GEREJA DAN POLITIK
Oleh: Dr. Ola Rongan Wilhelmus
(Tulisan ini telah diseminarkan di hadapan para dosen, mahasiswa dan undangan dalam rangka perayaan pesta emas STKIP Widya Yuwana Madiun pada bulan April, 2010).
”Jikalau umat Katolik tidak ikut terlibat dalam kehidupan politik atau ikut terlibat tetapi tidak menyuarakan dan menegakan moralitas dan spiritualitas katolik maka, Gereja harus merasa diri gagal menjalankan misinya”(Cardinal 0’ Connors, 2005).
Diskusi dalam sebuah email group pada dua bulan terakhir ini banyak menyoroti persoalan seputar Gereja dan Politik. Diskusi itu hangat dan menarik karena melibatkan para imam, rohaniwan/rohaniwati dan awam. Diskusi memberi penekanan kuat kepada konsep tentang Gereja sebagai Umat Allah. Konsep ini dinilai memberi peluang sangat besar bagi keterlibatan Gereja dalam Kehidupan sosial-politik. Meskipun demikian, sejumlah awam berpendapat bahwa konsep ini akan tetap sulit diterapkan dalam kehidupan sosial-politik sehari-hari mengingat Gereja tetap melarang para imam, uskup, rohaniwan/rohaniwati terlibat dalam kegiatan sosial-politik praktis.
Diskusi mengangkat sejumlah pertanyaan penting antara lain: Apa itu Politik? Bagaimana sikap Gereja terhadap politik? Mungkinkah para uskup dan imam terlibat dalam kehidupan sosial-politik? Mengapa umat katolik perlu terlibat dalam kehidupan politik? Bagaimana keterlibatan Gereja Katolik di Indonesia dalam politik? Tulisan ini mencoba memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dan sekaligus menjadi tujuan dari tulisan ini pula.
Arti Politik
Politik secara etimologis berasal dari kata polis (Yunani) yaitu negara-kota atau pemerintahan kota. Politik secara umum diartikan sebagai seni mengatur kehidupan (kota, negara) demi mencapai kebaikan/kepentingan/kesejahteraan bersama. Kegiatan yang dilakukan manusia untuk menciptakan, mempertahankan, dan memperbaiki tata aturan dalam suatu masyarakat demi kebaikan dan kemajuan bersama (Kundalini, 2009, wikipedia, 2010).
Umat Katolik memandang politik sebagai salah satu bidang pelayanan demi perwujudan kasih Allah. Bentuk pelayanan ini mengambil wujudnya paling konkrit dalam upaya setiap umat beriman memajukan kesejahteraan umum. Kitab Suci mengatakan, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (bdk.Yeremia 29:7). Politik merupakan hak, tanggungjawab dan panggilan semua anggota Gereja (KWI: Aksi Kaum Muda. 2008).
Komitmen Terhadap Kehidupan Sosial-Politik
Sadar akan politik sebagai pelayanan serta perwujudan kasih Allah itu maka, keterlibatan umat dalam kehidupan sosial-politik terus menjadi sebuah komitmen kolektif. Lebih dari 2000 tahun umat katolik terus terlibat aktif menata kehidupan sosial-politik sesuai dengan ajaran dan semangat Injil. Peluang keterlibatan dalam dunia politik ini tentunya semakin besar dan mendesak ditengah masyarakat yang semakin demokratis. Proses demokrasi membuka peluang lebih besar bagi umat beriman untuk berpartisipasi dalam politik (CBCP, 2005; CBCP, 2002; Pope John Paul II. 1998).
Alasan mendasar yang membuat umat Katolik terus terlibat aktif dalam urusan politik terletak pada panggilan Ilahi untuk mempertegas moral politik yang benar yaitu politik demi keadilan, perdamaian, kesejahteraan dan kebaikan bersama serta penghormatan terhadap hak-hak asasi dan martabat manusia. Moral politik ini bertentangan dengan mentalitas individualistik dan etika individualisme. Etika ini mengagung-agungkan kebebasan dan pilihan hidup berdasarkan kepentingan individu semata-mata tetapi mengabaikan kepentingan dan kebaikan kolektif. Etika ini pada gilirannya melahirkan hukum dan undang-undang yang tidak bermoral karena hanya menekankan kebebasan, pilihan, kepentingan individu semata-mata. Allah tidak hanya menyelamatkan manusia secara individu tetapi juga secara kolektif dalam satu kesatuan jemaat. Lumen Gentium No.9 mengatakan:
”Kehendak Allah untuk menyelamatkan bukan sekedar individu tetapi juga dalam suatu kesatuan jemaat. Allah telah memilih bangsa Israel sebagai umatNya, mengadakan perjanjian dengan bangsa ini, sebagai persiapan dan gambaran akan suatu perjanjian dalam Kristus yang akan membentuk suatu umat Allah yang baru, yang satu, bukan dalam daging, tetapi dalam Roh”.
