Langsung ke konten utama

Titip Pak Jokowi di DKI

Bagian 2: Titip Pak Jokowi di DKI (2)
Oleh Blontank Poer




Muji, apa perasaanmu juga seperti yang aku rasakan sekarang, senang-senang sedih? Senang Pak Jokowi mendapat kepercayaan tertinggi dari masyarakat DKI, tapi sedih karena aku, tetangga kanan-kiriku di Jajar dan kebanyakan Wong Sala bakal ditinggalnya.

Memang, untuk bisa duduk di kursi Gubernur DKI masih perlu dibuktikan di pemilihan umum putaran kedua, tak lama lagi. Pak Fauzi Bowo pasti tak akan tinggal diam, mengevaluasi kegagalan. Kelak, pertarungan head to head akan lebih seru. Bisa saja hasil statistik berbalik, ia memenangi pertarungan.
Namanya politik, bisa saja ada pihak yang kalah menukarkan suara dukungan dengan rupiah. Walau tak mudah membuktikan, tapi banyak orang seperti sudah aklamasi menyatakan Pak Fauzi Bowo punya duit melimpah.

Tapi bagiku, bukan kursi Gubernur DKI itu yang menjadi tolok ukur sebuah kemenangan. Seorang Jokowi yang kukenal bukanlah tipe orang yang memuja jabatan, seperti dituduhkan sebagian orang. Pak Jokowi, bagi saya adalah sosok manusia Jawa yang sesungguhnya. Ia merupakan tipe orang yang sanggup njaga praja, menjaga kehormatan. Ibarat sejatinya perut lapar ketika bertamu, diajak makan tuan rumah pun masih sanggup menampik dengan halus, hingga ketika dipaksa sekalipun, hanya akan mengambil sedikit nasi.

Sifat semacam ini, bisa disalahpahami sebagai sikap munafik, tak mau terus terang menyatakan apa adanya. Tapi, ya begitulah orang Jawa. Seperti kamu, sebagai orang Batu, Wonogiri, pun masih bersikap begitu kita dulu kuajak jajan di Pejompongan. Kita, dan kebanyakan orang Sala dan sekitarnya, nyatanya masih bersikap begitu.

Tapi, apakah dengan bersikap semacam itu lantas orang lain bisa meremehkan kita: menebak isi hati, nalar dan rasa kita, termasuk Pak Jokowi?

Jujur, aku masih mengurut dada ketika mendengar ucapan orang-orang yang tak bisa menerima kekalahan semu di Pilkada DKI, 11 Juli kemarin. Mereka masih saja membawa-bawa kebenciannya kepada Pak Prabowo, dan menimpakan dosa yang dituduhkan dan mereka yakini, untuk Pak Jokowi. Mereka merasa berhak dan mampu menakar isi hati seorang Jokowi.

Sejujurnya, saya paham perasaan mereka sehingga merasa perlu ‘menghabisi’ Pak Jokowi. Memang, sumber ketakutan mereka terletak pada sosok Jokowi. Mereka memang bisa membuat prediksi dari reputasi yang dimiliki Pak Jokowi. Kampanye model blusukan, tatap muka dengan warga saat pencalonan periode keduanya, terbukti murah dan efektif. Sedikitnya 90 persen dukungan warga Surakarta diperolehnya. Padahal, ia hanya diusung PDI Perjuangan. Rivalnya, dari Partai Demokrat, nyaris tak kebagian suara.

Padahal, Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera memiliki kursi legislatif nyaris seimbang dengan PDI Perjuangan pada pemilu lalu. Artinya, suara massa mengalir kepada dirinya. Malah, ada yang unik ketika itu, banyak warga menerima sembako atau uang pemberian pesaing Pak Jokowi, lantas berbondong-bondong menyerahkannya ke Panitia Pengawas Pemilu.

Mungkin, sikap warga Solo yang tak mempan disuap sembako dan uang itulah yang kini ditiru warga Jakarta. Mobilisasi pengurus RT/RW yang konon dilakukan oleh incumbent, demi mobilisasi dukungan, terbukti sia-sia belaka.

