Dikotomi spiritual
Spiritualitas adalah sebuah jalan batin yang memungkinkan seseorang untuk menemukan esensi dalam memaknai hidup dan kehidupan diri mereka di dunia ini. Praktek-praktek spiritual, termasuk meditasi, doa dan kontemplasi, diarahkan dengan maksud untuk mengembangkan kehidupan batin individu, praktik-praktik tersebut sering bertumpu kepada pengalaman keterhubungan dengan suatu realitas yang lebih besar, menghasilkan lebih komprehensif diri; dengan individu lain atau komunitas manusia, dengan alam atau kosmos, atau dengan alam ilahi. Spiritualitas sering dialami sebagai sumber inspirasi atau orientasi dalam hidup. Hal ini dapat mencakup keyakinan pada realitas material atau pengalaman sifat imanen atau transenden dunia.
Banyak pemahaman kemudian menyandingkan spiritual dengan agama. Agama memiliki kecakupan yang lebih luas, mengatur tatanan peradaban manusia, sedangkan spiritual lebih kepada laku pribadi masing-masing individu. Agama adalah sebuah laku spiritual dalam memaknai Ad Dien (Jalan Lurus). Maka menurut pemahaman kaum teologis, agama itulah adalah ad dien itu. Sementara kaum spiritualis, memaknai spiritual sebagai sebuah laku dalam mencari Ad Dien tersebut. Persoalan yang muncul bagi kaum spiritualis, kemudian adalah apakah Ad Dien itu berupa agama atau hanya sebuah aliran kepercayaan, atau yang biasa disebut sebagai kearifan lokal.
Banyak masyarakat, kaum suatu atau suku, atau golongan kemudian masih berpegangan kepada kearifan lokal saat menjalankan agama. Penyebaran agama yang demikian hebat. Memaksa masyarakat lokal untuk menerima begitu saja agama baru tersebut pada jaman itu. Pen-syiar-an agama, tausiah, dan dakwah-dakwah, sering gagal menyentuh aspek-aspek spiritual mereka. Walaupun sebenarnya, jikalau kita kaji benar, diantara pemahaman tersebut sebenarnya, terdapat juga titik singgung dimana keduanya bertemu. Masing-masing pelaku, merasakan hasil yang relative sama pada badan mereka. Kenyamanan, ketenangan dan hal-hal postip dalam cara pandang mereka dalam memaknai hidup dan kehidupan mereka di dunia.
Bahwa aliran kepercayan mereka juga “benar”. Dalam persepsi masing-masing tentunya. Semua akhirnya menjadi benar dan yakin dengan laku peribadahan masing-masing. Maka tidak sedikit akhirnya diantara kaum spiritualis kemudian meyakini bahwa mengawinkan kearifan lokal dengan agama adalah sebuah keniscayaan. Bermula dari sinilah kemudian spiritual mengalami fragmentasi dalam segmennya masing-masing. Muncullah Islam dengan spiritual Jawa, Islam dengan spiritual Batak, Islam dengan spiritual India , Cina , Persia , atau spiritual Arab dengan kabilah-kabilahnya, dan sebagainya dan sebagainya. Meskipun fenomena ini tidak kasat mata namun bagi pelaku spiritual akan sangat paham sekali kemungkinan kemungkinan ini.
Sebagaimana juga di alami oleh agama Kristen. Dimana ketika berbenturan dengan kearifan lokal mereka kemudian bersimbiosis muncul Kristen Jawa, Batak, Sunda, dan lain sebagainya.
Masalahnya adalah apakah Islam menerima simbiosis ini. Islam menuntut agar para penganutnya masuk kedalam agama Islam secara kafaf, secara totalitas. Dengan sebuah konsep ˜BERSERAH DIRI” tanpa “reserve”.
Inilah problematika yang dihadapi para spiritualis lokal dalam mempelajari Islam. Ketidak berdayaannya melepaskan diri atas kesadaran kolektif yang di bangun oleh nenek moyang, atas hal ghaib dan realitas. Mana imanen dan mana transeden. Dengan istilah-istilah yang sulit dicarikan referensinya dalam Islam, membuat para spiritualis lokal (Baca; Jawa) mengalami kegamangan. Ambivalensi agama atas spiritual (baca; kejawen). Kesemua ini telah menyebabkan kemunduran tersendiri bagi spiritual Islam. Sehingga kita dapati orang Indonesia sekarang beragama namun tidak ber ketuhanan. Hancurnya tatanan moralitas sekarang ini, mungkin dapat dijadikan ukuran atas pernyataan ini.
