rencana kasar (outline) penyelesaian masalah hanya berisi tahapan-tahapan utama penyelesaian masalah.
3. Merancang dan menerapkan rencana untuk memperoleh cara penyelesaian. Pada bagian ini rencana kasar penyelesaian masalah diperbaiki dan diperjelas dengan pembagian dan urutan rinci yang harus ditempuh dalam penyelesaian masalah.
4. Memeriksa dan menyampaikan hasil dari pemecahan masalah. Bagian ini bertujuan untuk memeriksa apakah akurasi (ketepatan) hasil dari cara yang dipilih telah memenuhi tujuan yang diinginkan. Selain itu juga untuk melihat bagaimana daya guna dari cara yang dipilih yang dipilih.
Setelah seseorang dapat menafsirkan masalah dengan baik, maka langkah berikutnya adalah membuat seleksi terhadap strategi pemecahan masalah yang terbaik dalam memecahkan masalah. Berikut digunakan beberapa strategi pemecahan masalah yang sering digunakan.
1. Trial and Error. Proses mencaoba-coba dengan beberapa kemungkinan, cara ini terbilang sederhana dan membutuhkan waktu yang panjang.
2. Informational retrieval. Pemecahan suatu masalah dengan mengingat kembali informasi yang tersimpan dalam ingatan jangka panjang.
3. Algoritma. Metode pemecahan masalah yang menjamin suatu pemecahan masalah jika tersedia kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkannya.
4. Heuristic. Suatu hukum yang terutama membantu menyerdehanakan masalah. Beberapa metode heuristic yang telah dikembangkan antara lain: Hill climbing, Subgoals, Mean-end analysis dan working backward.
F. Transfer Belajar
Istilah transfer belajar berasal dari bahasa inggris “transfer of learning” dan berarti: pemindahan atau pengalihan hasil belajar yang diperoleh dalam bidang studi yang satu ke bidang studi yang lain atau ke kehidupan sehari-hari diluar lingkup pendidikan sekolah. Pemindahan atau pengalihan ini menunjuk pada kenyataan, bahwa hasil belajar yang diperoleh, digunakan di suatau bidang atau situasi diluar lingkup bidang studi dimana hasil itu mula-mula diperoleh. Misalnya, hasil belajar bidang studi geografi, digunakan dalam mempelajari bidang studi ekonomi; hasil belejar dicabang olahraga main bola tangan, digunakan dalam belajar main basket; hasil belajar dibidang fisika dan kimia, digunakan dalam mengatur kehidupan sehari-hari. Hasil studi yang dipindahkan atau dialihkan itu dapat berupa pengetahuan (informasi verbal), kemahiran intelektual, pengaturan kegiatan kognitif, ketrampilan motorik dan sikap. Berkat pemindahan dan pengalihan hasil belajar itu, seseorang memperoleh keuntungan atau mengalami hambatan dalam mempelajari sesuatu dibidang studi yang lain. Transfer dalam belajar ada yang bersifat psitif dan ada yang negatif.
Transfer belajar disebut positif jika pengalaman-pengalaman atau kecakapan-kecakapan yang telah dipelajari dapat diterapkan untuk mempelajari situasi yang baru, contoh ketampilan mengendarai sepeda motor, akan mempermudah belajar mengendarai kendaraan bermotor roda empat. Atau dengan kata lain, respon yang lama dapat memudahkan untuk menerima timulus yang baru. Disebut transfer negatif jika pengalaman atau kecakapan yang lama menghambat untuk menerima pelajaran/kecakapan yang baru. Contoh ketrampilan mengemudikan kendaraan bermotor dalam arus lalu lintas yang bergerak di sebelah kiri jalan, yang diperoleh seseorang selama tinggal di indonesia, akan menimbulkan kesulitan bagi orang itu bila ia dipindah ke salah satu negara eropa barat, yang arus lalu lintasnya bergerak disebelah kanan jalan.
Sementara itu Gagne seorang ahli psikologi pendidikan mengatakan bahwa transfer dapat digolongkan dalam empat kategori yaitu:
1. Transfer positip dapat terjadi dalam diri seseorang apabila guru membantu si belajar untuk belajar dalam situasi tertentu dan akan memudahkan siswa untuk belajar dalam situasi-situasi lainnya. Transfer positif mempunyai pengaruh yang baik bagi siswa untuk mempelajari materi yang lain.
