BERPEGANG TEGUH PADA KEIMANAN PLURALISME
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Modernisasi [1]merupakan suatu perubahan yang biasa disebut masyarakat modern, terlepas apakah mengandung unsur manfaat atau mudhorat. Setiap perubahan di masyarakat saat ini selalu membentuk berbagai warna kehidupan, baik dari aspek ekonomi, budaya, psikologi, agama, dan lain sebagainya.
Dari berbagai modernisasi menurut sebagaian kalangan muslim dianggap merusak berbagai karakter dan pemikiran generasi penurus (pemuda Islam) yang selanjutnya mereka namai sebagai aliran atau faham liberalisme[2], pluralisme[3] dan sekuler[4] sebagaian kalangan muslim mengklaim bahwa setiap paham berbau modernisasi yang berbentuk liberal dan plural difatwakan oleh mereka sebagai faham sesat dan menyesatkan.
Istilah pluralisme agama yang baru-baru ini muncul dengan penuh janji akan menjanjikan tentang kedamaian di muka bumi ini, yang mana sering terjadi berbagai gejolak di masyarakat pada umumnya yang disebabkan oleh kekurang tolerannya mereka terhadap perbedaan khususnya perbedaan agama. Dengan pluralisme mereka banyak berharap bahkan dengan dibarengi keyakinan akan mampu mengantarkan masyarakat untuk hidup rukun, damai antar masyarakat yang berbeda-beda suku, ras, agama, keyakinan, status sosial walaupun keadaan masyarakat tersebut majemuk. Dari berbagai gagasan janji pluralisme tersebut, di harapan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang majemuk, dan mampu memjawab berbagai tantangan yang sering mendapat perhatian dari berbagai kalangan moderat.
Permasalahan-permasalahan tentang modernisasi yang cukup mendapatkan perhatian cukup besar adalah issue pluralisme agama, issue ini merupakan fenomena yang hadir di tengah keanekaragaman kebenaran obsolut antar agama yang saling berseberangan. Setiap agama mengklaim dirinya yang paling benar dan yang lainnya sesat semuanya. Klaim ini kemudianmelahirkan keyakinan yang biasa disebut doktrin keselamatan (doctrine of salvation), bahkan keselamatan atau pencerahan atau surga merupakan hak para pengikut agama tertentu saja, sedangkan pemeluk gama lainakan celaka dan masuk neraka, sejatinya keyakinan semacam ini, juga berlaku pada penganut antar sekte atau aliran dalam agama yang sama, seperti yang terjadi antara Protestan dan Katolik dalam agama Kristen, antara Mahayana dan Hinayana atau Theravada pada agama Budha, dan juga antar kelompok Islam yang beragan. Realitas tersebut telah mengantarkan pluralisme kepada diskursus yang semakin luas dan amat komplek.
Issue pluralisme ini sering diletakkan sebagai pemberi andil yang cukup besar, malah faktor utama dalam menciptakan iklim ketegangan atau konflik antar agama yang tidak jarang tampil dengan warna kejam, keras, perang, dan pembunuhan, bahkan pembersihan ras (ethnic dleansing atau genocide). Di satu pihak, teknologi dan komunikasi modern telah menjadikan jagad ini hamper seperti global village. Di pihak lain, bangkit berbagai gerakan dan kelompok agama, telah menambah situasi tegang dan menakutkan, seperti yang kita saksikan antara Kristen dan Islam di Bonia-Herzegovina, Filipina Selatan, Sudan Selatan dan kepulauan Maluku Indonesia. Antara Islam dan Yudaisme di Timur Tengah, Islam dan Hindu di Kashmir, Protestan dan Katholik di Irlandia dan sebagainya.
Fenomena pluralisme agama telah menjadi fakta sosial nyata yang harus di hadapi masyarakat modern. Untuk itu pertama kali dalam sejarahnya manusia menyaksikan dirinya secara global hidup berdampingan (koeksistensi) dengan berbagai penganut agama yang berbeda dalam satu negara, dalam satu wilayah dalam satu kota dan bahkan satu geng atau agama yang sama . fenomena demikian bagi masyarakat yang belum terbiasa dan belum memiliki pengalaman dalam berkoeksistensi damai seperti Barat, tentu akan menimbulkan problematika tersendiri.
