MENGGALI CINTA DENGAN PUASA
Oleh Irsal Murad*
Ternyata bukan hanya umat Muhammad yang berpuasa. Sejarah mencatat, sebelum kedatangan Muhammad, umat Nabi yang lain diwajibkan berpuasa. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan, nabi Adam alaihissalam diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu. “Janganlah kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim”. (Al-Baqarah: 35).
Begitu pula nabi Musa bersama kaumnya berpuasa empat puluh hari. Nabi Isa pun berpuasa. Dalam Surah Maryam dinyatakan Nabi Zakaria dan Maryam sering mengamalkan puasa. Nabi Daud alaihissalam sehari berpuasa dan sehari berbuka pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad saw. Sendiri sebelum diangkat menjadi Rasul telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain. Malah masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa Asyura.
Begitu pula, binatang dan tumbuh-tumbuhan melakukan puasa demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga.
Jika berpuasa merupakan sunnah thobi’iyyah (sunnah kehidupan) sebagai langkah untuk tetap survive, mengapa manusia tidak? Terlebih lagi jika kewajiban puasa diembankan kepada umat Islam, tentu saja memikili makna filosofis dan hikmah tersendiri.
Karena, ternyata puasa bukan hanya menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan merefleksikan diri untuk turut hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, memusnahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepa selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan. Rahasia-rahasia tersebut ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat 183 surah al-Baqarah. Allah swt memerintahkan: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 183).
Allah swt mengakhiri ayat tersebut dengan “agar kalian bertakwa”. Syekh Musthafa Shodiq al-Rafi’ie (w. 1356 H/1937 M) dalam bukunya wahy al-Qalam mentakwil kata “takwa” dengan ittiqa, yakni memproteksi diri dari segala bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama, dan menjaga humanisme dan kodrat manusia dari perilaku layaknya binatang. Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari bentuk yang merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang atau nanti. Generasi kini atau esok.
Mazhab sosialisme yang mengalami masa kolapnya di Eropa, tak mampu mengubah, menambah dan mengurangi jatah perut pengikutnya. Mereka, para sosialisme yang dianggap sebagai “mazhab buku” tak pelak lagi memandang puasa sebagai “satu-satunya sistem sosialis yang paling unik dan justeru paling benar”! Bagaimana tidak, puasa adalah kefakiran secara ‘paksa’ yang ditentukan oleh syariat agama kepada seluruh umat (Islam) tanpa pandang bulu. Islam memandang sama derajat manusia, terutama soal “perut”. Mereka yang memiliki dolar, atau yang mempunyai sedikit rupiah, atau orang yang tak memiliki sepeserpun, tetap merasakan hal yang sama: lapar dan haus. Jika sholat mampu menghapus citra arogansi individual manusia diwajibkan bagi insan muslim, haji dapat mengikis perbedaan status sosial dan derajat umat manusia diwajibkan bagi yang mampu, maka puasa adalah kefakiran total insan bertakwa yang bertujuan mengetuk sensitifitas manusia dengan metode amaliah (praktis), bahwasanya kehidupan yang benar berada di balik kehidupan itu sendiri. Dan kehidupan itu mencapai suatu tahap paripurna manakala manusia memiliki kesamaan rasa, atau manusia “turut merasakan” bersama, bukan sebaliknya. Manusia mencapai derajat kesempurnaan (insan kamil) tatkala turut merasakan sensitifitas satu rasa sakit, bukan turut berebut melampiaskan segala macam hawa nafsu.
Dari sini puasa memiliki multifungsi. Setidaknya ada tiga fungsi puasa: tazhib, ta’dib dan tadrib. Puasa adalah sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik jiwa (ta’dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa: takwa. Takwa dalam pengertian yang lebih umum adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Takwa dan kesalehan sosial adalah dua wajah dari satu keping mata uang yang sama, mengintegral dan tak dapat dipisahkan.