Muji, aku merinding kalau membaca hasil perhitungan suara sementara. Semua lembaga survei seperti mempertontnkan kecerobohannya secara terang-terangan. Baru beberapa pekan kompak mengunggulkan Fauzi Bowo, tapi pada Rabu sore kemarin, semua terbalik sedemikian rupa. Pak Jokowi justru memperoleh suara dukungan tertinggi.

Bahkan, tim pemenangan dari PDI Perjuangan pun terkaget-kaget melihat angka dukungan. Jika sepekan silam Pak Jokowi/Basuki diyakini masih selisih delapan persen (lantas H-1 menadi 5%) di bawah Fauzi Bowo/Nachrowi Ramli, ternyata mengungguli lebih dari sepuluh persen!
Dari manakah suara itu berasal?

Saya menduga, suara itu berasal dari nurani-nurani warga Jakarta yang memang sudah sesak dan ingin ada perubahan mendasar. Memang berat bagi Jokowi di DKI, tapi warga di sana, saya kira masih meyakini, setidaknya Pak Jokowi akan bisa menata lebih baik. Pokok soalnya, Pak Jokowi dinilai masih bisa bekerja dengan hati nurani, dengan sikap keberpihakan yang tegas, kepada masyarakat bawah, tanpa mengabaikan mereka yang berada di barisan  kelas menengah.

Suatu ketika, Pak Jokowi pernah rasan-rasan. Dari sisi transportasi saja, jika ditata dengan benar, maka akan ada dampak besar pada kurun waktu tertentu. Jika transportasi massal tersedia, maka warga Jakarta dan sekitarnya, akan bisa menghemat 2-3 jam setiap harinya. Berangkat kerja bisa dilakukan setelah mengantar anaknya pergi ke sekolah, dan pulang lebih awal sehingga bisa memandikan anak-anak, menyuapi, atau bercengkerama dengan keluarga.

Andai itu terjadi, maka ikatan sosial, sejak dalam rumah tangga hingga kehidupan bertetangga, akan tercipta sedemikian rupa akrabnya. Harmoni terjadi, tingkat stres berkurang, sehingga setiap orang bisa lebih produktif. Tak hanya transportasi massal, pedagang kakilima yang masih merenggut badan jalan, bisa dikurangi sehingga kian berkuranglah penyebab kemacetan. Nyaman di jalan, enteng di kepala, tentram di hati. Minim emosi.
***
Kalaupun hingga kini masih ada orang-orang yang jumawa dan merasa berkuasa menakar isi kepala dan nurani Jokowi, rasanya itu hanya mengada-ada. Yang mereka benci hanya Prabowo, namun semua ditimpakan kepada orang lain, yang tak lain dan tak bukan, Pak Jokowi. Padahal, sidang dewan kehormatan sudah memutuskan, sehingga status hukum Prabowo sudah sangat benderang. Soal puas/tidak puas, terserah saja. Jangan itu ditimpakan kepada Pak Jokowi. Itu bukan urusan dan tanggung jawab beliau.

Kalaupun mereka itu mau saya ajak berandai-andai, sebenarnya sederhana saja.
Intinya, mereka kuatir jika kelak Pak Jokowi jadi juru kampanye Prabowo dalam pemilihan presiden 2014. (Saya tahu, mereka tak rela lantaran kelewat cinta pada Pak Jokowi). Mereka yakin, Pak Jokowi memiliki magnet kuat menarik dukungan, bagi siapa saja, terkait track record-nya. Mereka terasa menghakimi, seolah-olah Pak Jokowi akan membela mati-matian Prabowo, lantaran Partai Gerindra menyokong pencalonannya di DKI.

Karena Gerindra berkoalisi dengan PDIP, maka Jokowi dan Basuki harus membayar hutang budi, jika kelak menang di Pemilukada DKI. Sebab Partai Gerindra dianggap ‘milik’ Prabowo, yang kebetulan pula disebut kaya raya, maka ia diasumsikan bisa membeli seorang Jokowi (dan Basuki). Sebuah simplifikasi, yang anehnya, dilakukan oleh orang-orang yang mengaku (dan nyatanya dianggap) berpendidikan tinggi dan berbudaya! Menyedihkan betul cara berpikir mereka.