Dari berbagai gambaran di atas, dari berbagai keragaman agama dan keyakinan timbul berbagai gejolak dan prahara di masyarakat, permaslahan tersebut perlu adanya solusi yang jitu supaya kerukunan dan kehidupan umat manusia bisa tetap berlanglung secara damai.
Selanjutnya, dalam makalah ini penulis tidak membahas pluralisme dari berbagai agama, akan tetapi dibatasi pada fenomena dan pluralisme di dalam agama Islam. Fenomena perbedaan faham dalam islam kerap kali kita jumpai pada masyarakat, yang kemudian menimbulkan perpecahan di kalangan umat islam itu sendiri. Penyebab yang timbul dari perbedaan itu di antaranya, Perbedaan di dalam memahami kandungan Al-Qur’an, hadis Nabi dan perkembangan masyarakat Islam yang ikut berkecimpung di era globalisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pluralisme Agama : Definisi dan Penyebarannya
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) “Pluralisme” berasal dari kata “plural” yang artinya jamak atau lebih dari satu. Pluralistis mengandung arti banyak macam, bersifat keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya).
Menurut M. Shiddiq al-Jawi Istilah Pluralisme (agama) sebenarnya mengandung 2 (dua) hal sekaligus, Pertama, gambaran realitas bahwa di sana ada keanekaragaman agama. Kedua, pandangan atau pendirian filosofis tertentu menyikapi realitas keanekaragaman agama yang ada.[5]
Pluralisme Agama (Religious Pluralism) adalah istilah khusus dalam kajian agama-agama. Sebagai 'terminologi khusus'. istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah 'toleransi', 'saling menghormati' (mutual respect), dan sebagainya. Sebagai satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-agama yang ada. istilah 'Pluralisme Agama' telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam studi agama-agama (religious studies).
Dan memang, meskipun ada sejumlah definisi yang bersifat sosiologis, tetapi yang menjadi perhatian utama para peneliti dan tokoh-tokoh agama adalah definisi Pluralisme yang meletakkan kebenaran agama-agama sebagai kebenaran relatif dan menempatkan agama-agama pada posisi "setara", apapun jenis agama itu. Bahkan, sebagian pemeluk Pluralisme mendukung paham sikretisasi agama.
Plurah'sme Agama yang dibahas dalam buku ini didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga - karena kerelativannya - maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat (evil} adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri.[6]
Paham ini telah menyerbu semua agama. Klaim-klaim kebenaran mutlak atas masing-masing agama diruntuhkan, karena berbagai sebab dan alasan. Di kalangan Yahudi. misalnya, muncul nama Moses Mendelsohn (1729-1786), yang menggugat kebenaran eksklusif agama Yahudi. Menurut ajaran agama Yahudi, kata Mendelsohn, seluruh penduduk bumi mempunyai hak yang sah atas keselamatan, dan sarana untuk mencapai keselamatan itu tersebar sama luas - bukan hanya melalui agama Yahudi seperti umat manusia itu sendin[7] Frans Rosenzweig, tokoh Yahudi lainnya, menyatakan, bahwa agama yang benar adalah Yahudi dan Kristen. Islam adalah suatu tiruan dari agama Kristen dan agama Yahudi.[8]
Salah satu teolog Kristen yang terkenal sebagai pengusung paham ini, Ernst Troeltsch. mengemukakan tiga sikap populer terhadap agama-agama, yaitu (1) semua agama adalah relatif (2) Semua agama. secara esensial adalah sama. (3) Semua agama memiliki asal-usul psikologis yang umum. Yang dimaksud dengan "relatif, ialah bahwa semua agama adalah relatil terbatas. tidak sempurna, dan merupakan satu proses pencanan Karena mi. keknstenan adalah agama terbaik untuk orang Kristen, Hindu adalah terbaik unruk orang Hindu. Motto kaum Pluralis ialah: "pada intinya, semua agama adalah sama. jalan-jalan yang berbeda yang membawa ke tujuan yang sama. (Deep dawn, all religions are the same - different paths leading to the same goal). "[9]
