Pengembaraan Seno Gumira Ajidarma
Suara dan tawanya meledak-ledak. Rambutnya, yang sebagian berwarna keperakan, masih dibiarkan memanjang. Sebuah anting-anting keemasan terlihat pula menggantung di telinga kirinya.
Itulah Seno Gumira Ajidarma, sosok serba bisa di bidang sastra, jurnalistik serta fotografi, yang sejumlah karya cerita pendeknya pernah menghipnotis banyak orang -- dan meraih berbagai penghargaan beberapa diantaranya.
Pria kelahiran 19 Juni 1958 ini juga dikenal melalui karya sastranya yang berwarna politik, selain kemampuannya yang luar biasa dalam melahirkan karya-karya sastra secara produktif.
Namun demikian, ketika berasyik-masyuk dengan “dunianya”, sosok Seno Gumira tiba-tiba membetot perhatian khalayak di luar dunianya, tatkala media ramai-ramai memberitakan sikapnya menolak sebuah penghargaan kesusastraan dari Freedom Institute yang diberikan kepada dirinya.
Ketika saya utarakan persoalan ini sebagai salah-satu materi pertanyaan, Seno semula terlihat enggan.
“Saya tidak akan bilang alasannya,” ujarnya ringan, dalam wawancara khusus dengan wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Senin (27/08/2012) lalu.
Senyum kemudian menyungging di bibirnya.
Dalam keterangan persnya pada pekan ketiga Juli lalu, Doktor Ilmu Sastra Universitas Indonesia (2005) ini menyatakan, bahwa Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) 2012 bidang kesusastraan “sebaiknya diberikan kepada orang lain yang dianggap layak, karena saya tidak dapat menerimanya.”
Freedom Institute, dalam penilaiannya, menyebut Seno mampu menggunakan logika dongeng untuk menyatakan aneka masalah Indonesia mutakhir.
"Ada kalanya dunia politik menyentuh kita, sehingga saya atau kita harus bersikap. Saya tidak bisa terus-menerus di menara gading. Ada keputusan saya harus turun (dari menara gading). Ada titik tertentu tidak bisa menghindar lagi (dari politik). Sehingga (aktivitas melalui) tulisan saja, tidak cukup."
Seno Gumira
Penulis Cerpen Terbaik Kompas 2010 ini disebut pula mencapai kelancaran bercerita dengan bahasa yang tertib dan transparan.
Dalam berbagai cerita pendeknya yang berwarna politik, peraih Khatulistiwa Literaly Award 2005 ini dianggap mampu “membuktikan bahwa sastra jadi bernilai sastra dengan mengaduk kutipan dan bentuk dari berbagai subkultur, termasuk budaya massa ”.
Kucoba membujuknya untuk mengungkapkan alasan penolakannya, Seno akhirnya berujar singkat: “Coba lihat saja alasan orang-orang yang menolak (Penghargaan Achmad Bakrie) sebelum saya”.
“Saya kira pendengar (BBC Indonesia) akan mengerti”.
Tapi saya tidak menyerah. Di akhir wawancara, bapak satu anak ini akhirnya mau membeberkan alasannya -- secara filosofis.
“Ada kalanya,” ujarnya dengan mimik serius, “dunia politik menyentuh kita, sehingga saya atau kita harus bersikap...”
Sebagai seorang penulis, lanjutnya, pilihan “bertapa” di wilayah bernama menara gading, tidak dapat berlangsung selama-lamanya.
“Ada keputusan saya harus turun (dari menara gading). Ada titik tertentu tidak bisa menghindar lagi (dari politik). Sehingga (aktivitas melalui) tulisan saja, tidak cukup…” paparnya.
Memilih status wartawan
Walaupun dikenal luas sebagai penulis (cerpenis, novelis atau eseis), Seno Gumira mengaku paling nyaman menyandang status wartawan.
Berbagai catatan memang menyebutkan, lelaki berperawakan tinggi ini telah menjadi wartawan sejak usia 19 tahun.
Pernah bekerja sebagai wartawan lepas di harian Merdeka (1977) serta mingguan Zaman, Seno ikut berperan menerbitkan (kembali) Majalah Jakarta Jakarta (1985).
Di sela-sela kesibukannya dalam dunia jurnalistik, dia tetap menyalurkan bakat menulisnya dalam bentuk cerpen atau eseis, selain mengambil kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) bidang sinematografi.
