Langsung ke konten utama

Menguji Daya Tarik Partai


Menguji Daya Tarik Partai PDF Print


Thursday, 14 June 2012
Diberitakan, Partai Nasional Demokrat (Nas- Dem) akan membuat strategi terobosan dalam pencalegan Pemilu 2014 yakni dengan melarang pemungutan biaya kepada setiap caleg. Partai ini juga akan merekrut tokohtokoh potensial dan membantu modal pembiayaannya.

Strategi demikian merupakan upaya NasDem mengerucutkan daya tarik. Inilah salah satu potret bagaimana partai politik bersiap menuju 2014. Bagi partai baru seperti NasDem, targetnya, ia harus eksis,punya pendukung jelas, dan terkuantifikasi secara nyata pada 2014. Pemilu akan menguji seberapa jauh kekuatan nyata NasDem sebagai partai. Sementara bagi partai lama, targetnya tidak hanya eksis, tetapi juga survive, dalam arti mereka berjuang untuk tetap bertahan dan meningkatkan jumlah kursinya di parlemen.

Dalam konteks Indonesia, ada duahal yang selalu mengemuka dalam daya tarik partai-partai. Pertama,tokoh.Kedua,kegiatan partai.Bagi partai baru yang belum kuat institusionalisasi partainya, tokoh menjadi sangat penting.Kultur politik Indonesia masih belum lepas dari patrimonialisme. Tokoh, karenanya,bahkan,dalam kondisi tertentu, dipandang lebih penting ketimbang kendaraan pengusungnya.

Bagi partai lama,tokoh juga penting, tetapi yang tak kalah pentingnya,dan ini cukup mendasar, bagaimana kelembagaan partainya efektif. Setidaknya, partai-partai itu sistemnya sudah jalan,identitas kepartaiannya sudah tertanam, dan ia sudah punya citra tersendiri.

Partai-partai lama dan baru sekarang lebih bercorak “catchall parties”, bukan partai segmental seperti yang beridentitas “agama”. Pasar politik “catch-all” atau meminjam istilah Ichlasul Amal “campur baur” ini masih demikian terbuka, cair, dan menentukan. Dukungan terhadap partaipartai “catch-all” mapan karena bisa berubah-ubah.

Tren Survei

Hasil-hasil survei popularitas dan elektabilitas partai-partai, terlepas dari motif penyelenggaranya, penting untuk dibaca secara kritis. Survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) misalnya perlu dicermati.Survei yang dilakukan pada 14–24 Mei 2014 itu melibatkan 2.192 responden di 33 provinsi yang mencakup 163 kabupaten/ kota dengan metode “stratified random sampling”.

Hasilnya, Partai Golkar paling banyak dipilih responden (23%). Selanjutnya,PDIP(19,6%), Partai Demokrat (10,7%), Partai Gerindra (10,5%), PKS (6,9%),NasDem (4,8%), PPP (3%), Partai Hanura (2,7%), PAN (2,2%), dan PKB (2%).Sedangkan 0,6% responden memilih partai lain. Berdasarkan ketentuan parliamentary threshold 3,5%, hanya enam partai yang lolos ke Senayan.

Dari survei itu,alasan responden dalam memilih partai karena “tokoh dan pimpinan partai” (18,2%), atau terbesar kedua setelah kriteria dekat dengan rakyat (21,3%). Manakala membaca surveisurvei lain, tiga partai utama yakni Partai Golkar, PDIP, dan Partai Demokrat saling bersaing ketat di urutan pertama sampai ketiga. Dalam surveisurvei itu tren Demokrat masih bertahan walaupun suaranya anjlok.

Demokrat memang partai yang tengah menjadi sorotan saat ini,menyusul kasus-kasus hukum para oknum politiknya. Wajar manakala responden kritis terhadap partai penguasa ini. Berbagai ulasan mengemuka seiring dengan fenomena anjloknya Demokrat, yang dalam survei SSS hanya memperoleh 10,7%, mengedepankan alasan utamanya,selalu dikaitkan dengan kasus-kasus yang menjadi sorotan publik.