Sambil menolak etika individualisme ini, Gereja melalui dokumen tentang Iman Kristiani mengajak semua umat beriman supaya bersikap kritis terhadap setiap idiologi dan etika serta berani menolak idiologi dan etika kehidupan yang berpotensi menghancurkan prinsip kebaikan, kesejahteraan, keadilan, kesatuan dan keselamatan kolektif yang menjadi tujuan politik yang sesungguhnya (CBCP. 1998).
Eklesiologi Tentang Kehidupan Sosial-Politik
Keterlibatan Gereja dalam kegiatan sosial-politik telah mengalami evolusi panjang dan menarik. Evolusi ini sejalan dengan perkembangan eklesiologi Gereja Katolik. Sebuah studi yang dilakukan di Filipina (2005) mengatakan bahwa keterlibatan Gereja Katolik dalam bidang kehidupan sosial politik di Asia dalam rentang waktu lima puluh tahun terakhir ini dipengaruhi oleh framework eklesiologi Konsili Trente (1545-1563) dan Konsili Vatikan II (1962-1965).
Eklesiologi Trente memberi penekanan kuat terhadap konsep Gereja sebagai sebuah ”Institusi Sosial” yang terpisah dari kehidupan publik dan memiliki kekuasaan, hukum dan tata pemerintahan sendiri. Dalam eklesiologi ini, ujian dan kualitas iman seseorang diukur berdasarkan sikap taat dan menerima secara lugu otoritas Gereja. Gereja memposisikan dirinya sebagai satu-satunya jalan keselamatan jiwa. Keselamatan itu terjadi melalui pewartaan dan pembabtisan. Karena itu kegiatan evangelisasi dan pembatisan menjadi misi utama Gereja. Setiap orang yang tidak membuka diri kepada penginjilan dan menolak pembabtisan dipandang sebagai orang asing dan berada diluar jalur keselamatan Allah. Eklesiologi ini membawa sejumlah konsekuensi sebagai berikut:
Pertama, Gereja kurang memberi perhatian pada persoalan politik dan ekonomi pada level kehidupan publik. Kalaupun terlibat dalam urusan sosial-ekonomi misalnya maka, keterlibatan itu lebih terbatas pada kegiatan karitatif internal Gereja.
Kedua, Gereja lebih tertarik mendorong para misionaris (Eropa) ke tanah misi termasuk ke Indonesia untuk melakukan kegiatan evangelisasi dan pembabtisan demi keselamatan jiwa bagi mereka yang belum mengenal Injil.
Ketiga, para awam khsusnya di Eropa yang sudah mengenal Injil dan dibabtis terus dimotivasi dan didorong memberi dukungan uang, materi dan moril kepada misionaris demi keberhasilan evangelisasi dan pembabtisan (CBCP, 2002).
Zaman terus berevolusi dan berubah. Eklesiologi Trente yang muncul pada abad pertengahan dan dilatarbelakangi oleh gerakan pembaharuan internal dalam tubuh Gereja menyangkut hidup rohani, membiara, ordo-ordo, pendidikan imam dan lain-lain dalam rangka merespon kebangkitan protestanisme saat itu tentunya tidak lagi relevan dengan keadaan dunia yang semakin terbuka berkat globaliasi dan teknologi komunikasi mutakhir. Perubahan yang terjadi ditengah masyarakat itu terus mempengaruhi setiap aspek kehidupan umat beriman. Tata aturan dan hukum serta kebijakan sosial, ekonomi dan politik dibawah pengaruh modernisme terus mempengaruhi cara berpikir dan prilaku manusia. Kemajuan ini pada suatu sisi mendatangkan kegembiraan, harapan, kelimpahan dan sukacita, tetapi disisi lain membawa duka dan lara bagi manusia.
