Langsung ke konten utama

TEOLOGI PLURALISME kumpulan dari beberapa artikel


TEOLOGI PLURALIS YANG MERUSAH (KERUKUNAN) AGAMA

Adian Husaini

Melalui artikelnya di harian ini edisi 24 Juni 2000 yang berjudul 'Mengembalikan Kerukunan Umat Beragama', Budhy Munawar-Rachman (BMR) mengajukan pemikiran bahwa kerukunan umat beragama dapat dicapai jika para pemeluk agama menganut -- dan mengembangkan -- teologi pluralis atau teologi inklusif. Sebaliknya, teologi eksklusif tidak kondusif dan menjadi akar munculnya konflik agama (SARA).


Teologi pluralis, menurut BMR, melihat agama-agama lain dibanding dengan agamanya sendiri dalam rumusan: 'other religions are equally valid ways to the same truth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid truths (John B Cobb Jr); Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar). Intinya, penganut teologi pluralis meyakini bahwa 'semua agama memiliki tujuan yang sama'. Dalam istilah lain, teologi pluralis dirumuskan sebagai 'satu Tuhan, dalam banyak jalan.' Untuk menguatkan pendapatnya, BMR mengutip ucapan Rumi: 'Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju Ka'bah?'

Teologi pluralis, menurut BMR, menolak paham ekslusivisme, sebab dalam eksklusifisme itu ada kecenderungan opresif terhadap agama lain. Teologi eksklusif dirumuskan sebagai pandangan yang menganggap bahwa hanya ada satu jalan keselamatan: Agama mereka sendiri.

BMR mencatat: 'Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter!' Dengan bahasa yang lebih sederhana bisa dirumuskan bahwa untuk terjadinya kerukunan umat beragama, maka seorang Muslim -- dan pemeluk agama lain -- harus menghindarkan sikap fanatik, dogmatis, dan otoriter, yang menganggap bahwa hanya agama yang dipeluknya yang benar. Pemeluk suatu agama harus menganut teologi pluralis: Ia harus meyakini bahwa agama lain juga benar, yang berbeda hanya cara saja. Tapi, tujuannya adalah sama.

Ide lama kemasan baru

Gagasan BMR sebenarnya gagasan lama yang dikemas dengan istilah-istilah yang lebih indah, seperti 'inklusif', 'pluralis', dan sejenisnya. Ide ini sama saja dengan gagasan sinkretisme, pendangkalan aqidah, atau sekularisme, yang semakin menjadi-jadi setelah World Parliement of Religions di Chicago tahun 1993 menyepakati perlunya suatu 'global ethics' untuk membangun perdamaian dunia.


Sejumlah tokoh di Indonesia juga rajin mengkampanyekan gagasan ini.
Salah satunya adalah Gus Dur.Baru empat hari terpilih sebagai Presiden RI, Gus Dur sudah mengeluarkan pernyataan yang bernada sinkretik ketika berkunjung ke Bali: 'Kalau kita benar-benar beragama, maka akan menolak kebenaran satu-satunya di pihak kita dan mengakui kebenaran semua pihak. Kebenaran mereka yang juga kita anggap berbeda dari kita. Ini yang paling penting. Oleh karena itu semuanya benar. Semuanya benar.'

Dalam bukunya berjudul Samakah Semua Agama?, misionaris Dr J Verkuyl memuat hikayat Nathan der Weise (Nathan yang Bijaksana). Nathan adalah seorang Yahudi yang ditanya oleh Sultan Saladin tentang agama manakah yang terbaik, apakah Islam, Yahudi, atau Nasrani. Ujungnya, dikatakan, bahwa semua agama itu intinya sama saja. Hikayat Nathan itu ditulis oleh Lessing (1729-1781), seorang Kristen yang mempercayai bahwa intisari agama Kristen adalah Tuhan, kebajikan, dan kehidupan kekal. Intisari itu, menurutnya, juga terdapat pada Islam, Yahudi, dan agama lainnya.

Ungkapan penyamaan agama juga pernah diungkap oleh Mahatma Gandhi: 'Setelah mempelajari lama dan seksama serta melalui pengalaman, saya sampai kepada kesimpulan bahwa

(1) semua agama itu benar,
(2) semua agama itu memiliki beberapa kesalahan di dalamnya,
 dan
 (3) semua agama itu bagi saya sama berharganya sebagaimana agama saya yaitu Hindu.

Menurut Gandhi, agama ibarat jalan yang berbeda-beda namun menuju titik yang sama (Gandhi, 1958).


Jadi paham persamaan agama sebenarnya bukanlah hal baru. Kaum sekular, sinkretis, bahkan kaum Zionis, pun telah mengembangkan paham ini ratusan tahun yang lalu. Jika BMR, Gus Dur, dan kawan-kawan kemudian ikut-ikutan menyuarakan paham persamaan agama, maka mereka adalah sebenarnya hanya menjadi bagian kecil dari kampanye global dari paham sekular atau sinkretis.

Pada kutub yang lebih ekstrem, para penganut paham penyamaan agama akan meragukan kebenaran agamanya sendiri atau menganggap semua agama sama saja dan benar, tidak ada yang salah.


Wacana dilematis semacam ini pernah diungkapkan oleh Ahmad Wahib dalam catatan hariannya, 'Pergolakan Pemikiran Islam' yang sangat kontroversial. Wahib yang sempat bergaul akrab dan diasuh selama lima tahun oleh romo HC Stolk SJ dan romo Willenborg, menulis: 'Aku tak tahu, apakah Tuhan sampai hati memasukkan dua orang bapakku itu ke dalam api neraka. Semoga tidak.' Program 'Free Masonry'

Bila ditelusuri secara mendalam, pemikiran sinkretis yang berupaya menyamakan semua agama, pada dasarnya adalah bentuk pelecehan terhadap agama. Pemikiran sinkretis semacam itu juga pernah dikembangkan oleh kelompok organisasi rahasia Yahudi Free Masonry. Kelompok ini pernah mendirikan perkumpulan teosofi di Indonesia dengan nama Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (Perkumpulan Teosofi Hindia Belanda, yang merupakan cabang dari perkumpulan teosofi yang bermarkas di Adyar, Madras, India (Saidi, 1994: 10-13).