Ada sejenis kaidah jiwa, bahwasanya “cinta” timbul dari rasa sakit. Di sinilah letak rahasia besar sosial dari hikmah berpuasa. Dengan jelas dan akurat, Islam melarang keras segala bentuk makanan, minuman, aktivitas seks, penyakit hati dan ucapan merasuki perut dan jiwa orang yang berpuasa. Dari lapar dan dahaga, betapa kita dapat merasakan mereka yang berada di garis kemiskinan, manusia papa yang berada di kolong jembatan, atau kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam hari atau terbakar terik matahari di siang hari. Ini adalah suatu sistem, cara praktis melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia. Adakah cara yang paling efektif untuk melatih cinta? Bukankah kita tahu bahwa selalu ada dua sistem yang saling terkait: yang melihat dan yang buta, yang cendikia dan yang awam, serta yang teratur dan yang mengejutkan.
Jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri menemukan kekuasaannya sebagai “sang mesias”, juru selamat. Orang yang berpunya dan hatinya selalu diasah dengan puasa, maka telinga jiwanya mendengar suara sang fakir yang merintih. Ia tidak serta merta mendengar itu sebagai suara mohon pengharapan, melainkan permohonan akan sesuatu hal yang tidak ada jalan lain untuk disambut, direngkuh dan direspon akan makna tangisannya itu. Orang berpunya akan memaknai itu semua atas pengabdian yang tulus, iimaanan wa ihtisaaban. Semua karena Allah, karena hanya Dia Sang pemilik segala.
* Penulis adalah Dewan Eksekutif Sanggar Kinanah, sedang menekuni filsafat di al-Azhar University, Kairo.
sumber Irsal Murad Blog
Ternyata bukan hanya umat Muhammad yang berpuasa. Sejarah mencatat, sebelum kedatangan Muhammad, umat Nabi yang lain diwajibkan berpuasa. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan, nabi Adam alaihissalam diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu. “Janganlah kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim”. (Al-Baqarah: 35).
Begitu pula nabi Musa bersama kaumnya berpuasa empat puluh hari. Nabi Isa pun berpuasa. Dalam Surah Maryam dinyatakan Nabi Zakaria dan Maryam sering mengamalkan puasa. Nabi Daud alaihissalam sehari berpuasa dan sehari berbuka pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad saw. Sendiri sebelum diangkat menjadi Rasul telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain. Malah masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa Asyura.
Begitu pula, binatang dan tumbuh-tumbuhan melakukan puasa demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga.
Jika berpuasa merupakan sunnah thobi’iyyah (sunnah kehidupan) sebagai langkah untuk tetap survive, mengapa manusia tidak? Terlebih lagi jika kewajiban puasa diembankan kepada umat Islam, tentu saja memikili makna filosofis dan hikmah tersendiri.
Karena, ternyata puasa bukan hanya menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan merefleksikan diri untuk turut hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, memusnahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepa selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan. Rahasia-rahasia tersebut ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat 183 surah al-Baqarah. Allah swt memerintahkan: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 183).
Allah swt mengakhiri ayat tersebut dengan “agar kalian bertakwa”. Syekh Musthafa Shodiq al-Rafi’ie (w. 1356 H/1937 M) dalam bukunya wahy al-Qalam mentakwil kata “takwa” dengan ittiqa, yakni memproteksi diri dari segala bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama, dan menjaga humanisme dan kodrat manusia dari perilaku layaknya binatang. Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari bentuk yang merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang atau nanti. Generasi kini atau esok.
Mazhab sosialisme yang mengalami masa kolapnya di Eropa, tak mampu mengubah, menambah dan mengurangi jatah perut pengikutnya. Mereka, para sosialisme yang dianggap sebagai “mazhab buku” tak pelak lagi memandang puasa sebagai “satu-satunya sistem sosialis yang paling unik dan justeru paling benar”! Bagaimana tidak, puasa adalah kefakiran secara ‘paksa’ yang ditentukan oleh syariat agama kepada seluruh umat (Islam) tanpa pandang bulu. Islam memandang sama derajat manusia, terutama soal “perut”. Mereka yang memiliki dolar, atau yang mempunyai sedikit rupiah, atau orang yang tak memiliki sepeserpun, tetap merasakan hal yang sama: lapar dan haus. Jika sholat mampu menghapus citra arogansi individual manusia diwajibkan bagi insan muslim, haji dapat mengikis perbedaan status sosial dan derajat umat manusia diwajibkan bagi yang mampu, maka puasa adalah kefakiran total insan bertakwa yang bertujuan mengetuk sensitifitas manusia dengan metode amaliah (praktis), bahwasanya kehidupan yang benar berada di balik kehidupan itu sendiri. Dan kehidupan itu mencapai suatu tahap paripurna manakala manusia memiliki kesamaan rasa, atau manusia “turut merasakan” bersama, bukan sebaliknya. Manusia mencapai derajat kesempurnaan (insan kamil) tatkala turut merasakan sensitifitas satu rasa sakit, bukan turut berebut melampiaskan segala macam hawa nafsu.