Berhadapan dengan perubahan ini, Gereja terpanggil untuk merumuskan suatu eklesiologi baru dimana Gereja tidak lagi dilihat sebagai suatu institusi sosial yang terisolir malainkan bagian integral dari pengalaman hidup umat beriman dan masyarakat umumnya. Gereja adalah bagian dari pengalaman umat manusia akan kegembiraan, sukacita, harapan serta duka dan kecemasan sehari-hari. Gereja adalah umat Allah. Konsep Gereja sebagai umat Allah ini dirumuskan secara sangat baik dalam GS 1:
“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”.
Pernyataan Konsili Vatikan II ini mereflesikan adanya keterbukaan luar biasa dari pihak Gereja terhadap kehidupan publik. Hal ini tentu saja berbeda dengan konsili Trente. Para pimpinan Gereja membuka mata dan hati serta peka terhadap berbagai perubahan yang terjadi serta gejolak hidup ditengah masyarakat. Ernes Fernandez (2005) menegaskan bahwa konsep Gereja sebagai Umat Allah mendorong kita supaya lebih aktif mengintegrasikan diri kita dengan pengalaman hidup umat manusia dan lebih terbuka terhadap situasi politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, perumahan, keadilan sosial, kesejahteraan serta lingkungan hidup masyarakat. Ketika negara dan masyarakat diselimuti oleh situasi ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan maka Gereja perlu tampil membantu dan mendidik masyarakat supaya bisa mendefinisikan dirinya sendiri sebagai agen profetis dan pembaharu yang mampu membebaskan diri dari situasi yang dihadapi dengan kekuatan sendiri (Ribero, 2004; Beltran, 1998).
Posisi Hirarki Dalam Kehidupan Sosial-Politik
Konsep Gereja sebagai umat Allah membuka pintu sangat lebar bagi keterlibatan umat dalam politik. Namun dipihak lain Gereja tetap melarang keterlibatan para uskup, imam, serta rohaniwan dan rohaniwati dalam arena politik praktis. Hukum Kanonik 287 misalnya mengatakan bahwa para klerus tidak diperbolehkan terlibat dalam dan memimpin partai politik tertentu. Konferensi Wali Gereja Indonesia (2008) membuat pernyataan bahwa demi menjaga objektivitas dan netralitas pelayanan gerejawi maka pimpinan Gereja tidak dapat merangkap sebagai pengurus partai politik. Mengapa larangan seperti ini dibuat dan terus dipertahankan?
Larangan ini dibuat atas pertimbangan bahwa para uskup, imam dan bahkan kaum religious merupakan simbol dan kekuatan yang mempersatukan komunitas umat beriman. Karena itu apabila terlibat dalam politik praktis dan pada suatu ketika harus berseberangan dengan umat beriman katolik lainnya karena tuntutan politik partisan, maka hal ini akan memperlemah otoritas pengajaran serta posisi mereka sebagai penyatu, pelindung dan pembimbing umat beriman. Kalau demikian maka pertanyaannya ialah apakah para hirarkis harus tutup mulut terhadap kegelisahan, penderitaan, kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang terjadi di tengah masyarakat sebagai akibat dari struktur politik dan ekonomi yang tidak adil?
Keterlibatan pimpinan Gereja dalam urusan politik tentunya tidak bisa dimengerti dalam arti keterlibatan politik praktis seperti mendirikan dan memimpin sebuah partai politik atau gerakan politik tertentu. Demikian pula tidak menduduki posisi atau jabatan legislatif, yudikatif atau eksekutip dalam kehidupan politik. Kalaupun terpaksa menduduki jabatan politis tertentu maka harus terlebih dahulu mendapatkan izinan resmi dari institusi Gereja (CBCP. 1998; Beltran, 1998).
Keterlibatan para hirarkis dalam urusan sosial-politik lebih dimengerti dalam arti memfasilitasi dialog bersama awam dan masyarakat tentang realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya sehari-hari dalam rangka membangun suatu budaya dan struktur sosial, politik, ekonomi baru yang lebih adil dan manusiawi. Tanggungjawab dalam urusan sosial-politik terungkap lewat usaha menghimpun dan memberi pendampingan iman, ilmu dan pembentukan karakter kristiani kepada awam supaya menjadi terang dan garam dunia melalui kegiatan sosial, politik dan ekonomi serta budaya yang ditekuni (CBCP. 1998; Beltran, 1998). Ribero (2004) berpendapat bahwa kehadiran Gereja ditengah masyarakat tidak sekedar menjalankan upacara keagamaan dan merspon kebutuhan spiritual tetapi juga memberi pendampingan kepada masyarakat terutama kepada mereka yang kecil, tersisikan dan tidak berdaya agar mampu terlibat aktif dalam dialog dan mengambil keputusan berkaitan dengan berbagai isu sosial, politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan agama yang mereka hadapi.