Selain menyamakan agama-agama, kelompok ini juga berupaya menggabungkan nilai-nilai kebajikan pelbagai agama. Malah, menurut mereka, pelbagai agama itu masih harus disempurnakan lagi dengan ajaran teosofi versi mereka. (Majalah Teosofie In Nederlands Indie, No 1/Th 1, Mei 1910).

Pokok-pokok ajaran teosofi di antaranya,

 (1) menjalankan persaudaraan tanpa memandang bangsa, agama, dan warna kulit,

(2) semua agama yang digelarkan di dunia ini sama saja maksudnya. Semua agama berisi teosofi,

 (3) semua agama memerlukan tambahan 'ilmu kebersihan' seperti yang diajarkan teosofi.


Secara lebih lejas, misi teosofi digambarkan oleh Ketua Theosofische Vereeniging Hindia Belanda, D Van Hinloopen Labberton, pada majalah Teosofi bulan Desember 1912:
'Kemajuan manusia itu dengan atau tidak dengan agama? Saya kira bila beragama tanpa alasan, dan bila beragama tidak dengan pengetahuan agama yang sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah peduli agama apa yang dianutnya. Sebab yang disebut agama itu sifatnya: Cinta pada sesama, ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi yang disebut agama yang sejati itu bukannya perkara lahir, tetapi perkara dalam hati, batin.

Sepintas, ajaran-ajaran itu tampak indah. Padahal, ajaran-ajaran itu sebenarnya racun halus yang secara perlahan membetot keimanan seorang Muslim. Seorang Muslim yang menganut paham semacam itu, akan tidak terlalu peduli dengan konsep-konsep teologis agamanya sendiri, demi tujuan 'persaudaraan' kemanusiaan.

Kerancuan teologis


Hamka (alm) pernah menyatakan, orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama dan benar, sebenarnya orang itu tidak beragama. Logikanya, jika semua agama sama, maka buat apa beragama? Lalu, agama mana saja?

Bagi Muslim, 'teologi pluralis' versi BMR sangatlah aneh dan menyesatkan. Dalam tataran teologis, Islam memiliki konsep 'eksklusif' dan tegas. Hanya Islam yang benar, yang lain adalah kafir dan sesat. Hanya Islam jalan keselamatan. (QS 3:19, 3:85; 98:6; 5:72-75; dsb).


Di era 1970-an dan 1980-an, pemerintah Orde Baru dengan gerakan sekularisasinya juga sibuk membuat program pendangkalan aqidah dan 'pengikisan fanatisme' keagamaan. Gerakan itu disisipkan melalui buku-buku PMP yang sempat menyulut protes para pemimpin Islam. Pada intinya, program ini berusaha mengikis keyakinan keagamaan yang menganggap kebenaran hanya pada agamanya sendiri.

Teologi sinkretis (pluralis) yang dikembangkan Orde Baru itu terbukti amburadul dan kontraproduktif. Konflik SARA justru melonjak tajam di masa 'orde' itu. Data perusakan gereja yang dikeluarkan FKKI/FKKS (1997) menunjukkan lonjakan tajam perusakan/pembakaran gereja di era Orba.
Jumlah gereja yang ditutup, dirusak, atau dibakar di Indonesia Periode Tahun 1945-1997

Periode
Jumlah
Persentase (%)
Rata-rata/tahun
1945-1954
0
0
0
1955-1964
2
0
0,2
1965-1974
46
13
4,6
1975-1984
89
25
8,9
1985-1994
132
36
13,2
1995-1997
89
25
44,2
 
358
100
 

Sumber: FKKS-FKKI, 1997
Banyak analisis terhadap maraknya perusakan gereja di Indonesia di masa Orba. Yang jelas, rezim Orba melakukan penyeragaman ideologi dan 'mengharamkan' perdebatan (dialog) di tengah masyarakat, dan memunculkan 'hantu SARA'. Kepemimpinan BJ Habibie yang hanya berumur sekitar 500 hari juga tak melakukan perubahan berarti dalam penyelesaian kasus konflik SARA.

Masih serba tertutup dan tabu bicara soal SARA, khususnya dialog antaragama. Rezim Gus Dur, selain mengembangkan sinkretisme, juga cenderung pro-Kristen.
Masing-masing kelompok agama sebenarnya menginginkan dialog yang lebih terbuka, jujur, dan transparan, sehingga konflik ideologis tidak berlangsung dalam suasana intrik yang sangat tidak sehat, tidak jujur, dan didominasi semangat kemunafikan.

Orang Kristen tidak jujur dengan proyek Kristenisasinya. Orang Islam juga enggan terbuka soal konsep-konsep ideologis dan keagamaan Islam tentang kaum Nasrani. Jika dialog agama sudah berpijak kepada 'ketidakjujuran' dan 'kemunafikan', maka dialog itu akan berujung kepada kesia-siaan.

Teologi pluralisme versi BMR pada ujungnya hanya akan mengulang tragedi konflik SARA di masa Orde baru dan mengembangkan kemunafikan seperti ini

http://media.isnet.org/islam/Etc/Plural.html


 MELAMPUI PLURALISME TEOLOGIS MENUJU 

  CIVIC PLURALISM

                    Posted by Hatim Gazali


“Many faiths all claiming to be true”, demikian pernyataan John Hick (1990: 109). Benar, setiap agama senantiasa mengklaim benar, bahkan paling benar ketimbang yang lain. Klaim inilah yang menjadi salah satu faktor terjadinya konflik antar agama.

