KERASULAN DOA
Azas dan Dasar
Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati, serta mengabdi Allah, Tuhan kita, dan dengan itu menyelamatkan jiwanya.
Barang lain di muka bumi diciptakan bagi manusia untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan.
Maka, manusia harus menggunakan ciptaan lain itu sejauh membantunya untuk mencapai tujuan tadi, dan melepaskan diri daripadanya sejauh itu merintanginya.
Oleh karena itu, kita perlu mengambil sikap lepas bebas terhadap segala ciptaan sejauh halnya bergantung pada kemerdekaan kehendak bebas kita dan bukan hal terlarang. Sikap itu dihayati sedemikian rupa sehingga kita tidak menghendaki kesehatan melebihi sakit, kekayaan melebihi kemiskinan, kehormatan melebihi penghinaan, hidup panjang melebihi hidup pendek, dan begitu seterusnya mengenai hal lainnya.
Kita melulu akan menginginkan dan memilih apa yang lebih membimbing ke arah tujuan kita diciptakan.
Latihan Doa
Doa kok pakai latihan sih?
Lha iyalah, binatang buas saja gak ada yang begitu lahir mbrojol langsung njranthal lari mengejar mangsanya! Latihan jalan dulu bro’!
Kata Santo Ignasius (LR 1), latihan rohani mirip dengan latihan jasmani yang mengenal tahapan. Jadi tak perlu orang berpikir bahwa ia tahu-tahu akan mendapat karunia Roh Kudus bisa berdoa! Itu akan sangat sensasional dan spektakular dan hanya dalam kasus-kasus khusus Allah sungguh-sungguh melakukan intervensi dahsyat: kebangkitan Kristus, pertobatan Paulus, misalnya.
Kata Santo Ignasius (LR 1), latihan rohani mirip dengan latihan jasmani yang mengenal tahapan. Jadi tak perlu orang berpikir bahwa ia tahu-tahu akan mendapat karunia Roh Kudus bisa berdoa! Itu akan sangat sensasional dan spektakular dan hanya dalam kasus-kasus khusus Allah sungguh-sungguh melakukan intervensi dahsyat: kebangkitan Kristus, pertobatan Paulus, misalnya.
Doa pun memerlukan disiplin yang menjadi syarat jika orang sungguh ingin berdoa, bukan sekadar tampak berdoa. Yesus sendiri bahkan berlatih berdoa selama 40 hari 40 malam untuk sungguh fokus pada karya misinya (mosok ya tega-teganya orang mengklaim mampu berdoa dengan jilatan api Roh Kudus padahal memahami dirinya saja tidak mau atau tidak bisa; semuanya mau dilemparkan kepada tanggung jawab Roh Kudus!). Setelah latihan, ia tak lagi mengambil banyak waktu khusus untuk berdoa. Bayangkan, cuma tiga tahun mosok iya mau latihan doa dua tahun dan setahun untuk kerja. Yang benar saja…
Dengan kata “latihan” juga dimaksudkan suatu praktik konkret. Pembaca bisa melihat aneka teori atau bahkan sedikit teologi doa, tetapi teori doa itu, sebagus apapun, tak ada tajinya tanpa praktik. Bahkan pembaca juga bisa membaca seluruh materi doa di sini dalam hitungan menit, tetapi itu tidak membuatnya berdoa. Ini bukan latihan pikiran, konsentrasi, intelektual, atau apa pun namanya. Ini adalah praktik hati yang berdoa.
Ada buku pengantar latihan doa yang sederhana meskipun perlu tuntunan orang lain juga, yaitu Sadhana. Meskipun tidak bersifat mutlak, latihan seperti itu sangat membantu, kalau bukan menjadi syarat, untuk melakukan latihan doa tingkat lanjut.
Apa yang dilatihkan?
Yang dilatihkan di situ ialah kesadaran. Orang diajak melatih kesadarannya akan kehadiran Allah melalui sensasi-sensasi inderawinya: suara, mata batin, keadaan tubuh, dan sebagainya.
Apa tujuannya melatih kesadaran?
Supaya pendoa lama kelamaan semakin mudah fokus pada pokok doanya sendiri. Sekurang-kurangnya, jika orang mengalami distraksi dalam berdoa, ia bisa kembali fokus pada pokok doanya tanpa terus-menerus dibebani oleh kesulitan berkonsentrasi. Oleh karena itu, latihan kesadaran ini menjadi pondasi doa. Bahkan jika dalam latihan ini ada meditasi pengosongan pikiran, tujuannya bukan untuk pengosongan pikiran sendiri, melainkan untuk membuka ruang bagi masuknya Sabda Allah.
Oleh karena itu, doa atau meditasi yang dimaksudkan di sini sama sekali bukan doa atau meditasi tanpa objek untuk pengosongan pikiran belaka. Latihan doa di sini justru merupakan latihan untuk menemukan relasi antara dimensi transendental dan keseharian hidup manusia. Doa di sini sama sekali bukan metode atau teknik untuk menciptakan ketenangan atau kedamaian batin, melainkan suatu penghayatan untuk menanggapi keprihatinan hidup sehari-hari dalam ketenangan batin.
Bagaimana langkah-langkahnya?
Ada tiga tahap yang diperlukan supaya doa sungguh menghasilkan buah:
1. Persiapan Doa (5-15 menit): memilih, menyiapkan bahan doa (kutipan-kutipan Kitab Suci), menentukan waktu dan tempat doa yang kondusif (tak perlulah melakukan latihan doa seperti ini di tempat publik, lebih baik menuruti tafsir literal Injil Matius 6:6). Pada saat ini orang sudah punya gambaran mengenai rahmat apa yang dimohon kepada Tuhan supaya Tuhan berkenan menganugerahkannya.
2. Doanya sendiri (20-60 menit): (1) mengambil posisi yang paling kondusif untuk berdoa, (2) memejamkan mata, membayangkan dalam mata batin setting yang digambarkan dalam teks bahan doa (misalnya kotbah di bukit: bayangkan bukit, rasakan terik matahari, hembusan angin, orang-orang yang berkumpul, dll), (3) doa persiapan (memohon rahmat – diandaikan cocok dengan bahan doa; kalau ambil bahan doa teks mengenai kebangkitan ya gak lucu dong mohon rahmat kesedihan; serius sedikitlah kalau berdoa, mohon rahmat kegembiraan atau kekuatan, atau keteguhan hati jika teks yang dipakai berkenaan dengan peristiwa mulia seperti itu), (4) merenungkan pokok-pokok bahan meditasi, mengkontemplasikan pokok-pokok doa kontemplatif, (5) melakukan wawancara batin dengan Kristus yang bergantung di salib atau Bunda Maria (sesuai bahan doanya), kemudian (6) tutup dengan doa Bapa Kami atau Jiwa Kristus atau Salam Maria.