Mungkinkah seorang Jokowi menganggap Gerindra (dan Prabowo) memang seharusnya mengupayakan kemenangan dirinya dan Basuki Tjahaja Purnama yang merupakan representasi Gerindra/Prabowo? Mungkinkah Pak Jokowi tidak mau mengelola dana kampanye (jika ada) dari Prabowo, dengan cara memintanya dialokasikan dan dikelola sendiri untuk biaya kampanye dan proses pemenangan?
Lantas jika kelak Pak Jokowi/Basuki benar-benar memimpin DKI, semudah itukah keduanya dijadikan juru kampanye bagi pencalonan presiden Prabowo pada 2014?

Jawabannya sederhana: jika PDI Perjuangan berkoalisi (lagi) dengan Gerindra, sah-sah saja jika Pak Jokowi dan Pak Basuki ikut terjun jadi jurkam. Tapi jika PDI Perjuangan tak berkoalisi dengan Geirndra (Prabowo), maka gugur sudah ‘kewajiban’ (moral) Pak Jokowi jadi juru kampanye, sebab ia representasi partai pimpinan Megawati. Dan, koalisi di DKI belum tentu abadi untuk level pemilu presiden.
Justru, Pak Jokowi kini merasa perlu menambatkan dirinya kepada rakyat, publik Jakarta. Semakin kuat ikatan, maka ia akan merasa aman, sebab jika ada kekuatan yang hendak menarik dirinya, maka rakyat akan serta merta mempertahankan. Dan itu, jauh lebih dari cukup.

Pemilu minim biaya (namun perlu tenaga ekstra keluar-masuk perkampungan untuk) kampanye yang dilakukan Pak Jokowi pada pencalonan walikota periode kedua dan pemilukada DKI Jakarta, terbukti manjur. Ini bisa dibaca sebagai pertanda, rakyat mulai menginginkan perubahan, bukan dengan slogan, janji dan gelontoran amunisi materi.

Kemenangan Pak Jokowi di putaran pertama Pemilukada DKI sudah cukup dijadikan pertanda munculnya harapan perubahan. Dari Jakarta, virus demikian mudah menjalar, merajalela hingga ke pelosok Nusantara. Saya yakin, peta politik nasional pun akan berubah karenanya. Ini, bukan lantaran Jokowi seorang, tapi lantaran rakyat sudah punya bekal berupa keinginan kuat untuk adanya perubahan.
Pak Jokowi, ibaratnya hanya kendaraan bagi hasrat perubahan itu. Ia hanya medium, bukan sebagai faktor tunggal.

Jika kemarin kabarnya ada 30 persen kelas menengah yang masih memilih memanfaatkan libur pemilukada untuk pelesiran, saya yakin, separuh dari mereka sudah menyesali sikapnya. Mereka yang abai, akan kembali menyadari perlunya mendatangi bilik pemilihan, pada pemilukada putaran kedua mendatang. Jika itu terjadi, dan mereka juga bergabung di barisan properubahan, bukan mustahil Pak Jokowi/Basuki akan memperoleh kemenangan telak atas Fauzi Bowo.

Sekali lagi, Pak Jokowi dan Pak Basuki hanya akan jadi kendaraan atas keinginan perubahan yang massif. Penentunya adalah penduduk Jakarta. Kebetulan, sebagai ‘kendaraan’, baik Pak Jokowi dan Pak Basuki sama-sama teruji, minim cacat selama menjabat jadi Walikota Surakarta dan Bupati Belitong Timur.

Muji, mungkin saja karirmu masih sama dengan yang kemarin. Tapi aku yakin, hidupmu akan lebih nyaman dan bermakna. Kamu akan mudah dan lancar ke mana saja, termasuk pulang ke Pemalang, melepas kangen dengan anak-istrimu. Atau, kamu malam bisa memboyongnya ke Jakarta tanpa ragu.
Satu hal yang tak diketahui banyak orang, terutama kaum sosialiskota, yang biasa membicarakan kemiskinan sembari menenggak bir atau wine di pojok-pojok kafe atau lobi hotel berbintang itu, adalah cara Pak Jokowi melawan arogansi dengan cara yang sangat nJawani. Ketika dikatai bodoh oleh Gubernur Bibit Waluyo, misalnya, Pak Jokowi hanya menanggainya dengan senyum, dan mengakui ‘kebodohannya’.