Pendapingan terhadap para awam itu dimulai dengan upaya membangun sebuah komunio bersama awam dengan tujuan melakukan refleksi bersama secara berkala dan kontinu tentang kenyataan-kenyataan sosial-politik sehari-hari. Reflekti ini dipertajam dengan membaca dan merenungkan bersama Kitab Suci khususnya refleksi atas pribadi Yesus sebagai penyelamat dan pembebas. Refleksi itu kemudian diikuti oleh tindakan konkrit bersama demi suatu perubahan sosial-politik yang lebih adil dan manusiawi. Gustavo Gutierez (1983) menekankan peranan hirarkis sebagai pengajar dan motivator bagi umat beriman supaya tetap setia mengabdikan diri kepada masyarakat kecil, mengupayakan keadilan dan perdamaian serta kesejahteraan dan kebaikan bersama.
Gereja Katolik Indonesia dan Politik
Gereja Katolik di Indonesia setelah konsili vatikan II tidak mundur dari komitmenya terhadap politik. Mengikuti amanat Yesus, Gereja terus berupaya melakukan pengijilan secara integral dan mengena berdasarkan situasi, persoalan dan kebutuhan lokal Indonesia. Keterlibatan politik terwujud dalam tindakan profetis, etis dan praktis membangun tata dunia Indonesia berdasar nilai-nilai Injili seperti cinta kasih, kedamaian, keadilan, pelayanan dan kesejahteraan bersama. Gereja terus berdialog dengan semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia yang begitu plural dalam rangka merealisir konsep Indonesia sebagai satu rumah bersama yang adil dan sejahterah. Dr. Yan Riberu (2008) berpendapat bahwa umat Katolik perlu menjadi instrumen cinta, perdamaian dan persahabatan ditengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Nasib dan hidup masyarakat Indonesia ditentukan dan diukur oleh apa yang kita lakukan bagi sesama (Mat.25:35-40), terutama yang kecil, lemah dan terpinggirkan (Luk.4:18) (KWI: Tanggung Jawab Gereja Katolik, 2009; Muliawan, 2008).
Melihat kenyataan ini, Sri Sultan Hamengkubuwono IX (2008) bersaksi bahwa Gereja katolik Indonesia terus mendefiniskan dirinya sebagai ”rumah Tuhan tanpa dinding” serta institusi sosial yang terus berbela rasa, mewartakan pengharapan dan pertobatan serta menciptakan masyarakat baru Indonesia yang lebih manusiawi dan berkeadilan. A. Syafi’i (2008) berpendapat bahwa persentase umat katolik di Indonesia secara kuantitatif kecil, tapi dari segi kualitas dibandingkan dengan umat Islam misalnya masih jauh berada diatas (Muliawan, 2008).
Saat ini Indonesia diselimuti oleh persoalan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang luar biasa demi kepentingan pribadi dan kelompok. Harian Kompas misalnya tidak pernah sepih dari pemberitaan tentang korupsi. Para penguasa dan cerdik-pandai sikut-sikutan dan berlomba-lomba menduduki jabatan tertentu yang lebih tinggi dan berkuasa demi kepentingan pribadi.
Data hasil survey Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia selama 4 tahun (2003, 2004, 2007 dan 2008) menempatkan partai politik, parlemen dan peradilan sebagai lembaga paling korup dalam persepsi publik Indonesia. Dalam tiga tahun berturut-turut komisi pemberantasan korupsi menangkap sejumlah politisi yang diduga terlibat korupsi. Penangkapan itu antara lain dilakukan terhadap Sarjan Tahir (Partai Demokrat); Saleh Djasit (Golkar); Yusuf Erwin Faisal (Partai Kebangkitan Bangsa); Al Amin Nur Nasution (Partai Persatuan Pembangunan); Hilman Indra (Partai Bulan Bintang) dll ( Jafar, 2010).