3. Refleksi (5-15 menit): mencatat poin-poin penting dalam proses doa, yaitu (1) perasaan-perasaan sebelum doa, pada saat doa, dan setelah selesai doa, (2) insight yang diperoleh dari meditasi atau kontemplasi (baik yang bersifat informatif intelektual maupun spiritual), (3) niat atau dorongan-dorongan yang muncul setelah doa. Tutup dengan mengucap syukur atas proses doa yang telah dilalui.
Ada gunanya pada saat wawancara di akhir doa orang menghadirkan diri dalam mata batinnya di hadapan Yesus yang tersalib sambil bertanya pada diri sendiri: apa yang sudah kulakukan untuk Kristus, apa yang sedang kulakukan untuk Dia, dan apa yang akan kulakukan bagi-Nya.
Proses latihan doa yang dilakukan secara tekun niscaya menjembatani doa orang dan hidup kesehariannya karena dalam doa itu termaktub juga dimensi batiniah orang yang setelah doa menuntut pelaksanaan (misalnya niat dan tekad kuat yang muncul dalam doa, insight intelektual yang mungkin memperkokoh motivasi dan menemukan jalan kreatif untuk menghadapi problem konkret, perasaan positif yang bisa jadi menyokong keberanian orang untuk menentukan pilihan dan bertindak, dan sebagainya).
Doa yang dilatihkan di sini jelas bukan doa romantis, tetapi juga bukan doa yang intelektual semata, melainkan doa dengan hati. Kata orang bijak dalam bahasa Inggris: the goal of prayer is not to have God answer according to our desires, but for our hearts to be set to receive based on His desires...
Contoh “berdoa dengan hati” dong!
Lha silakan klik saja latihan-latihan di bawah ini. (Materi disadur dari buku Ramon Maria Luza Bautista SJ, Wood for the Fire, dengan tiga bagian besar: pengenalan diri, panggilan Kristus dan pencarian kehendak Allah).
· Diriku apa adanya di hadapan Allah
· Mendengarkan Tuhan
· Masuk dalam doa
· Meninjau hariku
· Pemeriksaan kesadaran harianku
· Melihat berkat-berkat yang kuterima
· Penerimaan diri
· Nilai utama, tujuan dan hasrat terdalam
· Cinta Tuhan yang tak bersyarat
· Hiburan dari kisah hidupku
· Berdoa dengan pengalaman masa kecil
· Dosa-dosa ‘kesukaan’ku
· Kedosaan manusia
· Dosa sosial
· Penyembuhan dan pengampunan
· Sentuhan lembut Allah yang menyembuhkan
· Mengucapkan selamat jalan pada yang sudah meninggal
· Mengampuni mereka yang telah menyakitiku
· Memulai lagi
· Menerima kenyataan pahit dalam hidup yang tak bisa kuubah
· Kesepian atau depresi
· Hidup pribadiyang penuh berkat
· Hidup berkeluarga
· Hidup religius dan kaul-kaulnya
· Perjalanan rohani
· Kematangan rohani
· Kebebasan rohani
· Masa kecil hidup rohani
· Konsolasi
· Desolasi
· Menamai Allahku
· Kelahiran Tuhan kita
· Kehidupannya yang tersembunyi
· Pembaptisan di Sungai Yordan
· Pencobaan di padang gurun
· Awal pelayanan publik Tuhan kita
· Panggilan murid-murid pertama
· Pengajaran dengan perumpamaan
· Kotbah di bukit
· Penyembuhan dan pengampunan Yesus
· Transfigurasi
· Pemecahan roti
· Masuk ke Yerusalem
· Penetapan Ekaristi
· Penetapan imamat
· Pengkhianatan dan sengsara di Taman Zaitun
· Sidang di hadapan Sanhedrin dan Pilatus
· Jalan salib dan penyaliban
· Kematian di salib dan pemakaman
· Perempuan-perempuan di makam
· Pesan dan kisah Emmaus
· Penampakan kepada para murid
· Kenaikan ke surga dan Pentakosta
Mencari, menemukan dan melakukan kehendak Allah
· Berbahagialah mereka yang miskin dalam roh
· Berbahagialah mereka yang berduka
· Berbahagialah mereka yang lemah lembut
· Berbahagialah mereka yang lapar dan haus akan kebenaran
· Berbahagialah mereka yang murah hati
· Berbahagialah mereka yang murni hatinya
· Berbahagialah mereka yang membawa damai
· Berbahagialah mereka yang dianiaya karena kebenaran
· Syarat-syarat hati yang bijak menimbang
· Melihat ke luar
· Melihat ke dalam
· Pilihan aktual
Pembedaan Roh
“God turns you from one feeling to another and teaches by means of opposites so that you will have two wings to fly, not one” (The Essential Rumi)
Discernment of spirits atau pembedaan roh merupakan sebuah tafsir terhadap sesuatu yang disebut oleh St. Ignatius Loyola sebagai gerakan-gerakan jiwa, yang memuat pikiran, imajinasi, emosi, kecenderungan, hasrat, perasaan, ketertarikan atau keengganan. Pembedaan roh melibatkan kepekaan orang terhadap gerakan-gerakan itu, merefleksikannya, memahami dari mana datangnya dan menuntun orang ke mana.
Oleh karena itu, roh yang dimaksud di sini jelas bukan roh-roh sebagaimana kita dengar dari para ‘mistikus’ atau mereka yang konon memiliki indera keenam untuk melihat roh-roh yang gentayangan. Roh dalam discernment di sini adalah aneka gerakan jiwa atau gerakan afektif yang disebutkan tadi. Maka dari itu, pembedaan roh ini juga bisa menjadi kerangka untuk memahami bagaimana Yesus misalnya, dituntun Roh untuk dicobai di padang gurun yang kisahnya dibacakan pada hari Minggu Prapaska I kemarin.
Pada kenyataannya, apa yang dialami Yesus tersebut terjadi juga dalam diri orang-orang lain. Gerakan jiwa bisa menimbulkan pertentangan dalam diri seseorang, yang berakibat pada kebimbangan hati, keraguan, kegalauan, kekhawatiran, ketakutan atau bahkan kehilangan gairah hidup, atau sebaliknya, gairah hidup yang menyala-nyala dan cinta yang meluap-luap. Oleh karena itu, gampangnya, ada dua roh yang perlu dibedakan orang: roh yang menuntun orang pada hilangnya gairah hidup (roh jahat) dan roh yang menuntun orang pada cinta yang berkobar-kobar (roh baik).
