Inilah Kronologis Lengkap Pemicu Tragedi Rohingya
l
Oleh Harja Saputra
Berikut ini adalah kronologi lengkap pemicu tragedi Rohingya dari surat kabar Myanmar dan dari beberapa media internasional. Surat kabar The New Light of Myanmar edisi 4 Juni 2012 melaporkan satu berita mengenai pemerkosaan dan pembunuhan seorang gadis oleh tiga orang pemuda:
Insiden Pemerkosaan dan Pembunuhan
“NAY PYI TAW, 4 Juni - Dalam perjalanan menuju rumah dari tempat bekerja sebagai tukang jahit, Ma Thida Htwe, seorang gadis Buddha berumur 27 tahun, putri U Hla Tin, dari perkampungan Thabyechaung, Desa Kyauknimaw, Yanbye, ditikam sampai mati oleh orang tak dikenal. Lokasi kejadian adalah di hutan bakau dekat pohon alba di samping jalan menuju Kyaukhtayan pada tanggal 28 Mei 2012 pukul 17:15.
Kasus tersebut kemudian dilaporkan ke Kantor Polisi Kyauknimaw oleh U Win Maung, saudara korban. Kantor polisi memperkarakan kasus ini dengan Hukum Acara Pidana pasal 302/382 (pembunuhan / pemerkosaan). Lalu Kepala kepolisian distrik Kyaukpyu dan personil pergi ke Desa Kyauknimaw pada 29 Mei pagi untuk pencarian bukti-bukti lalu menetapkan tiga tersangka, yaitu Htet Htet (a) Rawshi bin U Kyaw Thaung (Bengali/Muslim), Rawphi bin Sweyuktamauk (Bengali/Muslim) dan Khochi bin Akwechay (Bengali/ Muslim).
Penyelidikan menunjukkan bahwa Htet Htet (a) Rawshi tahu rutinitas sehari-hari korban yang pulang-pergi antara Desa Thabyechaung dan Desa Kyauknimaw untuk menjahit. Menurut pengakuannya dia berbuat dipicu oleh kebutuhan uang untuk menikahi seorang gadis, dan berencana untuk merampok barang berharga yang dipakai korban. Bersama dengan Rawphi dan Khochi, Rawshi menunggu di pohon alba dekat tempat kejadian. Tak lama Ma Thida Htwe yang diincarnya datang dan berjalan sendirian, ketiganya lalu menodongkan pisau dan membawanya ke hutan. Korban lalu diperkosa dan ditikam mati, tak lupa merenggut lima macam perhiasan emas termasuk kalung emas yang dikenakan korban.
Untuk menghindari kerusuhan rasial dan ancaman warga desa kepada para tersangka, aparat kepolisian setempat bersiaga dan mengirim tiga orang pelaku tersebut ke tahanan Kyaukpyu pada tanggal 30 Mei pukul 10.15.
Pada pukul 13:20 hari yang sama, sekitar 100 warga dari Rakhine Kyauknimaw tiba di Kantor Polisi Kyauknimaw dan menuntut agar tiga orang pelaku pembunuh diserahkan kepada mereka namun dijelaskan oleh pihak kepolisian bahwa mereka sudah dikirim ke tahanan.
Pada pukul 13:50 100 warga Rakhine Desa Kyauknimaw lalu meninggalkan kantor polisi menuju Kantor Pemerintahan untuk menyampaikan keinginannya dengan diikuti oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadi keributan.
Pukul 16.00, para pejabat tingkat Kota menerima dan memberikan klarifikasi untuk menghindari kerusuhan, dan penduduk desa meninggalkan kantor pada pukul 17:40.
Keesokan harinya, 31 Mei pukul 9 pagi, mereka meninggalkan Yanbye ke Desa Kyauknimaw dengan dua perahu. Mereka pulang dengan membawa santunan sebesar 1 juta Kyat (mata rupiah Myanmar) untuk desa dari Menteri Perhubungan, U Kyaw Khin, 600.000 Kyat dan lima set jubah untuk pemakaman korban serta ditambah 100.000 Kyat dari santunan perwakilan negara.
