3 Judul:Renungan Kemanusiaan;Kisruh Puisi Indonesia dari DJA sampai Sukmawati; Cintamu pada Agama itu Palsu
3 Judul:Renungan Kemanusiaan;Kisruh Puisi Indonesia dari DJA sampai Sukmawati; Cintamu pada Agama itu Palsu
Renungan Kemanusiaan
Kemanusiaan selalu dekat dan bersanding dengan hati nurani..
Ia bersetubuh dengan Kalbu yg melahirkan Keikhlasan..
Ia bercengkerama dengan bathin yang melukiskan Keridloan...
Ia tumbuh dan mengakar dengan eratnya kebersamaan...
Ia rimbun dengan ikhtiar dan refleksi diri...
Kemanusiaan bukanlah sekedar ornamen tunggal dari ke'manusiawian'...
Ia selalu sejajar dengan hakekat kehidupan....proses belajar dan kepedulian..
Ia tidak tumbuh karena kedengkian..
Pun tidak hadir karena kesombongan dan keakuan...
Ia damai menyentuh ruang hati menyatukan kebijakan dan kebajikan...
Ia damai membuka mata...
Ia damai membuka telinga...
Ia dama membuka logika...
Ia damai membuka rasa..
dan Ia akan selalu damai pada rasa manusia yang disatukan oleh Esa...
Kemanusiaan bukanlah sekedar jajaran aksara tanpa makna..
Ia menyelami rasa simpati dan empati..
Ia adalah kebijaksanaan hakiki...
Yang akan terus tumbuh dan mengakar dalam kehidupan manusia...
Manusia yang akan selalu mengenal Manusia...
Untuk menjunjung nilai kemanusiaan....
Memanusiakan manusia.....
Garut-Pameunpeuk, 3 Mei 2010
------Nocturno Thinks------
Ia bersetubuh dengan Kalbu yg melahirkan Keikhlasan..
Ia bercengkerama dengan bathin yang melukiskan Keridloan...
Ia tumbuh dan mengakar dengan eratnya kebersamaan...
Ia rimbun dengan ikhtiar dan refleksi diri...
Kemanusiaan bukanlah sekedar ornamen tunggal dari ke'manusiawian'...
Ia selalu sejajar dengan hakekat kehidupan....proses belajar dan kepedulian..
Ia tidak tumbuh karena kedengkian..
Pun tidak hadir karena kesombongan dan keakuan...
Ia damai menyentuh ruang hati menyatukan kebijakan dan kebajikan...
Ia damai membuka mata...
Ia damai membuka telinga...
Ia dama membuka logika...
Ia damai membuka rasa..
dan Ia akan selalu damai pada rasa manusia yang disatukan oleh Esa...
Kemanusiaan bukanlah sekedar jajaran aksara tanpa makna..
Ia menyelami rasa simpati dan empati..
Ia adalah kebijaksanaan hakiki...
Yang akan terus tumbuh dan mengakar dalam kehidupan manusia...
Manusia yang akan selalu mengenal Manusia...
Untuk menjunjung nilai kemanusiaan....
Memanusiakan manusia.....
Garut-Pameunpeuk, 3 Mei 2010
------Nocturno Thinks------
Kisruh Puisi Indonesia, dari DJA sampai Sukmawati
Belakangan ini, puisi Indonesia "naik daun", dibicarakan di mana-mana. Seharusnya ini membuat para penyair dan penggiat sastra Indonesia - khususnya puisi -- menjadi senang. Kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, mulai dari yang menggerutu sampai sumpah serapah yang dilontarkan.
Dua kasus yang mengemuka belakangan ini. Pertama, kasus upaya seorang Denny JA (DJA) untuk mendudukkan dirinya sebagai salah satu tokoh sastra Indonesia terkemuka. Kedua, kasus Sukmawati Soekarnoputri dengan puisinya "Ibu Indonesia".
Bilia yang pertama mungkin hanya ramai di kalangan para sastrawan Indonesia, yang kedua justru ramai sampai hampir ke seluruh lapisan masyarakat. DJA, yang selama ini dikenal sebagai analis survey -- terutama survey politik -- ramai dibahas di kalangan penggiat sastra Indonesia. Sementara Sukmawati Soekarnoputri, ramai dibincangkan dan dihujat sana-sini bukan hanya di dunia sastra Indonesia, tetapi juga di kalangan masyarakat luas.