Akan tetapi, pergumulan dalam diri seseorang tentu tidak bisa direduksi semata-mata sebagai pergumulan antara roh baik dan roh jahat begitu saja, seolah-olah diri kita itu cuma jadi medan pertempuran atau lapangan sepak bola yang ditempati tim sepak bola jahat melawan tim sepak bola baik. Keadaan diri kita pun (watak, kebiasaan, karakter) ikut berperan dalam pergumulan itu, entah sebagai makanan empuk roh jahat, entah sebagai senjata ampuh untuk roh baik.
Jadi, ada tiga kekuatan dasar yang mempengaruhi pergumulan orang: roh baik, roh jahat, dan karakter orang itu. Meskipun roh jahat itu lihai setengah mati, kalau karakter kita misalnya sabar dan tekun, tentulah roh baik lebih terbantu. Kalau kita kurang kepercayaan diri, minder, misalnya, kita akan lebih cenderung memihak roh jahat yang berupaya membuat hidup kita stagnan, tidak berkembang sebagai pribadi.
Ignatius menyodorkan dua kata kunci yang sungguh harus dipahami kalau orang ingin membedakan roh itu: konsolasi dan desolasi. Kata kunci teknis itu berguna untuk mengukur apakah orang sedang mengambil pilihan yang benar atau tepat, atau tidak.
Selain itu, Ignatius juga mengelompokkan pedoman pembedaan rohnya dalam dua tahap. Tahap pertama adalah tahap yang lebih sederhana daripada tahap kedua, tetapi toh membutuhkan ketelitian dan latihan juga. Di samping itu, Ignatius juga menyampaikan refleksinya mengenai sifat-sifat godaan dan pegangan untuk membuat suatu pilihan yang berguna bagi hidup seseorang.
Pemeriksaan Batin
Bagi kebanyakan orang, hidup ini spontan: ngalir ajalah seturut apa yang nanti muncul. Kalo aliran ini tersendat atau berhenti, hidup itu dianggap gagal, gak membahagiakan. Tak mengherankan, pemeriksaan batin yang dikenal sebagai examen (pemeriksaan) conscientiae (baca: konsiènsié, kira-kira berarti batin) dimengerti sebagai hidup selangkah lebih mundur, gak lagi spontan mengalir. Orang seperti ini gak setuju dengan klaim Sokrates bahwa hidup yang tak teruji tak layak dihidupi. Menurutnya, Roh itu spontan, maka apapun yang mengganggu spontanitas bukanlah Roh.
Akan tetapi, ia mungkin lupa bahwa spontanitas itu bisa baik tapi juga bisa buruk. Ada orang yang sangat cakap melontarkan komentar yang asik banget dan mungkin bisa jadi pusat perhatian, tetapi belum tentu komentarnya kondusif bagi hidup bersama. Bagi yang sungguh mau mencintai Tuhan, problemnya bukan soal spontan atau tidak, tapi gimana perasaan dan ungkapan spontan itu digerakkan oleh roh baik dan mengarah pada kebaikan yang dikehendaki Tuhan. Lha ini butuh latihan, gak ujug-ujug terampil, dan examen punya peran kunci dalam latihan itu.
Catatan2 Kecil Tapi Penting
· Examen yang dimaksud di sini bukan examen of conscience (baca: konsyens, bukan konsaiens), melainkan examen of consciousness. Yang pertama itu adalah observasi terhadap suara hati, soal baik-buruk moral. Misalnya, salah gak ya aku tadi gak ngasih duit ke pengemis. Yang kedua adalah pemeriksaan kesadaran. Ini lebih terkait dengan gerakan batin: tadi aku lihat pengemis rada meragukan, kepikiran mau ambil receh di laci dashboard, tapi kok klakson tet tot tet tot dan ada suara ambulans di belakang.
· Seperti pengakuan dosa, examen bukan cara penyempurnaan diri individual. Ini adalah soal penghayatan iman yang makin sensitif terhadap cara Roh yang khas dan unik untuk mendekati dan memanggil seseorang. Maka, examen tidak bisa dibuat dengan anggapan diri sebagai manusia seperti manusia pada umumnya. Orang perlu tahu dulu peran atau identitas panggilannya yang khas dan unik: sebagai mahasiswa kristen fakultas tertentu, sebagai perwira militer kristiani, sebagai menteri kristiani, guru kristen, ibu rumah tangga keluarga kristiani, suster tarekat tertentu, imam paroki, pekerja LSM, bupati kristiani, ketua RT kristiani, dan sebagainya. Kalau tidak spesifik seperti ini, examen tidak banyak membantu.
· Examen juga merupakan doa, bukan sekadar refleksi, evaluasi yang berpusat pada diri sendiri (apalagi assessment untuk pengembangan kepribadian: aku masih perfeksionis, takut gagal, kurang PD melakukan pekerjaan berisiko tinggi. Untuk melakukan pengamatan seperti itu tentu tak perlu berdoa). Akan tetapi, tanpa refleksi atau evaluasi diri seperti itu, examen juga jadi superfisial, terlalu umum: pasrah kepada kebaikan Tuhan tetapi tidak persis melihat kebaikan Tuhan macam apa yang dialami seseorang. Pemeriksaan batin seharusnya dilihat dalam hubungannya dengan pembedaan roh sehari-hari.
· Modal examen yang terpenting adalah hati penuh hikmat kebijaksanaan (dalam permusyawaratan perwakilan: ini untuk mereka yang jadi wakil rakyat, seharusnya), yang punya visi untuk menimbang perkara (1Raj 3,9-12). Tentu pada akhirnya examen tidak dimaksudkan sebagai langkah dua kali 5-15 menit dalam sehari, melainkan langkah setiap saat. Maka hati penuh hikmat untuk menimbang perkara ini mesti dimohon terus dari Allah. Pemeriksaan batin akhirnya tidak bisa hanya dibatasi dalam periode tertentu karena berkenaan dengan kesadaran orang. Untuk pemula memang dibutuhkan latihan dalam kurun waktu atau periode tertentu, tetapi lama-kelamaan examen itu semestinya berlangsung pada setiap momen.
Untuk pemula selalu ada waktu khusus yang perlu disisihkan dan mengambil ruang yang memungkinkan dirinya bisa melakukan pemeriksaan batin. Ia bisa duduk memejamkan mata, tapi bisa juga berbaring dengan memfokuskan pandangan pada titik tertentu, bisa juga bersandar pada dinding atau posisi apapun yang membuat ia bisa tenang melakukan observasi.