Pada 31 Mei 15:05 Menteri Dalam Negeri dan Keamanan Perbatasan Negara, wakil kepala Kantor Polisi, Kabupaten Kyaukphyu dan Kepala Kantor Polisi Distrik berpartisipasi dalam pemakaman korban dan mengadakan diskusi dengan penduduk desa.
Pada 1 Juni pukul 9 pagi Kepala Menteri Negara dan partai di Kyaukpyu mengadakan diskusi dengan organisasi pemuda Kyaukpyu atas kasus pembunuhan tersebut. Diskusi-diskusi terutama menyinggung menjatuhkan hukuman jera pada para pembunuh dan membantu mencegah kerusuhan saat mereka sedang diadili.”
Insiden 10 Orang Muslim Dibunuh Dalam Bis
Menurut berita harian New Light dan beberapa blog orang Myanmar menyebutkan bahwa beredar foto-foto dan informasi bahwa “menurut bukti forensik polisi dan juga saksi mata yang melihat tubuh korban, ia diperkosa beberapa kali oleh tiga pemuda Bengali Muslim dan tenggorokannya digorok, dadanya ditikam beberapa kali dan organ wanitanya ditikam dan dimutilasi dengan pisau.
Setelah itu lebih dari seribu massa marah dan hampir menghancurkan kantor polisi di mana tiga pelaku ditangkap. Lalu kasus terburuk dan pemicu tragedi Ronghya adalah pembantaian terhadap 10 orang Muslim peziarah yang ada dalam sebuah bus di Taunggup dalam perjalanan dari Sandoway ke Rangoon pada tanggal 4 Juni.”
Koran New Light Myanmar edisi 5 Juni memberitakan rincian mengenai pembunuhan sepuluh orang Burma Muslim oleh massa Arakan sebagai berikut:
“Sehubungan dengan kasus Ma Thida Htwe yang dibunuh kejam pada tanggal 28 Mei, sekelompok orang yang terkumpul dalam Wunthanu Rakkhita Association, Taunggup, membagi-bagikan selebaran sekitar jam 6 pagi pada 4 Juni kepada penduduk lokal di tempat-tempat ramai di Taunggup, disertai foto Ma Thida Htwe dan memberikan penekanan bahwa massa Muslim telah membunuh dan memperkosa dengan keji wanita Rakhine.
Sekitar pukul 16:00, tersebar kabar bahwa ada mobil yang berisikan orang Muslim dalam sebuah bus yang melintas dari Thandwe ke Yangon dan berhenti di Terminal Bus Ayeyeiknyein.
Petugas terminal lalu memerintahkan bus untuk berangkat ke Yangon dengan segera. Bus berisi penuh sesak oleh penumpang.
Beberapa orang dengan mengendarai sepeda motor mengikuti bus. Ketika bus tiba di persimpangan Thandwe-Taunggup, sekitar 300 orang lokal sudah menunggu di sana dan menarik penumpang yang beridentitas Muslim keluar dari bus.
Dalam bentrokan itu, sepuluh orang Islam tewas dan bus juga hancur.
Konflik sejak insiden 10 orang Muslim terbunuh terus memanas di kawasan Arrakan , Burma , muslim Rohingya menjadi sasaran. Seperti dilansir media Al-Jazeera, Hal ini dipicu juga oleh bibit perseteruan yang sudah terpendam lama, yaitu perseteruan antara kelompok etnis Rohingya yang Muslim dan etnis lokal yang beragama Buddha.
Rohingya tidak mendapat pengakuan oleh pemerintah setempat. Ditambah lagi agama yang berbeda. Dari laporan berbagai berita sampai saat ini sejak insiden tersebut sudah terjadi tragedi pembantaian etnis Rohingya (yang notabene beragama Islam) lebih dari 6000 orang.**[harja saputra]
————-
Note: Tulisan ini semula memuat foto-foto tapi untuk menghindari tendensius, foto2 korban dihilangkan.