Hasil jejak pendapat yang dibuat Kompas minggu lalu menunjukan bahwa masyarakat menyaksikan betapa prilaku korupsi berlangsung secara sporadis dihampir seluruh level pemerintahan mulai dari pengurusan KTP di kelurahan, pengurusan surat izin mengemudi, hingga pembayaran pajak. Prilaku korupsi seolah menjadi warna yang wajar dalam setiap alur birokrasi di Indonesia. Hasil jejak pendapat juga menujukan bahwa publik mengharapkan hukuman yang lebih tegas dan berat terhadap koruptor agar tercipta efek jera (Litbang Kompas, 2010).
Kordinator Indonesian Coruption Danang Widoyoko dan kordinator Forum Masyarakat Peduli Parelemen Indonesia Sebastian Salang sepakat bahwa parpol merupakan pihak yang paling bertanggungjawab dalam menumbuh-suburkan korupsi di tanah air. Partai politik yang merupakan sarana terpenting mencapai kekuasaan politik menjadi episentrum korupsi. Dalam partai politik, koruptor dididik dan kemudian membangun jaringan untuk melakukan korupsi (Jafar, 2010).
Observasi mengatakan bahwa Gereja Katolik belakangan ini kurang bersuara dan kehilangan sikap kritis-profetis terutama terhadap persoalan korupsi. Asosiasi Teologi Indonesia (2009) membenarkan hal ini ketika mengatakan bahwa Gereja Katolik Indonesia belakangan ini kurang efektif merespon persoalan sosial-politik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:
Pertama, sebagian besar umat Katolik mempunyai pandangan bahwa politik itu kotor, licik, penuh intrik dan persaingan. Politik merupakan sarana penguasa untuk menindas rakyat. Penguasa merasa mempunyai kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenangnya terhadap rakyat dengan dalih demi kepentingan rakyat. Kedua, kurangnya penekanan fungsi diakonia Gereja yang mengakibatkan warga Gereja kurang peduli terhadap isu politik. Ketiga, pendidikan umat beriman termasuk para pembina iman (calon katekis, imam, religius) kurang memberi tempat pada dimensi sosial politik. Keemmpat, Gereja kurang mampu mengkomunikasikan pandangan dan sikap sosial politiknya kepada masyarakat sehingga pandangan-pandangan Gereja tidak dimengerti oleh umat katolik sendiri dan masyarakat luas (KWI: Tanggung Jawab, 2009; Muliawan, 2008).
Berpolitik Dengan Meneladani Yesus
Sikap Gereja yang memandang politik semata-mata sebagai hal kotor, licik, penuh intrik dan persaingan, syarat dengan kepentingan pribadi, diam dan pasif itu bertentangan dengan amanat Konsili Vatikan II (Gaudium et Spes, 75) yang mengatakan bahwa segenap umat Katolik menyadari panggilannya yang khas dalam negara yaitu kewajiban mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum. Sebab hanya dengan cara seperti ini umat Katolik dapat menunjukan tindakan cinta kasih yang nyata dan menguntungkan masyarakat.
Memburuknya kondisi sosial politik di tanah air yang ditandai dengan korupsi yang semakin hebat perlu dilihat dan direfleksikan sebagai faktor pemicu keterlibatan umat katolik dalam politik. Florence (2003) menegaskan bahwa semakin buruknya keadaan sosial, ekonomi dan politik yang dialami masyarakat perlu dilihat sebagai faktor pendorong/pemicu bagi Gereja supaya lebih aktif membuka hati dan pikiran umat beriman agar memiliki keberanian melakukan dialog terhadap persoalan yang dihadapi dan mencarikan sendiri solusinya.