Langkah Pemeriksaan Batin
1. Doa mohon pencerahan dulu. Examen bukan cuma soal kemampuan daya ingat dan analisis terhadap apa yang terjadi pada hari tertentu. Ini adalah soal pencerahan yang dibimbing oleh Roh Kudus untuk masuk ke dalam hidup seseorang dan menjadi sensitif terhadap panggilan Allah dalam batin orang. Orang diajak masuk ke dalam misteri dirinya sebagai ciptaan Allah.
2. Ucapan syukur. Semua orang di hadapan Penciptanya tidak memiliki apa-apa, tapi toh tetap diberi karunia, seberapapun besarnya. Orang yang sungguh merasa diri sebagai makhluk ciptaan akan bisa mengapresiasi karunia terkecil sekalipun dan mensyukurinya. Pelan-pelan Tuhan akan membimbing orang untuk memahami bahwa semua yang diterimanya adalah karunia yang pantas disyukuri.
3. Observasi praktis terhadap kegiatan. Ini bukan pengamatan terhadap apa yang baik dan buruk yang terjadi pada saat yang berlalu. Pertanyaan pokoknya ialah: apa yang terjadi pada diriku, bagaimana Tuhan bekerja dalam diriku, apa yang diminta dariku? Memang wajar kalau orang melihat juga tindakan atau reaksi-reaksinya hari itu, tetapi itu bukan hal utama. Di sini orang mesti sensitif terhadap perasaan batinnya, mood, dorongan-dorongan dalam dirinya tanpa takut menghadapinya. Mood, perasaan, dorongan, gerakan dalam batin adalah ‘roh’ yang justru perlu ditimbang-timbang sehingga orang bisa mengenali panggilan Tuhan pada pusat kesadarannya.
4. Penyesalan dan kesedihan. Yang disedihi dan disesali bukan pertama-tama bahwa orang merasa ‘ada sesuatu yang kurang’ secara moral (gak ke gereja hari Minggu, atau kurang sopan terhadap orang lain), melainkan bahwa orang kurang tulus dan rendah hati serta kurang keberanian untuk menanggapi panggilan Tuhan. Jadi, ini bukan suatu depresi atau rasa malu akan kelemahan orang. Ini merupakan suatu pengalaman iman akan Allah yang cintanya begitu berkobar-kobar yang senantiasa ingin mendekati ciptaan-Nya. Lama kelamaan penyesalan dan kesedihan itu mengalir secara alamiah setelah langkah ketiga bahkan meskipun observasi belum selesai.
5. Niat penuh harapan untuk ke depannya. Dalam terang pembedaan roh atas hal yang baru saja terjadi, orang perlu menjawab bagaimana ia menatap waktu ke depannya: keberanian menguap, takut, cemas, putus asa? Jika itu yang terjadi, orang mesti meneliti lebih jauh mengapa begitu dan berusaha menafsirkan suasananya. Orang perlu tulus mengakui perasaannya akan waktu ke depan dan tidak menekannya dengan harapan perasaan itu akan hilang dengan sendirinya. Sewajarnya muncul hasrat bernyala untuk menghadapi masa depan dengan visi yang sudah diperbarui dan dengan sensitivitas yang sudah dimohon supaya orang bisa menanggapi panggilan Allah dengan lebih beriman, rendah hati, dan jiwa besar.
Kemenangan Krisis
Bahkan Nabi Elia yang mempertobatkan Ahab dan mengalahkan dewa Baal serta mengembalikan hujan di musim paceklik mengalami krisis, Saudara-saudara. Bukan krisis sinyal seperti saya, krisis moneter atau krisis cinta, melainkan krisis apa saya juga gak tau namanya. Karunia dari Allah dan tugas terkait yang diterimanya tak membuatnya bangga, malah membuatnya takut. Ancaman Izebel, istri Ahab, terdengar mengerikan bagi telinganya. Di hadapan banyak orang ia begitu kokoh tetapi dalam kesendiriannya ia collapse dan escape. Ia merasa miskin kemanusiaan: “Aku tak lebih baik dari para pendahuluku.”
Meskipun demikian, excapenya tetap diiringi kehadiran Tuhan juga sih. Ia, representasi manusia pada umumnya, tak tahu penyertaan Tuhan itu, tetapi Tuhan tak kehilangan pandangannya terhadap manusia. Kata-kata-Nya memberi penghiburan dan mengarahkannya pada lokasi perjumpaan dan perwahyuan-Nya. Elia belajar menangkap kehadiran Tuhan dalam peristiwa yang begitu lembut, the subtle breeze (apa sih terjemahannya?).
Pope Francis dalam khotbahnya dua tahun lalu merefleksikan tiga hal dari misi Nabi Elia. Pertama, untuk menemukan Tuhan, orang perlu keluar dari dirinya sendiri, menceburkan diri dalam perjalanan, peziarahan hidup, gerakan; bukan ngendon dalam kenyamanan. Kedua, ia perlu memupuk keberanian untuk secara sabar menantikan bisikan dari keheningan, saat Dia bicara dalam hati dan berjumpa dengan manusia. Ketiga adalah misinya sendiri: undangan untuk kembali pada langkah orang untuk maju, membawa pesan kehidupan kepada orang lainnya.
Begitu juga kiranya hari kemenangan bagi saudara-saudari Muslim mengandaikan tiga hal tadi. Ibadah puasa tidak mungkin dihayati tanpa kesadaran akan suatu peziarahan hidup. Tanpa kesadaran itu, puasa berhenti sebagai ritual wajib belaka dan puasa hanya soal menahan lapar dan haus atau diet. Dalam kesadaran itu, peristiwa hidup selama masa puasa bisa jadi medium bisikan Allah sendiri terhadap manusia. Orang yang menghidupi puasanya akan dibimbing untuk semakin mengenali kecenderungan-kecenderungan batinnya dan bagaimana konsekuensi sinkronisasi bisikan Allah dalam hidupnya. Akhirnya, modal itulah yang pada gilirannya dipakai untuk memberi kesaksian kepada sesama mengenai bagaimana Allah yang mahabesar itu menuntun hidup orang yang berbakti kepada-Nya sampai pada kesudahannya atau sekurang-kurangnya sampai pada hari kemenangan.
Selamat berhari raya, mohon maaf lahir dan batin. Semoga kerahiman Allah senantiasa hidup dalam darah-daging kita sekalian. Amin.
DOA LITURGI DEVOSI
Dalam dunia yang sedemikian konsumtif dan materialistik, doa bukanlah sesuatu yang relevan, bukan karena doanya sendiri tidak relevan, melainkan karena kultur konsumtif dan materialistik itu tidak memberi ruang pada dimensi hidup yang dianggap tak berdampak pada dunia material.