Dalam tradisi Kristen, dikenal ada tiga cara pendekatan atau cara pandang teologis terhadap agama lain. Pertama, eksklusivisme, yang memandang hanya orang-orang yang mendengar dan menerima Bibel Kristen yang akan diselamatkan Di luar itu tidak selamat Kedua inklusivisme, yang berpandangan, meskipun Kristen merupakan agama yang benar, tetapi keselamatan juga mungkin terdapat pada agama lain. Ketiga, phirahsme, yang memandang semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju inti dan realitas agama. Dalam pandangan Pluralisme Agama, tidak ada agama yang dipandang lebih superior dari agama lainnya. Semuanya dianggap sebagai jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan (all the religious traditions of humanity are equally valid paths to the same core of religious reality. In pluralism, no one religion is superior to any other; the many religions are considered equally valid ways to know God).[10]
Tokoh lain penganut paham Pluralisme Agama terkemuka di kalangan Kristen, yakni Prof. John Hick, menyatakan bahwa terminologi '"religious pluralism" itu merujuk pada suatu teori dari hubungan antara agama-agama dengan segala perbedaan dan pertentangan klaim-klaim mereka. Pluralisme, secara ekplisit menerima posisi yang lebih radikal yang diaplikasikan oleh inklusivisme: yaitu satu pandangan bahwa agama-agama besar mewujudkan persepsi, konsepsi, dan respon yang berbeda-beda tentang "The Real'" atau "The Ultimate". Juga, bahwa tiap-tiap agama menjadi jalan untuk menemukan keselamatan dan pembebasan.[11]
Intinya, John Hick - salah satu tokoh utama paham religious pluralism — mengajukan gagasan pluralisme sebagai pengembangan dari inklusivisme. Bahwa, agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju pada tujuan (the Ultimate) yang sama. la mengutip Jalaluddin Rumi yang menyatakan: "The lamps are different but the light is the same; it comes from beyond." Menurut Hick, "the Real" yang merupakan "the final object of religious concern", adalah merupakan konsep universal. Di Barat, kadang digunakan istilah "ultimate reality"; dalam istilah Sansekerta dikenal dengan "sat"; dalam Islam dikenal istilah al-haqq.[12]
Pluralisme Agama berkembang pesat dalam masyarakat Kristen-Barat disebabkan setidaknya oleh tiga hal: yaitu (1) trauma sejarah kekuasaan Gereja di Zaman Pertengahan dan konflik Katolik-Protestan, (2) Problema teologis Kristen dan (3) problema Teks Bibel. Ketika Gereja berkuasa di zaman pertengahan, para tokohnya telah melakukan banyak kekeliruan dan kekerasan yang akhirnya menimbulkan sikap trauma masyarakat Barat terhadap klaim kebenaran satu agama tertentu. Problema yang menimpa masyarakat Kristen Barat ini kemudian diadopsi oleh sebagian kalangan Muslim yang 'terpesona' oleh Barat atau memandang bahwa hanya dengan mengikuti peradaban baratlah maka kaum muslimin akan maju. Termasuk dalam hal cara pandang terhadap agama-agama lain, banyak yang kemudian menjiplak begitu saja, cara pandang kaum iklusifis dan pluralis kristen dalam memandang agama-agama lain. Di Indonesia penyebaran faham ini sudah sangat meluas, baik dalam tataran wacana publik maupun buku-buku di perguruan tinggi.
2. Pandangan Islam
Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwanya tanggal 29 Mi 2005 juga telah menyatakan bahwa paham Pluralisme Agama bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam memeluk paham ini. MUI mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Dr. Anis Malik Thoha, pakar Pluralisme Agama, yang juga Mustasyar NU Cabang Istimewa Malaysia, mendukung fatwa MUI tersebut dan menyimpulkan bahwa Pluralisme Agama memang sebuah agama baru yang sangat destruktif terhadap Islam dan agama-agama lain.[13]
Sebelum MUI mengeluarkan fanva tentang haramnya paham "Pluralisme Agama", penyebaran ini di Indonesia sudah sangat meluas. Jika ditelusuri, sebenarnya sebagian bemhnya sudah ditabur sejak zaman penjajahan Belanda dengan merebaknya ajaran kelompok Theosofi. Namun, istilah "Pluralisme Agama" atau pengakuan seorang sebagai pluralis dalam konteks theologi, bisa ditelusuri pada catatan harian Ahmad Wahib, salah satu perintis gerakan Islam Liberal di Indonesia, disamping Dawam Rahardjo dan Djohan Effendi.