Karena itulah, keragaman ini oleh Harold Coward (1985) dinilai sebagai problem dan tantangan terbesar umat manusia. Tak pelak, upaya mencari titik temu sebagai upaya menciptakan perdamaian antar agama terus dilakukan, termasuk melalui gagasan pluralisme agama. Kendati istilah pluralisme tak bermakna tunggal (Riis Ole: 1999), tetapi istilah ini dapat dimengerti sebagai respon, pengakuan, dan sikap aktif untuk menjaga keragaman, tanpa disertai truth claim secara sepihak, sehingga bisa hidup bersama dalam keragaman secara damai.
Salah satu perspektif untuk mencari titik temu antar agama dilakukan dalam ruang teologis (theological pluralism). Adanya pluralitas agama ini merupakan kombinasi (Legenhausen: 1997) antara respon manusia terhadap the One (Hick: 1990)dan manifestasi Tuhan (Nasr:1993). Dalam perspektif ini, setiap agama diyakini memiliki kesamaan—atau sekurang-kurangnya kesejajaran—teologis.

Bahwa setiap agama sama menuju the Ultimate Reality/ sensus nominus, mengajarkan kebaikan, keadilan dan sebagainya. Singkatnya, pada level esoterik/transenden semua agama satu (the transcendent unity of religion), dan beragam dilevel eksoterik.
Pertanyannya, apakah penemuan titik temu agama-agama mampu menyelesaikan konflik antar agama? Bukankah sebuah konflik tak pernah berakar tunggal? Dan, bukankah yang sering jadi problem adalah hal-hal yang eksoterik-artifisial, tidak hanya antar agama tetapi juga intra agama?
Memang, pluralisme teologis telah memberikan konstribusi dalam menemukan titik temu antar agama. Namun demikian, ia tidak langsung ke jantung soal di masyarakat. Yang menjadi pokok soal hubungan antar agama dan intra agama bukan pada hal-hal yang universal-esoterik, melainkan kepada hal-hal partikular-eksoterik dimana theological pluralism tak banyak berbuat apa-apa. Disini, perlu disadari bahwa gagasan pokok pluralisme adalah hidup bersama secara damai dalam keragaman.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, keragaman agama/keyakinan tak hanya menghadirkan truth claim, melainkan yang kerap terjadi saat ini adalah—apa yang telah disebut Diana L. Eck (2007)—the confusion of arena of discourse. Bahwa penolakan terhadap teologi tertentu tak jarang berbuntut kepada penolakan sebagai warga negara. Contoh yang paling nyata terhadap hal ini adalah keberadaan Ahmadiyah dan sejumlah aliran-aliran non-mainstream.

Perbedaan keyakinan satu kelompok dengan kelompok lainnya menjadi justifikasi untuk menolak sebagai warga negara dengan melakukan diskriminasi dan kekerasan.  Kekerasan yang menimpa Ahmadiyah terjadi secara massal disejumlah tempat, seperti di Tasikmalaya (19/12/2007), Sukabumi (25/4/2008), Bogor (30/4/2008), Makassar (20/6/2008), dan lain sebagainya.
Civic Pluralism [1]
Mengigat adanya “kekacauan arena” ini, sudah saatnya mengembangkan gagasan pluralisme dari theological pluralism menuju civic pluralism. Ini penting dilakukan karena teologi/agama hanyalah satu dari beragam identitas warga negara.

Juga, sejauh ini pluralitas agama/keyakinan senantiasa direspon secara teologis—dimana vonis sesat atau tidak menjadi taruhannya—dan pendekatan struktural
Civic pluralism (Zainal Abidin Bagir, 2009) tidak melihat keragaman dalam perspektif teologis dimana suatu keyakinan tertentu bisa divonis iman-kafir, melainkan ditempatkan dalam ruang politik yang terkait dengan hubungan pemerintah dan rakyatnya, dan relasi-relasi sosial dalam masyarakat.

 Karena itulah, civic pluralism tidak memberikan privilege terhadap suatu komunitas tertentu. Sebaliknya, pemerintah dan masyarakat harus sama-sama berperan aktif dalam menciptakan ruang-ruang dialog yang sehat dan dapat diakses seluas-luasnya oleh seluruh warga negara, sehingga tercipta kehidupan berbangsa dan bernegara secara rukun, damai dan partisipatif.

Disamping itu, civic pluralism juga mengakui keragaman identitas, dimana agama hanyalah sebuah identitas sebagaimana identitas lainnya, seperti etnisitas, ras, gender, bahasa dan sebagainya. Akibatnya, tak ada satu orang pun yang memiliki satu identitas. Seseorang yang beridentitas Ahmadiyah, pada saat yang sama juga memiliki identitas sebagai, misalnya, orang jawa, dan laki-laki atau perempuan. Karena itulah, kategorisasi mayoritas-minoritas menjadi tidak berlaku.
Pemosisian pluralitas agama ataupun lainnya dalam landscape civic pluralism akan menghindarkan dari perdebatan teologis yang melelahkan, tetapi justru menuntut adanya ketegasan kebijakan pemerintah dalam mengelolah keragaman tersebut. Ini penting, karena titik temu teologis bisa saja dijumpai tetapi kekerasan masyarakat terhadap suatu kelompok tertentu dan bahkan dilakukan negara melalui politik pembiaran akan tetap terjadi.

 Sebaliknya, kendati tak dijumpai titik temu teologis masing-masing agama, hidup rukun-damai sesama warga negara dalam ragam identitas tetap bisa terjadi.
Dalam hemat saya, theological pluralism bukan saja hanya bisa dinikmati oleh kalangan elit-agawaman karena titik temu terjadi pada esensi agama belaka, tetapi juga—di Indonesia—melahirkan kontroversi yang tak berkesudahan baik di internal NU ataupun di komunitas agama lainnya bahkan telah difatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia. Fatwa haram ini seharusnya tidak terjadi, akan tetapi wacana pluralisme di tanah air telah dimaknai sebagai penyamaan agama (relativisme, Buster G. Smith, 2007).

Padahal, pluralisme melampaui relavitisme. Eck (2001:71) menandaskan “Pluralism is not simply relativism. It does not displace or eliminate deep religious commitments or secular commitments for that matter. It is, rather, the encounter of commitments”
Dengan menempatkan agama/keyakinan sebagai identitas sebagaimana identitas lainnya seperti gender, ras, etnis, bahasa dan sebagainya, ini akan memberikan keuntungan; yakni negara tak memberikan privilege terhadap komunitas tertentu karena keyakinan adalah urusan privat setiap warga negara (sekularisme, Berger, 1994; 155), dan juga terlepas dari vonis sesat-menyesatkan terhadap komunitas tertentu yang berbeda dengan mainstream.

