Dalam kisah pewayangan, ada dua lakon yang paling saya sukai.
Kedua lakon itu adalah Bima Suci dan Semar mBangun Kayangan. Bagi saya, kedua
lakon ini memiliki kekuatan pesan dan filosofi yang demikian mendalam. Dalam
lakon Bima Suci, digambarkan Bima atau Werkudara yunior berjuang untuk mencari
air perwitasari. Sebuah perjuangan yang luar biasa, bahkan ketika nyawa harus
dipertaruhkan. Happy end.
Pun pula dengan kisah Semar mBangun Kayangan. Adalah Semar yang
memiliki keinginan untuk mbangun Kahyangan. Ide dan gagasan ini tentu saja
menggemparkan. Tidak hanya menggemparkan dunia, tetapi para dewa pun ikut
gempar. Ide dan gagasan Semar menimbulkan goro-goro, chaos. Semar dianggap
membangkang. Oleh karena itu, halal darah Semar tertumpah.
Persoalan utamanya adalah kesalahan memahami dan mengerti apa yang
dimaksud oleh Semar. Yang mengherankan, Kresna dan Arjuna pun salah mengerti
dan justru menjadi tokoh utama yang menentang keinginan Semar. mBangun
Kahyangan diartikan sebagai membangun tempat para dewa. Padahal yang
dimaksudkan adalah masuk ke dalam batin dan membangun kerohanian. Inilah yang
kemudian mengubah cara berpikir dan cara bertindak.
Mengingat lakon Semar mBangun Kahyangan ini, saya teringat dengan
revolusi mental yang ingin dibangun oleh Jokowi. Ada pemahaman yang keliru
berkaitan dengan revolusi mental ini. Kekeliruan utama adalah menganggap
revolusi mental sebagai sebuah gerakan yang melulu rohani atau batin yang
sungguh terpisah dari kehidupan senyatanya. Pemahaman yang keliru tentu akan
berpengaruh besar. Akibtanya bisa macam-macam. Misalnya salah
mengimplementasikan atau bahkan bisa menimbulkan kekacauan (minimal perdebatan
yang takselesai).
Dalam kisah Semar mBangun Kahyangan, Semar bermaksud membangun
mentalitas tuannya (pendawa), baik batin maupun kehidupan. Ini pula yang saya
tangkap dari gagasan revolusi mental ala Jokowi. Melalui gerakan revolusi
mental ini, sebuah gerakan pembatinan dan perubahan hidup hendak dicapai.
Gerakan revolusi mental ini terbingkai dalam sebuah pola kebudayaan. Melalui
gerakan revolusi mental ini hendak dicapai sebuah habitus baru. Ada habitus
baru tentu ada habitus lama. Dan berbicara soal habitus lama-baru, dibicarakan
sebuah kebudayaan.
Berbicara tentang kebudayaan tidak hanya berbicara soal seni.
Berbicara soal budaya berarti berbicara soal cara berpikir, rasa, dan sekaligus
cara bertindak. Semuanya iniyang terungkap dalam tindakan, praktik dan
kebiasaan kita sehari-hari.
Oleh karenanya, berbicara tentang revolusi mental sebenarnya
berbicara tentang hidup sehari-hari. Berbicara mengenai revolusi mental kita
berbicara tentang cara berpikir, cara merasa, dan sekaligus cara bertindak
kita. Dan inilah yang harus dibatinkan. Inilah yang harus direka ulang sehingga
terjadi perubahan konkret dari habitus lama ke habitus baru. Arah dari gerakan
ini adalah terciptanya sebuah keadaban publik. Bangsa Indonesia ini semakin
beradab.
Semudah membalik telapak tangan? Tentu tidak. Hanya dunia
pewayangan yang mampu membuat perubahan dari habitus lama ke habitus baru itu
dalam hitungan menit. Selalu ada tantangan dan perjuangan untuk menggapai buah
revolusi mental. Perjuangan tidak menjadi mudah. Bahkan ketika Semar harus berhadapan
dengan Arjuna dan Kresna. Meski terbayang betapa besar tantangannya, namun
selalu ada pengharapan. Sebuah contoh kecil adalah peristiwa yang terjadi dalam
setelah konser dua jari: gerakan membersihkan sampah sesudah pentas akbar. Luar
biasa? Jika diliat, terlihat biasa dan sederhana. Namun ketika direnungkan,
peristiwa sederhana itu ternyata berarti sangat besar.
Luar biasakah contoh itu? Bagi saya lebih luar biasa perjuangan
seorang anak kecil yang mematikan televisi ketika acara yang disenanginya masih
berlangsung lalu bergegas menuju ke kamarnya dan belajar. Atau lebih luar biasa
ketika ada seorang yang biasa menyerang tulisan orang lain tanpa membacanya
lalu tergerak untuk membaca, mengerti gagasannya, lalu memberikan tanggapannya
dengan kepala dingin.
Revolusi
mental adalah gerakan dari dalam diri dan keluar untuk mencapai keadaban
publik. Karenanya bisa dimulai dengan sesuatu yang kecil dan biasa terjadi
dalam hidup sehari-hari. Kuncinya: bangkit dan bergeraklah. Angkat pantat dan
mulai berubah untuk sebuah habitus baru dalam cara berpikir, cara merasa, dan
cara bertindak.
http://filsafat.kompasiana.com/2014/07/06/jokowi-berevolusi-mental-semar-mbangun-kahyangan-662715.html
Komentar
Posting Komentar