Baiklah kita bahas satu-persatu. DJA sejak beberapa tahun belakangan mencoba mendudukkan dirinya sebagai salah satu tokoh sastra Indonesia terkemuka. Dia mencoba menjajarkan dirinya dengan para sastrawan hebat, seperti WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Hamka, sampai Sutardji Calzoum Bachri. Konon kabarnya, dia menyuplai anggaran untuk suatu tim agar menyusun dan menerbitkan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Tentu saja namanya dimasukkan ke dalam buku itu.
Padahal walau dia cukup terkenal dengan analisa-analisa politik sampai membuat berbagai survey politik, di kalangan sastra namanya hampir tak dikenal. Masih kurang dari 10 tahun, dia mulai masuk ke dunia sastra dengan karya-karya sastra yang disebutnya "puisi esai".
Belakangan dia mulai pula membayar sejumlah orang agar menulis karya mengikuti gayanya menulis "puisi esai". Suatu puisi yang bercerita panjang lebar tentang kehidupan masyarakat dan menurutnya cocok disebut puisi esai karena ada catatan kaki. Soal penamaan "puisi esai", para sastrawan Indonesia sebenarnya tak memasalahkan. Selain mengingatkan bahwa gaya penulisan puisi panjang lebar seperti itu sebenarnya bukan hal baru.
Ada misalnya yang disebut prosa liris yang hampir mirip dengan gaya yang disebut DJA dengan "puisi esai". Soal catatan kaki pun bukan hal baru, sudah banyak puisi-puisi yang terbit sebelumnya menyertakan catatan kaki untuk menjelaskan sejumlah kata yang mungkin tak dimengerti secara meluas oleh pembaca umum.
Lalu soal DJA membayar sejumlah orang untuk membuat puisi mengikuti gayanya? Ini pun sebenarnya hampir tak dimasalahkan, kecuali ada yang kurang setuju dengan cara DJA meminta penulis menandatangani kontrak yang menyerahkan seluruh karyanya pada DJA. Menurut beberapa orang, ini mengartikan karya tersebut "dibeli putus" dan menjadi milik DJA. Padahal, karya apa pun hak cipta tetap pada pembuat karya itu. Soal hak penerbitan atau hak menyiarkan, itu soal lain.
Namun yang lebih membuat para sastrawan geram, karena klaim sepihak Denny JA yang mengatakan bahwa "puisi esai" itu adalah genre puisi baru dan para penulis yang mengikuti gayanya telah menjadikan lahirnya angkatan sastra baru, yaitu angkatan "puisi esai". Suatu hal yang dianggap lucu, karena sesungguhnya penyebutan angkatan sastra itu dilakukan oleh para kritikus sastra dan para akademisi yang menggeluti dunia sastra setelah melalui proses panjang. Bukan tiba-tiba diciptakan sendiri oleh orang yang bersangkutan.
Lagipula kalau DJA menyebut telah banyak yang mengikuti gaya menulisnya, sebagian besar sebenarnya mereka menulis karena dibayar oleh bersangkutan, bukan karena memang berminat menulis apa yang disebut "puisi esai". Pada kenyataannya pula, sejumlah orang yang ikut menulis karena dibayar, pada akhirnya menolak ikut terlibat.
Mereka mengembalikan uang yang telah diterima dan menyatakan tidak mau terlibat dalam proyek "puisi esai". Mereka tampaknya sadar dimanfaatkan oleh DJA, agar klaim bahwa gaya menulis "puisi esai" telah banyak diikuti dan pantas disebut telah lahir angkatan sastra baru, yaitu angkatan "puisi esai".
Begitulah ribut-ribut di kalangan "dunia sastra" Indonesia yang hampir tak ke luar. Berbeda dengan kasus puisi Sukmawati Soekarnoputri. Bermula ketika Sukmawati membacakan puisi "Ibu Indonesia" di tengah pergelaran mode bertajuk "29 Tahun Anne Avantie Berkarya", yang merupakan salah satu acara pada Indonesia Fashion Week 2018. Karyanya kemudian diributkan.