Tetapi, seolah-olah melupakan tren kemerosotannya yang sangat terkait dengan anjloknya prestasi kerja dan popularitas pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.Berbagai hasil survei mempertegas tren anjloknya popularitas pemerintah. Hal ini berdampak pada pergeseran preferensi publik terhadap Demokrat. Yang juga perlu dicermati ialah, kekompakan internal yang kurang tampak di Demokrat.

Beberapa politisinya bahkan kontraproduktif komunikasi politiknya. Dari sisi ini publik menyorot gradasi kualitas kader-kadernya yang ada di elite kekuasaan. Padahal, sesungguhnya partai ini telah cukup berjalan baik dalam konteks institusionalisasinya, di mana Ketua Umum Anas Urbaningrum telah berupaya menjalankan fungsi keorganisasian dengan baik.

Sementara Partai Golkar tampak jauh lebih solid walaupun kontroversi dukungan calon presiden sempat menyeruak. Kendati demikian, strategi kampanye ganda yakni partai sekaligus tokoh (Aburizal Bakrie) yang dilakukan lebih awal ketimbang partaipartai lain merupakan eksperimen politik yang bukan tanpa konsekuensi. Kalau tidak hatihati dan cermat dalam melangkah, tokoh malah bisa menjadi faktor negatif bagi partai.

Kekuatan tokoh itulah yang menjadi problem Partai Golkar saat ini.Popularitas dan elektabilitas Aburizal Bakrie perlu terus digenjot.Itu bukanlah perkara yang mudah. PDIP, di sisi lain, tampak mengalami problem stagnasi. Seperti belum ada yang berubah dari partai ini. Namun, figur Megawati Soekarnoputri masih elektabel. Partai ini perlu membuat terobosanterobosan kreatif,belajar pada pengalaman kemenangannya pada 1999, agar semakin aktual.

Trust dan Kreativitas

Trust atau kepercayaan penting untuk dijaga, bahkan diraih melalui kreativitas. Cara elite-elite partai untuk mengemas, lebih tepatnya,membawa atau mengelola partainya sehingga menumbuhkan daya tarik perlu terus diuji. Pertama, apakah caranya melanggar ketentuan hukum atau tidak. Kedua, etis atau tidak. Yang pertama ranahnya lebih ketat ketimbang yang kedua, tetapi jangka panjang, eksistensi dan survivalitas partai ditentukan yang kedua.

Masing-masing partai punya problem tersendiri dari skala prioritasnya.Partai-partai besar lebih berupaya untuk menghilangkan ganjalan-ganjalan yang menghambatnya. Partai-partai menengah dan kecil berupaya memperkencang laju politiknya. Namun, semuanya dituntut untuk bisa bekerja secara wajar dan etis. Etika politik semakin penting dalam menggalang dukungan, mengingat mengemuka kecenderungan etis di ranah publik di tengah-tengah arus pragmatisme-transaksional.

Sekarang partai-partai tengah beradu strategi untuk merebut dukungan publik. Kompetisi antarpartai merupakan pertarungan pengaruh atau kepercayaan dari berbagai sudut pandang.Beragam daya tarik dikedepankan. Publik semakin dihadapkan beragam alternatif.Tampaknya, yang paling wajar dan etislah, yang paling berpeluang. Wallahua’lam.● M ALFAN ALFIAN Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional (Unas), Jakarta

Diberitakan, Partai Nasional Demokrat (Nas- Dem) akan membuat strategi terobosan dalam pencalegan Pemilu 2014 yakni dengan melarang pemungutan biaya kepada setiap caleg. Partai ini juga akan merekrut tokohtokoh potensial dan membantu modal pembiayaannya.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/503089/

Strategi demikian merupakan upaya NasDem mengerucutkan daya tarik. Inilah salah satu potret bagaimana partai politik bersiap menuju 2014. Bagi partai baru seperti NasDem, targetnya, ia harus eksis,punya pendukung jelas, dan terkuantifikasi secara nyata pada 2014. Pemilu akan menguji seberapa jauh kekuatan nyata NasDem sebagai partai. Sementara bagi partai lama, targetnya tidak hanya eksis, tetapi juga survive, dalam arti mereka berjuang untuk tetap bertahan dan meningkatkan jumlah kursinya di parlemen.

