JANGAN REMEHKAN TULISAN ANDA
JOHAN WAHYUDI
Orang berjalan yang dipercaya adalah kakinya. Orang berbicara yang dipercaya adalah mulutnya. Orang bekerja yang dipercaya adalah tangannya. Dan penulis dipercaya karena tulisannya.
Saya menaruh kepercayaan yang teramat tinggi atas ungkapan-ungkapan di atas. Saya membenarkan isinya sehingga saya selalu berusaha menekankan aspek kejujuran atas segala perilaku. Jujur itu membawa ketenangan pikiran dan perasaan. Dengan kejujuran, kita tak lagi memiliki rasa takut kepada manusia lainnya meskipun mereka menjadi penguasa. Maka, penulis semestinya menjunjung tinggi kejujuran seraya menjaga kualitas tulisannya. Mengapa?
Pagi tadi, saya dikejutkan oleh sebuah peristiwa. Kejadian itu bermula ketika saya akan mengantar ananda untuk berangkat ke sekolahnya. Tiba-tiba, HP-ku berbunyi sebagai tanda dering kiriman SMS. Nomor pengirim belum dikenal. Sambil menaiki motor, saya pun membuka dan membaca SMS: “Selamat pagi, Pak Johan. Ini Wayan Mertayani dari Bali . Sebelumnya salam kenal.”
Kaget saya dibuatnya. Lalu, teringatkanlah saya atas tulisanku yang berjudul Ni Wayan Mertayani, Anak SMA yang Yatim dan Teramat Miskin, Peraih Juara 1 Lomba Fotografi Internasional. Tulisan itu ter-posting pada 2 Mei 2011 atau setahun lalu. Saya menulis itu setelah mengikuti acara Kick Andy di Metro TV. Menurutku, anak ini memiliki talenta hebat untuk berubah menjadi pribadi yang berprestasi. Maka, tersusunlah tulisan itu yang membuatku sebagai penulis sempat menitikkan air mata. Ya, saya trenyuh sekali dengan kondisi keluarga dan nasibnya. Setahun telah berlalu.
Setelah mengantar ananda ke sekolahnya, saya mampir ke sebuah rumah makan. Saya bermaksud menikmati makan pagi sebelum bekerja. Pada waktu itulah, saya menyempatkan diri untuk menghubungi Wayan. Ya, saya ingin mengetahui kondisi dan perkembangan nasib si anak malang itu. Begitu ingin saya langsung mengenal suara agar saya benar-benar teryakinkan bahwa pengirim SMS itu benar-benar Ni Wayan Mertayani.
Ketika saya menghubunginya, sungguh saya dibuat kaget lagi. Suara anak ini benar-benar renyah dan terkesan sangat gembira dengan panggilanku. Maka, tentunya saya berusaha mengenal lebih jauh tentang dirinya. Akhirnya, terkuaklah perkembangan Wayan. Saat ini, Wayan sudah duduk di bangku SMA kelas XI Program IPS. Saat ini, Wayan sedang mengikuti Ulangan Kenaikan Kelas (UKK) di sekolahnya.
Sejak muncul di acara Kick Andy Metro TV, nasib Wayan mulai berubah. Wayan telah diberi Beasiswa oleh Menteri Pendidikan Nasional. Selain itu, Wayan tak lagi menjadi pemulung. Wayan kini sudah menikmati perubahan kehidupan yang lebih baik. Jika dahulu rumahnya hanya beratap daun rumbia yang tak bisa menahan air hujan dan teriknya sinar matahari, kini rumahnya telah dibangun atas bantuan acaraBedah Rumah. Bagaimana nasib Wayan bisa berubah secara drastis itu dalam waktu sekejab? Jawabnya hanya satu: kekuatan media.
Menurut penuturan Wayan, dirinya sering dihubungi banyak pihak untuk memberikan bantuan. Banyak pihak menaruh simpati setelah mengetahui kondisi keluarga Wayan yang memang teramat mengenaskan. Para simpatisan itu tentu mengetahuinya setelah mengikuti acara itu, mendengarkan kisah serupa, sertamembaca beragam berita. Itulah pengakuan Ni Wayan Mertayani. Lalu, bagaimanakah Wayan mengenalkompasiana?
Menurut kisah Wayan, sebenarnya waktu itu dirinya hanya ingin mem-browsing untuk beragam keperluan sekolah. Secara iseng, nalurinya mengajaknya untuk mengetahui beragam perkembangan informasi. Lalu, Wayan pun mengetikkan tags atau kata kunci namanya: Ni Wayan Mertayani. Dan hasilnya sungguhlah teramat mengejutkan!
Melalui penelusuran sekitar 5,400 hasil (0.52 detik), mesin google memberikan informasi bahwa tulisanku di kompasiana menduduki posisi teratas. Itu berarti bahwa tulisan-tulisan di kompasiana sering dijadikan sebagai bahan rujukan oleh netter atau pembaca. Setidak-tidaknya, tulisan di kompasiana sering dikunjungi untuk dipelajari isinya. Dan ini adalah keuntungan sekaligus perhatian bagi kompasianer. Mengapa?
Tentunya kita tak mau dianggap sebagai kompasianer ecek-ecek. Kompasianer yang sekadar menulis ini dan itu tanpa memertimbangkan aspek keseriusan, aktualitas, kedalaman kajian, dan kemapanan bahasa. Sungguh disayangkan jika kita hanya sekadar menjadikan kompasiana sebagai media belajar menulis karena menganggapnya sebagai media gratisan.
Ketika kita benar-benar-benar serius menekuni suatu profesi, hendaknya kita berusaha menjaga konsistensi dalam bersikap. Janganlah kita terombang-ambingkan oleh nafsu alias keinginan untuk tenar alias terkenal. Jika kita sudah menjalani profesi secara serius, tentu orang lain akan memberikan predikat alias brandingtersendiri. Predikat itu diberikan karena kita memang serius menjaga kualitas diri. Akhirnya, saya jadi teringat dengan ucapan bijak: sukses hanya dimiliki mereka yang serius menekuni bidangnya. Anda ingin sukses? Camkan baik-baik ucapan itu!
Komentar
Posting Komentar