Kearifan lokal (Spiritual lokal)
Ketika agama berbenturan dengan spiritual lokal. Ketika agama mengalami pergumulan dengan kearifan lokal. Ketika terjadi pemaksaan atas nama agama kepada kaum spiritualis lokal. Ketika tidak ada lagi wacana. Ketika yang ada adalah salah dan benar, kafir atau muslim. Tidak ada jalan bagi kaum spiritualis untuk menolak kehadiran agama dalam hidupnya. Maka yang terjadi kemudian pergumulan dalam jiwa para pemeluk agama, (spiritualis) yang masih tetap tak berkesudahan hingga melintas memasuki jaman milinium ini.
Bagaimana kearifan spiritual lokal kemudian menyikapi hal ini.?. Beberapa spiritualis Islam Jawa masa lalu seperti diantaranya Ki Ageng Selo, dan Ki Ronggowarsito paham benar dengan situasi ini. Mereka mengerti betapa tinggi dan luhurnya filosofi Jawa, mengakar begitu kuat dan dalam pada kesadaran orang-orang Jawa. Laku orang Jawa adalah spiritual itu sendiri dalam kesehariannya. Maka untuk menjebatani ini, mereka kemudian membuat beberapa methode dan simbolisme , agar mudah dipahami oleh orang-orang Jawa dalam menetapi Islam. Mereka mencoba men-transformasikan kearifan lokal, spiritual Jawa ke dalam Spiritual Islam. (Baca Pepali Ki Ageng Selo).
Dalam agama Islam, dan juga agama agama lainnya, spiritual selalu disandingkan dengan pemahaman surga dan neraka. Perimbangan antara keduanya menjadi titik sentral agar manusia selalu mawas diri dalam menapaki jalan kehidupannya di dunia. Tingkah laku mereka sudah diatur dan diarahkan dengan sangat hati-hati agar tidak terjerumus kepada perlilaku negatif. Sejak masih kecil pemeluk agama di berikan doktrinasi dan ritual-ritual keagamaan, yang diharapkan akan mampu mengarahkan perilaku pemeluknya kepada perilaku positip.
Rangkaian methode peribadatanpun sudah di berikan oleh para pembawa risalah agama-agama masing-masing, untuk menuntun semua pemeluk dan penganutnya agar mendapatkan hasil optimal sebagaimana yang diharapkan oleh agama tersebut. Sementara dalam spiritual biasa menitik beratkan~berporos kepada kehidupan di dunia saja. Penyatuan kepada alam semesta. Harmonisasi alam.
Jika semua menuju kepada jalan yang sama kepada Ad Dien yang diyakini kebenarannya masing-masing. Tentunya semua akan sampai kepada titik singgung, titik pertemuan para penempuh jalan, suatu kearifan spiritual. Kearifan yang mampu meredam seluruh perbedaan atas jalan masing-masing yang di tempuh. Ibarat kita akan pergi ke Roma, tentunya banyak jalan kesana. Sayangnya itu tidak pernah terjadi, kalaupun terjadi biasanya dalam skala minimal tidak berlaku umum. Sejarah telah mencatat pada setiap agama-agama yang diturunkan di bumi ini, ternyata sama-sama telah menyisakan sejarah kelam. Dalam perkembangan dan pertumbuhan agama itu sendiri. Kearifan nyaris terkikis oleh benar dan salah. Agama telah kehilangan nilai spiritual-nya?. Mungkinkah terjadi ?.