2. Transfer negatif dialami seseorang apabila si belajar dalam situasi tertentu memiliki pengaruh merusak terhadap ketrampilan/pengetahuan yang dipelajari dalam situasi yang lain. Sehubungan dengan ini guru berupaya untuk menyadari dan menghindarkan siswa-siswanya dari situasi belajar tertentu yang dapat berpengaruh negatif terhadap kegiatan belajar dimasa depan.
3. Transfer vertikal (tegak); terjadi dalam diri seseorang apabila pelajaran yang telah dipelajari dalam situasi tertentu membantu siswa tsb. dalam menguasai pengetahuan atau ketrampilan yang lebih tinggi atau rumit. Misalnya dengan menguasai materi tentang pembagian atau perkalian maka siswa akan lebih mudah mempelajari materi tentang pangkat. Agar memperoleh transfer vertikal ini guru dianjurkan untuk menjelaskan kepada siswa secara eksplisit mengenai manfaat materi yang diajarkan dan hubungannya dengan materi yang lain. Dengan mengetahui manfaat dari materi yang akan dipelajari dengan materi lain yang akan dipelajari dikelas yang lebih tinggi diharapkan ia akan mengikuti pelajaran ini dengan lebih serius.
4. Transfer lateral (ke arah samping) terjadi pada siswa bila ia mampu menggunakan materi yang telah dipelajari untuk mempelajari materi yang memiliki tingkat kesulitan yang sama dalam situasi lain. Dalam hal ini perubahan waktu dan tempat tidak mempengaruhi mutu hasil belajar siswa. Misalnya siswa telah mempelajari materi tentang tambahan, dengan menguasai materi tambahan maka siswa akan lebih mudah mempelajari materi yang lebih tinggi tingkat kesilitannya misalnya materi tentang pembagian. Contoh lainnya seorang siswa STM telah mempelajari tentang mesin, maka ia akan dengan mudah mempelajari teknologi mesin lain yang memiliki elemen dan tingkat kerumitan yang hampir sama.
Sehubungan dengan kegiatan transfer belajar, terdapat beberapa teori yang menjelaskan pengertian transfer belajar adalah sebagai berikut:
1. Teori disiplin formal. Pandangan ini bertitik tolak pada pandangan aliran psikologis daya tentang psike/kejiwaan manusia, psike itu dipandang sebagai kumpulan dari sejumlah bagian/daya-daya yang berdiri sendiri. Seperti daya berfikir, daya mengingat, daya kemauan, daya merasa, dan lain-lain.
Menurut teori daya (formal disiplin) daya-daya jiwa yang ada pada manusia itu dapat dilatih. Dan setelah berlatih dengan baik, daya-daya itu dapat digunakan pula untuk pekerjaan yang lain yang menggunakan daya tersebut dengan demikian terjdilah transfer belajar. Misalnya seorang anak yang semenjak kecil melatih diri cara-cara melempar dengan tepat, mula-mula ia melempar-melempar dengan batu, kemudian disekolah ia sering bermain kasti sehingga terlatih pula melempar dengan bola. Menurut teori daya, anak yang telah melatih daya melemparnya dengan baik, nantinya jika ia telah dewasa dan menjadi dewasa dapat menjadi pelempar granat yang baik. Contoh lain murid-murid dilatih belajar sejarah. Dengan mempelajari pelajaran sejarah tidak boleh tidak daya ingatannya sering digunakan untuk mengingat-ingat bermacam-macam peristiwa, ingatan anak itu makin terlatih dan makin baik terhadap pelajaran itu. Maka pendapat menurut teori daya daya ingatan yang telah terlatih baik bagi pelajaran itu dapat digunakan pula (ditransferkan) kepada pekerjaan lain.
Demikian, menurut teori daya pada tiap mata pelajaran disekolah pendidik perlu melatih daya-daya itu (daya ingatan, berpikir, merasakan, dan sebagainya) sehingga daya-daya yang sudah terlatih itu akan dapat digunakan dalam mata pelajaran yang lain dan bagi pekerjaan pekerjaan lain diluar sekolah. Sekolah yang menganut teori daya ini, sudah tentu mengutamakan terlatihnya semua daya-daya jiwa anak, dari pada nilai atau kegunaan mata pelajaran. Berguna atau tidaknya materi/isi mata pelajaran itu dalam praktek dikemudian hari, tidak menjadi soal. Yang penting, apapun yang diajarkan asal dapat melatih daya-daya jiwa adalah baik. Penganut teori daya beranggapan bahwa anak-anak yang pandai di sekolah suadah tentu akan pandai pula dimasyarakat.