Dalam catatan hariannya tertanggal 16 September 1969 ~ yang dibukukan dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, LP3ES, 2003 (cetakan keenam), hal 40-41 - Ahmad Wahib juga mengaku sebagai seorang pluralis. Wahib mengaku diasuh selama dua tahun oleh Romo H.C. Stolk dan selama tiga tahun oleh Romo Willenborg. la mencatat: "Aku tak tahu apakah Tuhan sampai hati memasukkan dua orang bapakku itu ke dalam api neraka. Semoga tidak."
Ketika itu, akhir tahun 1960-an, paham ini tentu saja sangat aneh. Meskipun ide-ide "persamaan agama" tidak pernah berhenti dilontarkan, tetapi hampir tidak ada kalangan tokoh agama atau akademisi Muslim yang melontarkan paham semacam ini. Tahun 1970-1980-an, sempat muncul gagasan pendidikan Panca Agama di sekolah-sekolah. Tetapi, tokoh-tokoh umat ketika itu bereaksi keras dengan melakukan berbagai macam cara protes, sehingga program itu digagalkan.
Ide persamaan agama dan jawabannya telah dibahas dengan baik, misahiya, oleh Prof. Rasjidi, dalam bukunya Empat Kuliah Agama di Perguruan Tinggi, Dr. J. Verkuil pernah menulis buku berjudul Samakah Semua Agama? yang memuat hikayat Nathan der Weise (Nathan yang Bijaksana). Nathan adalah seorang Yahudi yang ditanya oleh Sultan Saladin tentang agama manakah yang terbaik, apakah Islam, Yahudi, atau Nasrani. Ujungnya, dikatakan, bahwa semua agama itu intinya sama saja. Hikayat Nathan itu ditulis oleh Lessing (1729-1781), seorang Kristen yang mempercayai bahwa intisari agama Kristen adalah Tuhan, kebajikan, dan kehidupan kekal. Intisari itu, menurutnya, juga terdapat pada Islam, Yahudi, dan agama lainnya. Dalam Konferensi Parlemen Agama-Agama di Chicago tahun 1893, diserukan bahwa tembok pemisah antara berbagai agama di dunia ini sudah runtuh. Konferensi itu akhirnya menyerukan persamaan antara Kon Fu Tsu, Budha, Islam, dan agama-agama lain. Mereka juga berkesimpulan bahwa benta yang disampaikan oleh nabi-nabi itu sama saja. Max Muller (1823-1900), melalui bukunya, Vorlesungen uber Religionswissemchqft, mengemukakan pendapat tentang persamaan hakiki dari agama-agama. Menurutnya, setiap agama adalah benar, bahkan juga agama-agama suku. Sedangkan tokoh persamaan agama dan sinkretisme yang terkenal dari India adalah Radhakrisnan, seorang universalis. Semua agama, menurut Krisnan, adalah alat, jalan, untuk membawa manusia kepada tujuan. Perbedaan agama hanyalah pada soal historis dan geografis, dan bukan pada hekekatnya.[14]
Jelas, dalam pandangan Islam - sebagaimana juga pandangan beberapa agama seperti yang dipaparkan sebelumnya — paham Plurah'sme Agama semacam itu adalah racun, yang melemahkan keimanan dan keyakinan akan kebenaran Islam. Islam tegak diatas landasan syahadat: pengakuan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah urusan Allah. Jadi, Islam bukan hanya percaya kepada Allah, tetapi juga mengakui kebenaran kerasulan Muhammad, Inilah yang ditolak keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani sepanjang sejarah.