Dalam konteks Indonesia, ada duahal yang selalu mengemuka dalam daya tarik partai-partai. Pertama,tokoh.Kedua,kegiatan partai.Bagi partai baru yang belum kuat institusionalisasi partainya, tokoh menjadi sangat penting.Kultur politik Indonesia masih belum lepas dari patrimonialisme. Tokoh, karenanya,bahkan,dalam kondisi tertentu, dipandang lebih penting ketimbang kendaraan pengusungnya.

Bagi partai lama,tokoh juga penting, tetapi yang tak kalah pentingnya,dan ini cukup mendasar, bagaimana kelembagaan partainya efektif. Setidaknya, partai-partai itu sistemnya sudah jalan,identitas kepartaiannya sudah tertanam, dan ia sudah punya citra tersendiri.

Partai-partai lama dan baru sekarang lebih bercorak “catchall parties”, bukan partai segmental seperti yang beridentitas “agama”. Pasar politik “catch-all” atau meminjam istilah Ichlasul Amal “campur baur” ini masih demikian terbuka, cair, dan menentukan. Dukungan terhadap partaipartai “catch-all” mapan karena bisa berubah-ubah.

Tren Survei

Hasil-hasil survei popularitas dan elektabilitas partai-partai, terlepas dari motif penyelenggaranya, penting untuk dibaca secara kritis. Survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) misalnya perlu dicermati.Survei yang dilakukan pada 14–24 Mei 2014 itu melibatkan 2.192 responden di 33 provinsi yang mencakup 163 kabupaten/ kota dengan metode “stratified random sampling”.

Hasilnya, Partai Golkar paling banyak dipilih responden (23%). Selanjutnya,PDIP(19,6%), Partai Demokrat (10,7%), Partai Gerindra (10,5%), PKS (6,9%),NasDem (4,8%), PPP (3%), Partai Hanura (2,7%), PAN (2,2%), dan PKB (2%).Sedangkan 0,6% responden memilih partai lain. Berdasarkan ketentuan parliamentary threshold 3,5%, hanya enam partai yang lolos ke Senayan.

Dari survei itu,alasan responden dalam memilih partai karena “tokoh dan pimpinan partai” (18,2%), atau terbesar kedua setelah kriteria dekat dengan rakyat (21,3%). Manakala membaca surveisurvei lain, tiga partai utama yakni Partai Golkar, PDIP, dan Partai Demokrat saling bersaing ketat di urutan pertama sampai ketiga. Dalam surveisurvei itu tren Demokrat masih bertahan walaupun suaranya anjlok.

Demokrat memang partai yang tengah menjadi sorotan saat ini,menyusul kasus-kasus hukum para oknum politiknya. Wajar manakala responden kritis terhadap partai penguasa ini. Berbagai ulasan mengemuka seiring dengan fenomena anjloknya Demokrat, yang dalam survei SSS hanya memperoleh 10,7%, mengedepankan alasan utamanya,selalu dikaitkan dengan kasus-kasus yang menjadi sorotan publik.

Tetapi, seolah-olah melupakan tren kemerosotannya yang sangat terkait dengan anjloknya prestasi kerja dan popularitas pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.Berbagai hasil survei mempertegas tren anjloknya popularitas pemerintah. Hal ini berdampak pada pergeseran preferensi publik terhadap Demokrat. Yang juga perlu dicermati ialah, kekompakan internal yang kurang tampak di Demokrat.

Beberapa politisinya bahkan kontraproduktif komunikasi politiknya. Dari sisi ini publik menyorot gradasi kualitas kader-kadernya yang ada di elite kekuasaan. Padahal, sesungguhnya partai ini telah cukup berjalan baik dalam konteks institusionalisasinya, di mana Ketua Umum Anas Urbaningrum telah berupaya menjalankan fungsi keorganisasian dengan baik.

Sementara Partai Golkar tampak jauh lebih solid walaupun kontroversi dukungan calon presiden sempat menyeruak. Kendati demikian, strategi kampanye ganda yakni partai sekaligus tokoh (Aburizal Bakrie) yang dilakukan lebih awal ketimbang partaipartai lain merupakan eksperimen politik yang bukan tanpa konsekuensi. Kalau tidak hatihati dan cermat dalam melangkah, tokoh malah bisa menjadi faktor negatif bagi partai.

