Menulis dengan Otak Dingin tapi Hati Hangat
oleh Sutomo Paguci
Mencoba memahami para komentator aktif di kompasiana baik yang sependapat dengan penulis maupun yang tidak sependapat. Para pengecam yang pedas ini kuklik akun Kompasiananya, kubaca artikelnya, dan kuajak berteman. Sekarang masih menunggu tanggapan. Hallo?
Penasaran mau melihat seberapa dewasa sikap para pengkritik itu. Apakah menganggap pihak yang kontra dengan pemikirannya sebagai musuh?
Aku sendiri penulis yang cukup bersemangat. Otak seperti bergemuruh menumpahkan segala kesumat pikiran. Treet-tret-tret tuts berbunyi dengan cepat. Otak menumpahkan segala kegelisahan pikiran ke ujung sepuluh jari. Ya, aku mengetik dengan sepuluh jari sambil mata terpejam. Suatu keahlian yang telah berpuluh tahun ku asah sejak SMP dulu.
Kadang kasihan melihat kawan yang begitu besemangat menulis, ide-idenya gemuruh seperti air terjun, tapi tak diimbangi kecepatan menulis. Ia menulis dengan dua ujung jari telunjuk kiri dan kanan. Nampaknya sih cepat bahkan brutal, tetapi sebenarnya lambat. Secepat apapun penulis dengan dua telunjuk tidak akan mampu mengalahkan sepuluh jari yang bergerak refleks seperti pendekar Dhanapati yang menggunakan ajian menjelma jadi sepuluh dalam “Puncak Dendam Dhanapati” buah karya Kompasianer Ken Hirai itu.
Bunyi tuts komputer yang dihajar dengan dua ujung jari kira-kira begini: tak-tuk tak-tuk tak-tuk. Sedangkan bunyi tuts yang digagahi sepuluh jari kira-kira begini: tret-tret-tret-treeeeet! Bablas. Satu artikel pendek selesai dalam 15 menit.
Wah kok jadi ngelantur nih. Rahasia menulis dengan otak dingin tapi hati hangat di Kompasiana segera dimulai! Otak boleh panas tapi hati tetap dingin. Tapi saya lebih merasa pas dengan istilah “hangat” untuk hati, yaitu sebentuk perasaan yang menangkap rasa kata denga antusias dan humor.
Saya sendiri tidak berpretensi harus mempertahankan apa yang saya pikirkan dengan hati penuh amarah, dendam, kebencian dan angkara murka anak manusia. Untuk apa? Cuma tulisan pemikiran aja kok dibawa serius banget. Setuju, ambil. Tidak setuju, ya tinggalkan. Walau aku orangnya agak sinis, tapi menghargai pemikiran yang berlawanan.
Kalau ada yang meninggalkan jejak digital di akun saya–umpamanya corong liberal, kafir, antek AS, antek Yahudi, Islamophobia, dst–bagaimana? Ya, santai aja. Dipikirin tapi tak masuk ke hati. Yang tahu apakah benar semua stigma itu adalah diri kita sendiri. Ikuti aja kata Stephen R Covey, kita yang memutuskan.
Begitupun ketika orang mengkritik konten tulisan, wah, ini wajib dipikirkan benar-benar. Dipikirkan dengan otak terbuka bahkan terngaga. Jangan-jangan kritik itu benar. Jika benar, ya perbaiki lain kali. Jika pun tidak benar, ya tetap berterima kasih sudah berpartisipasi.
Otak ini memang dibiarkan terbuka dengan segala ide: fundamental, literal, liberal, kapital, demokratis, ortodok, dan lain-lain. Sejauh ini ia membaca blog/web http://islamlib.com dan http://ulil.net. Sebaliknya dia juga membaca dengan serius blog http://IndonesiatanpaJIL.com. Dia membaca timeline #IndTanpaFPI, juga membaca timeline #IndonesiaTanpaJIL di twitter.
Sejauh ini Otak berusaha keras memahami alur pemikiran seumpama #IndonesiaTanpaJIL, Abu Bakar Ba’asyir, Irene Handono, Habib Rizieq. Namun pemikiran tersebut belum memuaskan logika si Otak. Habisnya, pemikiran mereka lebih banyak bernuansa provokasi, kebencian, bahkan kekerasan. Tapi si Otak akan tetap berusaha menyelami pemikiran mereka.
Sebaliknya. Logika si Otak yang terbuka itu justru terpuaskan oleh tulisan-tulisan tokoh Indonesia seperti Quraish Shihab, Gus Dur, Ulil Abshar Abdalla, Said Agil Siradj, Syafii Maarif, Abdul Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Abdurahman Saleh, Yusril Ihza Mahendra, Budiarto Shambazy, Andrea Hirata, Habiburrahman El Shirazy, Anis Baswedan, Pipih Nugraha, Dewa Gilang, Arab Kere, Katrokelana, Hanung DW Nugrahanto, dan Kompasianer senada lainnya.
Di tengah pertarungan pemikiran pro dan kontra itu, akhirnya si Otak bersandar pada Cinta. Siapa saja tokoh dunia yang memancarkan cinta dalam gerakannya? Nabi Muhammad, sudah tentu. Mahatma Gandhi, ya. Nelson Mandela, ya juga.