Makna "Islam" itu sendiri digambarkan oleh Nabi Muhammad saw dalam berbagai sabda beliau. Imam al-Nawawi dalam Kitab hadits-nya yang terkenal, al-Arba'm al-Nawawiyah, menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua. "Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah —jika engkau berkemampuan melaksanakannya." (HR Muslim). Pada hadits ketiga juga disebutkan, bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: "Islam diiegakkan di alas lima hal: persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, penunaian zakat, pelaksanaan haji ke Baitullah, dan shaum Ramadhan. " (HR Bukhari dan Muslim).
Al-Quran sudah menegaskan:
' 'Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi.'' (QS Ah Imran:85). ' 'Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi
Allah hanyalahIslam." (QS Ah Imran :19)
Dalam fatwa MUI tentang Pluralisme Agama, juga disebutkan sabda Nabi Muhammad saw:
"Demi Dzatyang menguasai jrwa Muhammad, tidak ada seorangpun baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka. " (HR Muslim)
Fatwa MUI itu juga menyebutkan, bahwa Nabi saw juga mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non muslim antara lain Kaisar Heraklius, raja Romawi yang beragama Nasrani. al Najasyi raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. ( Riwayat Ibn Sa'd dalam al Thabaqat al Kubra dan Imam al Bukhari dalam Shahih Bukhari).
Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang menegaskan perbedaan yang tajam antara orang yang benman dan beramal shaleh. dengan orang-orang kafir. Surat al-Fatihah mengajarkan, agar kaum Muslim senantiasa berdoa supaya berada di jalan yang lurus (al-shirat al-mustaqim} dan bukan berada di jalan orang-orang yang dimurkai (al-maghdhub) dan jalan orang-orang yang tersesat (al-dhaallin). Di dalam Islam, ada istilah-istilah baku dalam al-Quran, seperti muslim, mukmin, kafir, munafiq, dan sebagainya. Kaum kafir dibagi ke dalam dua golongan: kafir ahlul kitab dan kafir musyrik. (QS 98). Status mereka memang kafir, tetapi dalam konsep Islam, mereka tidak boleh dipaksa memeluk Islam; mereka tidak boleh disakiti atau dibunuh karena kekafirannya -sebagaimana dilakukan kaum Kristen Eropa terhadap kaum heretics.
Jadi, bangunan dan sistem Islam itu begitu jelas, bukan hanya dalam konsepsi teologis, tetapi juga konsepsi sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, peradaban, dan sebagainya. Misalnya, dalam hukum bidang perkawinan, sudah jelas, bahwa laki-laki kafir (non-Muslim) haram hukumnya dinikahkan dengan wanita muslimah. (QS 60:10). Secara konseptual, Allah SWT sudah menegaskan (yang artinya): "Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya." (QS 98:6). "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dm mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. " (QS 4:48).
Bahkan. disebutkan dalam al-Quran, bahwa Allah sangat murka karena dituduh punya anak
'Dan mereka berkata: "Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak, Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak." (QS Maryam:88-91).
Jadi, dalam konsepsi Islam, sekedar menyatakan bahwa Allah mempunyai anak sudah disebut sebagai kemungkaran besar dan Allah sangat murka dengan hal itu. Dengan Pluralisme Agama, semua kemungkaran ini dilegitimasi. Pluralisme Agama jelas membongkar Islam dari konsep dasarnya. Dalam paham ini, tidak ada lagi konsep mukmin, kafir, syirik, sorga, neraka, dan sebagainya. Karena itu, mustahil paham Pluralisme Agama bisa hidup berdampingan secara damai dengan Tauhid Islam. Sebab keduanya bersifat saling menegasikan. Di mana pun juga, apakah di Muhammadiyah, di NU, MUI, DDII, atau di tempat-tempat lain, paham Pluralisme Agama akan berhadapan dengan konsep Tauhid Islam.[15]
BAB III
ANALISA
Pandangan dan penafsiran akan arti dan tujuan pluralisme tidaklah dapat di artikan sebagai toleransi atau saling menghornati dan menghargai antar agama. Pandangan dan penafsiran semacam ini sangatlah bertentangan dengan syariat walaupun mereka mengklain bahwa seperti itulah Al-qur’an dan As-Sunnah. Ribuan mufassir al-Quran yang mu'tabarah sejak dahulu kala tidak ada yang memahami ayat al-Quran tersebut seperti itu. Sebab, dengan logika sederhana pun kita bisa memahami, bahwa untuk dapat "beriman kepada Allah" dengan benar dan beramal saleh dengan benar, seseorang pasti harus beriman kepada Rasul Allah saw. Sebab, hanya melalui Rasul-Nya, kita dapat mengenal Allah dengan benar; dapat mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Juga, hanya melalui Nabi Muhammad saw, kita dapat mengetahui, bagaimana cara beribadah kepada Allah dengan benar. Jika tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw, mustahil manusia dapat mengenal Allah dan beribadah dengan benar, karena Allah SWT hanya memberi penjelasan tentang semua itu melalui rasul-Nya. Justru untuk itulah Nabi Muhammad saw diutus, sehingga Nabi Isa a.s. pun mengabarkan kepada kaumnya agar mereka mengimani Nabi Muhammad saw:
"Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasulyang bemama Ahmad (Muhammad). " (Terjemah QS as-Shaffi 6).