Orang yang berdoa, entah sadar atau tidak, memahami bahwa dunia ini tidak bersifat satu dimensi belaka. Ada dimensi lain yang menyertai dunia material dan ada instansi lain, yang mengatasi dirinya, yang juga terhubung dengan dunia material itu.
Orang yang sungguh berdoa menyediakan momen kerendahan hatinya untuk berelasi dengan Instansi yang tidak satu level dengannya. Orang menyebutnya Tuhan dan doa menjadi momen istimewa supaya orang bergerak mendekat pada sosok Allah yang hadir dalam hidupnya, dalam hatinya.
Kerasulan Doa
Allah, Bapa kami, kepada-Mu kupersembahkan hari ini.
Kuhunjukkan semua doa, pikiran, perkataan, tindakan maupun suka dukaku hari ini dalam kesatuan dengan Putera-Mu Yesus Kristus, yang senantiasa mempersembahkan Diri-Nya dalam Ekaristi bagi keselamatan dunia. Kiranya Roh Kudus, yang menjiwai Yesus, juga menjadi pembimbing dan kekuatanku hari ini sehingga aku siap sedia menjadi saksi kasih-Mu.
Bersama Santa Maria, Bunda Yesus dan Gereja, secara khusus aku berdoa bagi ujud-ujud Bapa suci dan para rasul doa Gereja Indonesia untuk bulan [Juni] ini:
Ujud Umum/Evangelisasi: Jaringan Sosial
Semoga jaringan-jaringan sosial dapat berfungsi dan bekerja efektif dalam membangun kehidupan inklusif, di mana orang bisa menghormati dan menerima perbedaan yang ada di dalamnya.
Semoga jaringan-jaringan sosial dapat berfungsi dan bekerja efektif dalam membangun kehidupan inklusif, di mana orang bisa menghormati dan menerima perbedaan yang ada di dalamnya.
Ujud Gereja Indonesia: Umat Katolik terlibat aktif
Semoga umat Katolik di tingkat lingkungan berani keluar dari ketertutupannya dan terlibat aktif dalam usaha membangun kehidupan bersama berdasarkan Pancasila.
Semoga umat Katolik di tingkat lingkungan berani keluar dari ketertutupannya dan terlibat aktif dalam usaha membangun kehidupan bersama berdasarkan Pancasila.
KETERANGAN2
Ngaku Dosa… Apa Gunanya
Konsolasi (Hiburan Rohani)
Yang kumaksud hiburan ialah:
1. Keadaan ketika dalam jiwa timbul suatu gerak batin, yang membuat jiwa jadi berkobar dalam cinta kepada Pencipta dan Tuhannya sampai-sampai jiwa itu tak bisa mencintai suatu ciptaan apapun di seluruh bumi ini melulu demi bendanya itu sendiri. Jiwa itu mencintai ciptaan di bumi demi cintanya kepada Tuhan.
2. Bila orang mencucurkan air mata yang mendorong ke arah cinta kepada Tuhan yang disebabkan oleh kesedihannya atas dosa-dosanya sendiri, oleh sengsara Kristus atau lain perkara yang langsung terarah kepada pengabdian serta pujian bagi-Nya.
3. Semua tambahnya harapan, iman, dan cinta.
4. Kegembiraan batin yang mengajak dan menarik perhatian orang pada perkara2 surgawi serta keselamatan jiwanya sendiri dengan membuat tenang-tentram dalam Pencipta dan Tuhannya.
(Latihan Rohani St. Ignatius 316)
Konsolasi atau hiburan rohani ini bukan rasa gembira atau senang belaka. Orang yang gembira atau ceria belum tentu sedang mengalami konsolasi. Bahkan, orang yang sedang konsolasi bisa saja justru diliputi perasaan sedih. Contoh: orang yang kehilangan sahabat, kehilangan orang yang paling dicintainya, ditinggal mati oleh suami/istri; tentu saja orang ini sedih. Akan tetapi, mana kali dalam peristiwa kematian orang tercintanya itu hatinya semakin pasrah, terpaut kepada Allah, menyerahkan hidup selanjutnya kepada penyelenggaraan Allah, ia justru sedang mengalami hiburan rohani, konsolasi.
Konsolasi rupanya juga bukan pertama-tama hasil usaha manusia, melainkan rahmat Allah sendiri yang memungkinkan orang berkeyakinan bahwa Tuhan itu bernilai dan mencintainya; orang krasan dalam doa, tetapi juga mantap dalam berkarya karena sadar bahwa Allah berkarya juga melalui dirinya.
Ignatius memiliki nasihat kepada mereka yang sedang mengalami konsolasi: tetap rendah hati untuk memikirkan bagaimana jika kesepian rohani muncul, dan juga penting bahwa orang tidak menjadikan konsolasi sebagai tujuan, karena tujuan tetaplah keintiman relasi manusia dengan Allah sendiri. Konsolasi hanyalah sarana.
Konsolasi (Hiburan Rohani)
Yang kumaksud hiburan ialah:
1. Keadaan ketika dalam jiwa timbul suatu gerak batin, yang membuat jiwa jadi berkobar dalam cinta kepada Pencipta dan Tuhannya sampai-sampai jiwa itu tak bisa mencintai suatu ciptaan apapun di seluruh bumi ini melulu demi bendanya itu sendiri. Jiwa itu mencintai ciptaan di bumi demi cintanya kepada Tuhan.
2. Bila orang mencucurkan air mata yang mendorong ke arah cinta kepada Tuhan yang disebabkan oleh kesedihannya atas dosa-dosanya sendiri, oleh sengsara Kristus atau lain perkara yang langsung terarah kepada pengabdian serta pujian bagi-Nya.
3. Semua tambahnya harapan, iman, dan cinta.
4. Kegembiraan batin yang mengajak dan menarik perhatian orang pada perkara2 surgawi serta keselamatan jiwanya sendiri dengan membuat tenang-tentram dalam Pencipta dan Tuhannya.
(Latihan Rohani St. Ignatius 316)
Konsolasi atau hiburan rohani ini bukan rasa gembira atau senang belaka. Orang yang gembira atau ceria belum tentu sedang mengalami konsolasi. Bahkan, orang yang sedang konsolasi bisa saja justru diliputi perasaan sedih. Contoh: orang yang kehilangan sahabat, kehilangan orang yang paling dicintainya, ditinggal mati oleh suami/istri; tentu saja orang ini sedih. Akan tetapi, mana kali dalam peristiwa kematian orang tercintanya itu hatinya semakin pasrah, terpaut kepada Allah, menyerahkan hidup selanjutnya kepada penyelenggaraan Allah, ia justru sedang mengalami hiburan rohani, konsolasi.
