Melawan Politik Diskriminasi Rasial
Opini: Eko Sulistyo
Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden
Kamis, 11 April 2019 | 17:00 WIB
Baru-baru ini di laman resminya, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam resolusinya tentang penghapusan rasisme, menegaskan kembali bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak-hak, untuk berkontribusi secara konstruktif terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Resolusi itu juga menekankan bahwa setiap doktrin superioritas rasial adalah salah secara ilmiah, dapat dikutuk secara moral, tidak adil secara sosial dan berbahaya, serta harus ditolak (http://www.un.org).
Menurut special rapporteur (pelapor khusus) PBB tentang bentuk-bentuk rasisme kontemporer, diskriminasi rasial, xenophobia dan intoleransi, E Tendayi Achiume, dalam laporannya baru-baru ini tentang populisme nasionalis, menganalisis ancaman populisme nasionalis terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) nondiskriminasi dan kesetaraan. Achiume mengutuk populisme nasionalis yang mengedepankan praktik dan kebijakan eksklusif atau represif yang merugikan individu dan kelompok berdasarkan ras, etnis, asal usul dan agama, atau kategori sosial lainnya.
Dalam laporan tersebut juga dipaparkan kecenderungan kontemporer media online untuk glorifikasi praktik-praktik naziisme dan neo-naziisme yang bisa memicu bentuk rasisme kontemporer. Pelapor khusus PBB ini juga menegaskan kewajiban negara di bawah hukum HAM untuk melawan ideologi ekstrem seperti itu secara online, serta tanggung jawab perusahaan teknologi mengenai prinsip-prinsip HAM.
Komitmen Internasional
Dalam perspektif HAM, kesetaraan dan antidiskriminasi merupakan prinsip dasar dalam Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948. Penegasan prinsip kesetaraan dan antidiskriminasi dalam pelaksanaan HAM, selanjutnya banyak diatur dalam instrumen hukum internasional tentang HAM.
Dalam perspektif HAM, kesetaraan dan antidiskriminasi merupakan prinsip dasar dalam Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948. Penegasan prinsip kesetaraan dan antidiskriminasi dalam pelaksanaan HAM, selanjutnya banyak diatur dalam instrumen hukum internasional tentang HAM.
Saat ini sudah ada berbagai norma internasional untuk mengurangi praktik diskriminasi dalam segala bentuknya. Dalam DUHAM sudah dinyatakan bahwa semua orang dilahirkan mempunyai martabat dan hak yang sama. Setiap orang juga memiliki kesetaraan dalam hak dan kebebasan tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, asal-usul kebangsaan, hak milik, ataupun kelahiran.
Puncak komitmen internasional upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial ditandai dengan disahkannya International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination oleh PBB pada 21 Desember 1965. Konvensi ini melarang segala bentuk diskriminasi etnis, ras, dan lainnya. Negara peserta yang menandatangani juga wajib melarang adanya penyebaran ujaran kebencian. Konvensi internasional ini hadir atas keyakinan bahwa semua manusia di dunia adalah sederajat di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama terhadap segala bentuk diskriminasi dan segala bentuk hasutan yang menimbulkan diskriminasi.
Indonesia sudah mengadopsi konvensi ini pada 25 Mei 1999 melalui UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All Form of Racial Discrimination 1965. Tahun 2008 DPR juga mengesahkan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. UU ini menyatakan bahwa segala tindakan diskriminasi ras dan etnis bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan DUHAM. UU ini memberi legitimasi hukum kepada pemerintah untuk menyelesaikan berbagai konflik di Indonesia yang berbasis suku, agama, dan ras yang pernah terjadi.
Konteks Indonesia
Saat ini upaya melawan praktik diskriminasi dalam segala bentuknya telah menjadi agenda global. Peristiwa serangan teroris di masjid Christchurch, Selandia Baru, dikecam dunia internasional sebagai bentuk islamophobia. PBB menyatakan kekerasan rasial dan diskriminasi berpangkal pada ideologi supremasi dan populisme etnik-nasionalis. PBB juga mendesak agar semua negara melakukan peran sungguh-sungguh dan mengesahkan kebijakan yang akan melindungi penduduk yang rentan dan menjamin kesetaraan rasial.
Saat ini upaya melawan praktik diskriminasi dalam segala bentuknya telah menjadi agenda global. Peristiwa serangan teroris di masjid Christchurch, Selandia Baru, dikecam dunia internasional sebagai bentuk islamophobia. PBB menyatakan kekerasan rasial dan diskriminasi berpangkal pada ideologi supremasi dan populisme etnik-nasionalis. PBB juga mendesak agar semua negara melakukan peran sungguh-sungguh dan mengesahkan kebijakan yang akan melindungi penduduk yang rentan dan menjamin kesetaraan rasial.
PBB juga menjadikan Mitigating and Countering Rising Nationalist Populism and Extreme Supremacist Ideologist sebagai tema internasional tahun ini. Menurut PBB, gerakan ekstrem kaum rasis berbasiskan ideologi yang mempromosikan populisme dan agenda nasionalis telah menyebar di berbagai penjuru dunia, menyebarkan rasisme, diskriminasi rasial, xenophobia, dan intoleransi.
Tema ini sangat relevan dengan fenomena Indonesia kontemporer, di mana politik kebencian dengan menggunakan isu ras dan agama telah masuk ruang politik formal dalam kompetisi elektoral. Politik kebencian dalam pemilu berpotensi menyeret massa luas dan menciptakan ketegangan sosial. Kasus pilkada DKI Jakarta 2017, memberi pelajaran penting mengenai pembelahan masyarakat akibat penggunaan politik kebencian dalam meraup suara elektoral.
Dalam konteks elektoral, upaya untuk mengatasi dan melawan politik yang menggunakan ideologi ekstrem yang menyebarkan kebencian antaragama, diskriminasi ras, xenophobia, dan intoleransi, diharapkan berbagai pihak bisa mencegah dan mengambil langkah hukum yang diperlukan.
Pertama, kepada penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu, harus tegas memberikan teguran, sangsi, dan langkah hukum kepada parpol, calon perseorangan, capres dan cawapres, tim sukses dan pendukungnya, agar melakukan kompetisi yang fair, tidak menggunakan isu suku, ras, agama, dan politik kebencian. Para peserta pemilu harus menjadikan momentum pemilu sebagai alat pendidikan politik cerdas kepada rakyat, bukan sebaliknya.
Kedua, kepada media massa mainstream, baik cetak, televisi, radio, dan online agar menggunakan media sebagai pendidikan politik bagi bangsa dengan menyebarkan pemilu damai, cerdas, dan berkualitas, tidak bersikap partisan dan membuat situasi kondusif dengan pemberitaannya.
Ketiga, kepada aparat penegak hukum agar berani bertindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa tebang pilih. Siapapun yang dianggap menyebarkan politik diskriminasi dan kebencian berbasis suku, ras, agama, harus ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Keempat, kepada masyarakat luas, jadikanlah momentum pemilu untuk memilih wakil rakyat dan presiden yang dianggap berkualitas karena program-programnya. Momentum pemilu juga dapat menjadi pendidikan politik kolektif bangsa untuk saling menghargai perbedaan pilihan dan memperkuat proses demokrasi.
Mari kita sukseskan pemilu dengan riang gembira. Berpolitik dengan sehat sambil menyerukan, “Katakan tidak untuk politik diskriminasi rasial!”
Komentar
Posting Komentar