Yang menjadi tugas negara/pemerintah bukan lagi menentukan apakah suatu keyakinan tertentu sesat secara teologis, tetapi apakah komunitas tertentu—apapun identitasnya—melanggar konstitusi, hukum dan peraturan yang ada. Karena itulah, negara tak memiliki wewenang untuk mengintervensi keyakinan tertentu, tetapi justru menciptakan ruang-ruang dialog antar komunitas agama, etnis, ras yang bisa diakses oleh seluruh warga negara dengan membuat peraturan-peratuan yang mengatur hubungan antar komunitas tersebut (Pluralist polity dalam istilah Martin Marty).

Ke arah inilah saya kira negara/pemerintah mesti bergerak dalam mengelola keragaman negeri ini. Pasalnya, civic pluralism yang “tak menganggu” suatu teologi tertentu, saya kira lebih muda diterima dan dikelola dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. [Wallahu ‘a’lam].


[1] Sebenarnya, civic pluralism sendiri tak memiliki definisi tunggal. Tom Soutphommasane (2005), misalnya, menempatkannya sebagai satu model dari multikulturalisme. Ini berbeda dengan Eck (2007) yang membicarakan pluralisme pada tiga level; akademis, teologis dan civic.  Dalam hemat saya, civic pluralism bukan sekedar penghargaan terhadap keragaman identitas dan hak-hak sivik warga negara—seperti agama, ras, gender dan orientasi seksual—yang diletakkan dalam kerangka politik, tetapi juga ada engagement dan perlindungan hukum terhadapnya.




TEOLOGI PLURALIS KAUM SEKULER YANG MENGACAUKAN AQIDAH ISLAM



Melalui artikelnya di harian Republika, 24 Junni 2000 yang berjudul "Mengembalikan Kerukunan Umat Beragama," Budhy Munawar Rachman mengajukan pemikiran bahwa kerukunan umat beragama dapat dicapai jika para pemeluk agama menganut dan mengembangkan teologi pluralis atau teologi inklusif. Sebaliknya, teologi eksklusif tidak kondusif dan menjadi akar munculnya konflik agama (SARA).
Teologi pluralis, menurut Rachman, melihat agama-agama lain dibanding dengan agamanya sendiri dalam rumusan: other religions are equally valid ways to the same truth (John Hick); other religions speak af different but equally valid truths (John B. Cobb Jr); each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar). Intinya, penganut teologi pluralis meyakini bahwa semua agama memiliki tujuan yang sama.

Dalam istilah lain, teologi pluralis dirumuskan sebagai "Satu Tuhan dalam banyak jalan". Untuk menguatkan pendapatnya, Rachman mengutip ucapan Rumi, "Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tahu bahwa ada banyak jalan menuju Ka'bah?"
Teologi pluralis, menurut Rachman, menolak paham eksklusivisme, sebab dalam eksklusivisme itu ada kecenderungan oppressive 'menindas' terhadap agama lain. Teologi eksklusif dirumuskan sebagai pandangan yang menganggap bahwa hanya ada satu jalan keselamatan, yaitu agama mereka sendiri. Rachman mencatat, "Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter!"
Dengan bahasa yang lebih sederhana, bisa dirumuskan bahwa untuk terjadinya kerukunan umat beragama, seorang muslim dan pemeluk agama lain harus menghindarkan sikap fanatik, dogmatis, dan otoriter, yang menganggap bahwa hanya agama yang dipeluknya yang benar. Pemeluk suatu agama harus menganut teologi pluralis; ia harus meyakini bahwa agama lain juga benar; yang berbeda hanya cara, tetapi tujuannya adalah sama.
Ide Lama Kemasan Baru

Gagasan Rachman sebenarnya bukan barang baru, hanya saja dikemas dengan istilah-istilah yang lebih indah, seperti inklusif, pluralis, dan sejenisnya. Ide ini sama saja dengan gagasan sinkretisme, pendangkalan aqidah, atau sekularisme, yang semakin menjadi-jadi setelah World Parliement of Religions di Chicago tahun 1993 menyepakati perlunya suatu global ethics untuk membangun perdamaian dunia.

Sejumlah tokoh di Indonesia juga rajin mengampanyekan gagasan ini, salah satunya adalah Gus Dur.Mantan presiden RI ke-4 ini pernah mengeluarkan pernyataan bernada sinkretis ketika berkunjung ke Bali, "Kalau kita benar-benar beragama, maka akan menolak kebenaran satu-satunya di pihak kita dan mengakui kebenaran semua pihak. Kebenaran mereka yang juga kita anggap berbeda dari kita. Ini paling penting. Oleh karena itu, semuanya benar.