Dari sini puasa memiliki multifungsi. Setidaknya ada tiga fungsi puasa: tazhib, ta’dib dan tadrib. Puasa adalah sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik jiwa (ta’dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa: takwa. Takwa dalam pengertian yang lebih umum adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Takwa dan kesalehan sosial adalah dua wajah dari satu keping mata uang yang sama, mengintegral dan tak dapat dipisahkan.
Ada sejenis kaidah jiwa, bahwasanya “cinta” timbul dari rasa sakit. Di sinilah letak rahasia besar sosial dari hikmah berpuasa. Dengan jelas dan akurat, Islam melarang keras segala bentuk makanan, minuman, aktivitas seks, penyakit hati dan ucapan merasuki perut dan jiwa orang yang berpuasa. Dari lapar dan dahaga, betapa kita dapat merasakan mereka yang berada di garis kemiskinan, manusia papa yang berada di kolong jembatan, atau kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam hari atau terbakar terik matahari di siang hari. Ini adalah suatu sistem, cara praktis melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia. Adakah cara yang paling efektif untuk melatih cinta? Bukankah kita tahu bahwa selalu ada dua sistem yang saling terkait: yang melihat dan yang buta, yang cendikia dan yang awam, serta yang teratur dan yang mengejutkan.
Jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri menemukan kekuasaannya sebagai “sang mesias”, juru selamat. Orang yang berpunya dan hatinya selalu diasah dengan puasa, maka telinga jiwanya mendengar suara sang fakir yang merintih. Ia tidak serta merta mendengar itu sebagai suara mohon pengharapan, melainkan permohonan akan sesuatu hal yang tidak ada jalan lain untuk disambut, direngkuh dan direspon akan makna tangisannya itu. Orang berpunya akan memaknai itu semua atas pengabdian yang tulus, iimaanan wa ihtisaaban. Semua karena Allah, karena hanya Dia Sang pemilik segala.
* Penulis adalah Dewan Eksekutif Sanggar Kinanah, sedang menekuni filsafat di al-Azhar University, Kairo.
sumber Irsal Murad Blog
MEMAKNAI KESALEHAN SOSIAL
Seorang telah dianggap berbuat saleh seakan-akan sama dengan berbuat kebaikan. Padahal, kesalehan itu sama sekali sangat jauh persamaannya dengan kebaikan! Kesalehan adalah perbuatan yang berdampak positif kesudahannya. Ada nilai-nilai kebajikan yang didapatkan sesudah mengamalkan suatu perbuatan yang wajib, sunah, boleh dan baik. Anda belum tentu saleh apabila telah berbuat baik menurut pandangan kebanyakan manusia. Misalnya, anda membantu seorang nenek menyeberangi jalan raya.
Perbuatan yang telah anda lakukan itu bukan amal saleh, melainkan amal kebaikan! Amal kebaikan ditekankan untuk tidak berlaku diam bila anda sanggup melakukannya tanpa menyoal apakah ada kebajikan sesudahnya. Dalam contoh di atas, anda sebatas membantu menyeberangkan seorang nenek agar terhindar dari kecelakaan. Sesudah nenek di seberang, anda tidak lagi memperhatikan bagaimana sikap, perbuatan, aktivitas dan sebagainya dari nenek tersebut. Tetapi, anda akan diberi pahala oleh Allah karena turut membantu nenek yang sudah pikun selamat dari bahaya lalu lintas di jalan raya.