Begitu pula ketika PLN Surakarta mematikan lampu penerangan Jalan Slamet Riyadi, lantaran menunggak tagihan milyaran rupiah, Pak Jokowi meresponnya dengan cara membayar lunas, yang ia serahkan bersama Wakil Walikota secara tunai. Uang berkardus-kardus ia serahkan, dan meminta petugas PLN menghitungnya sendiri.

Banyak orang tak paham, banyak Pemerintah Daerah menunggak tagihan listrik ke PLN, dan tak diperlakukan demikian. Meski lazim pemerintah daerah menunggak, Pak Jokowi tak hendak meminta permakluman. Selain anggaran belum turun, ada beberapa penyebab hingga insiden mematikan lampu penerangan jalan itu terjadi.

Kabarnya, Pak Jokowi kerap protes ke PLN karena akurasi meteran kurang memuaskan sehingga membebani anggaran. Sebelumnya, Pak Jokowi juga pernah mengancam menggugat PLN lantaran menebang sejumlah pohon di pinggir jalan tanpa koordinasi dengan Pemerintah Kota Surakarta lantaran dianggap berpotensi mengganggu kabel listrik.

Memang, tak mudah bagi orang luar menilai secara obyektif dan komprehensif mengenai sepak terjang Pak Jokowi. Dan itu wajar saja.  Tak soal bagi Pak Jokowi.
Muji, kutitipkan lagi Pak Jokowi dalam pemilukada putaran kedua nanti. Terima kasih, kamu pasti sudah melakukan sesuatu dengan caramu, semampumu, sehingga Pak Jokowi mengungguli Pak Fauzi Bowo.
Matur nuwun….
-kancamu-
Tulisan terkait: Titip Pak Jokowi di DKI
TITIP PAK JOKOWI DI DKI 1





Surat untuk Muji
Muji, piyé kabarmu? Semoga kamu sekeluarga selalu sehat, tanpa kurang suatu apa. Soal kesehatan, aku yakin kamu pasti sehat. Masih sering badminton dengan Paklik dan tetangga-tetangganya di Ciputat, kan?
Ji… Katanya kamu pindah kerjaan di Tebet, ya? Gimana suasana di sana? Lebih enak dibanding Pejompongan atau sebaliknya? Piyé suasana kampanye di Jakarta? Kira-kira, Pak Jokowi menang nggak, ya? Mbok tulung, teman, tetangga dan kenalanmu dikasih tahu, supaya ikut menyumbangkan suaranya untuk Pak Jokowi.

Kalau tetangga, teman, kenalan atau ada orang yang bertanya tentang Pak Jokowi, ceritakan saja apa adanya. Jangan mengurangi, jangan pula menambahi. Bahwa dulu Pak Jokowi sukses menata kota, karena dia mau mengajak para pedagang kakilima bareng-bareng memikirkan nasib diri dan keluarganya. Pak Jokowi hanya menjadi lantaran semata, hanya alat Tuhan untuk sebuah perbaikan. Pak Jokowi bukan orang hebat. Dia sama seperti kita, masih suka wedangan, atau jajan lesehan walaupun jabatannya sebagai Walikota Solo. Kadang-kadang, ia juga pingin seperti kita, bisa jalan-jalan ke mana saja, tanpa sopir dan ajudan yang mendampinginya.

Mas Didik, pedagang akik, pernah cerita, kalau dia menjumpai Pak Jokowi naik Honda Astrea, memboncengkan istri dan anaknya. Waktu itu, kebetulan hari libur, dan dia ingin makan soto kesukaannya. Katanya, ketika memarkir sepeda motornya dan membuka helm, tukang parkirnya kaget. Pemilik warung soto, yang tempat berdagangnya hanya dengan tenda seadanya di bawah pohon waru juga, kaget ketika salah satu orang yang jajan adalah walikotanya.