Namun sampai sekarang, Seno mengaku sebutan wartawan adalah “paling praktis” ketimbang sebutan lainnya.
“Wartawan bisa menulis kan ,” tandasnya. ”Jadi wartawan itu seolah-olah mewakili semuanya.”
Alasan lainnya, Seno mengaku wartawan merupakan profesinya sampai sekarang.
Sebaliknya, walaupun telah melahirkan puluhan karya sastra, dia tetap merasa jengah apabila istilah sastrawan ditahbiskan pada dirinya.
“Nah, kalau sastrawan, itu beban maknanya terlalu apa ya...buat saya tidak menyenangkan. Istilah itu seolah-olah keluhur-luhuran,keagung-agungan, dan saya nggak suka,” katanya menjelaskan.
Sebutan sebagai budayawan, penulis atau penyair juga kurang disukainya. “Penulis pun buat saya itu kok feminin, meskipun saya sangat salah… “
“Juga penyair, misalnya, paling feminin,” katanya yang kemudian disusul ledakan tawanya.
Namun demikian, imbuhnya cepat-cepat, “Tapi saya tidak berusaha membuktikannya benar. Ini soal selera saja...”
‘’Nah, kalau sastrawan, itu beban maknanya terlalu apa ya...buat saya tidak menyenangkan. Istilah itu seolah-olah keluhur-luhuran, keagung-agungan, dan saya nggak suka."
Ketika jurnalisme dibungkam
Buku yang berisi tiga belas cerpen ini diakui banyak pihak sebagai salah-satu karya monumental Seno – dan karenanya dia diganjar Dinny O’Hearn Prize for Literary (1997) atas karyanya itu
Walaupun tidak pernah disebut satu kata yaitu Timor Leste dalam 116 halaman buku itu, para pembaca yang kritis akan memahami bahwa mereka tengah disuguhi kisah-kisah – meminjam istilah pengantar penerbit buku itu -- “konflik berdarah, teror.. dan kesepian mencekam…” kekerasan yang berlatar dari wilayah itu.
Satu kalimat yang tak pernah saya lupakan: “Katakanlah padaku, wahai Fernando,” kata dokter itu sambil melihat hasil rontgen,”Bagaimana sampai rosario ini ngendon20 bulan di perutmu…”
Itulah kalimat pertama dalam cerpen Rosario (yang sebelumnya dimuatKompas, 27 Juni 1993).
Patut diketahui, semua cerpen itu pernah dimuat sejumlah media massa sebelum akhirnya dibukukan.
Kehadiran cerpen-cerpen berlatar belakang “fakta kekerasan” di Timor Leste itu, merupakan salah-satu siasat Seno ketika dia dihadapkan kenyataan bahwa saat itu “jurnalisme dibungkam”.
(Di awal 1992, Seno pernah dibebastugaskan dari jabatan Redaktur Pelaksana Jakarta Jakarta, berkaitan dengan pemberitaan tentang “insiden kekerasan Dili” pada 1991).
“Jadi ya, tidak ada cara lain buat saya, yang kebetulan mengetahui semua faktanya (di Timor Leste), datanya (tindak kekerasan oleh aparat) untuk mengungkapnya lewat permainan wacana antar media ini."
Apakah ini artinya Anda mengakui keterbatasan jurnalisme? Tanya saya, membuka lagi istilah “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara” yang diperkenalkan Seno dan menjadi judul buku kumpulan eseinya, 1997.
“Tepatnya jurnalisme masa orde baru. Dan lebih tepat lagi adalah jurnalisme dalam konteks Kompas Gramedia,” tegasnya.
Dan menurutnya, “tidak ada media satu pun saat itu yang bisa mengungkap hal itu secara terbuka”.
“Jadi ya, tidak ada cara lain buat saya, yang kebetulan mengetahui semua faktanya (di Timor Leste), datanya (tindak kekerasan oleh aparat) untuk mengungkapnya lewat permainan wacana antar media ini,” jelasnya, mengenang.
Menyembunyikan fakta
Dalam situasi sekarang, apakah masih relevan menggunakan medium sastra untuk menyampaikan fakta politik? Tanya saya lagi.
“Cerpen saya terakhir yang dimuat Kompas (8 Januari 2012), itu saya menyembunyikan fakta,” ungkap Seno Gumira.