Semuanya benar." (Terlepas dari apakah berlainan antara tujuan yang disampaikan dengan apa yang ada di dalam hatinya, mungkin demi tercapainya kedamaian antara pemeluk-pemeluk agama, yang jelas Nabi kita Muhammad saw. tidak pernah memberikan contoh ungkapan-ungkapan kepada umat pemeluk agama lain seperti itu. Beliau hanya menyampaikan risalah dari Tuhannya, Inaddina indallahil Islam, Laikraha fiddin, Lakum dinukum waliyadin. ed.).
Seorang misionaris, Dr. J. Verkuyl, menulis buku berjudul Samakah Semua Agama? Dalam buku tersebut, Verkuyl memuat hikayat Nathan der Weise 'Nathan yang Bijaksana'. Nathan adalah seorang Yahudi yang ditanya oleh Sultan Saladin tentang agama manakah yang terbaik, apakah Islam, Yahudi, atau Nashrani; ujung-ujungnya dikatakan bahwa semua agama itu intinya sama saja. Hikayat Nathan itu ditulis oleh seorang beragama Kristen bernama Lessing (1729-1781).
Jadi, paham persamaan agama sebenarnya bukanlah hal yang baru. Kaum sekuler, sinkretis, bahkan kaum Zionis pun telah mengembangkan paham ini ratusan tahun yang lalu. Jika Budhy Munawar Rachman, Gusdur, Nurkholish Madjid, dan kawan-kawannya kemudian ikut-ikutan menyuarakan paham persamaan agama, oknum-oknum tersebut sebenarnya hanyalah pengekor, bukanlah pembaharu, yang menjadi bagian kecil dari kampanye global paham sekuler atau sinkretisme.
Program Freemasonry
Jika ditelusuri secara mendalam, pemikiran sinkretisme yang berupaya menyamakan agama pada dasarnya adalah bentuk pelecehan terhadap agama. Pemikiran sinkretisme semacam itu juga pernah dikembangkan oleh kelompok organisasi rahasia Yahudi: Freemasonry. Kelompok ini pernah mendirikan perkumpulan teosofi di Indonesia dengan nama Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (Perkumpuln Teosofi Hindia Belanda) yang merupakan cabang dari perkumpulan teosofi yang bermarkas di Adyar, Madras, India. (Saidi, 1994, hlm. 10-13).
Selain menyamakan agama-agama, kelompok ini juga berupaya menggabungkan nilai-nilai kebajikan pelbagai agama. Malahan, menurut mereka, pelbagai agama itu masih harus disempurnakan lagi dengan ajaran teosofi versi mereka. (Majalah Teosofie In Nederland Indie, No. 1, Th. 1, Mei 1910).
Secara jelas, misi teosofi digambarkan oleh Ketua Theosofische Vereeniging Hindia Belanda, D. Van Hinloopen Labberton, pada majalah Teosofi bulan Desember 1912 seperti berikut ini, "Kemajuan manusia itu dengan atau tidak dengan agama. Saya kira bila agama tanpa alasan dan bila beragama tidak dengan pengetahuan agama yang sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah peduli agama apa yang dianutnya. Sebab, yang disebut agama itu sifatnya: cinta pada sesama, ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi, yang disebut agama yang sejati itu bukannya perkara lahir, tetapi perkara dalam hati, batin."
Sepintas, pernyataan itu tampak indah, padahal ajaran semacam itu tak ubahnya seperti ajaran-ajaran kaum kebathinan yang tidak mempermasalahkan agama apa yang dianutnya tetapi yang penting batinnya. Pernyataan semacam ini adalah racun halus yang secara perlahan dapat membetot keimanan seorang muslim. Seorang muslim yang menganut paham semacam itu akan tidak peduli terhadap ajaran atau konsep yang telah diajarkan oleh Rasulnya sendiri yang diperolehnya melalui wahyu dari Allah SWT, hanya demi persaudaraan kemanusiaan.
Kerancuan Teologis
Hamka (alm.) pernah menyatakan, orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama dan benar sebenarnya ia tidak beragama. Logikanya, jika semua agama sama, buat apa ia beragama? (Buat apa pusing memilih salah satu agama? Toh, semua agama benar? ed.) Lalu, agama man saja yang sama? Bagi Muslim, teologi pluralis versi Budhy Munawar Rachman sangatlah menyesatkan.
Konsep Islam adalah Eksklusif dan Tegas
Dalam tataran teologis, Islam memiliki konsep sangat tegas: hanya Islam jalan yang lurus dan benar, yang lain adalah sesat dan kafir; hanya Islam jalan keselamatan.

Rasulullah saw. telah menyampaikan, Allah telah berfirman, yang artinya, "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya." (Ali 'Imran: 19).
"Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Ali 'Imran: 85).
"Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk." (Al-Bayyinah: 6).

 Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang tegas membantah mereka, kaum sinkretis, yang menyamakan semua agama sama.
Tokoh Muslim yang Berbau Sekuler dan Sinkretis Sebenarnya Tidak Jujur
Teologi pluralis versi Budhy Munawar Rachman sebenarnya hanya mengungkapkan kemunafikan. Di satu sisi ingin disebut sebagai tokoh pemersatu, di sisi lain dalam hati tetap yakin dengan agamanya sendiri, yaitu Islam. Jika ia konsisten dengan pernyataanya sendiri tentang konsep penyamaan semua agama, mestinya ia berani melepas agamanya; mestinya ia berani merestui anaknya dilamar oleh orang Yahudi atau Nashrani atau lainnya.

Ia pun harus menyatakan siap jika ia meninggal nanti jenazahnya tidak perlu dimandikan, dishalatkan, atau dikubur secara Islam; jika perlu dibakar. Bukankah penganut teologi pluralis itu meyakini bahwa semua agama itu benar?
Sumber: Diadaptasi dari artikel berjudul "Teologi Pluralis yang Merusak Kerukunan: Catatan untuk Budhy Munawar Rachman", Adian Husaini, M.A.


 
Oleh: Anis Malik Thoha

Semua agama, baik yang mati maupun yang hidup, yang kuno maupun modern, yang teistik maupun non-teistik, lahir dan hadir lengkap dengan klaim kebenaran. Terlepas apakah klaim ini valid atau tidak, rasional atau irasional.

Setidaknya ada tiga macam cara memandang klaim kebenaran, yaitu eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme.

Eksklusivisme adalah kebenaran absolut hanya dimiliki agama tertentu secara eksklusif. Tidak memberikan alternatif lain, tidak memberikan konsesi sedikitpun, dan tidak mengenal kompromi.

Klaim ini direpresentasikan oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen, dan Islam, yang ditopang dengan konsep yuridis tentang keselamatan. Yudaisme mempunyai doktrin the chosen people (masyarakat terpilih). Kebenaran, keshalihan, dan keselamatan hanya berdasar atas etnisitas yang sempit, yaitu bangsa Yahudi. Katolik punya doktrin extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan) dan Protestan dengan doktrin outside Christianity, no salvation (di luar Kristen tidak ada keselamatan). Sementara Islam dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa inna ad-diena ‘inda Allahi al-Islam (sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam).