Sepanjang aktivitas dakwahnya, Rasulullah saw juga sangat aktif mengajak dan berdiskusi kaum Yahudi dan Kristen agar mereka mau mengakui bahwa beliau adalah seorang nabi. Bahkan, ketika diskusi itu tidak menemukan titik temu, maka suatu ketika Nabi Muhammad saw mengajak kaum Nasrani untuk melakukan sumpah laknat, untuk membuktikan siapa yang sebenarnya berdusta. (QS 3:61). Sebab dalam pandangan Islam, masalah ke-Tauhidan Allah adalah ajaran yang mendasar yang merupakan ajaran semua Nabi Sebab itulah, banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan kekeliraan paham yang menyatakan, bahwa Allah itu punya anak atau mengangkat anak:
'Dan mereka mengatakan, (Allah) Yang Maha Pemurah itu punya anak. Sungguh (kalian yang menyatakan bahwa Allah punya anak), telah melakukan tindakan yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah gara-gara ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah punya anak. " (Terjemah QS Maryam: 88-91).
Kaum Pluralis kadangkala memandang aspek keimanan ini sebagai hal yang kecil. Kata mereka, yang penting adalah nilai kemanusiaan. Manusia harus saling mengasihi, tanpa melihat agamanya apa; tanpa melihat jenis imannya. Tentu saja pandangan ini juga sangat keliru. Sebab, dalam kehidupan manusia pun, aspek pengakuan juga sangat penting. Anak menuntut pengakuan dari orang tuanya. Sebeluim bekerja, Presiden juga perlu pengakuan dari rakyat bahwa dia adalah Presiden. Anak yang tidak mau mengakui orang tuanya disebut anak durhaka. Maka, pengakuan (syahadah) itulah yang diminta oleh Allah kepada umat manusia. Yakni, agar manusia mengakui bahwa Dia adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah; dan bahwa Muhammad saw adalah utusan-Nya yang terakhir. Apa beratnya manusia untuk mau membuat pengakuan semacam ini?
Ada yang bilang, bahwa soal iman kepada kenabian Muhammad saw itu adalah soal kecil saja; masalah yang tidak penting; jadi tidak usah dibesar-besarkan; yang penting adalah kehidupan yang harmonis dan hormat-menghormati antar sesama manusia. Coba tanyakan kepada kaum yang mengaku Pluralis itu, mengapa kaum Yahudi dan Nasrani begitu beratnya untuk mengakui bahwa Muhammad saw adalah seorang Nabi. Mengapa9 Jika itu dianggap masalah kecil, mengapa hanya untuk soal yang "kecil" saja, mereka tidak mau iman? Jadi jelas, ini bukan soal kecil.
Sebenarnya, para pendukung paham Pharalisme Agama ini juga sering tidak fair dan tidak sama antara kata dan perbuatan. Mereka menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan. Padahal, mereka sendiri tidak menjalankan ucapannya itu, dan tidak memberikan contoh bagi yang lain. Jika mereka yakin dengan pendapatnya seperti itu, cobalah mereka memberi contoh, satu hari mereka salat di Masjid, hari lain mengikuti misa di Gereja, hari-hari selanjutnya giliran sembahyang di Pura, sinagog, kelenteng, vihara, dan seterusnya.