Cerita pendek itu berjudul Mayat Yang Mengambang Di Danau, yang seperti diakui Seno, ditulis saat dia berada di Jayapura, 12-14 November 2011.
(“Yang berlatar Papua?” Tanya saya. “Ya…” kata Seno)
Sejumlah pihak menganalisa, cerpen itu lahir dari situasi politik kontemporer di Papua, yang ditandai kegetiran warga asli Papua akibat kekerasan politik yang tak kunjung padam.
Dalam cerpen itu, seperti cerpen-cerpennya berlatar politik sebelumnya, Seno Gumira tidak pernah menyebut Papua atau pihak-pihak yang terlibat konflik.
Seno tidak memungkiri, dia menyembunyikan fakta dalam cerita pendeknya, karena situasi politik Indonesia sekarang “lebih kacau”.
“Kalau dulu musuh satu, bahaya dari satu arah. Sekarang kita nggak pernah tahu siapa lawan kita, ” katanya, menjelaskan.
Sehingga, “bahkan dalam cerpen pun saya menyembunyikan (fakta)nya”.
Jadi, semua karya-karya Anda dibuat juga berdasarkan kebutuhan?
“Ya betul berdasarkan kebutuhan,” tandas Seno yang suka menulis sejak SMA (1974) ini, mengenai pilihannya untuk menyamarkan fakta dalam sebagian cerpen-cerpennya yang berlatar politik.
Realisme magis
Namun mengatakan semua karya-karya cerita pendek Seno Gumira Ajidarma melulu berwarna politik, tentu salah besar!
Cobalah tengok kumpulan cerpennya seperti Negeri Kabut (1996) atauSepotong Senja untuk Pacarku (2002), yang disebut bercorak realisme magis atau fantastik.
Bagaimana Anda bisa berkarya di satu sisi bercorak realisme magis tapi di sisi lain tetap ber-genre realis?
“Itu tergantung kebutuhan,” ungkapnya, menegaskan kembali sikapnya dalam menelorkan karya-karya tulisannya.
“Jadi ketika saya ingin membicarakan persoalan orang banyak, demi kepentingan mereka juga, nah saya tidak menggunakan bahasa saya.”
Dalam situasi seperti ini, lanjutnya, “Saya meminjam wacana yang dikenal.”
adi lagi-lagi berdasarkan kebutuhan Anda ya?
“Kebutuhan! Kalau kebutuhannya adalah ide-ide saya pribadi, ya saya tidak peduli dimengerti atau tidak. Tapi kalau urusannya persoalan orang banyak, demi kepentingan orang banyak, maka saya tentu menggunakan bahasa yang sebisa mungkin pasti dimengerti”.
Dengan kata lain, kata Seno, dia punya “semangat tukang” untuk menggeluti dan mendalami semua corak (genre) penulisan.
“Tukang itu terima semua pesanan. Jadi, saya belajar menulis puisi, tapi belajar juga menulis esai, dan belajar juga bikin berita.
“Nah, saya katakanlah berusaha untuk mengungkapkan dengan segala cara itu, tergantung kepada gagasan apa yang sedang ada, momentum apa yang sedang membuat saya menulis,” jelasnya.
‘’Kalau kebutuhannya adalah ide-ide saya pribadi, ya saya tidak peduli dimengerti atau tidak. Tapi kalau urusannya persoalan orang banyak, demi kepentingan orang banyak, maka saya tentu menggunakan bahasa yang sebisa mungkin pasti dimengerti."
Berenang dan memotret
Ketika pencapaiannya dalam dunia menulis sebagian sudah tertuntaskan, tentu ada pertanyaan menggoda yang penting dijawab oleh Seno Gumira, yaitu bagaimana dia menjaga energinya – sehingga banyak tulisan lahir dari dirinya hingga kini.
“Ya, menjaga antusiasme saya terhadap dunia,” katanya, agak filosofis.
Saya tidak puas, tentu saja. Bagaimana caranya?
“Artinya selalu tertarik,” imbuhnya, masih terkesan abstrak.
Di kalimat berikutnya, Seno akhirnya berterus-terang.
“Tentu ada kiat tertentu ya, setelah fisik mulai menua, terutama ketika load saya makin lama makin banyak,” ungkapnya, seperti membuka rahasia.
