Rusuh Tolikara: Benang Merah Amnesti Jokowi, OPM, Kultur dan Agama Rakyat Papua
Tolikara tiba-tiba membara. Terbakar di tengah perayaan Idul Fitri. Publik terperangah. Benang merah amnesti Presiden Jokowi kepada pentolan OPM pun layak disoroti. Juga keterlibatan orang luar Papua pun pantas disoroti. Papua tiba-tiba menjadi sorotan. Kehidupan beragama di Papua terusik. Presiden Jokowi yang baru saja membangun rekonsiliasi dengan pendekatan berbeda diusik. Mari kita tengok pendekatan politik-kerakyatan Presiden Jokowi di tengah kultur dan agama masyarakat Papua dengan hati senang sentosa bahagia suka-cita senang riang gembira ria pesta pora dalam kebhinekaan Indonesia.
Pendekatan politik-hukum dengan mengedepankan rekonsiliasi dengan rancangan melepaskan tahanan politik di Papua layak disambut baik. Para tahanan politik anggota gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan juga berbagai organisasi pro kemerdekaan Papua. Mereka menjadi tahanan politik karena terbukti makar. Para tahanan adalah para pentolan yang malang-melintang memerjuangkan kemerdekaan Papua dari pemerintah sah Republik Indonesia. Bagaimana ancaman laten OPM di Papua yang berlangsung sistematis menyatu dengan kultur dan masyarakat Papua harus dipahami, termasuk kaitan dengan kerusuhan Tolikara.
Pertama, pemelintiran Pepera 1 Mei 1963 oleh OPM. Dalam politik Papua, hasil jajak pendapat dan referendum 1 Mei 1963 selalu dijadikan rujukan sesuai dengan kesepatan. Namun, dari situlah justru masyarakat Papua, sebagian masih melihat proses integrasi ke dalam NKRI, selalu dipersoalkan oleh OPM. Pemelintiran informasi oleh para pentolan OPM dengan iming-iming bayangan kenangan kehidupan rakyat Papua yang damai dan bahagia ‘diberi makanan dan roti – serta minuman keras’ oleh Pemerintah Belanda menjelang Jajak Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) menjadi ingatan tak terlupakan.
Kedua, OPM membaur dan menyusup di masyarakat. Public relations oleh para pentolan OPM dan gerakan pro kemerdekaan Papua selalu efektif. Mereka membaur di tengah masyarakat. Strategi membaur di tengah masyarakat dan penyusupan menjadi masalah yang paling sulit diantisipasi. Para pentolan OPM selalu memasukkan para anggotanya masuk ke berbagai perusahaan di Papua.
Dari mulai Freeport, Buma dan perusahaan out-sourcing lainnya, perusahaan minyak PetroChina, sampai perusahaan gas LNG Tangguh di Bintuni, menjadi sumber pemasukan pendanaan bagi OPM. Cara mereka memasukkan orang-orang OPM ke dalam perusahaan berdasarkan kepesertaan masyarakat asli Papua. Oleh karena itu, di semua daerah tempat perusahaan beroperasi, seperti di Freeport, gerakan OPM selalu kuat. Pun juga di wilayah Kepala Burung, OPM seperti KNPB (Komite Nasional Papua Barat) eksis karena banyak perusahaan beroperasi. Tidak ada satu perusahaan besar pun yang bebas dari penyusupan simpatisan OPM.
(Sekedar contoh, di PetroChina, Sorong, karyawan sebut saja bernama Yohanes – sekarang sudah pensiun – yang memiliki posisi sebagai Supervisor di PetroChina dan adiknya Markus, menggunakan kamar base-camp mereka sebagai tempat persembunyian OPM selama berbulan-bulan. Markus dan Yohanes adalah kakak beradik. Markus membantu OPM mensupaplai makanan. Bahkan untuk masuk ke dalam Base Camp yang dijaga ketat, Markus membantu dengan memberi tumpangan kendaraan perusahaan.)
Praktik penyusupan model seperti ini akhirnya diendus oleh aparat keamanan. Praktik seperti ini memberikan energi dan sumber dana bagi para pentolan OPM. Para karyawan yang bersimpati kepada OPM memberikan uang mereka kepada gerakan OPM. Ketiga, pengawasan ketat kepada pentolan OPM yang dibebaskan.
Kini, dalam kondisi politik Papua yang selalu berwarna dan berhawa panas, Presiden Jokowi memberikan amnesti kepada pentolan OPM. Pemberian amnesti itu selayaknya dimoratorium karena sifat dan kultur rakyat Papua yang panas dan mudah tersulut oleh provokasi apapun.
Kebijakan Presiden Jokowi memberikan amnesti harus dibarengi dengan ‘pemantauan dan pengawasan melekat’ oleh aparat keamanan untuk megawasi kegiatan para terampuni yang dibebaskan.
Keempat, kultur masyarakat yang suka bersaing berdasarkan etnisitas. Masyarakat Papua secara keseluruhan terpecah ke dalam 300 lebih bahasa dan budaya. Di setiap kampung terdapat bahasa daerah dan kultur. Sifat antar suku di Papua adalah persaingan atas supremasi etnis satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, maka Papua menjadi daerah yang paling bernafsu untuk melakukan pemekaran kabupaten. Hal ini didasarkan pada kaitan etnisitas kultural.