Perbuatan anda akan menjadi saleh dari contoh tersebut bila anda memahami adakah nenek tersebut akan menjadi lebih sehat ketika sampai di rumah, bagaimanakah nenek tersebut bila tidak ada yang menjaganya, adakah setiap hari dia dapat memperoleh makan, lalu anda memberikan perhatian sepenuhnya untuk nenek tersebut sebagaimana yang anda perhatikan. Artinya, anda tidak sebatas menolong nenek menyeberangi jalan, tetapi memperhatikan lebih untuk membantu kesudahan nenek tersebut dalam menjalani kehidupan di lingkungan keluarganya!
Amal perbuatan anda dapat dikategorikan amal kesalehan yang bersifat sosial bila mengamalkan seperti contoh tersebut di atas. Jadi, kesalehan sosial bermakna sebagai perbuatan yang dapat mendatangkan kebajikan sesudah suatu perbuatan yang bersifat sosial itu dilaksanakan.
Banyak kalangan, baik dari pemerintah maupun masyarakat dan swasta, berbuat kebaikan tetapi tidak berdampak positif sesudahnya. Sepertinya telah menolong, tetapi menjadikan yang ditolongnya tak mampu untuk berubah secara positif (baik). Ambil contoh program pengentasan kemiskinan. Satu sisi, pemerintah merasa bertanggung jawab untuk mendistribusikan kesejahteraan rakyat, maka digulirkan program bantuan modal usaha untuk kelompok usaha menengah ke bawah! Syaratnya adalah yang menerima modal betul-betul wiraswasta! Modal pun disesuaikan dengan perkembangan usaha! Akan tetapi, program ini tidak difollow up (tindak lanjut) bagaimana manajemen wirausahanya, pemasarannya, kualitas produknya dan sebagainya. Anda pasti kebingungan sekiranya usaha anda tidak berkembang dapat perguliran bantuan modal tetapi tidak ada pembinaan dari pemerintah lebih lanjut. Anda hanya mengulang modal tanpa memiliki starategi usaha yang dapat berkembang! Walhasil, usaha kelompok menengah ke bawah mengalami stagnasi dan kebingungan!
Konsep keberpihakan kepada masyarakat sudah dilakukan, tetapi tidak berdampak positif kesudahannya; usaha yang dibantu dengan permodalan tidak mengalami kemajuan yang berarti! Pemerintah telah beramal baik secara sosial, tetapi tidak dapat disebut sebagai berbuat kesalehan sosial.
Dalam Islam, amal saleh itu merujuk kepada perintah dan larangan Allah! Contoh, perintah Allah SWT kepada kaum beriman untuk mengingat Allah sebanyak-banyaknya agar hatinya menjadi tenang! Maka, sekiranya seorang mukmin berdzikir lalu hatinya tidak tenang berarti dzikirnya belum berdampak positif kesudahannya! Dzikirnya dapat pahala bila dilakukan! Tetapi, hakikatnya belum tercapai, yaitu ketenangan jiwa (hati)!
Anda seharusnya menjadi semakin tenteram atau tenang bila berdzikir kepada Allah! Sekiranya terjadi sebaliknya, berarti ada yang salah dalam berdzikir! Patutkah seorang mukmin berdzikir tetapi akalnya masih mendominasi perbuatan jahat? Ketenteraman hati bagi seorang pelaku dzikir apabila hatinya lah yang berdzikir, bukan semata-mata lisannya! Dzikir yang menenangkan adalah dzikir yang berdampak langsung kepada hati! Maka, sekiranya lisannya berdzikir sementara hatinya tidak, yang terjadi tetap tidak mengukuhkan ketenteram hati! Dzikir jasmaniah (lisan) sangat jauh berbeda dengan dzikir ruhaniah (hati atau ruh).
