HUBUNGAN ANTARA MASALAH
IMAN DAN PERADABAN
Pada
bulan juni 1936, M Natsir, seorang tokoh muda islam hasil pendidikan islam
Persis, bandung, yang akhirnya ditetapkan sebagai pahlawan Nasional Indonesia,
menulis sebuah artikel yang dimuat dalam majalah Pedoman masyarakat dengan
judul ” Islam dan kebudayyan”. Dalam artikel tersebut, M Natsir memulainya
dengan mengutip tulisan seorang orientalis { Sarjana yang ahli masalah-masalah
ketimuran ), Sir Hamilton Alexander Hoskeen Gibb dalam ketreranganya yang
berjudul Whither Islam Sebagai berikut; ” Islam is Indeed much more than, a
system of theology, it is a complete civilisation,” ( Capita Selecta, ( 1954 },
3}. Pernyataan jujur HAR Gibb ini menunjukkan dengan Jelas bahwa islam bukanlah
sebagaimana disangkakan orang bahwa islam hanyalah sekedar sistem ilimu
ketuhanan saja melainkan islam adalah sebuah bangunan peradaban yang komplit [
lengkap].
Dalam
sejarahnya, kalau kita telusuri secara cermat, umat islam yang dipenuhi rasa
keimanan yang mendalam memang telah berhasil mematahkan sebuah mozaik peradaban
dalam bingkai besar peradaban umat manusia. kalau mau jujur peradaban barat
dewasa ini, memang kita telah tahu sangat mempengaruhi peradaban dunia sampai
permulaan abad 21 ini, pada hakikatnya adalah keturusan dari peradaban islam
yang telah mendahuluinya. lalu orong bertanya , bagaimana seharusnya umat
beriman yang memeluk agama islam pada abad ini dan seterusnya dalam
kontekspembentukan peradaban berikutnya?
Pada
hakekatnya, kebudayyan adalah ” Proses” [ Produk]. Artinya, dalam apa yang
disebut ‘ Kebudayaan ” masih terjadi proses – proses pembentukan yang bisa
terjadi pasang surut, silah berganti, sampai menemukan pola umum yang
relatif mapan inilah yang disebut ” peradaban ” [ Civilisation ]. Pasang surut
dan silih bergantinya kebudayyan tersebut sebagai konsekuensi dari proses –
proses kreatif manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan pemuasan idialisme
yang ingin di expresikannya atau ditampilkannya secara nyata. Disamping itu
disebabkan pula kecemderungan keinginan terus belajar dan saling memmengaruhi
antara satu dengan lainnya.
digg
Dengan
Iman Membangun Peradaban
Secara politik, ormas terwakili
oleh utusan golongan yang perannya dihapus dalam UUD 45 amandemen, yang
kemudian digantikan DPD. Meski tanpa keterwakilan di DPR, organisasi
kemasyarakatan memiliki andil besar dalam membentuk peradaban.
Jean-Paul Sartre, filsuf ternama Prancis abad
20, menyebut Eropa malu kepada dirinya sendiri. Ketika peradaban Barat sampai
pada titik tertinggi di dunia, namun moralitas justru menurun. Sartre
mempertanyakan individu-individu yang justru terpuruk dalam pemujaan benda dan
pergaulan bebas, yang menjurus pada rusaknya nilai-nilai moral.
Peradaban bukan hanya
pencapaian teknologi maha canggih, namun juga keteraturan sosial. Bila
demikian, masyarakat madani yang diimpikan adalah sebuah masyarakat
berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum,
moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan
demokratis; dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara.
Membicarakan masyarakat madani di Indonesia
yang mayoritas muslim, dituntut untuk mewujudkan masyarakat yang terikat ukhuwah Islamiyyah (ikatan keislaman), ukhuwah wathaniyyah (ikatan
kebangsaan), dan ukhuwah
basyariyyah (ikatan
kemanusiaan) dalam bingkai NKRI.
Cendekiawan muslim Yudi
Latif melihat peran ormas Islam dalam masyarakat madani, adalah menjadikan
nilai-nilai tauhid sebagai landasan tata kehidupan mereka. Di dalamnya terisi
dengan individu-individu yang bebas dari sikap menzalimi diri sendiri. Berkumpul
dalam keluarga yang egaliter yang menjadi basis internalisasi dan ideologisasi
nilai-nilai kebaikan dan keimanan.
Di antara kaum
laki-laki dan perempuan terikat dalam relasi yang proporsional saling
melengkapi dalam rangka merealisasikan “amanah” penciptaan manusia. “Hak-hak
masyarakat terdistribusi secara proporsional hingga terbangun kesederajatan
sosial dan kehidupan yang tenteram dan dinamis menuju terbentuknya masyarakat
madani,” kata Yudi Latif.