Klaim Inklusivisme lebih longgar. Hanya salah satu agama saja yang benar, tapi juga mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan untuk mencakup pengikut agama lain. Bukan karena agama mereka benar, tapi justru karena limpahan berkah dan rahmat dari kebenaran absolut yang ia miliki.

Teologi inklusif hanya muncul di lingkungan Kristen dalam waktu belakangan. Ini merupakan respons terhadap teologi pluralis yang mulai merebak pada pertengahan kedua abad ke-20, dan di sisi lain menganggap klaim eksklusif sudah ketinggalan zaman.

Ada interpretasi baru yang dianggap lebih segar. Konsep penebusan dosa yang dilakukan Yesus Kristus meliputi seluruh dosa warisan anak Adam. Semua ummat manusia terbuka untuk ampunan Tuhan, meskipun mereka pengikut agama lain. Teologi ini kemudian diadopsi secara resmi dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).

Tapi klaim kebenaran model ini tidak konsisten. Jika keselamatan dapat dicapai tanpa adanya koneksi apapun dengan gereja dan doktrin Kristen, apa artinya bersikeras memberikan label Kristen? Kenapa berbagai praktik Kristenisasi masih terus dilakukan? Atau inklusivisme hanyalah slogan kosong dengan maksud tertentu?

Di lingkungan Islam, sebetulnya juga ada upaya serupa. Di Indonesia pada awal tahun 1990-an muncul jargon “Islam inklusif”. Namun setelah diteliti secara seksama, kandungan pemikiran yang mereka maksudkan ternyata serupa dengan model pluralisme seperti di bawah ini.

Pluralisme yang Berbahaya


Pluralisme muncul dan berkembang dalam setting sosial-politik humanisme sekuler Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal. Salah satu konstituen utamanya adalah pluralisme agama (yang oleh sebagian sosiolog diidentifikasi sebagai civil religion).

Pluralisme ingin tampil sebagai klaim kebenaran yang humanis, ramah, santun, toleran, cerdas, mencerahkan, demokratis, dan promising. Hal ini antara lain dikatakan oleh tokoh pluralis yang paling bertanggung jawab, John Hick.

Semua agama, yang teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai ruang atau jalan yang bisa memberi keselamatan, kebebasan, dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya merupakan respons otentik yang beragam terhadap the Real (hakikat ketuhanan) yang sama.

Dalam kenyataannya, klaim itu menjadi klaim ‘kebenaran relatif’ yang absolut. Tidak saja ingin merelatifkan klaim kebenaran agama yang ada—sehingga semua agama secara relatif sama—tapi juga sebetulnya ingin mengungguli klaim-klaim tersebut. Hanya klaim pluralisme saja yang mutlak benar.

Dengan merelatifkan klaim-klaim kebenaran yang ada berarti secara implisit—dan ini jarang disadari oleh kaum pluralis—telah menafikan, atau minimal mendegradasikan, kebenaran hakiki klaim-klaim tersebut. Pluralisme juga telah bertindak sebagai wasit sepakbola yang mengontrol dan menjaga ketertiban jalannya permainan, termasuk mengeluarkan kartu merah.

Klaim pluralisme membawa implikasi yang berbahaya bagi manusia. Baik itu menyangkut isu-isu yang bersifat teoretis, epistemologis, dan metodologis, sebagian bersifat ideologis dan teologis, dan sebagian lagi berhubungan dengan isu yang lebih praktis, yaitu HAM (hak-hak asasi manusia) –khususnya kebebasan beragama.

Gagasan pluralisme sulit menjawab pertanyaan yang sangat krusial, yaitu apakah benar-benar mampu memberikan solusi yang ramah terhadap konflik antar agama, sebagaimana yang diklaim oleh para penggagas dan penganjurnya? Atau malah menjadi problem baru dalam fenomena pluralitas keagamaan?

Tidak Bisa Dipertahankan Lagi

Istilah pluralisme agama selama ini difahami dan didesain dalam bingkai sekuler, liberal, dan logika Barat yang menampik hal-hal yang berbau metafisis. Ini adalah akar dari semua masalah. Agama dianggap sebagai respons manusia, atau sering pula disebut sebagai pengalaman keagamaan. Kemungkinan datangnya agama dari Tuhan atau Dzat yang Maha Agung dinafikan mentah-mentah.

Tokoh seperti Joachim Wach, seorang ahli perbandingan agama kontemporer, bahkan mendefinisikan konsep pengalaman keagamaan sebagai agama itu sendiri. Lahirlah kesimpulan akan persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih benar daripada yang lain. Sebuah kesimpulan yang justru menyulitkan para penggagas dan penganjurnya, terutama yang beragama Kristen, karena muncul pertanyaan: apakah Kristen sama persis dengan agama-agama primitif dan paganis (penyembah berhala) yang kanibalistik?

Klaim ini juga mengerangkeng agama sehingga hanya boleh beroperasi di wilayah yang sangat sempit dan privat–yakni hubungan manusia dengan Tuhannya. Muncul pertanyaan lagi, apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal ini mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia, baik dalam kehidupan individual maupun sosial, atau tidak?

Kajian-kajian modern yang dilakukan para ahli menguatkan adanya pengaruh tersebut. Joachim Wach misalnya, menyimpulkan bahwa manusia kapan saja dan dimana saja selalu ingin mengekspresikan pengalaman keagamaan. Sementara ahli perbandingan agama Ninian Smart dan anthropolog Clifford Geertz menegaskan tentang komprehensivitas agama yang mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia.

Fakta-fakta di atas menguatkan komprehensivitas, inklusivitas, dan totalitas agama. Cakupannya tidak hanya terbatas pada apa yang disebut institusi agama, melainkan juga seluruh falsafah hidup yang dikenal manusia.