Konsolasi rupanya juga bukan pertama-tama hasil usaha manusia, melainkan rahmat Allah sendiri yang memungkinkan orang berkeyakinan bahwa Tuhan itu bernilai dan mencintainya; orang krasan dalam doa, tetapi juga mantap dalam berkarya karena sadar bahwa Allah berkarya juga melalui dirinya.
Ignatius memiliki nasihat kepada mereka yang sedang mengalami konsolasi: tetap rendah hati untuk memikirkan bagaimana jika kesepian rohani muncul, dan juga penting bahwa orang tidak menjadikan konsolasi sebagai tujuan, karena tujuan tetaplah keintiman relasi manusia dengan Allah sendiri. Konsolasi hanyalah sarana.
Desolasi (Kesepian Rohani)
Sebagaimana konsolasi, desolasi bukanlah sekadar perasaan sedih atau kesepian. Orang bisa saja tampak ceria gembira tetapi sebenarnya sedang mengalami kegalauan, kesepian luar biasa: joged2 clubbing dan pikirannya gelisah, tertawa tetapi hatinya menangis karena penuh ketakutan dan kekhawatiran. Berikut kutipan dari teks Latihan Rohani:
Yang kunamakan kesepian ialah semua kebalikan dari hiburan rohani. Misalnya, kegelapan jiwa, kekacauan batin, dan gerak hati ke arah yang serba hina dan duniawi, bingung menghadapi berbagai bujuk dan godaan yang menyeret orang ke arah hilangnya kepercayaan, tanpa harapan, tanpa cinta; jiw ada dalam keadaan lesu, kendor, sedih, seakan2 terpisah dari Pencipta dan Tuhannya. Karena, seperti halnya hiburan adalah kebalikan kesepian, begitu pula gagasan-gagasan yang keluar dari hiburan juga kebalikan dari gagasan-gagasan yang keluar dari kesepian.
Pada waktu kesepian seperti ini, jangan sekali-kali membuat perubahan, tetapi teguh dan tetap dalam niat dan keputusan yang dipegang pada hari sebelum kesepian, atau dalam keputusan yang dipegang teguh selama hiburan sebelumnya. Karena, jika dalam hiburan terutama roh baik yang memimpin dan memberi pentunjuk kepada kita, dalam kesepian terutama roh buruk yang membimbing kita. Mustahillah kita dengan petunjuk-petunjuknya dapat menemukan jalan ke arah keputusan yang benar.
(Latihan Rohani Santo Ignasius 317-318)
Memang dalam kesepian kita tak boleh mengubah niat-niat semula, tetapi besarlah faedahnya jika kita dengan keras mengubah diri dalam menghadapi kesepian itu misalnya dengan lebih tekun dalam doa, meditasi, lebih keras memeriksa diri dan menambah ukuran laku tapa yang sesuai (LR 319). Misalnya seorang yang sudah baptis dewasa beberapa tahun kehilangan gairah hidup dan mulai ragu-ragu dengan sistem kepercayaan Katolik, dalam kelesuan rohani ini ia tak boleh memutuskan pindah agama, tetapi bisa saja mempersering hadir dalam perayaan Ekaristi atau doa devotif; semula hanya setiap minggu dan hari raya, dalam kelesuan rohani menambah frekuensinya jadi dua kali seminggu.
Mengapa orang bisa mengalami kesepian rohani? Ada tiga alasan yang disodorkan Ignatius:
1. Karena kesalahan orang itu sendiri: malas, terlalu longgar dalam latihan rohani. Kalau untuk apa saja orang malas, energinya tak berkobar-kobar dan tidak memicu apa-apa.
2. Karena Tuhan mau mencobai orang sejauh mana imannya bertahan jika tidak mengalami konsolasi, atau jangan-jangan imannya pun bersyarat. Contoh kisah Ayub dalam Perjanjian Lama.
3. Karena orang butuh sarana juga untuk memahami bahwa hiburan rohani bukan aneka disiplin teknis usaha manusiawi. Secara manusiawi, orang akan merasa lega kalau ia sudah menjalankan tugas atau pedoman doa secara disiplin; tetapi kelegaan itu tidak otomatis berarti konsolasi.
Keputusan fundamental hendaknya tidak diambil pada saat orang mengalami desolasi. Masuk akal: kalau orang desolasi, pembimbingnya kan roh jahat. Lha kalau dalam situasi desolasi orang mengubah keputusan, berarti pengubahan keputusan itu datangnya dari bimbingan roh jahat, bukan?
Pedoman Pertama
Pedoman ini diambil dari Latihan Rohani St. Ignatius Loyola, 314-327.
Pedoman ini cocok untuk orang dalam tahap awal perkembangan hidup rohani: yaitu mereka yang sedang bertobat, yang mulai sadar akan pencarian makna hidupnya mesti diletakkan dalam kerangka relasi intim dengan Tuhan, yang mulai tertarik untuk mengembangkan integritas hidupnya. Pedoman ini sangat sederhana karena gerakan roh baik dan roh jahat juga sederhana dan cukup jelas.
Pedoman ini baru berfungsi kalau orang yang menggunakannya sungguh mengenal keadaan dirinya dan jujur dengan keadaan dirinya: apakah ia sedang dalam tren mendekat kepada Tuhan (sekurang-kurangnya memiliki keinginan, ketertarikan untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya) atau mulai menjauh dari Tuhan (misalnya mulai kehilangan kepercayaan akan eksistensi Tuhan karena semakin sulit menerima sesuatu yang tak terlihat mata). Pada dua tren itu, tentu saja kinerja roh baik dan roh jahat berbeda.
Pedoman Kedua
Pedoman kedua ini cocok bagi orang yang sudah maju dalam hidup rohaninya. Pedoman ini membantu orang untuk lebih peka membedakan gerakan roh yang tidak semakin mudah sehingga tidak terkecoh oleh tipu daya roh jahat. Bisa terjadi orang-orang baik melakukan kesalahan bukan karena pada dasarnya mereka jahat, melainkan karena minimnya pengetahuan untuk melihat kinerja roh jahat yang pada akhirnya memang menyeret orang pada kesesatan.