Juga, jika mereka konsisten dengan pendapatnya, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama benar dan sama-sama sah menuju Tuhan, maka 'demi kemanusiaan', kita mengimbau mereka agar membuat surat wasiat, agar mayat mereka nanti tidak perlu dikubur, karena di kota-kota besar, tanah kuburan sudah semakin sempit dan mahal Biarlah orang Islam saja yang dikubur jenazahnya. Mayat mereka cukup dibakar atau ditaruh di pohon, seperti dilakukan oleh sebagian suku di Sulawesi. Toh, kata mereka, tujuannya adalah sama; sama-sama menuju Tuhan yang satu, Jadi, kita tunggu surat wasiat mereka itu, 'demi kemanusiaan'. Jika mereka memang meyakini pendapatnya.
Pandangan yang menyatakan, bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, yaitu Allah, adalah pandangan yang dangkal. Hingga kini, di kalangan Kristen saja, muncul perdebatan sengit tentang penggunaan lafal "Allah" sebagai nama Tuhan. Di Indonesia, kini muncul kelompok Gereja-gereja Pengagung Yahweh yang menolak penggunaan nama Allah untuk Tuhan mereka. Mereka menerbitkan Bibel sendiri dan mengganti nama Allah dengan Yahweh. Bagi kaum Kristen, nama 'Allah' bukanlah sebuah nama diri (proper name), tetapi sebutan untuk Tuhan itu". Sebagaimana kaum Yahudi, kaum Kristen sekarang juga tidak memiliki 'nama Tuhan' secara khusus. Maka, orang Kristen di Barat juga tidak menyebut Tuhannya dengan nama "Allah", tetapi menyebut "God" atau LORD"[16]
Kaum Hindu, Budha, dan pemeluk agama-agama lain juga tidak mau menyebut nama Tuhan mereka dengan nama "Allah". Ada tokoh Hindu mengaku berkeberatan ketika kaum Kristen di Bali menyebut "Sang Hyang Widhi Yesus". Di Malaysia, umat Islam juga menolak penggunaan nama Allah oleh kaum Katolik. Jadi, bagi orang Muslim, khususnya, masalah nama Tuhan memang sangat penting. Kaum musyrik dan Kristen Arab memang menyebut nama Tuhan mereka dengan "Allah" sama dengan orang Islam. Nama itu juga kemudian digunakan oleh al-Quran. Tetapi, perlu dicatat, bahwa al-Quran menggunakan kata yang sama namun dengan konsep yang berbeda. Bagi kaum musyrik Arab, Allah adalah salah satu dari Tuhan mereka, disamping tuhan Lata, Uza, Hubal, dan sebagainya. Karena itu, mereka melakukan tindakan syirik. Sama dengan kaum Kristen yang melakukan tindakan syirik dengan mengangkat Nabi Isa sebagai Tuhan. Karena itulah, Nabi Muhammad saw - sesuai dengan ketentuan QS al-Kafirun -menolak ajakan kaum musyrik Quraisy untuk melakukan penyembahan kepada Tuhan masing-masing secara bergantian. Jadi, tidak bisa dikatakan, bahwa orang Islam menyembah Tuhan yang sama dengan kaum kafir Quraisy. Jika menyembah Tuhan yang sama, tenrulah Nabi Muhammad saw akan memenuhi ajakan kafir Quraisy. Karena itu, maksud "beriman kepada Allah" sebagaimana disebut dalam QS 2:62 dan 5:69, tentulah "beriman kepada Allah" sesuai dengan konsep iman Islam, bukan konsep iman kaum Kristen atau kafir Quraisy.