Di masa lalu, karakter masyarakat ini sangat dimanfaatkan oleh Belanda yang membangun berbagai lembaga organisasi gereja dan pemerintahan berdasarkan etnisitas suku Papua. Klasis dan ordo dibangun untuk menguatkan kedaerahan dan keetnisan. Sekolah pun dibangun berdasarkan kedaerahan dengan dipusatkan di wilayah tertentu. Suku-suku besar seperti Biak, Numfor, Ayamaru, Serui selalu mendapatkan tempat di mata Belanda. Maka mereka menjadi suku-suku yang dominan di Papua.
Kelima, masyarakat Papua terkoneksi oleh kaitan etnisitas. Mengamati perilaku masyarakat Papua sangat menarik. Dari gunung sampai pantai, dari kampung sampai kota, masyarakat Papua saling berkaitan. Yang sudah berhasil di kota akan membantu siapapun yang datang dari kampung secara materi. Uang beredar di seluruh Papua karena kaitan dengan koneksi persaudaraan sesama etnis ini.
Keenam, agama menjadi identitas terkuat masyarakat Papua. Selain etnisitas, agama menjadi identitas terkuat masyarakat Papua. Agama menjadi simbol keyakinan kultural dan identitas masyarakat Papua. Tidak hanya Kristen dan Katolik, Islam pun menjadi identitas warga Papua. Raja Ampat dan Teluk Bintuni menjadi tempat masyarakat Islam tinggal di Papua. Selama ratusan tahun tak pernah ada konflik etnik dan agama di Papua. Di kedua wilayah itu, masyarakat Papua beragama Islam tinggal sebagai mayoritas.
Di berbagai wilayah lain seperti di Pulau Arar, Serui, Biak, juga tumbuh masyarakat Papua Muslim. Tetap tak ada konflik agama di Papua selama ratusan tahun. Baru belakangan ketika para pendatang dengan paham Wahabi masuk ke Papua, pergesekan antar agama menemukan riaknya.
Dulu, ikatan etnis dan budaya menjadi ikatan terpenting eksistensi masyarakat Papua. Belakangan ketika Islam garis keras datang ke Papua, mereka pun dibiarkan oleh masyarakat Papua untuk beribadah dengan bebas dengan kebebasan mendirikan masjid dan mushola di seantero Papua. Kultur dan keyakinan rakyat Papua tentang kehidupan yang harmonis, tanpa memertentangkan agama sebagai masalah pembeda terusik oleh berbagai pandangan tentang agama ‘baru’ wabahiah yang dibawa oleh para pendatang. Ini yang sering menjadi pemicu masalah di berbagai tempat: konflik horizontal yang dibumbui oleh masalah agama sebagai picu. Ini hal yang baru bagi rakyat Papua – yang sebelumnya persoalan etnis selalu sebagai pemicu perang.
Jadi, konflik di Papua terjadi akibat (1) terkait dengan OPM, (2) masyarakat pendatang belakangan dengan paham Wahabi yang keras yang ‘semaunya’ di Papua, (3) pendekatan etnis dan kultural yang dibelokkan oleh publisitas dan PR oleh OPM untuk kepentingan politik. Publisitas dan PR OPM mengarahkan masyarakat untuk menyoroti ketimpangan penguasaan (4) akses ekonomi yang dikuasai oleh para pendatang dan dianggap (5) menyingkirkan peranan ekonomi masyarakat asli Papua.
Sentimen ekonomi, politik, etnik, dan pendatang dengan kebijakan politik-hukum-ekonomi pemerintah di Papua ini berkembang menjadi isu-isu liar yang selalu dipelintir oleh OPM. Gerakan OPM yang menyusup di seluruh lembaga pemerintahan Papua, gereja, masjid, perusahaan, menjadikan penanganan terhadap keamanan dan ketertiban di Papua menjadi prioritas yang sangat rumit.
Kerusuhan di Tolikara tidak terlepas dari berbagai kepentingan politik-ekonomi yang kompleks yang harus ditangani dengan kebijakan yang tepat oleh Presiden Jokowi. Pelepasan dan pengampunan politik amnesti oleh Presiden Jokowi harus didasarkan kepada pertimbangan tentang ‘kelatenan ideologi makar OPM yang tak bisa dihapuskan’.
Oleh sebab itu, langkah paling tepat yang harus dilakukan oleh Presiden Jokowi yakni dengan melakukan (1) penumpasan secara tegas terhadap OPM, (2) amnesti yang diikuti oleh pengawasan melekat terhadap pentolan OPM, (3) penindakan tegas ketika para terampuni melakukan gerakan makar. Untuk itu maka kebijakan pendekatan politik-kerakyatan oleh Presiden Jokowi patut diperhatikan.
Niatan baik Presiden Jokowi justru dimanfaatkan oleh OPM dan kalangan yang ingin membuat deligitimatisasi dan men-down-grade pemerintahan Presiden Jokowi, seperti kerusuhan berbau SARA di Tolikara. Kepentingan kaum wahabiah dan pendatang yang ingin merusak kerukunan hidup warga Papua harus ditindak secara tegas oleh Presiden Jokowi.
Salam bahagia ala saya.
Komentar
Posting Komentar