Sudah dulu menulisnya. Lagi sibuk.
Penasaran mau melihat seberapa dewasa sikap para pengkritik itu. Apakah menganggap pihak yang kontra dengan pemikirannya sebagai musuh?
Aku sendiri penulis yang cukup bersemangat. Otak seperti bergemuruh menumpahkan segala kesumat pikiran. Treet-tret-tret tuts berbunyi dengan cepat. Otak menumpahkan segala kegelisahan pikiran ke ujung sepuluh jari. Ya, aku mengetik dengan sepuluh jari sambil mata terpejam. Suatu keahlian yang telah berpuluh tahun ku asah sejak SMP dulu.
Kadang kasihan melihat kawan yang begitu besemangat menulis, ide-idenya gemuruh seperti air terjun, tapi tak diimbangi kecepatan menulis. Ia menulis dengan dua ujung jari telunjuk kiri dan kanan. Nampaknya sih cepat bahkan brutal, tetapi sebenarnya lambat. Secepat apapun penulis dengan dua telunjuk tidak akan mampu mengalahkan sepuluh jari yang bergerak refleks seperti pendekar Dhanapati yang menggunakan ajian menjelma jadi sepuluh dalam “Puncak Dendam Dhanapati” buah karya Kompasianer Ken Hirai itu.
Bunyi tuts komputer yang dihajar dengan dua ujung jari kira-kira begini: tak-tuk tak-tuk tak-tuk. Sedangkan bunyi tuts yang digagahi sepuluh jari kira-kira begini: tret-tret-tret-treeeeet! Bablas. Satu artikel pendek selesai dalam 15 menit.
Wah kok jadi ngelantur nih. Rahasia menulis dengan otak dingin tapi hati hangat di Kompasiana segera dimulai! Otak boleh panas tapi hati tetap dingin. Tapi saya lebih merasa pas dengan istilah “hangat” untuk hati, yaitu sebentuk perasaan yang menangkap rasa kata denga antusias dan humor.
Saya sendiri tidak berpretensi harus mempertahankan apa yang saya pikirkan dengan hati penuh amarah, dendam, kebencian dan angkara murka anak manusia. Untuk apa? Cuma tulisan pemikiran aja kok dibawa serius banget. Setuju, ambil. Tidak setuju, ya tinggalkan. Walau aku orangnya agak sinis, tapi menghargai pemikiran yang berlawanan.
Kalau ada yang meninggalkan jejak digital di akun saya–umpamanya corong liberal, kafir, antek AS, antek Yahudi, Islamophobia, dst–bagaimana? Ya, santai aja. Dipikirin tapi tak masuk ke hati. Yang tahu apakah benar semua stigma itu adalah diri kita sendiri. Ikuti aja kata Stephen R Covey, kita yang memutuskan.
Begitupun ketika orang mengkritik konten tulisan, wah, ini wajib dipikirkan benar-benar. Dipikirkan dengan otak terbuka bahkan terngaga. Jangan-jangan kritik itu benar. Jika benar, ya perbaiki lain kali. Jika pun tidak benar, ya tetap berterima kasih sudah berpartisipasi.
Otak ini memang dibiarkan terbuka dengan segala ide: fundamental, literal, liberal, kapital, demokratis, ortodok, dan lain-lain. Sejauh ini ia membaca blog/web http://islamlib.com dan http://ulil.net. Sebaliknya dia juga membaca dengan serius blog http://IndonesiatanpaJIL.com. Dia membaca timeline #IndTanpaFPI, juga membaca timeline #IndonesiaTanpaJIL di twitter.
Sejauh ini Otak berusaha keras memahami alur pemikiran seumpama #IndonesiaTanpaJIL, Abu Bakar Ba’asyir, Irene Handono, Habib Rizieq. Namun pemikiran tersebut belum memuaskan logika si Otak. Habisnya, pemikiran mereka lebih banyak bernuansa provokasi, kebencian, bahkan kekerasan. Tapi si Otak akan tetap berusaha menyelami pemikiran mereka.
Sebaliknya. Logika si Otak yang terbuka itu justru terpuaskan oleh tulisan-tulisan tokoh Indonesia seperti Quraish Shihab, Gus Dur, Ulil Abshar Abdalla, Said Agil Siradj, Syafii Maarif, Abdul Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Abdurahman Saleh, Yusril Ihza Mahendra, Budiarto Shambazy, Andrea Hirata, Habiburrahman El Shirazy, Anis Baswedan, Pipih Nugraha, Dewa Gilang, Arab Kere, Katrokelana, Hanung DW Nugrahanto, dan Kompasianer senada lainnya.
Di tengah pertarungan pemikiran pro dan kontra itu, akhirnya si Otak bersandar pada Cinta. Siapa saja tokoh dunia yang memancarkan cinta dalam gerakannya? Nabi Muhammad, sudah tentu. Mahatma Gandhi, ya. Nelson Mandela, ya juga.
Sudah dulu menulisnya. Lagi sibuk.
Komentar
Posting Komentar