Otomatis, konsep dikotomisasi realitas: agama-negara, sakral-profan, dan individu-publik, menjadi tak tepat dan tak akurat. Di Barat sendiri kini ada kajian-kajian ilmiah yang mengkritisi akurasi konsep ini. Hasilnya, dikotomisasi tidak mungkin bisa dipertahankan di depan bukti-bukti dan fakta-fakta objektif dari perkembangan sosio-politis kontemporer.

Di sisi lain, terminologi pluralisme di Barat telah mengalami perubahan yang sangat fundamental, sehingga sama dan sebangun dengan demokrasi, yakni penegasan tentang kebebasan, toleransi persamaan, dan koeksistensi. Namun, konsep yang secara teoretis sangat agung dan toleran ini, pada dataran praktis cenderung menunjukkan perilaku intoleran dan memberangus HAM. Kata Muhammad Imarah, “Barat telah memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultur maupun pemikiran… dan untuk melepaskan sejarah, kultur, dan referensi keagamaan dan intelektual mereka masing-masing.” Barat tidak ingin membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri.

Muncullah kesadaran bahwa konsep pluralisme tidak boleh hanya tunduk pada interpretasi tunggal (baca: Barat). Kata John O Voll, “Terdapat kesadaran yang semakin meningkat bahwa konsep ‘pluralisme’, yang merupakan fokus wacana-wacana masa kini, adalah tunduk pada pemahaman yang beragam.” John D’Arcy May juga menyatakan perlunya keragaman dalam membaca dan memaknai konsep ini.

Alhasil, konsep pluralisme yang menganggap semua agama sama saja, tak mungkin bisa dipertahankan. Juga tak mungkin bisa dipraktikkan dalam kehidupan nyata tanpa memberangus HAM.*

Penulis adalah dosen Ilmu Perbandingan Agama pada International Islamic University dan pengusur NU Malaysia 



PENDIDIKAN BERBASIS PLURALISME

 
Oleh Farida Denura


Ada persoalan krusial yang masih seringkali muncul di ranah bangsa yang kini memasuki usianya yang ke-66 ini adalah persoalan pluralisme. Kekerasan berlatar belakang suku, agama atau kelompok sosial dan politik yang tidak jarang pula menimbulkan jatuhnya korban, bahkan mengancam disintegrasi bangsa adalah indikasi jelas tentang masih adanya persoalan bangsa yang hingga kini belum terselesaikan secara tuntas. Dan bukan tidak mungkin itu akan menjadi persoalan abadi, jika pluralisme tidak dikelola dengan baik.
  
Pengelolaan pluralisme ini bukan saja menyangkut penataan pluralisme itu sendiri secara benar, seperti mencegah munculnya konflik dalam keanekaragaman yang mengancam keutuhan dan kemajuan bangsa, tetapi yang paling penting adalah membangun dan mengembangkan pluralisme dengan postur tubuhnya yang pas sesuai dengan format republik ini.  Salah satu media yang paling penting dalam pembangunan dan pengembangan pluralisme adalah media pendidikan. Karena, pendidikan merupakan media pencerdasan anak-anak bangsa untuk membangun masa depan bangsa dan negara.
  
Satu hal yang perlu dicatat bahwa gagalnya pembangunan masa depan bangsa di bidang apa pun, terutama karena gagalnya paradigma pendidikan berbasis pluralisme itu. Jika kita ingin mencapai perikehidupan bangsa yang berkeadilan dan damai, yang menghargai pluralisme, maka hal itu mesti dimulai dari anak didik. Kata Gandhi, “If we to reach real peace in this world shall have begin with children”.

Paradigma pendidikan


Esai ini mengemukakan persoalan bagaimana mengemas pluralisme bangsa ini lewat jalan pendidikan. Dalam hal mana, pendidikan harus ditempatkan pada garda paling depan dalam mendekonstruksi teologi pluralisme dengan membuat metodologi pendidikan yang tepat untuk mendukungnya. Konstruksi pendidikan dalam Orde Baru yang berbasiskan penyeragaman identitas budaya bangsa, misalnya harus dikaji dan mesti disesuaikan dengan paradigme reformasi, yaitu paradigma pendidikan yang berbasis pluralisme bangsa.  
  
Kegagalan Orde Baru dalam menggagas dan mengimplementasikan paradigma pendidikan yang tidak berbasis pluralisme tersebut dapat terlihat lewat berbagai distorsi yang muncul ke permukaan. Distorsi pertama, dimengerti sebagai sebuah doktrin yang senantiasa dijadikan pembenar bagi terjadinya konflik antaragama yang tak jarang didekati secara represif. Fenomena eksklusivisme masih sangat kental mewarnai kurikulum pendidikan agama di sekolah yang dilakukan melalui “pencucian otak” anak didik secara sistematis. Para pendidik pun seperti tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi kenyataan yang eksklusif itu.
  
Perbedaan teologis yang substansial dari setiap agama tidak dihormati secara proporsional dalam kurikulum dan praktek pendidikan. Nilai-nilai agamis seperti kebenaran dan perdamaian tidak diperjuangkan untuk menata pluralisme dengan cara menghormati  perbedaan-perbedaan yang ada, dan persoalan pluralisme diselesaikan secara elegan, tetapi sayangnya  semua masalah yang muncul kerap diendapkan dengan cara-cara yang represif. Akhirnya, semua itu pun hanya ibarat menyimpan bom waktu yang kemudian meledak dalam aneka kekerasan berlatar agama dan etnis seperti yang terjadi pada awal reformasi, bahkan hingga sekarang.
  
Kedua, pendidikan kita cenderung mengedepankan truth claim ketimbang truth exchange. Materi pelajaran yang diajarkan di sekolah yang membenarkan apa yang diyakini benar dan menghakimi apa yang diyakini salah. Kebenaran yang satu dimutlakkan untuk yang lainnya. Anak didik tidak diberi ruang cukup untuk menguji kebenaran lainnya seperti kebenaran teologis yang ada pada agama lainnya. Akhirnya, anak didik menjadi kurang kritis terhadap setiap masalah dan aneka macam nilai yang ada dan tidak kreatif dalam mengelola hidup.
  
