Menyikapi
Kenaikan Harga BBM di Indonesia
Setiap
ada rencana kenaikan harga BBM selalu menimbulkan gejolak di masyarakat,
terutama dengan demonstrasi yang dimotori oleh mahasiswa. Saat ini misalnya PKS
yang kelihatannya kurang setuju dengan upaya itu.
Namun
secara objektif, bagaimana kita masyarakat seharusnya melihatnya? Haruskah
selalu kita menentangnya dan berapa harga BBM yang pantas menurut kita?
Kalau
kita lihat ke belakang kenaikan harga BBM itu sudah berkali-kali dilakukan dan
ada juga yang diturunkan di zaman Gus Dur dan SBY. Kenaikan harga BBM di
Indonesia dari tahun 1980 yang harga bensin hanya Rp 150 rupiah pernah
dinaikkan di zaman Pak Harto menjadi Rp. 550 per liternya. Tentu saja bisa
dipahami tidak menimbulkan keberatan dari pihak mahasiswa waktu itu karena
resikonya cukup besar.
Kemudian
tahun 2000 Gus Dur menurunkan harga bensin dari Rp 1.200 menjadi Rp 1.150, tapi
tahun 2001 dinaikkan menjadi Rp 1.450 per liternya. Akhirnya tahun 2009 lalu
harga bensin dan solar masih sama hingga saat ini.
Mungkin
menarik kalau kenaikan harga BBM itu dikaitkan dengan kemampuan masyarakat.
Kalau dikaitkan dengan pendapatan per kapita masyarakat, tahun 2008 pendapataan
per kapita masyarakat Indonesia menurut Bank Dunia mencapai $ 2.172 dan harga
bensin saat itu Rp. 6.000 per liter. Tahun 2009 kemudian harga bensin
diturunkan menjadi Rp 4.500 per liter pada saatbpendapatannper kapita
masyarakat $2.273.
Tahun
2012 harga bensin Rp. 4.5000 dan pendapatan per kapita masyarakat sudah
meningkat menjadi $ 3.910. Kalau melihat kondisi pendapatan perkapita
masyarakat ini, seharusnya kenaikan harga BBM ini tidak perlulah menimbulkan gejolak
besar di masyarakat (dengan catatan kenaikannya juga pantas).
Kalaupun
mahasiswa harus turun ke jalan untuk berdemonstrasi, lebih baik demonstrasinya
digunakan untuk menyuarakan agar anggaran negara yang ada benar-benar digunakan
Pemerintah dan penyelenggara negara lainnya untuk membantu masyarakat (termasuk
mahasiswa) dan menghilangkan praktek korupsi dalam bentuk apa pun.
Kalau
hanya menolak setiap kenaikan harga BBM tanpa argumentasi yang kuat, barangkali
bukan cara yang paling bijak. Apalagi seperti dalam tulisan di Kompasiana
kalau subsidi dicabut ada Rp 21 trilyun yang bisa dihemat.
Kenaikan
harga BBM di Indonesia
Tahun
|
Harga Premium
|
Harga Solar
|
Pendapatan per kapita menurut World
Bank ($)
|
Masa Pemerintahan
|
1980
|
Rp
150
|
Rp
52,5
|
Soeharto
|
|
1991
|
Rp
550
|
Rp
300
|
Soeharto
|
|
1993
|
Rp
700
|
Rp
380
|
Soeharto
|
|
1998
|
Rp
1.200
|
Rp
600
|
Soeharto
|
|
2000
|
Rp
1.150
|
Rp
600
|
Gus
Dur
|
|
2001
|
Rp
1.450
|
Rp
900
|
Gus
Dur
|
|
2002
|
Rp
1.550
|
Rp
1.150
|
Megawati
|
|
2003
|
Rp
1.810
|
Rp
1.890
|
Megawati
|
|
Maret
2005
|
Rp
2.400
|
Rp
2.100
|
SBY
|
|
Oktober
2005
|
Rp
4.500
|
Rp
4.300
|
SBY
|
|
2008
|
Rp
6.000
|
Rp
5.500
|
2.172
|
SBY
|
2009
|
Rp
4.500
|
Rp
4.500
|
2.273
|
SBY
|
2010
|
Rp
4.500
|
Rp
4.500
|
2.952
|
SBY
|
2011
|
Rp
4.500
|
Rp
4.500
|
3.495
|
SBY
|
2012
|
Rp
4.500
|
Rp
4.500
|
3.910
|
SBY
|
2013
|
Rp 4.500
|
Rp 4.500
|
3.910
|
SBY
|
Sumber : Bagian Hukum dan Humas BPH Migas dan Bank Dunia.
Komentar
Posting Komentar