Politik Pengabdian
Sekitar hampir dua tahun lalu, salah satu isyarat politik dari PDI Perjuangan untuk mengusung Joko Widodo sebagai kandidat presiden dalam Pilpres 2014 adalah saat Megawati Soekarnoputri memerintahkan pada Joko Widodo untuk membacakan teks Dedication of Life, yang ditulis Soekarno pada tahun 1966, dalam Rakernas PDI Perjuangan di Ancol pada 6 Agustus 2013.
Teks itu sungguh menarik karena di dalamnya Presiden Soekarno menegaskan makna politik sebagai sebuah pengabdian. Politik sebagai dedikasi hidup kepada Tuhan YME, negara, rakyat, dan bangsa Indonesia.
Ikrar politik sebagai pengabdian, yang dua tahun lalu sempat diucapkan Presiden Joko Widodo, ini patut kita renungkan kembali di tengah mulai tumbuhnya kekecewaan politik terhadap lambatnya komitmen pemerintah untuk merealisasikan agenda-agenda publik. Serangkaian aspirasi yang menjadi kepentingan bersama sebagai warga republik, seperti komitmen pemerintah atas pemberantasan korupsi dan pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial warga.
Padahal, komitmen politik sebagai dedication of life mensyaratkan pemahaman akan kehendak warga negara sebagai poros utama politik. Sebuah poros politik bernegara, yang di dalamnya tebersit kepercayaan bahwa keberlangsungan tatanan kekuasaan yang adil membutuhkan dukungan kekuatan publik untuk menghadapi hambatan dan sandera politik maupun belenggu oligarki untuk memenuhi janji dan komitmen politiknya.
Malapraktik kekuasaan
Seruan yang menekankan politik sebagai pemenuhan kehendak publik adalah antitesa dari karakter politik yang masih melekat di Indonesia saat ini, yang meletakkan laku politik semata- mata sebagai ajang negosiasi maupun pertarungan kepentingan di kalangan aliansi-aliansi elite politik dominan. Suatu negosiasi dan pertarungan untuk memperoleh dan mempertahankan otoritas kekuasaan dan kemakmuran maupun penciptaan politik patronase berbasis material, sekaligus berbasiskan penguasaan dan pemanfaatan otoritas dan sumber daya publik (Jeffrey Winters, 2011; Robison dan Hadiz, 2003).
Saat ini, dalam konteks kepemimpinan politik, kepercayaan akan kekuatan kolektif warga sebagai sumber daya politik untuk menghadapi segenap hambatan politik agaknya tengah redup. Oleh karena itu, harus dinyalakan kembali.
Berlangsungnya indikasi malapraktik kekuasaan yang berlangsung dalam pertarungan di antara aparat penegak hukum adalah contoh kasus yang cukup terang. Keresahan publik atas indikasi kriminalisasi terhadap petinggi KPK maupun hakim Komisi Yudisial oleh aparat elite kepolisian, yang tidak direspons dengan tindakan tegas oleh presiden, adalah perwujudan dari fenomena di atas.
Di sisi lain, absennya langkah tegas dari pemimpin untuk mengamankan program pemberantasan korupsi dari tendensi malapraktik kekuasaan di atas memperlihatkan bahwa presiden lebih mempersepsikan politik sebagai upaya membangun keseimbangan politik elite dan mengabaikan kehendak warga sebagai tujuan laku politik dan modal politik utama untuk mempertahankan wibawa kekuasaan.
Sepertinya hal yang patut direnungkan kembali oleh Presiden Joko Widodo adalah bahwa ia terpilih lebih disebabkan oleh antusiasme dukungan warga yang telah jenuh dengan suasana elitisme politik yang terbangun selama ini. Warga pun lalu menginginkan perubahan karakter kekuasaan yang lebih berpihak pada agenda publik. Kemunculan Joko Widodo sebagai elite politik mencerminkan harapan publik akan terwujudnya politik yang lebih baik alih-alih sebagai penyambung suara kemapanan elite politik.
Kesadaran bahwa pada awalnya Presiden Joko Widodo muncul sebagai ikon publik yang mendambakan sebuah perubahan politik ketimbang figur politisi yang melengkapi oligarki kekuasaan adalah hal penting. Dengan kesadaran akan pemahaman politik di atas, maka presiden akan menyadari bahwa kuat dan lemahnya sumber daya kekuasaannya sangat bergantung pada dukungan publik terhadap inisiatif yang ia bangun daripada pembentukan konsesi-konsesi politik elite yang selalu berubah- ubah sesuai dengan logika pragmatis kepentingan.
Hanya dengan keyakinan untuk membangun kembali kekuatan kolektif akar rumput sebagai sumber daya politik utama untuk merealisasikan agenda publik, maka wibawa pemerintahan dapat terselamatkan. Tentu saja melalui dukungan dan partisipasi warga di tengah belenggu kepentingan dari kalangan elite politik yang menghalangi pelaksanaan agenda-agenda reformis dari pemerintahan.
Panggilan politik
Selain tampil sebagai bentuk gugatan, titik cerah tidak sepenuhnya hilang. Seruan menempatkan politik sebagai pengabdian masih tumbuh bersemi dalam dimensi lain wajahpolitik kita. Proses regenerasi politik masih terus berjalan pada arah yang tepat menuju kemajuan nilai-nilai republik.
Di tengah kegusaran publik atas dinamika politik kekuasaan yang enggan berubah dari karakter elitismenya, sikap optimisme di kalangan kaum muda untuk menjadikan jalan politik sebagai panggilan pengabdian tengah tumbuh dan bersemi.
Saat ini kita menyaksikan munculnya lapisan politisi muda usia 30-an tahun yang berani menerabas zona nyaman mereka. Mereka terpanggil untuk masuk dalam dunia politik dengan membawa perspektif baru tentang politik sebagai pemenuhan komitmen publik.
Di tapal batas kota Jakarta, misalnya, ada anak muda, seperti Dimas Oky Nugroho. Ia adalah seorang konsultan pembangunan dan aktivis sosial yang maju sebagai kandidat wali kota Depok dengan pemahaman politik sebagai tindak pelayanan publik dan merawat kebinekaan. Di PDI Perjuangan muncul intelektual progresif muda NU, Zuhairi Misrawi, yang masuk ke dunia politik untuk memajukan agenda pluralisme dan toleransi sosial.
Selain itu kita juga menyaksikan aktivis ormas Muhammadiyah yang selama ini bergelut di ranah intelektual, seperti Raja Juli Antoni. Ia kini menjadi sekretaris jenderal sebuah partai baru, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sebuah partai yang mengedepankan isu-isu kaum muda dan semangat kebersamaan sebagai platform politiknya.
Kemunculan sekumpulan politisi muda dengan ikrar politik sebagai pengabdian memang tak menjamin bahwa mereka tidak akan terserap oleh logika kekuasaan dominan. Namun demikian, kekhawatiran tersebut dapat diminimalisir bila angkatan politisi muda ini menyadari bahwa ideal- ideal politik yang mereka bangun hanya bisa dirawat dengan kemampuan mewujudkan political virtue (keadaban politik).
Dalam konteks ini, kapasitas politik mereka ditantang untuk membangun kesadaran kolektif dan kemauan mengorganisasikan kekuatan kolektif warga sebagai sandaran sumber daya politik utama. Juga keberanian dan kecerdasan menghadapi kecenderungan korup dan intoleran dari kekuatan politik lainnya pada waktu dan tempat yang tepat. Sebab, kapasitas dan keberanian politik seperti itulah yang dibutuhkan oleh warga negara dari pemimpin yang dipilihnya. (AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN)
Komentar
Posting Komentar