Misalnya seseorang yang sangat devotif kepada Bunda Maria pada suatu ketika diajak kawannya ikut kegiatan doa yang diselenggarakan oleh seseorang yang katanya mendapat penampakan Bunda Maria. Ia begitu gembira dengan kabar itu dan mengikuti segala acara yang dibuat oleh ‘penerima penampakan’ Bunda Maria itu. Ia tidak tahu bahwa penampakan Bunda Maria tidak begitu saja diakui Gereja dan ia semakin lama semakin aktif dalam kegiatan, bahkan juga untuk ikut mengeluarkan dana untuk mempropagandakan kegiatan, sampai bahkan ketika terbukti ajaran yang diikutinya sesat, ia tidak bisa lagi melihat kesesatannya; malah semakin menjadi-jadi mengkritik sana-sini.
Pedoman kedua ini dapat diuraikan dalam beberapa pokok:
· Mengenai ciri roh baik dan roh jahat pada jiwa orang yang hidup rohaninya maju
Roh baik memberi kegembiraan sejati dengan menyingkirkan kegalauan yang ditimbulkan lawan. Roh jahat selalu berupaya melawan kegembiraan itu dengan menyodorkan pikiran atau gagasan sesat dan tipuan licik. Pokoknya roh jahat punya target menjatuhkan orang supaya tidak maju dalam olah rohaninya. Misalnya orang yang punya kebiasaan baik menyempatkan diri sebentar ke gereja pada jeda jam kerjanya mulai disodori pikiran “Gak efektif, gak ada pengaruhnya juga, orang lain yang gak ke gereja pun hidupnya baik, untuk apa mesti meluangkan waktu 15 menit di gereja, bisa dipakai utk hal lainnya.”
· Hiburan tanpa sebab
Ada kalanya orang yang bangun tidur diliputi rasa ringan, damai, gembira, positif terhadap hidup yang akan dijalaninya. Aktivitasnya dijalankan dengan sangat enerjik. Kebanyakan orang mungkin mengalami hal seperti ini karena ada alasan yang cukup jelas: habis menang undian, akan bertemu pacar, akan pergi berlibur melancong… Bukan kegembiraan seperti ini yang dimaksudkan di sini.
Orang yang hidup kerohaniannya maju, bisa jadi mengalami hiburan yang penyebabnya bukan apa-apa saja yang terkait dengan rencana hidupnya atau hasil usaha yang telah diperolehnya. Akan tetapi, ini memang tidak kerap terjadi, biasanya berkaitan dengan mukjizat atau penampakan atau insight rohani yang terjadi begitu saja tanpa ada upaya dari pihak manusia. Hal seperti ini hanya bisa terjadi karena roh baik, karena hanya Tuhan yang bisa mencipta dari ketiadaan. Makhluk lain tidak bisa menciptakan sesuatu dari ketiadaan, paling banter mereka membuat mukjizat semu yang hanya terkait dengan diri sendiri saja, tujuannya pun tidak baik karena mengandung ajaran sesat. Konon roh jahat bisa membuat mukjizat sejauh Tuhan membiarkannya (untuk menghukum mereka yang menolak mukjizat sejati dari Allah).
Meskipun hiburan tanpa sebab itu bisa dipastikan datangnya dari Allah, tidak berarti tidak ada godaan. Setelah hiburan tanpa sebab itu pun orang perlu hati-hati karena godaan bisa menyeret ke arah lain; setelah hiburan rohani, orang bisa ditipu melalui pikiran-pikiran dan perasaan yang bergelora untuk mengalihkan hatinya. Maka, tetaplah penting orang menggunakan rasio dan mengadakan penegasan, termasuk konsultasi dengan pembimbing rohani. Tanpa mekanisme ini, orang sungguh bisa disesatkan oleh roh jahat, betapapun ia merasa gembira.
Hiburan dengan sebab
Hiburan dengan sebab ini bisa datang dari roh baik tetapi juga bisa datang dari roh jahat. Seorang aktivis paroki yang semula hanya giat di persekutuan doa begitu gembira ketika ada frater yang memperkenalkannya dengan orang-orang miskin. Ia merasa hidup berimannya semakin komplit dengan bekerja di antara orang miskin. Ia mengerti mengapa Gereja memiliki preferential option for the poor. Ia sedemikian bersemangat melayani orang-orang miskin itu sampai-sampai waktu rohaninya terkikis. Ia tak pernah lagi berdoa karena asyik dengan pelayanan orang-orang miskin. Akhirnya malah ia sendiri jauh dari Tuhan… “Yang penting hidup baik bagi sesama, doa atau agama itu kan cuma embel-embel.” Begitulah, ujung-ujungnya ia terseret oleh maksud roh jahat.
· Roh jahat yang menyamar
Roh baik tidak menyamar, tetapi roh jahat bisa mengambil rupa roh baik untuk mencapai targetnya. Seorang pastor yang menerapkan prinsip see-judge-act bisa saja menemukan langkah pastoral yang sangat baik. Ia mengupayakan kunjungan keluarga sepanjang hari hingga larut malam demi mengenal domba-dombanya, tetapi lama kelamaan waktu untuk komunitas atau hidup doa dan persiapan kotbahnya habis untuk kunjungan itu. Ia malah bisa mengalami kekeringan rohani, dan jubahnya terasa panas sehingga perlu copot jubah dan meninggalkan imamatnya.
Refleksi pengalaman jatuh
Kadang orang benar-benar jadi seperti keledai, jatuh dalam dosa yang sama karena tidak pernah merefleksikan pengalaman jatuhnya. Untuk merefleksikannya, orang perlu melihat prosesnya dari awal sampai akhirnya orang jatuh dalam dosa: (1) awalnya, siapa yang memulai, diri sendiri atau sesuatu yang lain, apa bentuknya dan bagaimana saya menanggapinya, (2) pada saat macam apa saja godaan itu mudah masuk atau saya tanggapi, waktu sedih, kecewa, siang-malam-pagi, dll (3) pikiran macam apa yang ditawarkan, gagasan, bagaimana logikanya, apakah sifatnya menyeluruh atau cuma menonjolkan sebagian dari kenyataan, (4) bagaimana roh baik menegur saya, sentuhan macam apa yang disodorkannya.
· Ungkapan-ungkapan godaan
Semua orang berbuat begitu, mengapa aku tidak? Hidup ini cuma sekali, maka nikmati saja toh. Tak usah sok suci, jadi manusia yang biasa-biasa saja. Ikuti saja sebentar. Tak usah kecewa, tak apa-apa (berdosa itu).
Sumber: Paul Suparno, Roh Baik dan Roh Jahat.