Cita-citanya adalah
manusia Indonesia hidup dalam tatanan kekuasaan yang demokratis, berjalan dalam
koridor hukum dan agama, dan rakyat memperoleh hak-hak politiknya secara penuh.
Di sana tegak persamaan hak di hadapan hukum bagi setiap orang dengan prosedur
dan mekanisme yudisial yang berkeadilan.
Mereka berusaha dalam
sistem ekonomi egaliter, sebagai cermin dari ekonomi yang berkeadilan, yang
memungkinkan perilaku ekonomi yang adil dan memberikan akses yang sama pada
seluruh rakyat sehingga kekayaan tidak menumpuk hanya pada segelintir orang
yang memicu jurang kesenjangan.
Dimana pemanfaatan dan
pengendalian ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) secara etis sebagai modal
dasar pembangunan peradaban untuk kesejahteraan manusia Indonesia dan
kemandirian bangsa. Warna-warni kehidupan mencerminkan pluralitas kebudayaan
sebagai entitas yang berinteraksi secara harmonis menuju kemajuan
peradaban. Individu dan masyarakat mendapat pendidikan yang berkualitas,
untuk membangun manusia yang mampu merealisasikan “amanah” penciptaannya menuju
kehidupan sejahtera dan kemajuan bangsa.
Itulah masyarakat yang
relijius, yang seluruh komponennya bekerja sama dalam kebaikan, tolong-menolong
dalam menyejahterakan masyarakat dan meningkatkan keimanan. Masyarakat
yang adil dan makmur, yang melindungi warganya, mewujudkan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut menjaga ketertiban dunia. Suatu
masyarakat dan bangsa yang hidup berdampingan sejajar dengan bangsa-bangsa lain
di dunia, masyarakat dengan budaya takwa.
Indonesia yang dicitakan adalah kondisi
masyarakat yang hidup penuh dengan kasih-sayang, yang muda menghormati yang
tua, yang tua menghargai yang muda, laki-laki bahu membahu dengan perempuan,
dalam pluralitas kebudayaan. Sebuah taman sari kehidupan kolektif, yang
bermuara pada terjaminnya manusia dalam memenuhi 5 kebutuhan primer hidupnya (maqosid
syariah), yakni perlindungan atas: agama, jiwa, akal, harta dan
keturunan. Masyarakat adil, makmur, sejahtera dan bermartabat.
Peran
Iman dan Taqwa
Di mana peran iman dan
taqwa (Imtaq) dalam pembangunan peradaban Indonesia madani? Ada pada jantung
peradaban itu sendiri. Alasannya sederhana, karena Indonesia madani
adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada
nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati
pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong royong menjaga
kedaulatan negara.
Mantan Menteri Riset
dan Teknologi yang juga politisi PKS, Suharna Surapranata, menyebut masyarakat
madani sangat bergantung manusia menjadi obyek dan subyek. Pertama, karena
membangun peradaban madani ini bertumpu pada manusia sebagai obyek sekaligus
subyek (aktor), maka pembangunan manusia ini perlu dijalankan secara terpadu
antara sisi brain (aqliyah), mind (qolbiyah), dan body (jasadiyah). Pada
titik inilah pentingan Imtaq-spiritualitas-relijiusitas.
Menurut Suharna,
membangun kecerdasan manusia Indonesia, kesalehan sosial, dan kemajuan budaya
menuju peradaban madani atau dalam bahasa yang lebih operasional, menghapus
kebodohan, kekerasan sosial, dan keterbelakangan budaya, “Sebab kita memandang
kebodohan (rendahnya kualitas pendidikan), kekerasan (hilangnya kesantunan dan
kedamaian dalam menyelesaikan segala bentuk konflik), serta keterbelakangan
(kemandegan dan kejumudan) sebagai musuh sosial bangsa memerlukan kecerdasan
bukan hanya dari sisi intelektual/rasional (IQ),” ujar Suharna.
Namun IQ harus
ditunjang sisi emosional (EQ) dan spiritual (SQ), agar sempurnalah sosok
manusia Indonesia (insan kamil). Sisi emosional dan spiritual perlu
mendapat perhatian yang memadai dalam proses pembangunan manusia Indonesia ke
depan. Manusia yang cerdas paripurna itu akan lebih mampu menanggung beban dan
menghadapi segenap cobaan hidup (adeversity quotient/AQ) dalam menggerakkan roda
dan sebagai subyek pembangunan bangsa.
Manusia yang seimbang
antara sisi intelektual, emosional dan spiritual itu sangat menyadari posisi
dirinya dan tujuan yang akan dicapainya. Mereka tidak akan mudah mengalami
krisis identitas sebagaimana terlihat pada sebagian warga di sekelilingnya,
sehingga mereka dapat berperan sebagai unsur pengubah lingkungan dan pengarah
masyarakat untuk menuju masyarakat madani.