“Kalau dulu saya bisa dari satu tulisan ke satu tulisan lain… Satu tulisan selesai, tulisan lain, dan seterusnya,” katanya.
“Nah, sekarang nggak bisa”.
Alasannya, dia saat ini harus menyelesaikan sejumlah judul tulisan, sambil membaca, serta menyelesaikan pekerjaan lain – seperti mengajar di perguruan tinggi.
“Jadi saya membaca dan menulis simultan, apalagi harus mengajar segala”.
untuk itulah, Seno punya kiat untuk menyiasati kondisi seperti itu, yaitu membagi secara seimbang antara kehidupan di dalam rumah (atau kantor) dan kegiatan di luarnya (outdoor).
“Jadi saya mengembangkan fotografi.... kamera itu membuat saya pergi keluar, membuat mata saya memandang, membuat mata saya bekerja”, jelas Seno yang meraih gelar magister Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia (2000).
Kiat lainnya? Seno mengaku olah raga renang secara rutin untuk mengimbangi kegiatan duduk berjam-jam saat membaca.
“Saya usahakan (berenang) tiga atau dua kali seminggu… (Tapi) saya tidak menghitung berapa kali lap. Yang penting, saya sudah merasa olahraga, sudah cukup…”
‘’Jadi saya mengembangkan fotografi.... kamera itu membuat saya pergi keluar, membuat mata saya memandang, membuat mata saya bekerja."
Pengembaraan ala Karl May
Di usia sekitar enam atau tujuh tahun, Seno Gumira kali pertama berkenalan dengan karya-karya penulis terkenal asal Jerman, Karl May.
Melalui sang ibu, yang membacakan kisah petualangan tokoh-tokoh seperti Old Shatterhand dan kepala suku Apache, Winnetou, karya-karya Karl May (yang lahir di Jerman, 25 Februari 1842) akhirnya “merasuki” Seno – hingga sekarang.
“Bukan hanya memotivasi, tetapi merasuki saya dan menjadikan saya sebagai orang yang menganggap, pengembaraan adalah tujuan hidup manusia,” tegas Seno Gumira, dengan gamblang.
Dalam sebuah tulisannya, Seno menggambarkan Karl May mahir menjelaskan keadaan hutan, mengendus jejak, sampai menguliti binatang. “Bahkan secara detil, dia dapat menggambarkan jarak antara satu desa dengan desa lainnya, sekaligus bahasa yang dipakai suku-suku itu…” tulis Seno.
Semenjak membaca buku-buku Kar May itulah, Seno terpikat luar biasa pada kata mengembara. “Lah wong di sampulnya tertulis ‘Wasiat Winnetou, Kisah pengembaraan Karl May’… Jadi, (saat itu) kata pengembaraan itu sudah ada di kepala saya”.
“Dia memberikan nilai sangat amat tinggi, sangat berharga pada traveling(perjalanan)”.
Dari perjalanan panjang perkenalannya dengan Karl May dan karya-karyanya itulah, Seno Gumira kemudian berkata “saya ingin selalu pergi mengembara”.
“Nah, memotret maupun menulis itu hanya, katakanlah, kebetulan. Jadi kalau saya nggak bisa memotret atau menulis, apapun pekerjaan saya, saya kira, saya ingin selalu pergi mengembara”.
Karenanya, tidak sedikit kemudian laporan-laporan yang menyebutkan bahwa pengembaraan Seno sudah sampai ke Medan , Sumatra Utara, ketika dia masih remaja tanggung.
Keinginannya untuk selalu “mengembara” itu tetap tidak lekang, walaupun belakangan dia mengetahui bahwa Karl May tidak pernah pergi kemana-mana ketika menuliskan kisah Old Shatterhand. “Saya marah ketika tahu dia cuma mengarang” katanya agak tergelak.
“Tapi sudah terlanjur....”
Bagaimanapun, demikian pengakuan Seno, imajinasi Karl May itu mengilhaminya ketika membuat cerita pendek sekitar peristiwa kekerasan di Dili, Timor Leste.
Dia mengaku, saat tulisan-tulisan itu lahir dan mengalir dari tangannya, dia tidak berkunjung ke Dili sama sekali.
“Kalau Karl May bisa berimajinasi, saya boleh dong,” akunya, yang diiringi ledakan tawanya.