Pemilihan dan Penegasan
Aneka pedoman pembedaan roh maupun beberapa catatan memiliki andil besar bagi suatu proses pemilihan yang diambil orang supaya ia bahagia dunia dan akhirat. Orang yang mengadakan pemilihan dan penegasan seperti ini akan memiliki kepercayaan diri yang baik akan keputusannya tanpa menjadi arogan atau sebaliknya, menjadi peragu abadi.
Sebelum seseorang membuat suatu pemilihan dan penegasan, pertama-tama jelaslah ia perlu menyadari azas dan dasar hidupnya. Kalau azas dan dasar ini tidak menjadi landasan pedomannya, mungkin lebih baik ikuti ke mana arus mengalir saja: buang ke laut, dan upahnya besar…. di neraka, hehe…
Tidak semua hal mesti ditimbang dengan prosedur discernment. Gak lucu dong mau pilih apel Malang atau apel siaga saja mesti doa rosario dulu (atau malah lucu?). Bahan pemilihan dan penegasan rohani adalah hal-hal yang lebih prinsipiil.
Hal yang dijadikan bahan pemilihan:
· Bahannya haruslah sesuatu yang baik, atau sekurang-kurangnya netral deh, gak baik tapi juga gak buruk. Kalau halnya buruk, ya gak perlu bertele-tele: gak usah dipilih. Misalnya, di pasar orang punya ide mau nyolong sesuatu, tapi dia bingung mau pilih nyolong yang bakal ketahuan atau yang pasti gak ketahuan. Jelaslah, jangan nyolong! Bahan pilihan mestilah hal yang baik dan hal yang lebih baik lagi.
· Bahan pemilihan dibedakan antara yang bisa diubah dan yang tidak bisa diubah, atau sekurang-kurangnya sulit diubah. Misalnya perkawinan atau tahbisan imam. Hal ini dalam Gereja Katolik dianggap sekurang-kurangnya sangat sulit diubah. Hal yang bisa diubah itu contohnya ialah soal jenis pekerjaan, tempat tinggal, rumah, barang tertentu. Pemilihan mengenai hal-hal ini bisa dengan mudah diulang jika ternyata tidak tepat.
· Mengenai bahan yang tak bisa diubah, jika terjadi kekeliruan dalam pemilihan, hendaklah orang tetap dalam pilihan itu sambil mengusahakan sebaik mungkin yang ia bisa. Hitung-hitung, ini adalah bentuk tanggung jawab dan silih kepada Tuhan atas kekeliruannya dalam memilih (lha iya wong yang salah dia, bukan Tuhan!)
· Mengenai bahan yang bisa diubah, jika orang keliru memilih, ia bisa mengubahnya dan melakukan proses pemilihan lagi jika dimungkinkan.
Mengenai waktu pemilihan
Menurut Ignatius ada tiga waktu pemilihan, yaitu (1) waktu ketika orang tak punya keraguan bahwa Allah menggerakkannya untuk memilih sesuatu, (2) waktu ketika orang mendapat pencerahan dan pengertian dari konsolasi dan desolasi serta pengalaman dalam pembedaan roh, dan (3) waktu tenang untuk berpikir dan berefleksi.
Addenda:
1. Waktu ini sangat jarang terjadi. Ini adalah waktu yang dialami oleh para nabi, rasul, dan para kudus. Pada waktu ini mereka tidak memiliki keraguan bahwa Allah menunjukkan sesuatu yang jelas-jelas mesti dijawab ‘ya’ oleh orang yang digerakkan-Nya. Ini melulu rahmat Allah. Mungkin bisa terjadi rahmat Allah itu diberikan melalui penampakan atau juga mimpi yang memberanikan orang untuk mengambil pilihan tegas dalam hidupnya.
2. Orang akan memilih hal yang lebih membawanya kepada Tuhan dan ini kelihatan dari konsolasi yang ia alami. Misalnya orang yang menimbang-nimbang untuk hidup selibat menjadi imam atau menikah, ia akan menjatuhkan pilihan pada hal yang sungguh memberikan konsolasi. Juga ketika orang mau menentukan satu orang dari sekian orang untuk menjadi jodohnya, ia mestilah memilih atas dasar konsolasi yang dialaminya bersama orang itu.
3. Ini adalah waktu yang pada umumnya dimiliki orang: tenang dan tanpa tergesa-gesa menimbang-nimbang bahan pemilihan. Pada waktu ini orang tak diganggu oleh macam-macam roh sehingga bisa menggunakan daya kodrati (pikiran, budi, kehendak) secara bebas. Ada dua cara yang bisa ditempuh untuk melakukan pemilihan pada waktu ketiga ini:
· Melihat, mempertimbangkan unsur pro dan kontra dari setiap hal yang dijadikan bahan pemilihan, lalu membawanya ke dalam doa. Kadang sangat penting juga membicarakannya dengan orang lain atau pembimbing rohani supaya lebih meyakinkan.
· Setelah doa di hadirat Tuhan, orang bisa (1) membayangkan orang tak dikenal datang kepada kita untuk minta nasihat tentang bahan pemilihannya. Karena dimintai nasihat, biasanya orang akan memberi nasihat yang sangat baik, demi yang lebih memuliakan Tuhan; (2) membayangkan seolah-olah dalam sakrat maut dan bertanya apa yang dipilih, pada saat ini orang cenderung memilih yang paling tepat untuk kebahagiaan hidupnya maupun kemuliaan Tuhan; (3) membayangkan diri ada dalam pengadilan terakhir, apa yang dipilih jika dihadapkan pada Tuhan yang sedang mengadilinya; (4) membayangkan apa akibat pilihan itu terhadap relasi dengan Tuhan dan sesama, mana yang lebih mendekatkan, kiranya itulah yang perlu dipilih.
Di samping unsur-unsur tersebut, orang juga perlu mengingat bahwa ada hal yang turut mempengaruhi pengambilan keputusan, seperti
1. Sifat, watak, dan pembawaan orang. Orang yang mudah bingung, takut, punya trauma juga akan sangat terpengaruh oleh kebingungan dan ketakutannya itu dalam memilih.
2. Pendidikan. Orang yang terlatih membuat pilihan sejak kecil akan lebih mudah dalam melakukan pemilihan dalam hal besar.
3. Suara hati. Jika suara hati orang jernih, baik, benar, akan sangat dimudahkan dalam proses pengambilan keputusan.
4. Perbedaan dimensi pemilihan: rohani, moral, psikologis, praktis. Mudah dalam satu dimensi bisa jadi sulit dalam dimensi lainnya.
Sumber:
Latihan Rohani St. Ignatius
Paul Suparno, Roh Baik dan Roh Jahat.
Paul Suparno, Roh Baik dan Roh Jahat.
Komentar
Posting Komentar