Beritahu saja apa adanya, jangan ditambahi, biar kamu tidak dikira tim suksesnya. Kabarkan kepada tetangga, kenalan, atau siapa saja, bahwa Pak Jokowi sering memindahkan orang dari bantaran Bengawan Solo. Yang dipindahkan pun sukarela, sebab diajak berembuk mengenai lokasi barunya, di kawasan Mojosongo. Pemerintah menyediakan bantuan kepindahan dan ongkos pembangunan rumah sederhana.

Memang tak banyak orang. Hanya belasan keluarga. Tapi, dalam keluarga itu ada anggotanya, termasuk anak-anak. Kepada para kepala keluarga, Pak Jokowi mengajak berembuk, dan ngobrolnya santai seperti ketika kita ngobrol bareng Sola, Danang atau Tjahjono. Santai, tapi serius.

Para kepala keluarga diminta merancang sendiri desain rumah dan penataan ruangnya. Kata Pak Jokowi, pemerintah tidak ingin mendikte bahwa rumah di atas tanah tak seberapa luas itu dibangun seragam, termasuk letak ruang keluarga, kamar tidur, dapur dan kamar mandinya. Setiap keluarga, pasti ingin punya ruangan yang ideal. Anak lelaki dan perempuan, apalagi jika sudah remaja atau dewasa, pasti butuh kamar sendiri. Oleh sebab itu, Pak Jokowi menyerahkan sepenuhnya kepada mereka.

Intinya, pemerintah hanya memfasilitasi yang terbaik untuk warganya, termasuk memberikan kredit ringan pembangunan rumah. Ia meminta masing-masing membentuk kelompok sendiri, bisa tujuh atau sepuluh kepala keluarga dalam satu kelompok. Para anggota kelompok itulah yang akan saling mengingatkan jika ada yang lupa atau terlambat membayar cicilan.
Mereka senang, pemerintah pun tenang. Tak perlu repot mengawasi atau memarahi jika ada yang menunggak cicilan, cukup menanyakan kepada penanggung jawabnya saja, untuk memantau perkembangannya. Pak Jokowi itu orang yang tidak mau masuk terlalu dalam ke wilayah pribadi, sebab setiap orang/keluarga, pasti punya problem yang berbeda-beda.

Apalagi jika diingat, Pak Jokowi itu juga wong cilik, dulunya. Ia pernah merasakan kepedihan keluarganya, ketika rumah mereka digusur dari bantaran kali, tanpa pesangon, pada tahun 1970an. Dia tak mau warga miskin menderita seperti yang dirasakannya. Makanya, ia mengeluarkan kartu sehat dan kartu pendidikan bagi warga miskin. Kesehatan dan pendidikan adalah hak setiap warga negara, yang harus diperhatikan oleh negara. Sebagai Walikota Solo, dia menggunakan kekuasaanya mengatur keuangan daerah, untuk keperluan memenuhi hak setiap warga negara itu.

Makin miskin, pelayanan yang diberikan pemerintahnya kian banyak. Seperti dalam pendidikan, orang termiskin diberi kartu platinum, sehingga semua kebutuhan pokok untuk pendidikannya dipenuhi oleh pemerintah, sehingga diberikan seragam, sepatu, buku dan alat tulis, hingga pembebasan biaya pendidikan. Bagi Pak Jokowi, orang kaya bisa memilih jenis pendidikan karena punya biaya.

Begitu pula soal berobat atau pemenuhan hak atas kesehatan. Maka, orang miskin pun diberi kartu masing-masing orang dalam satu keluarga. Kartunya bisa dipakai di Puskesmas dan rumah sakit, dari sakit perut hingga operasi, tanpa perlu membawa surat keterangan miskin dari RT, RW hingga Kelurahan. Orang sakit perlu pertolongan cepat, sementara kerepotan mengurus surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang memakan waktu, bisa-bisa meminta nyawa si penderita.