Maka , ketika kenyamanan badan yang di dapatkan oleh seorang pelaku spiritual menjadi ukuran dalam pembenaran atas dirinya, atas ajaran sebuah agama, atas sebuah kepercayaan. Niscaya mereka akan berhadapan dengan ajaran lain yang juga sepertinya mendapatkan hasil yang sama, meski laku mereka agak berbeda. Jika spiritual bekerja dengan cara seperti ini, maka dapat dipahami apabila hasilnya adalah sebuah peradaban yang penuh dengan caci maki, perpecahan dan pertikaian. Demi pembenaran terhadap perilaku manusia atas manusia lainnya, yang tengah menjalani laku berbeda, walau keduanya sama-sama sedang berusaha memaknai kehidupan ini. Menetapi kehidupan ini. Tak peduli, walaupun masing-masingnya juga sedang berusaha untuk menjadi baik dengan perilaku yang tengah mereka jalani itu.
Akhirnya wajar jika sesuatu yang baik menurut suatu golongan dianggap tidak baik oleh sebagian manusia lainnya. Sayangnya lagi, meski masih dalam satu golongan, konotasi baik diantara mereka itu juga kemudian telah di persepsikan lagi oleh sebagian lainnya, menjadi hitam putih lagi. Jadilah baik bagi siapa dan untuk siapa. Baik menjadi banyak makna.
Semua punya cerita dan alasan sendiri-sendiri. Dan tanpa disadari, semua menuju jurang perpecahan dan penghancuran masing-masing. Maka tidak mengherankan apabila kemudian dalam sebuah agama terjadi puluhan perpecahan dan di dalamnya banyak sekte, banyak ritual dan banyak dogma-dogma yang justru semakin menjauhkan diri mereka sendiri dari niat mereka dalam ber-spiritual pada awalnya.
Kalau begitu, kemudian timbul pertanyaan adakah sebuah garis lurus (Shirotol Mustakim) ?, sebuah benang merah yang mampu menjelaskan spiritual seperti apakah sebenarnya yang dapat menjebatani seluruh pemahaman yang ada di dunia ini ?.
Kemudian spiritual seperti apakah yang mampu menyadarkan manusia dalam dikotomi dan ambivalensi agama. Sehingga tidak ada pemisah lagi antara agama dan spiritual. Dan spiritual seperti apakah yang kemudian mampu menyadarkan kita bahwa setiap manusia berada dalam makomnya masing-masing ?.
Jika agama adalah sebuah pemahaman yang satu. Diibaratkan sebagai sebuah jalan yang lurus (shirotol mustakim), maka setiap golongan dan sekte tengah berjalan bersama-sama menuju Tuhan yang satu.
Tentunya yang membedakan dari masing-masing manusia, dan agama, atau golongan, adalah pencapaiannya pada kilometer keberapa dia pada akhirnya nanti. Apakah mereka mampu sampai ke garis finis..?. Ataukah berhenti ditengah jalan dan tidak pernah sampai. ?. Dengan methode dan kendaraan yang tepat manusia dapat mencapai kilometer yang lebih jauh dibandingkan dengan manusia lainnya. Manusia hanya perlu mencari kendaraan yang tepat dan strategy mana yang lebih cepat dalam menghantarkannya ke titik akhir di sebuah jalan yang lurus tersebut. Dalam keterbatasan sang waktu. Tidak ada saling menyalahkan dan tidak ada perpecahan. Bukankah ini tujuan kita dalam ber spiritual ?. Mungkinkah..?.
Sistem kesadaran manusia
Dalam kitab-kita suci agama-agama besar yang ada di dunia. Banyak diceritakan tentang perimbangan surga dan neraka. Bagaimana sifat-sifat orang-orang yang akan menghuni surga dan bagaimana ciri-ciri orang yang akan menghuni neraka. Telah diuraikan dengan teliti. Nah..Dengan pengetahuan itulah para pemeluk agama kemudian menyatakan diri mereka masing-masing sebagai ahli surga. Tidak ada satu mahkluk di bumi ini yang bersedia menjadi ahli neraka. Sudah jamaknya memang demikian. Namun apa jadinya, jika kemudian lantas menjadi tidak peduli dengan pernyataan Tuhan mereka.
Pernyataan mutlak bahwa siapa-siapa saja yang akan menghuni surga atau neraka adalah kewenangan dan hak mutlak Tuhan mereka. Sudah menjadi ketentuan Tuhan. Tidak ada sedikitpun campur tangan manusia dalam hal ini. Tidak juga atas usaha manusia itu sendiri. Tuhan berbuat sekehendak diri-NYA, dalam system keadilan yang sangat luar biasa. Sehingga, sesungguhnya menjadi sangat naif ketika semua orang berebut menyatakan dirinya sebagai ahli surga.