Menurut teori daya (formal disiplin) daya-daya jiwa yang ada pada manusia itu dapat dilatih. Dan setelah berlatih dengan baik, daya-daya itu dapat digunakan pula untuk pekerjaan yang lain yang menggunakan daya tersebut dengan demikian terjdilah transfer belajar. Misalnya seorang anak yang semenjak kecil melatih diri cara-cara melempar dengan tepat, mula-mula ia melempar-melempar dengan batu, kemudian disekolah ia sering bermain kasti sehingga terlatih pula melempar dengan bola. Menurut teori daya, anak yang telah melatih daya melemparnya dengan baik, nantinya jika ia telah dewasa dan menjadi dewasa dapat menjadi pelempar granat yang baik. Contoh lain murid-murid dilatih belajar sejarah. Dengan mempelajari pelajaran sejarah tidak boleh tidak daya ingatannya sering digunakan untuk mengingat-ingat bermacam-macam peristiwa, ingatan anak itu makin terlatih dan makin baik terhadap pelajaran itu. Maka pendapat menurut teori daya daya ingatan yang telah terlatih baik bagi pelajaran itu dapat digunakan pula (ditransferkan) kepada pekerjaan lain.
Demikian, menurut teori daya pada tiap mata pelajaran disekolah pendidik perlu melatih daya-daya itu (daya ingatan, berpikir, merasakan, dan sebagainya) sehingga daya-daya yang sudah terlatih itu akan dapat digunakan dalam mata pelajaran yang lain dan bagi pekerjaan pekerjaan lain diluar sekolah. Sekolah yang menganut teori daya ini, sudah tentu mengutamakan terlatihnya semua daya-daya jiwa anak, dari pada nilai atau kegunaan mata pelajaran. Berguna atau tidaknya materi/isi mata pelajaran itu dalam praktek dikemudian hari, tidak menjadi soal. Yang penting, apapun yang diajarkan asal dapat melatih daya-daya jiwa adalah baik. Penganut teori daya beranggapan bahwa anak-anak yang pandai di sekolah suadah tentu akan pandai pula dimasyarakat.
2. Teori elemen identik. Pandangan ini dipelopori oleh edward thorndike, yang berpendapat bahwa transfer belajar dari satu bidang studi kebidang studi yang lain atau bidang studi sekolah ke kehidupan sehari-hari, terjadi berdasarkan adanya unsur-unsur yang sama dalam kedua bidang studi atau antara bidang studi di sekolah ke kehidupan sehari-hari. Makin banyak unsur yang sama makin besar kemungkinan terjadi tarnsfer belajar.Dengan kata lain terjadinya transfer belajar sangat tergantung dari banyak sedikitnya kesamaan unsur-unsur. Misalnya antara bidang studi aljabar dan ilmu ukur dll. Mula-mula thorndike mengartikan “elemen identik” sebagai unsur yang sungguh-sungguh sama (=identik) kemudian pengertian identik diartikan sebagai “ada kesamaan, sejenis” perubahan pandangan ini membuat teorinya tentang transfer belajar lebih mudah dapat diterima.
menurut teori ini hakekat transfer belajar adalah pengalihan dari penguasaan suatu unsur tertentu pada bidang studi yang lain, makin banyak adanya unsur-unsur yang sama akan semakin besar terjadinya transfer belajar positip.
menurut teori ini hakekat transfer belajar adalah pengalihan dari penguasaan suatu unsur tertentu pada bidang studi yang lain, makin banyak adanya unsur-unsur yang sama akan semakin besar terjadinya transfer belajar positip.