Allah SWT Mendengarkan suara hati yang sedang berdzikir, sekali pun tidak ada orang lain yang mendengarkannya. Ada nilai yang paling utama dari dzikir di hati (dzikir khofi). Pendekatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan penghampiran lahiriah cenderung diajak tidak sebagaimana hakikatnya! Setiap amal lahiriah berdampak lebih cenderung jasmaniah bila belum mengetahui hakikatnya! Sekiranya solat masih bersifat jasmaniah (adanya bacaan dan gerak), maka sulit menjangkau dampak ruhaniahnya! Akan tetapi, sekiranya solat dilakukan secara jasmaniah (adanya gerak dan bacaan solat) dan secara ruhaniah (berupaya memaknai setiap bacaan solat di dalam hati atau ruh), maka dampak solat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (hakikat solat). Ada dampak positif kesudahannya! Inilah amal soleh dari suatu perbuatan yang bersifat ruhaniah!
http://forum.republika.co.id/showthread.php?1123-Memaknai-Kesalehan-Sosial
KESALEHAN PRIBADI DAN KESALEHAN SOSIAL
Fazlur Rahman seorang intelektual muslim pernah menyatakan, seandainya Nabi Muhammad seorang mistikus tentu beliau tidak akan kembali lagi ke bumi pada peristiwa Isra’ Mikraj. Karena pada saat itu beliau bertemu langsung dengan Allah. Dan pertemuan dengan Allah itulah puncak spiritualitas dalam Islam.”Barang siapa mengharap penjumpaan (liqa) dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan amal saleh dan tidak menyekutukanNya.” (QS 18.Al Kahfi: 110). Akan tetapi karena Muhammad adalah seorang pejuang kemanusiaan beliau kembali ke bumi untuk berjuang di tengah-tengah manusia, meskipun perjumpaan itu telah dicapai. Perjumpaan dengan Allah merupakan kenikmaan luar biasa dan berjuang di tengah masyarakat bukanlah hal yang mudah dan menyenangkan. Tetapi nabi lebih memilih itu.
Peristiwa Isra’ dan Mikraj merupakan peristiwa yang sangat monumental bagi kehidupan umat islam. Sebagaimana kita ketahui perintah shalat 5 waktu di perintahkan kepada umat islam pada peristiwa ini. Shalat merupakan satu aktivitas sebagai wujud keimanan pada Allah. Maka dikatakan bahwa Shalat adalah tiang agama, barangsiapa menegakkannya maka dia menegakkan agama dan barangsiapa tidak menegakkannya berarti merubuhkan agama. Tidak hanya itu shalat merupakan satu ibadah yang pertama kali akan dihisab diakhirat kelak. Jika shalat kita baik maka amal ibadah yang lain juga akan baik. Maka dari sini kita bisa menarik satu kesimpulan bahwa kualitas kesalehan pribadi seorang muslim bisa diukur dari sejauh mana kualitas shalatnya. Sehingga demikian penting bagi kita untuk selalu menjaga dan memperbaharui agar shalat kita semakin baik dan semakin khusuk. Shalat yang baik secara umum bisa kita nilai dari banyak aspek antara lain memenuhi syarat dan rukun shalat, dikerjakan dengan penuh keikhlasan dan istiqamah. Dari aspek kualitatif Nabi SAW menyatakan dalam hadits yang cukup panjang yang intinya dalam beribadah kita harus bersikap ihsan , yaitu sikap dalam beribadah seolah-olah kita melihat Allah dan kalau tidak bisa seperti itu maka kita yakin bahwa Allah melihat kita. Jika tahapan seperti ini sudah bisa kita lalui maka bisa dikatakan secara pribadi kita sudah memiliki kualifikasi kesalehan.
Islam adalah agama yang ditujukan untuk memberikan rahmat bagi semesta alam. Tentunya kesalehan yang bersifat pribadi seperti di atas belumlah cukup. Maka ada kualifikasi lain dari aktivitas shalat yang baik yaitu shalat yang berimbas pada kemampuan mushalli (pelaku shalat) dapat mencegah perbuatan keji dan munkar(Al-Ankabut: 45) . Shalat melatih manusia untuk selalu merasa dalam pengawasan Allah (muroqobah) sehingga dalam kehidupan sehari-hari juga akan merasa diawasi oleh Allah sehingga akan takut untuk melakukan perbuatan kejahatan. Dengan shalat menjadikan manusia merasa bahwa Allah selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada ketakutan selain ketakutan pada Allah, merasa kuat karena merasa Allah melindungi kita. Bahkan Allah sendiri mengecam orang yang melakukan shalat tetapi lupa akan hakekat shalat itu sendiri.“Celakalah orang-orang yang shalat; yaitu orang yang lalai dalam shalatnya dan mereka yang riya (dalam shalatnya) dan enggan menolong dengan barang berguna” (QS. Al Maun 107:5-7). Maka dengan demikian semakin baik shalat seseorang semakin baik pula amal sosialnya, semakin peka terhadap persoalan-persoalan dalam masyarakat. Dengan demikian terdapat keseimbangan antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosialnya. Islam bukanlah agama mistik tetapi agama yang juga menekankan kerja sosial untuk rahmat dan kesejahteraan alam semesta. Wallahua’lam bisshawab.