Keterbukaan hati dan pikiran itu bisa terjadi kalau umat beriman belajar “berpolitik dengan meneladani Yesus Kristus” yang selalu memfokuskan diri pada cinta kasih khususnya kepada yang lemah, miskin dan menderita. Cara berpolitik dengan meneladani Yesus ini telah dilakukan sejumlah tokoh Katolik kita seperti Mgr. Soegijapranata, Kardinal Darmoyuwono, Rm. Mangunwijaya, Frans Seda, Kasimo, dll. Mereka menjalankan kehidupan politik secara sederhana, dinamis, berpihak pada rakyat kecil dan selalu mengutamakan kepentingan bersama. Politik katolik bukanlah politik berdasarkan kesempatan untuk berkuasa, melainkan berdasarkan hati nurani, dialog dan pelayanan demi kebaikan banyak orang (Rahardi, 2009). Berpolitik dengan meneladani Yesus berarti:
Pertama, menciptakan kerukunan, kedamaian dan persatuan serta menjauhkan ketegangan dan perpecahan. Yesus datang ke dunia untuk membawa damai bagi seluruh umat manusia. Kedatangan-Nya mendamaikan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesama. Ia menghancurkan tembok dosa yang memisahkan manusia dari Allah sumber kehidupan (bdk. Ef. 2:14, dst.). Dalam konteks ini umat katolik dipanggil untuk menciptakan kerukunan, kedamaian dan persatuan bangsa serta menjauhkan ketegangan dan perpecahan (KWI. 2008). St. Paulus menasehati kita supaya hidup dalam damai dengan semua orang serta memberkati sesama, termasuk orang yang menyakiti kita (Bdk Rm. 12:14). Memberkati artinya memohon agar Allah melimpahkan kasih karunia, damai sejahtera dan perlindungan (bdk. Kej. 27:27-29; Ul. 33). Yesus mengajarkan kita: “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu” (Luk. 6:27-28; Mat. 5:44).
Kedua, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Rasul Paulus menasehati jemaat di Roma supaya jangan membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi melakukan apa yang baik bagi semua orang (bdk. Rm. 12:17). “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan” (Rm. 12:21). Ketika mengalami perlakuan jahat dari orang lain, tidak perlu membenci pelakunya tetapi tetap ramah terhadapnya (bdk.Rm. 12:20a). Semangat yang diajarkan Rasul Paulus ini kiranya menjadi sumber inspirasi dan pemicu semangat bagi umat katolik untuk melakukan kebaikan ditengah masyarakat Indonesia yang majemuk dan terus berubah.
Ketiga, bangkit bersama Yesus untuk membebaskan diri dari berbagai krisis sosial ekonomi (kemiskinan, pengangguran) dan politik (korupsi, penyalahgunaan kuasa dan wewenag) yang menimpa bangsa Indonesia dari waktu ke waktu. Membangun dan membaharui tekad bersama untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa kita yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Berjuang dan melindungi hak-hak asasi setiap warga negara di bidang politik, ekonomi, pendidikan dan kesehatan serta mengotrol mekanisme demokrasi di tanah air supaya aspirasi rakyat semakin mendapat tempat.
Keempat, melakukan pendidikan politik bagi warga Gereja dengan maksud agar umat katolik semakin sadar politik, tahu akan hak dan kewajibannya dan mau terlibat aktif dalam politik. Pendidikan politik dimengerti sebagai bagian integral dari pembinaan iman seluruh anggota Gereja termasuk para calon katekis, imam dan kaum religius (KWI: Tanggung Jawab, 2009).
Penutup
Konsep Gereja sebagai Umat Allah telah membuka pintu sangat lebar bagi keterlibatan Gereja dalam kehidupan sosial-politik. Keterlibatan Gereja dalam politik ini berakar pada panggilan dan tugas suci Gereja untuk menjadi terang dan garam dunia atas cara menegakan moral politik yang benar yaitu politik yang mengupayakan keadilan, kebaikan, kesejahteraan bersama serta penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Amanat Yesus supaya menjadi terang dan garam dunia dapat dijalankan dalam berbagai cara sesuai dengan keahlian, keterampilan, hati nurani dan pilihan jujur dari masing-masing orang. Meskipun menempu cara berbeda namun setiap umat beriman katolik harus selalu saling mengasihi dan menghormati karena masing-masing membawa amanat yang sama, yaitu “berlaku adil, setia dan rendah hati di hadapan Allah” (bdk. Mikha 6: 8).
Keberhasilan menjadi terang dan garam dunia itu diukur dari usaha dan perjuangan umat katolik memberi jaminan dan penegasan nasional bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tetap dipertahankan sebagai dasar negara dan acuan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain memberi penegasan dan kepastian bahwa politik nasional tetap berorientasi kepada kelestarian Negara Kesatuan Republik Indonesia, pelaksanaan kebebasan beragama, terwujudnya pemerintahan yang adil dan bersih. Semoga Allah yang memulai pekerjaan yang baik hari ini di antara kita berkenan menyelesaikannya pula (Filipi 1:6).
Komentar
Posting Komentar