Terakhir, argumentasi kaum Pluralis Agama — bahwa "semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama" - jelas-jelas juga pendapat yang bathil. Jika semua jalan adalah benar, maka tidak perlu Allah memerintahkan kita berdoa "Ihdinash shirathal mustaqimr (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus!). Jelas, dalam surat al-Fatihah disebutkan, ada jalan yang lurus dan ada jalan yang tidak lurus, yaitu jalannya orang-orang yang dimurkai Allah dan jalannya orang-orang yang tersesat. Jadi, tidak semua jalan adalah lurus dan benar. Ada jalan yang bengkok dan jaian yang sesat[17]. Bagi kaum Muslim, syariat adalah jalan. Dan jalan yang benar itu sudah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw. Mengapa jalan itu tidak diikuti? Karena itulah, kaum Muslim sangat ketat dalam mengikuti syariat Nabi Muhammad saw. Bahkan, sampai hal-hal yang kadangkala dianggap kecil oleh sebagian orang. Lihatlah. semua orang Islam, saat melaksanakan tahiyyat dalam shalat, pasti yang dikeluarkan adalah jari telunjuknya. Bukan jari jempol atau jari yang lain!
Lagi pula, jika ada yang menyatakan "semua agama" adalah demikian, maka orang itu sebenarnya juga "asbun". Sebab, dia pun tidak mungkin mempelajari semua agama. Jumlah agama di dunia ini begitu banyak, ribuan jumlahnya. Agama yang manakah yang dimaksud oleh kaum Pluralis itu? Apakah termasuk juga agama Gatholoco dan Darmogandhul? Mereka pasti tidak akan sanggup membuat daftar agama-agama mana yang benar dan mana yang salah, sehingga secara serampangan dan asal-asalan menyatakan "semuanya benar". Sejumlah aliran agama juga telah dinilai menyimpang. Sekte bunuh diri Jim Jones pernah dilarang. Begitu juga aliran Children of God yang mengajarkan praktik seks bebas. Kini, di Indonesia juga muncul ajaran yang menamakan diri "Islam Progresif' ala Sumanto Al-Qurtuby yang juga mengajarkan bahwa seks bebas itu halal. asal dilakukan suka sama suka. la menulis dalam buku berjudul Jihad Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan Islam Progresif (terbit pertama Oktober 2009):
"Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktek "seks bebas" atau praktek seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti tercantum dalam diktum keagamaan, maka sesungguhnya kita tanpa sadar telah merendahkan martabat Tuhan itu sendiri. Jika agama masih mengurusi seksualitas dan alat kelamin, itu menunjukkan rendahnya kualitas agama itu.
Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin - seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi - itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh, maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan dan organ tubuh yang lain. Agama semestinya "mengakomodasi" bukan "mengeksekusi" fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena "daging yang kotor" tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda.
BAB IV
PENUTUP
Dengan semua penjelasan diatas, maka dapatlah kita fahami bahwa kita secara pasti dan yakin dapat melihat kekacauan logika dan kecurangan kaum Pluralis Agama dalam mempropagandakan pahamnya ke tengah masyarakat. Kita menyayangkan, bahwa mereka menggunakan ayat-ayat al-Quran untuk menjustifikasi paham tersebut. Ibaratnya, mereka menjual "minyak babi" dengan menggunakan cap "onta", dengan tujuan menipu masyarakat. Tentulah tindakan semacam ini sangat tidak patut dilakukan, apalagi oleh orang yang mengaku ingin melakukan perbaikan untuk masyarakat.
Sebagai Muslim, kita patut merenungkan firman Allah SWT:
"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan
(dari jenis) mamtsia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada
sebagian lainnya perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu." (QS Al-
An'am:112)
Terakhir, sebagai Muslim, kita berharap, tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mudah tersesat karena kebodohan, juga tidak termasuk ke dalam golongan yang mudah menggadaikan iman dengan harga yang murah, tidak menuruti hawa nafsu, hanya karena godaan kesenangan duniawi yang sesaat. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang mampu dan mau menangkap dan menerima kebenaran. Semoga kita tidak termasuk orang yang tahu akan kebenaran tetapi tidak mau menerima kebenaran, apalagi kemudian dengan sengaja mengubah-ubah dan menyembunyikan kebenaran untuk menyesatkan umat manusia. Na'udzubillah mm dzalika.
Komentar
Posting Komentar