Rohingnya, Islam Gaya Arabia, dan Gereja Yasmin
Oleh Ninoy N.Karundeng
Berbicara tentang Muslim Rohingnya di Myanmar alias Burma adalah berbicara tentang kemanusiaan. Agama ketika dijadikan dasar berbangsa dan bernegara hasilnya konflik Bosnia-Serbia. Konflik Maya-Spanyol, konflik Perang Salib Islam-Kristen. Konflik Hindu-Islam di India. Konflik Katolik-Kristen di Irlandia-Utara. Bentrokan Islam-Kristen di Nigeria. Konflik Romawi-Persia. Itu semuanya adalah konflik dalam sejarah manusia karena keyakinan.
Muslim Rohingnya adalah sekelompok manusia terbuang identitasnya. Mereka berbahasa berbeda dengan sebagian bahasa rakyat Myanmar . Status Rohingnya adalah status minoritas tanpa bentuk. Bangladesh tidak mengakui kedekatan mereka sebagai bangsa Bangladesh . Myanmar tidak mengakui mereka sebagai bangsa Myanmar . Kedekatan budaya dan agama dengan Bangladesh yang mayoritas Islam tidak membuat Bangladesh iba.
Dunia internasional diam soal Rohingnya. Sama halnya dunia internasional diam ketika Taliban, di bawah tekanan Osama bin Ladin, Mollah Umar menghancurkan Patung Buddha di Afghanistan. Kabarnya, orang Afghanistan tidak setuju sebenarnya dengan penghancuran patung Buddha itu.
Dalam keyakinan budaya atau Islam Arab, patung adalah ‘berhala’ yang wajib dihancurkan pada tanggal 2 Maret 2001. Penggunaan dinamit gagal menghancurkan muka dan badan patung Buddha yang dibangun pada abad ke-5, ratusan tahun sebelum kedatangan Islam. Lalu roket diluncurkan untuk menghancurkan patung Buddha itu. Mullah Omar menyatakan, seperti dikutip Wikipedia dari the Times, “Muslim harus bangga telah menghancurkan patung-patung berhala itu. Tindakan penghancuran ini diridhoi Allah karena kita telah menghancurkan berhala.”
Islam gaya Arab model ini - dengan tokoh yang sudah dihukum mati, tokoh Komando Jihad Imron bin Muhammad Zein yang juga terlibat pembajakan pesawat Garuda di Thailand. Borobudur pun dijadikan sasaran penghancuran. Lalu Abubakar Baashir dan Umar Patek juga - yang kebetulan dari Yaman asalnya - memelopori terror dan pengeboman, gereja.
Tidak di Indonesia, tidak di Afghanistan pengaruh Islam model budaya Arabia yang penuh kekerasan selalu tidak toleran. Ini tidak sesuai dengan ajaran Al Qur’an yang sangat menjunjung tinggi penghormatan pada agama lain.
Lalu Indonesia menjadi negara sekuler-relijius. Artinya agama dijadikan soko guru kedua dalam kebangsaan dan kenegaraan. Kasus Gereja Yasmin tetap tidak menemui jalan pemecahannya. Hukum tidak diindahkan dan semua pihak mendiamkannnya dalam bentuk siapa kuat dialah yang menang.
Muslim Rohingnya tak ubahnya minoritas yang hak-hak sipil untuk hidup tidak dihargai sama sekali oleh Myanmar yang Buddha. Di Thailand Selatan, minorotas Muslim Patani juga terus bergolak melawan pemerintahan Buddha. Muslim di Mindanao di Filipina juga terus bergolak melawan pemerintahan yang didominasi oleh Katholik.
Jadi jika agama dijadikan alasan untuk mendapatkan hak hidup dan hak sipil, bukan kemanusiaan, maka standard ganda manusia akan segera muncul. Muslim Rohingnya atau tepatnya suku Rohingnya yang kebetulan beragama Islam di Myanmar jangan dibiarkan punah karena agamanya. Sisi kemanusiaan seharunya lebih dikedepankan.
Pembantaian dan pembiaran kemiskinan dan penindasan Rezim Militer Myanmar harus ditindaklanjuti dan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar harus mengambil inisiatif untuk membela bangsa Rohingnya yang beragama Islam - sambil membenahi kasus sendiri yang mencoreng muka bangsa Indonesia di dunia internasional: Gereja Yasmin. Dengan demikian keadilan dalam bersikap menjadi jauh dari standard ganda dipaktrekkan oleh kita bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim.
Komentar
Posting Komentar