http://kesalehansosial.blogspot.com/2007/03/kesalehan-pribadi-dan-kesalehan-sosial.html
KESALEHAN KOMUNITAS SOLUSI PROBLEMATIKA SOSIAL
Oleh: Efri S. Bahri
Setiap manusia terlahir suci dan bersih. Masa pertumbuhannya (tumbuh kembang) akan dipengaruhi oleh lingkungannya baik internal maupun eksternal. Lingkungan internal mencakup kedua orang tua dan anggota keluarga lainnya.
Sedangkan lingkungan eksternal mencakup masyarakat secara umum. Disamping itu, lingkungan eksternal juga mencakup lingkungan pendidikan formal.
Seorang anak yang tadinya sucu dan bersih, akan tetap terjaga kesucian dan kebersihannya apabila didukung oleh pondasi dan kekuatan aqidah. Pondasi dan kekuatan aqidah anak, insya Allah, akan kuat bila ditanam dan dipupuk serta dirawat sejak dini. Sebaliknya, aqidah anak akan menjadi lemah apabila benih aqidahnya tidak ditanam, dipupuk dan dirawat dengan baik. Rasulullah SAW mengingatkan dalam sabdanya, "Setiap anak Adam akan menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi tergantung pada kedua orang tuanya." Apabila kedua orang tuanya, mampu memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya, insya Allah akan meraih kenikmatan atas benih yang telah ditanam, dipupuk, dan dirawatnya itu.
Rasulullah SAW pernah bersabda, "Bila seorang anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal. Shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anal shaleh yang senantiasa mendo'akan kedua orang tuanya." Keshalehan individu dan keluarga, selanjutnya akan menjadi benih guna terwujudnya keshalehan komunitas. Dengan demikian hubungan antar individu, keluarga dan masyarakat menjadi sangat kondusif. Apabila masyarakat sudah ditopang dengan ketiga pilar tersebut (keshalehan individu, keluarga, dan komunitas), insya Allah, problema sosial masyarakat yang selama ini seringkali melingkupi masyarakat, mudah-mudahan tidak terjadi lagi. Kasus-kasus ketergantungan terhadap narkoba yang banyak 'menjangkiti' para pemuda-pemudi bahkan orang tua, akan dapat diminimalisir dengan makin kuatnya benteng keshalehan komunitas. Penjambretan pada angkutan kota juga tidak bakal terjadi bila sinergi antara para sopir, kenek, dan para penumpang berjalan baik. Orangpun tidak akan berani melakukan tindak kriminal bila pertahanan komunitas berjalan baik.
Seringkali, kasus-kasus kriminalitas terjadi disebabkan karena tidak adanya kepedulian antar individu, antar keluarga, dan antar komunitas masyarakat. Sehingga para pelaku tindak kriminal menjadi berani berbuat naif. Padahal, bila individu-individu lainnya peduli, para pelaku akan ketakutan, lari dan jera.
Guna menghadapi persoalan di atas, Allah telah memberikan pedoman dengan menyuruh manusia untuk bekerja. "Dan katakanlah: bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. At-Taubah: 105)
Jadi nyatalah bagi kita bahwa keshalehan individu dan keluarga dengan ditopang kekuatan aqidah dan kerja keras akan melahirkan masyarakat yang aman, tentram, sejahtera, lahir dan bathin.