Menjadi sangat naif lagi jika kemudian memvonis manusia lain adalah ahli neraka. Jikalau begini, telah kita dapati kembali sebuah peradaban yang hanya berisi perpecahan, caci maki, dan sebagainya, baik dalam satu agama apalagi lintas agama. Sungguh luar biasa sekali manusia dengan akalnya ini.
Apakah kalau begitu semua golongan adalah benar..?. Atau
Apakah hanya satu golongan yang benar dan yang lain salah..?.
Benar dan salah, akhirnya memiliki kompleksitas tersendiri. Ketika berbenturan dengan kearifan lokal. Meskipun penyebaran agama yang demikian hebatnya telah mampu memaksa dan menerobos tatanan spiritual suatu masyarakat yang telah dibangun secara turun temurun dengan cara menggantikan kesadaran kolektif (spiritual) yang ada pada kaum tersebut dengan pemahaman baru . Namun ternyata pemaksaan ini, tanpa disadari telah melahirkan pertentangan hebat dalam diri pemeluknya.
Kesadaran kolektif akan selalu menemukan jalannya untuk diturunkan. Sebuah entitas yang sudah masuk kedalam kesadaran manusia tidak akan begitu saja mudah dibuang. Bagaimanapun caranya entitas tersebut mencoba mempertahankan diri bahkan mungkin juga malah tetap dipertahankan oleh manusia itu sendiri. Inilah bekerjanya spiritual dalam kesadaran manusia. Ketika sesuatu hal ghaib sudah dimasukan dalam kesadaran manusia maka akan menjadi realitas bagi mereka.
Sebagai contoh, ketika saat kesadaran manusia masih berada dalam tahap mengakui bumi sebagai pusat tata surya. Masuknya pemahaman baru yang menyatakan bahwa mataharilah pusat tata surya bukannya bumi. Pemahaman ini, mendapat perlawanan hebat, tidak sedikit korban manusia. Sungguhpun tidak ada satu orangpun pada jaman itu yang mampu menyaksikan bagaiamana system tata surya tersebut bekerja.
Kesadaran kolektif mereka terlanjur menganggap bahwa matahari mengelilingi bumi adalah realitas. Dan pemahaman lain adalah ghaib. Tidak mudah kesadaran manusia beralih begitu saja. Padahal kalau kita kaji nyatanya kedua duanya adalah sama-sama ghaib, mengapa..?. Karena tidak ada satupun manusia yang mampu dengan inderanya mengetahui itu.
Banyak instrument dalam diri manusia yang perlu ditundukkan agar kesadaran manusia mau menerima sebuah kesadaran yang lain lagi. Begitulah kesadaran, begitulah spiritual.
Hal ini begitu nyata dalam tatanan spiritual Jawa. Banyak entitas yang dimasukan dalam kesadaran orang-orang Jawa. Hingga banyak orang Jawa tetap dalam spiritual Jawanya meski telah ber-Islam atau telah memeluk Kristen.
Rupanya ini juga terjadi diseluruh pelosok penjuru bumi, dalam penyebaran-penyebaran agama baru, sejak kisah para orang-orang Romawi hingga menyebar di kekinian. Ketika agama berhadapan dengan spiritual lokal, baik di India, di Persia, di Cina, bahkan di pusat peradaban Islam sendiri spiritual Arab mengalami hal yang sama dan lain sebagainya, agama diterima dengan pemahaman spiritual lokal yang melekat secara turun temurun.
Kenyataannya tidak ada transformasi kesadaran dari spiritual lokal kepada spiritual agama yang baru.(baca ;Islam). Jika akal dan jiwa masih belum mau tunduk maka sulit sekali kesadaran akan ber transformasi. Maka menjadi dimengerti ketika Islam kesulitan melakukan transformasi kesadaran dari jaman sahabat kepada generasi-genersi berikutnya. Ada sebuah missing link. Banyaknya suku dengan beragam budaya dan spiritual lokalnya menjadi kesulitan tersendiri. Maka tak heran jika kemudian wajah Islam dan agama-agama menjadi seperti sekarang ini. Banyak golongan ter-fragmentasi dalam segmennya masing-masing. Maka tak aneh jika surga kemudian telah dikapling berdasarkan segmennya masing-masing, dalam persepsi masing-masing golongan. Sungguhkah tak ada surga bagi golongan lainnya..?.