Pak Jokowi tahu, pada dasarnya, watak orang Indonesia itu malu dianggap, apalagi disuruh mengaku miskin. Karena itu, ia tak mau orang kesusahan dibuat makin susah ketika harus menghadap Pak Lurah atau Bu Lurah, hanya untuk mengatakan dirinya miskin. +

Muji yang baik, katakan kepada siapa saja: Pak Jokowi tidak sedang memperbaiki nasib dengan nyalon jadi Gubernur DKI. Dia pernah miskin, sebab pernah jadi pekerja rendahan di pabrik mebel pamannya, hingga ia mampu punya perusahaan sendiri. Ia sudah merasa kaya dari usahanya, sehingga tak merasa perlu mengambil gaji bulanannya sebagai walikota. Toh, semua keperluan hidup sekeluarganya ditanggung oleh negara. Pak Jokowi juga sudah punya gaji sendiri, yang jauh lebih gede dari gaji walikota. Sebagai komisaris perusahaan, ia sudah mendapat gaji bulanan.

Asal tahu saja, perusahaan ekspor mebelnya punya beberapa workshop/gudang. Beberapa malah sudah dijualnya di periode pertama jabatannya. Ia tidak lebih kaya ketika menjadi walikota. Biarkan orang menyimpulkan sendiri, apa itu artinya.

Kalau ada temanmu yang membawa-bawa nama Prabowo, diamkan saja. Itu bukan urusan kita, bahkan urusan Pak Jokowi. Ke Jakarta, ia hanya menjalankan amanah partainya. Karena di Solo bisa sukses, ia ‘dipromosikan’ partainya mengulang suksesnya di Jakarta. Keputusan koalisi PDI Perjuangan dengan Partai Gerindra, itu urusan orang-orang petinggi partai, bukan kemauan atau pilihan Pak Jokowi.

Ada orang yang lantaran takut kalah bersaing, lantas seenaknya membuat fitnah, atau menjelek-jelekkan pak Jokowi. Biarkan saja. Kelak, mereka akan kelelahan sendiri. Kalau memang Pak Jokowi buruk, tak mungkin dia bisa memiliki kemenangan hingga 90 persen pemilih di Solo. Padahal, dia diusung PDI Perjuangan, sementara Partai Demokrat yang punya banyak kursi di DPRD memiliki calonnya sendiri. PKS pun punya fraksi sendiri di DPRD Solo. Tapi, kenapa suara Pak Jokowi bisa memiliki dukungan sedemikian besar dari semua pemilih partai selain PDIP?

Aku yakin, soal memilih calon kepala daerah, orang sekarang tak lagi tergantung suara partainya. Mereka punya hitung-hitungannya sendiri, bisa mengukur seseorang dengan kemantaban dan referensinya sendiri. Coba perhatikan, siapa yang memfitnah Pak Jokowi sebagai orang Kristen dan antek Yahudi? Mereka adalah orang-orang yang mengaku lebih suci, bahkan merasa diri lebih tahu dari Tuhan yang katanya mereka sembah dan taati perintahNya. Aneh, bukan?

Begitulah, politik. Kamu kan juga mengenal nama Heru, Margiono, Gunawan dan banyak lagi. Mereka pinter, cerdas, hebat dan lebih berbudaya. Tapi apa yang terjadi dengan ucapan-ucapan mereka? Dulu, mereka mengaku segan dan kagum pada prestasi Pak Jokowi, tapi kini lebih banyak mencaci, mencibir, dan menghalangi kemenangan Pak Jokowi di DKI lantaran mereka punya calo sendiri, yang dianggapnya lebih baik. Yang begitu memang sah dalam politik.

Tapi yang tak pantas dilakukan mereka adalah, melampiaskan kebenciannya kepada Prabowo kepada Pak Jokowi, padahal sudah jelas, Gerindra dan PDI Perjuangan-lah yang memutuskan berkoalisi. Kenapa mereka hanya memojokkan Pak Jokowi? Anggap saja mereka tak bernyali, atau kuatir calonnya tak jadi Gubernur DKI. Begitulah mereka.

Kalau boleh memilih, Pak Jokowi, Faisal Basri, Fauzi Bowo, Alex Noerdin, Hidayat Nurwahid dan Hendarji, pasti ingin yang paling sempurna. Tanyakan kembali, apakah semua keinginan ideal bisa diwujudkan sendiri, tanpa dipengaruhi orang lain atau faktor-faktor selain dirinya?