3. Teori generalisasi. Pandangan ini dikemukakan oleh charles judd yang berpendapat bahwa Menurut teori ini transfer belajar lebih berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menangkap struktur pokok, pola dan prinsip umum . Bila seorang siswa mampu menangkap konsep, kaidah dan prinsip untuk memecahkan persoalan maka siswa itu mempunyai bekal yang dapat ditransferkan ke bidang-bidang lain diluar bidang studi dimana konsep, kaidah dan prinsip itu mula-mula diperoleh. Maka siswa itu dikatakan mampu mengadakan “generalisasi” yaitu mampu menangkap ciri-ciri atau sifat-sifat umum yang terdapat dalam sejumlah hal yang khusus. Generalisasi semacam itu sudah terjadi bila siswa membentuk konsep, kaidah, prinsip dan siasat-siasat pemecahan problem. Jadi kesamaan antara dua bidang studi tsb. tidak terdapat dalam unsur-unsur khusus melainkan dalam pola, dalam struktur dasar dan dalam prinsip.
Mengingat pengetahuan tentang sejumlah materi pelajaran cenderung diorganisasi (disusun) secara berurutan dan hierarki, dan apa yang telah diketahui anak didik dan sejauh mana anak didik mengetahuinya, jelas mempengaruhi kesiapan (readness) anak didik mempelajari hal-hal baru. Dalam pengertian yang lebih umum dan jangka panjang, variabel “struktur kognitif” merupakan substansi serta sifat organisasi yang signifikan terhadap keseluruhan pengetahuan anak didik mengenai bidang studi tertentu, yang mempengaruhi prestasi akademis dalam bidang pengetahuan yang sama di masa mendatang.
Dalam pengertian yang lebih khusus dan jangka pendek, variabel “struktur kognitif” merupakan substansi serta sifat organisasi konsep-konsep dan hal-hal yang lebih relevan di dalam struktur kognitif, yang mempengaruhi belajar dan pengingatan unit-unit kecil materi pelajaran baru yang berhubungan. Karenanya, dalam penerimaan tugas-tugas belajar yang baru
Dalam proses belajar yang bermakna, untuk mencapai pengertian-pengertian baru dan penyimpanan (retensi) yang baik, materi-materi belajar selalu dan hanya dapat dipelajari bila dihubungkan dengan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta informasi-informasi yang relevan yang telah dipelajari sebelumnya. Substansi dan sifat organisasi latar belakang pengetahuan ini mempengaruhi ketepatan dan kejelasan pengertian-pengertian baru yang ditimbulkan serta kemampuan memperoleh kembali pengertian-pengertian baru tersebut. Makin jelas, stabil, dan terorganisasinya struktur kognitif anak didik, maka proses belajar yang bermakna dan retensi makin mudah terjadi. Sebaliknya struktur kognitif yang tidak stabi, kabur, dan tidak terorganisir dengan tepat, cendrung merintangi proses belajar yang bermakna dan retensi. Bila permasalahan ini terjadi, maka transfer belajar sukar berlangsung. Karena kekaburan pengertian terhadap kaidah, dalil atau prinsip dalam kaidah mata pelajaran tertentu menyebabkan kerancuan struktur kognitif.
G. Implikasi Bagi Proses Pendidikan
Jika kita kembalikan kepada dunia pendidikan di Indonesia, yang menjadi masalah adalah bagaimana cara mengajarkan keterampilan berpikir dan strategi pemecahan masalah tersebut di sekolah sehingga ia bisa menjadi sesuatu yang dapat memperbaiki belajar siswa. Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk melakukan hal ini, yaitu keterampilan berpikir dan strategi pemecahan masalah dijadikan terpadu dengan bidang studi yang diajarkan atau keterampilan berpikir dan strategi pemecahan masalah diajarkan secara terpisah. Di beberapa wilayah di Jerman, sekolah mengajarkan pelajaran Logika kepada para siswanya.