http://kesalehansosial.blogspot.com/2007/03/kesalehan-komunitas-solusi-problematika.html
GUSTI ALLAH TIDAK ''NDESO''(KAMPUNGAN)
Emha Ainun Nadjib
http://kesalehansosial.blogspot.com/2007/03/emha-ainun-nadjib-gusti-allah-tidak.html
KESALEHAN PRIBADI DAN KESALEHAN SOSIAL
Fazlur Rahman seorang intelektual muslim pernah menyatakan, seandainya Nabi Muhammad seorang mistikus tentu beliau tidak akan kembali lagi ke bumi pada peristiwa Isra’ Mikraj. Karena pada saat itu beliau bertemu langsung dengan Allah. Dan pertemuan dengan Allah itulah puncak spiritualitas dalam Islam.”Barang siapa mengharap penjumpaan (liqa) dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan amal saleh dan tidak menyekutukanNya.” (QS 18.Al Kahfi: 110). Akan tetapi karena Muhammad adalah seorang pejuang kemanusiaan beliau kembali ke bumi untuk berjuang di tengah-tengah manusia, meskipun perjumpaan itu telah dicapai. Perjumpaan dengan Allah merupakan kenikmaan luar biasa dan berjuang di tengah masyarakat bukanlah hal yang mudah dan menyenangkan. Tetapi nabi lebih memilih itu.
Peristiwa Isra’ dan Mikraj merupakan peristiwa yang sangat monumental bagi kehidupan umat islam. Sebagaimana kita ketahui perintah shalat 5 waktu di perintahkan kepada umat islam pada peristiwa ini. Shalat merupakan satu aktivitas sebagai wujud keimanan pada Allah. Maka dikatakan bahwa Shalat adalah tiang agama, barangsiapa menegakkannya maka dia menegakkan agama dan barangsiapa tidak menegakkannya berarti merubuhkan agama. Tidak hanya itu shalat merupakan satu ibadah yang pertama kali akan dihisab diakhirat kelak. Jika shalat kita baik maka amal ibadah yang lain juga akan baik. Maka dari sini kita bisa menarik satu kesimpulan bahwa kualitas kesalehan pribadi seorang muslim bisa diukur dari sejauh mana kualitas shalatnya. Sehingga demikian penting bagi kita untuk selalu menjaga dan memperbaharui agar shalat kita semakin baik dan semakin khusuk. Shalat yang baik secara umum bisa kita nilai dari banyak aspek antara lain memenuhi syarat dan rukun shalat, dikerjakan dengan penuh keikhlasan dan istiqamah. Dari aspek kualitatif Nabi SAW menyatakan dalam hadits yang cukup panjang yang intinya dalam beribadah kita harus bersikap ihsan , yaitu sikap dalam beribadah seolah-olah kita melihat Allah dan kalau tidak bisa seperti itu maka kita yakin bahwa Allah melihat kita. Jika tahapan seperti ini sudah bisa kita lalui maka bisa dikatakan secara pribadi kita sudah memiliki kualifikasi kesalehan.
Islam adalah agama yang ditujukan untuk memberikan rahmat bagi semesta alam. Tentunya kesalehan yang bersifat pribadi seperti di atas belumlah cukup. Maka ada kualifikasi lain dari aktivitas shalat yang baik yaitu shalat yang berimbas pada kemampuan mushalli (pelaku shalat) dapat mencegah perbuatan keji dan munkar(Al-Ankabut: 45) . Shalat melatih manusia untuk selalu merasa dalam pengawasan Allah (muroqobah) sehingga dalam kehidupan sehari-hari juga akan merasa diawasi oleh Allah sehingga akan takut untuk melakukan perbuatan kejahatan. Dengan shalat menjadikan manusia merasa bahwa Allah selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada ketakutan selain ketakutan pada Allah, merasa kuat karena merasa Allah melindungi kita. Bahkan Allah sendiri mengecam orang yang melakukan shalat tetapi lupa akan hakekat shalat itu sendiri.“Celakalah orang-orang yang shalat; yaitu orang yang lalai dalam shalatnya dan mereka yang riya (dalam shalatnya) dan enggan menolong dengan barang berguna” (QS. Al Maun 107:5-7). Maka dengan demikian semakin baik shalat seseorang semakin baik pula amal sosialnya, semakin peka terhadap persoalan-persoalan dalam masyarakat. Dengan demikian terdapat keseimbangan antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosialnya. Islam bukanlah agama mistik tetapi agama yang juga menekankan kerja sosial untuk rahmat dan kesejahteraan alam semesta. Wallahua’lam bisshawab.
http://kesalehansosial.blogspot.com/2007/03/kesalehan-pribadi-dan-kesalehan-sosial.html
KESALEHAN KOMUNITAS SOLUSI PROBLEMATIKA SOSIAL
Oleh: Efri S. Bahri
Setiap manusia terlahir suci dan bersih. Masa pertumbuhannya (tumbuh kembang) akan dipengaruhi oleh lingkungannya baik internal maupun eksternal. Lingkungan internal mencakup kedua orang tua dan anggota keluarga lainnya.