Memasuki millennium baru, benturan-benturan tersebut tidak mampu di tuntaskan. Sejak masuknya Islam di Pulau Jawa, sejak jaman para Wali. Hal ini seperti mengendap begitu saja. Menyisakan kegamangan tersendiri bagi orang Jawa, bagi bangsa-bangsa lainnya, dan demikian juga halnya dengan bangsa arab sendiri. Spiritual Arab juga mengalami kegamangan yang sama ketika bertemu dengan spiritual Islam.
Hasilnya selaramh baru kita sadari, kita menjadi kesulitan memisahkan antara mana yang spiritual Arab dan mana yang spiritual Islam.
Kita sebenarnya tahu bahwa Spiritual Arab melekat bersama adat istiadat dan budaya lokal mereka. Ketika mereka mempelajari Islam , orang arab juga kesulitan membebaskan diri atas spiritual lokal mereka (Arab). Hingga kejadiannya spiritual Arab dianggap sebagai perwujudan spiritual Islam. Dakwah Islam pun akhirnya sulit membebaskan diri dari hal ini. Tanpa disadari mereka memasukan unsure-unsur lokal Arab kepada spiritual Islam.
Akhirnya menjadi salah kaprah ketika masyarakat menganggap semua budaya arab identik dengan Islam. Tak aneh jika sekarang muncul fenomena, bila ingin dianggap sspiritualis sejati tinggal pakai baju gamis saja, ala orang arab maka kita pasti cepat dianggap sebagai ustad. Kita sudah terlupa bahwasanya Islam sejatinya adalah pembebas atas semua itu. Islam adalah agama PEMBEBASAN atas kesadaran spiritual yang yang ter fragmentasi.
Bagaimana sebaiknya menyikapi ini..?.
Islam adalah spiritual
Spiritual adalah sebuah laku agar manusia mampu menundukan instrument ketubuhannya, sehingga manusia mampu menggunakan kesadarannya untuk memahami dualitas alam semesta dan meletakannya pada tempat yang semestinya. Sehingga manusia juga mampu memahami antara mana hal ghaib dan mana hal realitas .
Memaknai kelahiran dan kematian. Kemudian kesadarannya juga mampu membedakan antara bangun dan tidur. Dan dualita-dualitas lainnya. Dengan memahami ini manusia menjadi tenang, tidak pernah dirisaukan oleh dualitas tersebut. Sehingga diharapkan manusia mampu mencapai sebuah kesadaran tertinggi dalam martabatnya sebagai manusia. Kesadaran tertinggi inilah yang tidak sama antara satu agama dengan agama lainnya, antara satu keyakinan dengan keyakinan lainnya. Antara suatu kepercayaan dengan kepercayaan lainnya.
Kesalahan dalam memahami kesadaran tertinggi akan menyebabkan penderitaan berkepanjangan, itulah neraka. Maka dalam ber spiritual manusia memerlukan teladan dan panduan. Kesalahan dalam mengambil teladan dan panduan juga akan menyebabkan penderitaan bagi manusia itu sendiri. Manusia yang mampu menemukan kesadaran tertingginya itulah manusia yang akan mendapatkan surga kebahagiaan. Maka meskipun teladan dan panduannya benar namun jika dia tidak mampu mendapatkan kesadaran tertingginya, maka manusia inipun akan mengalami penderitaan berkepanjangan pula.
Kesadaran tertinggi dalam Islam adalah jika manusia mampu mendapatkan sebuah kesadaran :
“LA ILA HA ILALLAH”.