Muji, jangan ragu mengatakan kepada teman, sahabat, atau siapa saja untuk memilih Pak Jokowi. Dia seorang haji, dia rendah hati, mau mendengar orang lain daripada banyak bicara kepada orang lain. Suruh orang mencari tahu, dari mana saja, pernahkah Pak Jokowi berpidato panjang, apalagi berjam-jam seperti kebanyakan pejabat yang hanya mau semua kalimat dan perintahnya didengarkan?

Jika terlambat atau sebuah acara ada banyak sambutan, Pak Jokowi memilih tak memberikan sambutan atau pidato. Itu karena dia tahu, siapa saja, apalagi rakyat, sudah bosan mendengar pidato-pidato pejabat yang pasti isinya serba baik semata. Ada paparan data dan angka, padahal itu hanya demi menarik simpati orang, seolah-olah seseorang yang berpidato menguasai masalah. Padahal, kebanyakan naskah pidato disusun oleh tim ahli, ajudan atau staf khusus lainnya.

Muji, aku titip Pak Jokowi di DKI, ya…..

Solo, 6 Juli 2012
-Kancamu-
*) Catatan: tulisan ini juga diposting di personal blog.
Baca juga referensi terkait Pak Jokowi:


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Malam Pertama Pengantin | Goyang Karawang

Cerita Malam Pertama Pengantin | Goyang Karawang Ini ada beberapa cerita malam pertama pengantin baru , cerita dewasa ‘seks’ pernikahan sepasang pengantin baru, dimana sang mempelai wanita atau sang isteri begitu polosnya. Sehingga ketika malam pertama berlangsung sang suami harus membimbing dulu agar sang isteri paham. Namun setelah sang isteri paham, sang suami malah yang jadi kewalahan menghadapi isterinya di malam pertama tersebut. Cerita malam pertama pengantin ini seru dan menarik untuk dibaca. Mungkin ini bisa bermanfaat khususunya bagi para calon pengantin. Sebuah trik atau tips yang bisa diterapkan jika menghadapi situasi dan kondisi yang sama nantinya. Bagaimana cerita malam pertama pengantin baru ini, silahkan simak kisah selengkapnya berikut ini! Sepasang pengantin baru sedang bersiap menikmati malam pertama mereka. Pengantin perempuan berkata, “Mas, aku masih perawan dan tidak tahu apa-apa tentang seks. Maukah Mas menerangkannya lebih dulu sebelum kita melakukannya?”

DOWNLOAD KUMPULAN MP3 GENDING JAWA DAN LAGU JAWA

 Download Kumpulan MP3 Gending Jawa dan Lagu Jawa DOWNLOAD KUMPULAN MP3 GENDING JAWA DAN LAGU JAWA MP3 GENDHING JAWA http://piwulangjawi.blogspot.com/p/mp3-gending-jawi.html GENDHING-GENDHING JAWA DALAM FORMAT MP3  DIPERSILAHKAN KEPADA STRISNO BUDAYA JAWA UNTUK MENGUNDUH ANEKA GENDHING JAWA KLASIK I : 001.  BENDRONGAN – PUCUNG RUBUH – GANDRUNG MANIS – DANDANGGULA BANJET – ASMARADANA JAKALOLA.mp3 002.  BW. GAMBUH LGM. LELO LEDHUNG – LDR. SARAYUDA – LAGU ONDHE-ONDHE Pl. Br.mp3 003.  BW. LEBDAJIWA – KUTUT MANGGUNG Pl. Br.mp3 004.  BW. MUSTIKENGRAT – GENDHING CANDRA -LDR. SRI HASCARYA – LDR. WESMASTER Sl.9.mp3 005.  BW. SEKAR AGENG SUDIRAWARNA – UDAN BASUKI – LIPUSARI – GAMBUH Sl. Mny.mp3 006.  BW. SUDIRAWARNA – GENDHING WIDASARI – LDR. LIPUR SARI Sl. Mny.mp3 007.  GENDHING BANDILORI – LDR. ELING-ELING – KTW. PRANA ASMARA – SLEPEG MAWA PALARAN Pl. Br.mp3 008.  GENDHING BONANG SLEBRAK PL.5.mp3 009.  GENDHING BUDHENG-BUDHENG – LDR. SARAYUDA Pl.6.mp3 010.  GENDHING