Di Indonesia, pengajaran keterampilan berpikir dan strategi pemecahan masalah memiliki beberapa kendala. Salah satunya adalah terlalu dominannya peran guru di sekolah sebagai penyebar ilmu atau sumber ilmu, sehingga siswa hanya dianggap sebagai sebuah wadah yang akan diisi dengan ilmu oleh guru. Kendala lain yang sebenarnya sudah cukup klasik namun memang sulit dipecahkan, adalah sistem penilaian prestasi siswa yang lebih banyak didasarkan melalui tes-tes yang sifatnya menguji kemampuan kognitif tingkat rendah. Siswa yang dicap sebagai siswa yang pintar atau sukses adalah siswa yang lulus ujian. Ini merupakan masalah lama yang sampai sekarang masih merupakan polemik yang cukup seru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Kurikulum Berbasis Kompetensi yang sudah mulai diterapkan di Indonesia sebenarnya cukup kondusif bagi pengembangan pengajaran keterampilan berpikir, karena mensyaratkan siswa sebagai pusat belajar. Namun demikian, bentuk penilaian yang dilakukan terhadap kinerja siswa masih cenderung mengikuti pola lama, yaitu model soal-soal pilihan ganda yang lebih banyak memerlukan kemampuan siswa untuk menghafal.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pengajaran keterampilan berpikir dan strategi pemecahan masalah di sekolah antara lain adalah sebagai berikut:
1. keterampilan berpikir dan strategi pemecahan masalah tidak otomatis dimiliki siswa
2. keterampilan berpikir dan strategi pemecahan masalah bukan merupakan hasil langsung dari pengajaran suatu bidang studi
3. pada kenyataannya siswa jarang melakukan transfer sendiri keterampilan berpikir dan strategi pemecahan masalah ini, sehingga perlu adanya latihan terbimbing
4. pengajaran keterampilan berpikir dan strategi pemecahan masalah memerlukan model pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student-centered).
5. Selain beberapa prinsip di atas, satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam pengajaran keterampilan berpikir dan strategi pemecahan masalah adalah perlunya latihan-latihan yang intensif. Seperti halnya keterampilan yang lain, dalam keterampilan berpikir dan strategi pemecahan masalah, siswa perlu mengulang untuk melatihnya walaupun sebenarnya keterampilan ini sudah menjadi bagian dari cara berpikirnya. Latihan rutin yang dilakukan siswa akan berdampak pada efisiensi dan otomatisasi keterampilan berpikir dan strategi pemecahan masalah yang telah dimiliki siswa. Dalam proses pembelajaran di kelas, guru harus selalu menambahkan keterampilan berpikir dan strategi pemecahan masalah yang baru dan mengaplikasikannya dalam pelajaran lain sehingga jumlah atau macam keterampilan berpikir dan strategi pemecahan masalah siswa bertambah banyak.
H. Kesimpulan
Berpikir dan strategi pemecahan masalah secara efektif merupakan suatu karakteristik yang bermanfaat dalam pembelajaran di sekolah pada tiap jenjangnya; meskipun bagaimana berpikir dan strategi pemecahan masalah secara efektif ini jarang mendapatkan perhatian dari para guru. Riset menunjukkan bahwa meskipun keterampilan dasar siswa tetap konsisten atau sedikit mengalami kenaikan, tetapi siswa tidak memperoleh keterampilan strategi berpikir dan strategi pemecahan masalah secara efektif di sekolah. Jika siswa mempelajari cara berpikir tingkat dan strategi pemecahan masalah yang lebih tinggi dan kompleks, maka masuk akal bahwa instruksi keterampilan berpikir dan strategi pemecahan masalah tersebut dapat dipakai sebagai alat yang potensial untuk meningkatkan pembelajaran di sekolah. Dengan kata lain, jika kita ingin siswa menjadi pemikir dan pemecah masalah yang handal, kita harus mengajarkan caranya.
I. Daftar Pustaka
Campbell, N.A, Reece, I.B & Mitchell, L.G. Biologi. Jakarta: Erlangga
Dahar, R.W. 1989. Teori-Teori Belajar. Bandung: Alfabeta.
Ennis. R.H. 1985. Goals for A Critical Thinking I Curriculum. Developing Minds A Resource Book for Teaching Thinking. Virginia: Association for Suopervisions and Curriculum Development (ASCD) pp. 54-57.
Johnson, E.B. 2000. Contextual Teaching and Learning . California: Corwin Press, Inc.
Marzano, R.J. 1992. A Theory Based Meta Analysis of Research on Instruction. Aurora, Co; Mc Rel.
www. mcrel.org/pdf/instruction/5982RR_instructionMeta_Analysis. Pdf
Polya, G. 1985. How to Solve It. Princeton: Princeton University Press
Raven, P.H & Johnson, G.B. 1996. Biology. Boston: Mc Graw Hill
Semiawan, C.R. 1994. Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin. Jakarta: Gransindo
Sidharta, A. 2005. Keterampilan Berpikir (Modul Berjenjang). Depdiknas: P4TKIPA
Suharsaputra, U. 2004. Filsafat Ilmu. Kuningan; Universitas Kuningan Press
Komentar
Posting Komentar