Meletakan kesadaran pada kehendak Allah. Bahwa semua realitas yang ada adalah merupakan rangkaian kehendak-kehendak Allah yang tersusun dengan sangat luar biasa sekali. Pada setiap kejadian, pada setiap pembentukan, pada setiap apapun yang terjadi di seluruh permukaan bumi ini, baik itu sebutir debu yang jatuh hingga kematian yang menerjang suatu kaum, berupa suatu bencana. Pada hamparan bumi dan langit, pada sintesa dan biosentesa, terjadinya angin dan hujan. Terjadinya malam dan siang. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Apapun kejadiannya dan realitasnya yang nampak adalah kehendak-kehendak Allah atas semua itu. Maka dalam kesadarannya hanya ada Allah saja yang berkreasi yang hidup, yang bekerja, yang mematikan, yang menghidupkan, semua, sebagaimana kesemuanya dalam asmaul husna, dalam 99 nama-NYA. Kemanapun manusia menghadap disitulah wajah Allah. Kemanapun kesadarannya diletakan disitulah nama-nama Allah. Dalam penciptaan manusia, rejeki, jodoh dan mati. Distu terdapat nama-nama Allah. Maka tidak ada keraguan lagi ketika dia menghadapkan kesadarannya bahwa TIADA TUHAN SELAIN ALLAH, yang mampu berbuat semua itu, sekehendak diri-NYA.
Kesadaran seperti inilah sebenarnya yang diharapkan dalam ber spiritual. Sehingga manusia yang sudah mencapai kesadaran ini akan berperilaku penuh santun. Karena senantiasa dia akan melihat dalam perspektif ketuhanan sebelum melakukan tindakan apapun. Karena hanya Allah saja yang ada dalam kesadaran-NYA. Jika kemudian, ketika manusia beragama~namun kehilangan kearifan~kehilangan ketuhanannya.
Maka dapat diyakini dia tidak ber-spiritual. Hasil yang di peroleh dalam spiritual Islam begitu nyata dan merupakan suatu kepastian. Sholat akan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Pernyataan ini dalam Islam adalah sebuah kepastian yang akan diperoleh bagi orang yang sholat dan ber spiritual. Jika dia masih melakukan perbuatan keji dan mungkar dengan adar yang sama dari waktu ke waktu tidak berkurang. Maka yakinlah bahwa dia itu tidak sedang sholat. Sederhana dan simple sekali.
Bagaimana dengan lainnya..?. Menjadi pertanyaan penting adalah, sejauh mana suatu agama, atau aliran kepercayaan memandu para pengikutnya menuju kepada kesadaran tertingginya.
Jikalau kesadaran manusia selalu dihadapkan dengan patung. Maka kesadarannya akan berhenti pada patung tersebut. Hal ini tentu akan menyiksanya.
Jikalau kesadaran manusia selalau di hadapkan kepada harta. Maka kesadarannya senantiasa akan diliputi harta saja, oleh sebab itu kesadarannya akan berhenti dan menetap pada harta. Hal ini lebih akan menyiksanya lagi.
Jikalau kesadarannya dihadapkan kepada wanita, tahta, keluarga, anak, kerjaan, dan lain-lainnya, atau bahkan kepada alam semesta itu sendiri. Tetap saja kesadaran manusia akan berhenti kepada apa yang setiap saat dihadapkan dirinya kepada benda-benda itu. Dalam Islam hal ini di tentang sangat keras. INILAH SYIRIK. Tidak ada toleransi bagi para penempuh jalan spiritual jika mereka syirik. Kesadaran mereka harus senantiasa dihadapkan kepada Allah.
Islam sungguh telah menyiapkan dengan sempurna agar setiap suku, setiap golongan, setiap manusia manapun mampu memahami dan menetapi spiritual dalam Agama Islam. Jalan spiritual yang di tawarkan Islam hanya melalui rangkaian pemahaman; Iman, Islam dan Ihsan. Sangat sederhana sekali. Namun sebaik apapun methode yang di tawarkan selama manusia itu tidak mau menundukan akalnya terlebih dahulu maka manusia itu tetap tidak akan mampu memperoleh nilai spiritual seperti yang diharapkan Islam. Spiritual Islam menuntut agar pemeluknya mampu menundukan seluruh entitas dalam dirinya, melakukan transformasi dari sebuah kesadaran spiritual lokal kepada suatu kesadaran spiritual Islam. (Insyaallah ; Langkah-langkahnya akan diulas dalam Bab Membuka Hijab). Walohualam
salam
Komentar
Posting Komentar