Sedangkan lingkungan eksternal mencakup masyarakat secara umum. Disamping itu, lingkungan eksternal juga mencakup lingkungan pendidikan formal.
Seorang anak yang tadinya sucu dan bersih, akan tetap terjaga kesucian dan kebersihannya apabila didukung oleh pondasi dan kekuatan aqidah. Pondasi dan kekuatan aqidah anak, insya Allah, akan kuat bila ditanam dan dipupuk serta dirawat sejak dini. Sebaliknya, aqidah anak akan menjadi lemah apabila benih aqidahnya tidak ditanam, dipupuk dan dirawat dengan baik. Rasulullah SAW mengingatkan dalam sabdanya, "Setiap anak Adam akan menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi tergantung pada kedua orang tuanya." Apabila kedua orang tuanya, mampu memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya, insya Allah akan meraih kenikmatan atas benih yang telah ditanam, dipupuk, dan dirawatnya itu.
Rasulullah SAW pernah bersabda, "Bila seorang anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal. Shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anal shaleh yang senantiasa mendo'akan kedua orang tuanya." Keshalehan individu dan keluarga, selanjutnya akan menjadi benih guna terwujudnya keshalehan komunitas. Dengan demikian hubungan antar individu, keluarga dan masyarakat menjadi sangat kondusif. Apabila masyarakat sudah ditopang dengan ketiga pilar tersebut (keshalehan individu, keluarga, dan komunitas), insya Allah, problema sosial masyarakat yang selama ini seringkali melingkupi masyarakat, mudah-mudahan tidak terjadi lagi. Kasus-kasus ketergantungan terhadap narkoba yang banyak 'menjangkiti' para pemuda-pemudi bahkan orang tua, akan dapat diminimalisir dengan makin kuatnya benteng keshalehan komunitas. Penjambretan pada angkutan kota juga tidak bakal terjadi bila sinergi antara para sopir, kenek, dan para penumpang berjalan baik. Orangpun tidak akan berani melakukan tindak kriminal bila pertahanan komunitas berjalan baik.
Seringkali, kasus-kasus kriminalitas terjadi disebabkan karena tidak adanya kepedulian antar individu, antar keluarga, dan antar komunitas masyarakat. Sehingga para pelaku tindak kriminal menjadi berani berbuat naif. Padahal, bila individu-individu lainnya peduli, para pelaku akan ketakutan, lari dan jera.
Guna menghadapi persoalan di atas, Allah telah memberikan pedoman dengan menyuruh manusia untuk bekerja. "Dan katakanlah: bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. At-Taubah: 105)
Jadi nyatalah bagi kita bahwa keshalehan individu dan keluarga dengan ditopang kekuatan aqidah dan kerja keras akan melahirkan masyarakat yang aman, tentram, sejahtera, lahir dan bathin.
http://kesalehansosial.blogspot.com/2007/03/kesalehan-komunitas-solusi-problematika.html
GUSTI ALLAH TIDAK ''NDESO''(KAMPUNGAN)
Emha Ainun Nadjib
Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun :
"Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"
Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan." "Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya. "Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun."
Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi."
Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.
Kata Tuhan:
Kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu.
Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu.
Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini.
Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.
Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak- injaknya.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan.
Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.
Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.
Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial.
Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya.
Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama.
Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas).
Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.
Ekstrinsik Vs Intrinsik
Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya.
Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka."
Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup.
Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.
Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain.
Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport.
Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.
Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya.
Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.
Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh kedalam .
http://kesalehansosial.blogspot.com/2007/03/emha-ainun-nadjib-gusti-allah-tidak.html
Komentar
Posting Komentar