Lebih dari itu, praksis pendidikan yang indoktrinatif juga kerap mendominasi kesadaran murid, dan itu terasa sekali di perguruan tinggi. Tidak disadari, itu tidak lebih merupakan  suatu praktek penindasan terselubung, bersifat nekrophilis –meminjam istilah Erich Fromm, yang artinya bahwa sistem pendidikan itu tidak mengarahkan murid kepada cinta akan kehidupan dan/atau terhadap segala sesuatu yang berkembang, tetapi lebih kepada segala yang bersifat mekanis, sehingga mereka menghadapi hidup ini secara mekanis pula.
  
Ingat bahwa pendidikan adalah suatu proses sosial, sehingga pendidikan sebaiknya dipahami juga sebagai proses humanisasi; yaitu usaha agar seluruh sikap dan perilaku serta aneka kegiatan seseorang bersifat manusiawi. Di situ pula pendidikan dikatakan sebagai proses pembentukkan manusia seutuhnya lahir bathin, dengan karakter dan watak kebangsaan yang kuat dan bersifat plural, sehingga dari situ anak didik dapat diarahkan untuk lebih tahu dalam menghargai dan menghormati aneka macam nilai dalam masyarakat seperti nilai pluralisme.
Perubahan paradigma
Kini, tidak ada jalan yang lebih tepat selain bahwa realitas plural-kemajemukan kita,  harus mendapat perhatian yang memadai dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan agama sebagai suatu contoh –tidak boleh disejajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan Kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama atau  keyakinan dengannya. Akibatnya, realitas plural kehidupan agama kurang berfungsi sebagai tali pengikat persatuan bangsa yang berdiri berlandaskan pada Pancasila yang mengagungkan pluralisme itu.
  
Karena itu, pendidikan kita harus dikembangkan  kepada ranah pluralisme untuk merangsang daya pikir dan kreativitas anak didik serta kepada realitas dinamika masyarakat, bukannya menciptakan menara gading yang tercerabut dari akar kehidupan masyarakat plural. Sistem pendidikan, metode, dan cara belajar-mengajar pun harus diarahkan kepada pembentukkan pola pikir dinamik, kreatif dan pluralis bagi siswa dan mahasiswa agar dalam diri mereka tumbuh semangat toleransi dan saling menghormati.   
  
Dalam hal ini, untuk mengubah paradigma dan metodologi pendidikan harus ada kebijakan pendidikan yang tegas, bahkan radikal dari para pemegang kebijakan negara, yaitu dengan mengubah secara fundamental pendidikan sebagai subyek dinamika realitas kehidupan masyarakat, sehingga siswa dan mahasiswa dapat memahami dan mengelola realitas pluralisme bangsa secara tepat. (*)
Rudyono Darsono, Ketua Yayasan Perguruan Tinggi 17 Agustus 1945, Jakarta




Komentar

Postingan populer dari blog ini

RINGKASAN CERITA ANOMAN DUTA (SANG UTUSAN )

RINGKASAN CERITA ANOMAN DUTA (SANG UTUSAN ) Prabu Dasamuka menyerahkan Dewi Sinta yang diculiknya, di bawah pengawasan Dewi Trijata di Taman Argasoka, kemenakannya. Sementara Regawa alias Rama terus mencari istrinya yang hilang. Ia sudah mendapat petunjuk dari Jatayu bahwa Sinta diculik raja Alengka bernama Prabu Dasamuka. Perjalan Rama ke Alengka disertai Laksamana, adiknya, dan Prabu Sugriwa serta seluruh bala tentara Kerajaan Guwakiskenda. Setelah membangun perkemahan di daerah Mangliawan, Ramawijaya mengutus Anoman untuk menjadi duta, menemui Dewi Sinta di Keraton Alengka. Hal ini membuat iri Anggada, sehingga terjadi perkelahian dengan Anoman. Rama kemudian menyadarkan Anggada, bahwa nanti akan ada tugas penting lainnya bagi Anggada. Perjalanan Anoman ke Alengka ternyata penuh hambatan. Mulanya ia berjumpa dengan Dewi Sayempraba, salah seorang istri Prabu Dasamuka. Anoman dirayu, dan diberi hidangan buah-buahan beracun. Akibatnya Anoman menjadi buta. Untunglah ia ditol

DOWNLOAD KUMPULAN MP3 GENDING JAWA DAN LAGU JAWA

 Download Kumpulan MP3 Gending Jawa dan Lagu Jawa DOWNLOAD KUMPULAN MP3 GENDING JAWA DAN LAGU JAWA MP3 GENDHING JAWA http://piwulangjawi.blogspot.com/p/mp3-gending-jawi.html GENDHING-GENDHING JAWA DALAM FORMAT MP3  DIPERSILAHKAN KEPADA STRISNO BUDAYA JAWA UNTUK MENGUNDUH ANEKA GENDHING JAWA KLASIK I : 001.  BENDRONGAN – PUCUNG RUBUH – GANDRUNG MANIS – DANDANGGULA BANJET – ASMARADANA JAKALOLA.mp3 002.  BW. GAMBUH LGM. LELO LEDHUNG – LDR. SARAYUDA – LAGU ONDHE-ONDHE Pl. Br.mp3 003.  BW. LEBDAJIWA – KUTUT MANGGUNG Pl. Br.mp3 004.  BW. MUSTIKENGRAT – GENDHING CANDRA -LDR. SRI HASCARYA – LDR. WESMASTER Sl.9.mp3 005.  BW. SEKAR AGENG SUDIRAWARNA – UDAN BASUKI – LIPUSARI – GAMBUH Sl. Mny.mp3 006.  BW. SUDIRAWARNA – GENDHING WIDASARI – LDR. LIPUR SARI Sl. Mny.mp3 007.  GENDHING BANDILORI – LDR. ELING-ELING – KTW. PRANA ASMARA – SLEPEG MAWA PALARAN Pl. Br.mp3 008.  GENDHING BONANG SLEBRAK PL.5.mp3 009.  GENDHING BUDHENG-BUDHENG – LDR. SARAYUDA Pl.6.mp3 010.  GENDHING