Membawa-bawa agama dan membandingkannya, memang mempunyai risiko besar. Apalagi di masyarakat yang akhir-akhir makin sensitif. Saya pribadi kurang setuju dengan puisi Sukmawati itu. Namun belakangan diketahui, ternyata puisi itu bukan puisi baru. Puisi Sukmawati itu telah ditulis cukup lama, yaitu pada 1999. Puisi itu kemudian dibukukan dalam suatu antologi puisi yang terbit 2006.
Ini juga yang menjadi bahan diskusi dengan beberapa sahabat. Mereka menyatakan seharusnya sejak lama puisi itu digugat, kalau memang mau digugat. Namun bisa jadi, lagi-lagi karena "dunia puisi" bukan dunia yang banyak diminati., jadi ketika terbit sampai sekarang 12 tahun kemudian baru sedikit yang membacanya.
Ini bukti masih rendahnya minat baca masyarakat terhadap karya-karya fiksi, minat baca terhadap buku kumpulan puisi lebih rendah lagi. Kalau pun ada yang berminat membaca karya fiksi, sebagian besar memilih membaca komik (cerita bergambar) atau cerpen dan novel.
"Baca puisi susah, kalimatnya beruntun tidak mudah dimengerti, apalagi banyak puisi menggunakan perumpaan dan kiasan, jadi belum bisa langsung dimengerti," seorang teman pernah menjelaskan.
Tapi apa pun itu, di dalam masyarakat Indonesia dan di mana saja, menerbitkan tulisan apa pun -- termasuk puisi-puisi -- memang sebaiknya mengingat norma, etika, dan kebiasaan umum yang berlaku di dalam masyarakat. Istilah teman, "Jangan mancing gara-gara".
Puisi
Cintamu pada Agama itu Palsu
Kau bilang dirimu paling mencinta
Dan Kau bilang pada semua,
Jiwa Ragamu adalah milik-Nya
kulihat mulut-mu berbusa-busa
Meyakinkan semua orang
Kau adalah romeonya, dan
Agama-mu adalah julietnya.
Bahkan, Agama-mu seperti Tuhan-mu itu sendiri
Kau tak rela, siapapun
Berkata soal agama-mu
Kau merasa agamamu
Adalah milikmu sendiri
Dan yang berhak sorga
Hanyalah dirimu sendiri,
Yang lainnya annar yang kekal
Agama-mu hanya boleh Dibicarakan,
Di altar-altar suci
Tempat bersua-nya
Para mulia derajatnya, katanya
Para tinggi ilmunya, katanya
Para rendah hati, katanya
Para pemaaf, katanya
Para adil, katanya
Para sabar, katanya
Para benar, katanya, dan
para suci, katanya
Emanasi sejati, sifat-sifat Tuhan
Kau menganggap dirimu khalifah terbaik
Kalaulah boleh, pastinya kau mengaku nabi,
Maksum, walaupun tanpa jibril
Sungguh kau tersesat,
Tersesat begitu jauh,
Hingga kau tak lagi mengenali dirimu,
Daging, darah dan roh-mu
Adalah manusia biasa
Kemanusiaan-mu hampir lepas,
Sudah di ujung tenggorokanmu
Di dorong oleh keangkuhan-mu
Hatimu, telah di penuhi Ke-dengki-an
Rasa kesucianmu,
Mengantarkan dirimu sendiri,
Pada kehinaan
Kau memuja nafsu-mu,
Kau menyembah nafsu-mu,
Kau mengabdi pada nafsu-mu,
Kau benar-benar men-tuhan-kan
Nafsu-mu
Kau dusta bila kau mengatakan,
'aku mencintai agama-ku'
Di agama-mu
Penuh dengan belas kasih
Penuh dengan kelembutan,
Penuh dengan maaf
Kau dusta bila kau mengatakan,
'aku mencintai agama-ku'
Semua itu hanyalah tafsiranmu
tafsiran-mu dengan nafsu-mu
Nun, 06-04-2018
Komentar
Posting Komentar