Kekuatan tokoh itulah yang menjadi problem Partai Golkar saat ini.Popularitas dan elektabilitas Aburizal Bakrie perlu terus digenjot.Itu bukanlah perkara yang mudah. PDIP, di sisi lain, tampak mengalami problem stagnasi. Seperti belum ada yang berubah dari partai ini. Namun, figur Megawati Soekarnoputri masih elektabel. Partai ini perlu membuat terobosanterobosan kreatif,belajar pada pengalaman kemenangannya pada 1999, agar semakin aktual.

Trust dan Kreativitas

Trust atau kepercayaan penting untuk dijaga, bahkan diraih melalui kreativitas. Cara elite-elite partai untuk mengemas, lebih tepatnya,membawa atau mengelola partainya sehingga menumbuhkan daya tarik perlu terus diuji. Pertama, apakah caranya melanggar ketentuan hukum atau tidak. Kedua, etis atau tidak. Yang pertama ranahnya lebih ketat ketimbang yang kedua, tetapi jangka panjang, eksistensi dan survivalitas partai ditentukan yang kedua.

Masing-masing partai punya problem tersendiri dari skala prioritasnya.Partai-partai besar lebih berupaya untuk menghilangkan ganjalan-ganjalan yang menghambatnya. Partai-partai menengah dan kecil berupaya memperkencang laju politiknya. Namun, semuanya dituntut untuk bisa bekerja secara wajar dan etis. Etika politik semakin penting dalam menggalang dukungan, mengingat mengemuka kecenderungan etis di ranah publik di tengah-tengah arus pragmatisme-transaksional.

Sekarang partai-partai tengah beradu strategi untuk merebut dukungan publik. Kompetisi antarpartai merupakan pertarungan pengaruh atau kepercayaan dari berbagai sudut pandang.Beragam daya tarik dikedepankan. Publik semakin dihadapkan beragam alternatif.Tampaknya, yang paling wajar dan etislah, yang paling berpeluang. Wallahua’lam.●
 
 M ALFAN ALFIAN
 Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional (Unas), Jakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Malam Pertama Pengantin | Goyang Karawang

Cerita Malam Pertama Pengantin | Goyang Karawang Ini ada beberapa cerita malam pertama pengantin baru , cerita dewasa ‘seks’ pernikahan sepasang pengantin baru, dimana sang mempelai wanita atau sang isteri begitu polosnya. Sehingga ketika malam pertama berlangsung sang suami harus membimbing dulu agar sang isteri paham. Namun setelah sang isteri paham, sang suami malah yang jadi kewalahan menghadapi isterinya di malam pertama tersebut. Cerita malam pertama pengantin ini seru dan menarik untuk dibaca. Mungkin ini bisa bermanfaat khususunya bagi para calon pengantin. Sebuah trik atau tips yang bisa diterapkan jika menghadapi situasi dan kondisi yang sama nantinya. Bagaimana cerita malam pertama pengantin baru ini, silahkan simak kisah selengkapnya berikut ini! Sepasang pengantin baru sedang bersiap menikmati malam pertama mereka. Pengantin perempuan berkata, “Mas, aku masih perawan dan tidak tahu apa-apa tentang seks. Maukah Mas menerangkannya lebih dulu sebelum kita melakukannya?”...

KUMPULAN LAKON WAYANG KULIT CARANGAN (CERITA WAYANG KULIT CARANGAN/BUKAN POKOK)

http://downloadmp3wayangkulit.blogspot.co.id/2015/10/ki-anom-suroto-soeroto.html#more kumpulan lakon wahyu wayang kulit purwa 1. Wahyu Dewandaru   http://islamicprabuwayangkomputer.blogspot.co.id/2016/03/kumpulan-lakon-wahyu-wayang-kulit-purwa.html Lakon carangan ini mengisahkan tentang Wahyu Dewandaru yang akan turun ke dunia. Wahyu itu berujud manusia, yang terkadang bisa dilihat, tapi ada kalanya tak dapat dilihat. Untuk memperoleh wahyu yang konon berada di Gunung Mahendra itu, Duryudana meminjam Aji Candrabirawa pada Prabu Salya. Mulanya Salya berkeberatan, tetapi setelah Begawan Drona membujuknya, Aji Candrabirawa diserahkan. Setelah itu Drona menyuru...

GELAR BUDAYA&NUMPANG MEJENG YA?