Mereka juga menyadari
betul agenda reformasi yang harus diperjuangkan, dan sejalan dengan cita-cita
kemerdekaan yang telah diproklamsikan sejak lama. Mereka tak mudah goyah dan
larut dalam perubahan zaman, bahkan menjadi pilar penjaga nilai-nilai
perjuangan dan membuat arus baru yang akan menyelamatkan masyarakat dari
kebobrokan dan kehancuran sosial.
Kedua, menurut Suharna,
ruh dari peradaban madani adalah keimanan. Manusia yang cerdas tidak
hanya memikirkan kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri, tetapi memikirkan
kepentingan dan keselamatan masyarakat umum. Mereka melawan egoisme dan individualisme,
lalu bersungguh-sungguh menumbuhkan semangat kolektif dan solidaritas sosial
tanpa pamrih.
Bagi insan kamil
sebagai subyek masyarakat madani, kesalehan bukan hanya semata bermakna
ketaatan menjalankan ritual agama dan ketentuan hukum, melainkan juga mengobarkan
spirit agama yang membebaskan dan substansi hukum yang menjunjung keadilan dan
kebenaran.
Kesalehan (ascetism)
berpangkal dari iman (faith) dan taqwa (pious), yang akhirnya melahirkan
tindakan nyata yang bermanfaat bagi orang banyak. Karenanya menjadi jelas
bila Imtaq-spiritualitas-relijiusitas menjadi strategis dalam pembangunan
peradaban Indonesia madani.
Aktor pembangunan
masyarakat madani ialah mereka yang paling besar kontribusinya kepada
masyarakat dan mengimplementasikan ketaatannya kepada Sang Khalik dengan
berbuat kebajikan serta melayani semua makhluk. Kesalehan pribadi yang
berakumulasi menjadi kesalehan publik akan membentuk lingkungan yang positif
untuk berkembangnya seluruh potensi kemanusiaan (humanity) dan kewargaan
(citizenry), melalui cermin peningkatan etos kerja, sikap terbuka akan kreasi
dan inovasi baru, serta menguatnya solidaritas sosial.
Ketiga, tujuan akhir
dari peradaban Indonesia madani adalah kesejahteraan, keadilan, martabat dll.
yang merupakan nilai-nilai luhur diferensiasi dari nilai keimanan. Manusia
madani berperan untuk menanggulangi krisis identitas dan modalitas bangsa;
mengubah kondisi keterbelakangan menjadi kemajuan budaya. Kemajuan personal
tidak hanya bersifat fisik, namun mengembangkan nilai-nilai universal
kemanusiaan, sehingga tiap warga menyadari fungsi dan peran hidupnya sebagai
seorang hamba, pemimpin, dan pembangun peradaban baru berbasis nilai-nilai
keimanan.
Kemajuan kolektif juga
tak hanya bersifat fisik dan material, melainkan tumbuh suburnya nilai dan
pranata keimanan, serta semakin menipisnya nilai dan pranata keburukan dan
kemungkaran. Kemajuan budaya bagi suatu bangsa berarti bangsa ini menyadari
kembali jati dirinya yang telah lama tererosi.
Jati diri itu antara
lain sebagai bangsa pejuang yang membenci segala bentuk penindasan, bangsa yang
mandiri dan menolak segala format ketergantungan, serta bangsa yang terbuka
terhadap perubahan dan menolak eksklusifisme atau fanatisme sempit. Bangsa yang
maju tak selalu berarti meninggalkan nilai-nilai relijius, tradisional dan
lokal, sepanjang itu masih mencerminkan substansi kebaikan dan kebenaran
universal. Namun, bangsa yang mau adalah bangsa, yang mampu memadukan
nilai-nilai modern yang lebih baik dengan warisan tradisional yang sesuai
tuntutan zaman, yang berbasis keimanan.
Selain faktor-faktor
nomatif, untuk mewujudkan pembangunan peradaban Indonesia madani, para aktornya
harus memiliki kredebilitas yang cukup (credibility agent of change).
Tanpa syarat kualitas ini, maka peradaban yang dicitakan tidak akan pernah
terwujud apalagi membawa berkah bagi kehidupan kolektif. Tiga syarat
kredibilitas itu adalah: integritas, akseptabilitas dan profesionalitas. Untuk
itulah Ketua Umum DPP LDII Prof Dr Abdullah Syam menyebut, LDII terus
menghasilkan kader yang profesional religius. “Mereka selain memiliki
pengetahuan dan kefahaman agama, juga profesional di bidangnya, dan memiliki
akhlak yang mulia,” papar Abdullah Syam.
Dengan demikian peran
Imtaq menjadi penting, strategis dan dominan dalam seluruh bangunan peradaban
Indonesia Madani. Imtaq menjadi ruh dan spirit peradaban Indonesia
madani, yang menyiadakan basis epos, etos dan elan vital dinamika transformasi
bangsa menuju keunggulan.
Komentar
Posting Komentar