‘’Bukan hanya memotivasi, tetapi merasuki saya dan menjadikan saya sebagai orang yang menganggap, pengembaraan adalah tujuan hidup manusia."
‘Tidak ada yang orisinal’
"Tidak ada yang orisinal di dunia ini.. saya selalu dalam bayang-bayang Karl May, Hemingway atau Budi Darma sekalipun...," Seno Gumira mengungkapkan kalimat ini, ketika saya tanya siapa penulis lain yang menginspirasinya.
Secara khusus Seno menyebut penulis asal Amerika Serikat Ernest Hemingway, yang tulisan-tulisannya yang “deskriptif dan penuh “ironi”.
Karya-karya penulis klasik Jepang, demikian Seno, ikut mempengaruhi gaya penulisannya. “Kalau penulis klasik Jepang itu detil dan juga penuh ironi…”
Di luar Hemingway dan penulis klasik Jepang, dia mengaku terinspirasi penulis-penulis lain. “Tapi saya secara sadar meniru dua orang itu”.
“Saya selalu ingin se-kualitas seperti Hemingway dan penulis Jepang itu...”
Bagaimana dengan penulis Indonesia ? Seno kemudian menyebut beberapa nama, yang ikut mewarnai gaya penulisannya, seperti Umar Kayam, Budi Darma, atau Hamsad Rangkuti.
“Jika kesulitan untuk memulai tulisan, saya biasanya membaca tulisan Putu Wijaya,” akunya.
“Untuk yang irasional, saya terpengaruh Danarto,” tambahnya.
Menyinggung sebagian karya-karya sastranya yang belakangan disebut “tidak mementingkan keindahan”, Seno Gumira membenarkannya.
Perubahan ini terjadi, ungkapnya, setelah dia menuntaskan magister Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia (2000). “Dari sanalah, penulisan indah dan tidak indah, tidak lagi penting,” katanya.
“Boleh kering, asal ada ketajaman,” katanya menambahkan.
Dia mengaku, dengan pendekatan barunya itu, karya-karyanya sekarang barangkali tidak akan semudah dipahami seperti membaca tulisannya terdahulu.
“Tapi bukankah membaca itu sebuah perjuangan. Saya sendiri selalu tertantang untuk menaklukkan bacaan yang sulit sekalipun,” kata Seno.
‘’Tidak ada yang orisinal di dunia ini.. saya selalu dalam bayang-bayang Karl May, Hemingway atau Budi Darma sekalipun."
Buku perjalanan
Seno Gumira saat ini tengah menyiapkan buku terbarunya yaitu isinya mengisahkan kisah perjalanannya (travelogue) ke Korea Utara, sekitar sepuluh tahun silam.
Buku ini akan berisi foto-foto hasil jepretannya tentang situasi Ibukota Pyongyang (dan orang-orangnya) dan beberapa kota lainnya.
Dia mengaku, memotret di negara seperti Korut merupakan halangan terbesar. “Meski dibilangfree, tapi dilarang melulu,” katanya mengenang.
Namun Seno mengaku tidak mengambil peduli, dan terus memotret, walaupun sempat “dikasari” aparat Korut.
“Jadi saya makin dilarang, saya semakin melawan. Jadi saya memotret gila-gilaan pada akhirnya…”
Menurutnya, buku berisi foto-foto tentang kehidupan warga negara tertutup itu layak diterbitkan saat ini.
“Saya kira ketika masalah Pyongyang kini diramaikan, saya kira harus berbagi soal itu,” ujar Seno menjelaskan latar belakang penerbitan bukunya itu.
Sepuluh tahun silam, Seno berkunjung dan tinggal cukup lama di Korut, ketika dia dipercaya sebagai juri sebuah festival film “dunia ketiga”.
“Karena sebelum festival dimulai, saya harus melihat semua film, dan itu saya hayati benar,” ungkapnya. “Ini negara paling beda di dunia, paling unik dan bukan dalam pengertian yang turistik ya...”
Wawancara akhirnya berakhir, seraya kuminta Seno Gumira membubuhkan tanda tangan pada empat buku karyanya yang menjadi koleksiku.
Link terkait
Berita terkait
31.07.12
31.07.12
01.07.12
12.06.12
25.04.12
02.03.12
20.02.12
09.01.12
17.12.11
Komentar
Posting Komentar